-------------------------------------------------------------------------------------------------
SECOND SCENE
Im Ye jin : as Kim Nam Gil and Uhm Tae wong mother
Jung Sung Mo: Kim Sung Mo (as Kim Nam Gil and Uhm Tae Wong father)
Kim Yoo Shin: Kim Tae Wong (real name: Uhm Tae Wong)
Bi Dam: Kim Nam Gil
Deok Man: Lee Yo Won
Wolya: Joo Sang Wook
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Mishil: Go Hyun Jung
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Lee Yo Won, Seoul, 2008
”Pagi Yo Won!!” sapa Yoo Jin riang. Aku menatapnya sambil lalu dan melepaskan sepatuku.
“Pagi,” jawabku sambil meletakkan sepatuku di loker. Yoo Jin cantik dan ramah, namun di sisi lain, aku tahu dia hanya mendekatiku kalau memerlukan sesuatu. Ibunya adalah seorang aktris terkenal. Tidak heran kalau anaknya juga sangat cantik dan modis, bahkan rambutnya yang dicat saja tidak pernah diprotes guru.
“Hari ini tidak bersama dengan Kakak kembarmu?” tanyanya sambil menatap ke sekelilingku. Oh, pikirku kesal. Memangnya dia harus celigukan begitu supaya bisa melihat kalau kakak kembarku tidak berada di sampingku? Kurasa itu hanya supaya rambut indahnya bisa tergerai dalam gerakannya.
”Tidak,” jawabku singkat, lalu menyampirkan tasku di pundak. ”Aku sedang buru-buru nih,” protesku saat melihatnya menghalangi jalanku.
”Dan aku ada penawaran bagus untukmu...” ujarnya dengan wajah berseri-seri. ”Kau pasti tertarik deh...”
Sayangnya tidak tuh, pikirku sebal. Aku sudah cukup kesal karena sebulan lalu ia memintaku menyampaikan surat cinta untuk kakak kelas kami, Joo Sang Wook. Dan akhirnya cowok itu mengira surat itu dariku dan malah mengajakku jalan beberapa kali tapi kutolak. Sebagai gantinya, Yoo Jin memata-mataiku dan mengataiku penghianat. Sekarang sih katanya dia sudah menyatakannya dan sudah jadian dengan Joo Sang Wook.
Bagus untuknya bukan? Dan apa yang bagus untuknya tidak selalu dan nyaris tidak pernah bagus untukku. Jadi jawabannya adalah... ”Tidak, terimakasih,’ ucapku sambil berjalan melewatinya.
”Tunggu! Tunggu!” ia menarik lenganku dan aku terpoksa mundur beberapa langkah agar bisa berada dalam posisi sejajar dengannya. Karena kalau tidak, aku takut ia akan ganti menarik tali tasku sampai putus. ”Paling nggak dengar aku dulu dong...” protesnya manja.
Aku memaksakan senyum dan memandangnya lurus-lurus. ”Baik, bicara saja. sekarang. Aku dengar...”
”Kenapa sih kau serius sekali Yo Won?” tanyanya sambil menatapku heran. ”Begini, kau suka karate bukan?”
Aku memandangnya dengan tatapan tidak percaya. Suka karate? Kesimpulan ngaco darimana itu? “Siapa bilang?” tanyaku ketus.
“Baiklah, mungkin kau tidak suka sekali, tapi paling tidak kau tertarik sama karate...” ia mencoba mengoreksi untuk membenahi perasaan BT-ku.
“Lanjutkan, aku mendengarkan...” sambungku sambil berpura-pura capek. Rupanya siasatku berhasil. Ia melanjutkan permintaan─maksudku, pemaksaannya─dengan segera.
”Adiknya Kak Sang Wook, Sang Won, dia kan mau ikut tanding minggu depan, tapi katanya bakalan telat. Nah karena itu, sementara bisakan kau membantunya?”
Aku mengernyitkan dahi, bingung. Kenapa gadis ini selalu punya cara aneh untuk menyusahkanku sih? ”Maksudmu, kau mau aku mengantikannya absen?”
”Benar sekali! Kau tahu sendiri kan pelatih karate kita yang masih muda itu, Kak Tae Wong? Dia kan orangnya nggak asik banget, padahal dia tampan. Gini nih kalau memakai mahasiswa sebagai pelatih, jadinya kan ribet. Dia terlalu ketat pada peraturan sih...”
”Baik, baik, jadi kau mau aku membantumu bagaimana? Menyamar jadi adikmu? Memangnya kau pikir tidak akan ketahuan? Kan kau sendiri yang bilang kalau Kak Tae Wong itu orangnya disiplin...” aku cepat-cepat memotong kalimatnya sebelum ia terlalu asyik berceloteh sendiri.
”Tidak akan, aku akan minta bantuan teman-temannya Sang Won untuk membantu menyembunyikanmu. Jadi tenang saja...”
Aku menatapnya dengan kesal. Bisa-bisanya ia seyakin itu semuanya bakal berjalan dengan mudah. ”Kalau memang semudah itu, kenapa kau tidak melakukannya sendiri?” tuntutku dengan kesal.
”Yah, kau kan tahu sendiri. Penampilanku terlalu cewek, beda denganmu...” ia menghentikan kalimatnya begitu melihat raut wajahku mulai sebal. “Maksudku, badanmu kan ramping, bajunya juga pasti bisa cocok dengan ukuranmu...” buru-buru ia meralat ucapannya. “Lagipula, dulu kan waktu di klub drama kau pernah memerankan peran pangeran muda. Saat itu kan kau terlihat oke...”
Sudahlah, pikirku sambil menghela nafas. Semakin ia jelaskan, rasanya semakin bete. Lagipula Sang Won anak yang baik, tidak apa-apa sih menolongnya. Tapi kalau mengingat semua itu demi mendekatkan hubungan Yoo Jin dan Kak Sang Wook, rasanya malas sekali.
”Sebagai gantinya, kau tidak boleh meminjam pe-erku selama seminggu ya,” ujarku santai. Biar bagaimana pun, di dunia ini nggak ada yang gratis kan?
‘Tapi...” ia terlihat akan memprotes lalu kembali terdiam, “Baiklah, “ ujarnya menyerah. Aku tersenyum setuju. Rasanya menyenangkan tidak perlu melihat wajahnya setiap pagi di depan mejaku hanya untuk meminjam pe –erku.
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
“Ada orang di rumah?” tanya seseorang dari arah pintu. Aku tersentak kaget dan menghentikan lamunanku.
Tak lama langkahnya mendekati dapur. Aku mencoba memperbaiki posturku agar terlihat lebih santai dan tidak kaku. Suara pria, mungkinkah itu... Papa?
”Hai, kau rupanya!!” ujar Kak Tae Wong sambil tersenyum. Ia meletakkan tas ranselnya di lantai dan maju untuk memelukku pelan. Aku tidak suka dengan caranya yang sok bersahabat. Sok dekat. Padahal sejak kecil, ia tidak pernah bersikap layaknya seorang kakak padaku.
”Ya, ini aku. Kau tampak biasa-biasa saja...” ujarku, bermaksud menyindirnya. Namun ia hanya tersenyum simpul, mengira aku mengajaknya bercanda.
“Setelah tiga tahun menetap di asrama. Kau dapat rekomendasi beasiswa ke Amerika, hebat sekali!” ia berdecak kagum saat melihat penampilanku. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya sambil menepuk pundakku. Aku memaksakan seulas senyum seperlunya.
”Baik,” jawabku. ”Di sana makanannya lebih enak,” sambungku. Daripada di rumah ini, sahutku dalam hati. “Mana yang lain?”
“Yang lain?” ia mengerutkan kening, tidak suka mendengar caraku menyebut orangtua seperti itu. “Mereka sedang keluar, mungkin malam nanti baru kembali,” jelasnya.
“Oh? Kalau begitu lebih baik aku ke kamar dulu...” ujarku sambil menarik ransel yang kuletakkan dekat tangga.
“Nam Gil!” ia berseru saat saat aku menaiki anak tangga rumah. “Nanti malam ikutlah makan malam dengan kami...”
”Kurasa, kalaupun aku mau,” jawabku. ”Semua tergantung kalian. Apakah kalian mengharapkan kehadiranku atau tidak...” suaraku terdengar parau saat mengucapkannya.
Biar bagaimana pun aku masih tidak bisa melupakan masa-masa kecilku yang buruk. Dan keberangkatanku ke Amerika saja tidak ada yang mengantar. Itukah yang namanya keluarga?
Besok aku sebaiknya mulai berkeliling untuk mencari universitas yang tepat untukku. Biar bagaimanapun, yang mereka tahu hanya soal kebutuhan uangku. Hanya itu yang mereka penuhi. Sisanya nol. Tidak ada yang kuharapkan dari mereka. Dan demikian pula mereka. Tidak ada yang mereka harapkan dariku.
Malam itu, aku menolak untuk makan di rumah. Lagipula tidak ada yang mengajakku makan. Setelah aku pulang, Mama menungguku di pintu depan dengan sorot mata penuh amarah. Apakah ia mau memarahiku lagi entah untuk keberapa kalinya??
”Kau tahu ini sudah jam berapa!?” tanyanya sambil menunjuk jam.
Aku mengikuti arah pandangnya dan menjawab dengan enteng. ’”Jam sepuluh?” tanyaku sambil tersenyum. Semakin aku tersenyum, Mama semakin dongkol.
“Kau berani melawan sekarang?” ia mengangkat tangan dan bermaksud untuk menamparku. Aku bergerak sedikit sehingga tangannya hanya menampar udara. ”Selamat malam,” ujarku sambil berjalan melewatinya.
Papa menatapku dari ruang tamu, Beliau menutup koran yang sedang dibacanya. Aku mengangguk pelan dan beliau membalas dengan anggukan pelan juga. Hanya itu salamku di rumah ini. Dan hanya sejauh itu pula keberadaanku di sini.
---to be continued---
SECOND SCENE
Im Ye jin : as Kim Nam Gil and Uhm Tae wong mother
Jung Sung Mo: Kim Sung Mo (as Kim Nam Gil and Uhm Tae Wong father)
Kim Yoo Shin: Kim Tae Wong (real name: Uhm Tae Wong)
Bi Dam: Kim Nam Gil
Deok Man: Lee Yo Won
Wolya: Joo Sang Wook
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Mishil: Go Hyun Jung
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Lee Yo Won, Seoul, 2008
”Pagi Yo Won!!” sapa Yoo Jin riang. Aku menatapnya sambil lalu dan melepaskan sepatuku.
“Pagi,” jawabku sambil meletakkan sepatuku di loker. Yoo Jin cantik dan ramah, namun di sisi lain, aku tahu dia hanya mendekatiku kalau memerlukan sesuatu. Ibunya adalah seorang aktris terkenal. Tidak heran kalau anaknya juga sangat cantik dan modis, bahkan rambutnya yang dicat saja tidak pernah diprotes guru.
“Hari ini tidak bersama dengan Kakak kembarmu?” tanyanya sambil menatap ke sekelilingku. Oh, pikirku kesal. Memangnya dia harus celigukan begitu supaya bisa melihat kalau kakak kembarku tidak berada di sampingku? Kurasa itu hanya supaya rambut indahnya bisa tergerai dalam gerakannya.
”Tidak,” jawabku singkat, lalu menyampirkan tasku di pundak. ”Aku sedang buru-buru nih,” protesku saat melihatnya menghalangi jalanku.
”Dan aku ada penawaran bagus untukmu...” ujarnya dengan wajah berseri-seri. ”Kau pasti tertarik deh...”
Sayangnya tidak tuh, pikirku sebal. Aku sudah cukup kesal karena sebulan lalu ia memintaku menyampaikan surat cinta untuk kakak kelas kami, Joo Sang Wook. Dan akhirnya cowok itu mengira surat itu dariku dan malah mengajakku jalan beberapa kali tapi kutolak. Sebagai gantinya, Yoo Jin memata-mataiku dan mengataiku penghianat. Sekarang sih katanya dia sudah menyatakannya dan sudah jadian dengan Joo Sang Wook.
Bagus untuknya bukan? Dan apa yang bagus untuknya tidak selalu dan nyaris tidak pernah bagus untukku. Jadi jawabannya adalah... ”Tidak, terimakasih,’ ucapku sambil berjalan melewatinya.
”Tunggu! Tunggu!” ia menarik lenganku dan aku terpoksa mundur beberapa langkah agar bisa berada dalam posisi sejajar dengannya. Karena kalau tidak, aku takut ia akan ganti menarik tali tasku sampai putus. ”Paling nggak dengar aku dulu dong...” protesnya manja.
Aku memaksakan senyum dan memandangnya lurus-lurus. ”Baik, bicara saja. sekarang. Aku dengar...”
”Kenapa sih kau serius sekali Yo Won?” tanyanya sambil menatapku heran. ”Begini, kau suka karate bukan?”
Aku memandangnya dengan tatapan tidak percaya. Suka karate? Kesimpulan ngaco darimana itu? “Siapa bilang?” tanyaku ketus.
“Baiklah, mungkin kau tidak suka sekali, tapi paling tidak kau tertarik sama karate...” ia mencoba mengoreksi untuk membenahi perasaan BT-ku.
“Lanjutkan, aku mendengarkan...” sambungku sambil berpura-pura capek. Rupanya siasatku berhasil. Ia melanjutkan permintaan─maksudku, pemaksaannya─dengan segera.
”Adiknya Kak Sang Wook, Sang Won, dia kan mau ikut tanding minggu depan, tapi katanya bakalan telat. Nah karena itu, sementara bisakan kau membantunya?”
Aku mengernyitkan dahi, bingung. Kenapa gadis ini selalu punya cara aneh untuk menyusahkanku sih? ”Maksudmu, kau mau aku mengantikannya absen?”
”Benar sekali! Kau tahu sendiri kan pelatih karate kita yang masih muda itu, Kak Tae Wong? Dia kan orangnya nggak asik banget, padahal dia tampan. Gini nih kalau memakai mahasiswa sebagai pelatih, jadinya kan ribet. Dia terlalu ketat pada peraturan sih...”
”Baik, baik, jadi kau mau aku membantumu bagaimana? Menyamar jadi adikmu? Memangnya kau pikir tidak akan ketahuan? Kan kau sendiri yang bilang kalau Kak Tae Wong itu orangnya disiplin...” aku cepat-cepat memotong kalimatnya sebelum ia terlalu asyik berceloteh sendiri.
”Tidak akan, aku akan minta bantuan teman-temannya Sang Won untuk membantu menyembunyikanmu. Jadi tenang saja...”
Aku menatapnya dengan kesal. Bisa-bisanya ia seyakin itu semuanya bakal berjalan dengan mudah. ”Kalau memang semudah itu, kenapa kau tidak melakukannya sendiri?” tuntutku dengan kesal.
”Yah, kau kan tahu sendiri. Penampilanku terlalu cewek, beda denganmu...” ia menghentikan kalimatnya begitu melihat raut wajahku mulai sebal. “Maksudku, badanmu kan ramping, bajunya juga pasti bisa cocok dengan ukuranmu...” buru-buru ia meralat ucapannya. “Lagipula, dulu kan waktu di klub drama kau pernah memerankan peran pangeran muda. Saat itu kan kau terlihat oke...”
Sudahlah, pikirku sambil menghela nafas. Semakin ia jelaskan, rasanya semakin bete. Lagipula Sang Won anak yang baik, tidak apa-apa sih menolongnya. Tapi kalau mengingat semua itu demi mendekatkan hubungan Yoo Jin dan Kak Sang Wook, rasanya malas sekali.
”Sebagai gantinya, kau tidak boleh meminjam pe-erku selama seminggu ya,” ujarku santai. Biar bagaimana pun, di dunia ini nggak ada yang gratis kan?
‘Tapi...” ia terlihat akan memprotes lalu kembali terdiam, “Baiklah, “ ujarnya menyerah. Aku tersenyum setuju. Rasanya menyenangkan tidak perlu melihat wajahnya setiap pagi di depan mejaku hanya untuk meminjam pe –erku.
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
“Ada orang di rumah?” tanya seseorang dari arah pintu. Aku tersentak kaget dan menghentikan lamunanku.
Tak lama langkahnya mendekati dapur. Aku mencoba memperbaiki posturku agar terlihat lebih santai dan tidak kaku. Suara pria, mungkinkah itu... Papa?
”Hai, kau rupanya!!” ujar Kak Tae Wong sambil tersenyum. Ia meletakkan tas ranselnya di lantai dan maju untuk memelukku pelan. Aku tidak suka dengan caranya yang sok bersahabat. Sok dekat. Padahal sejak kecil, ia tidak pernah bersikap layaknya seorang kakak padaku.
”Ya, ini aku. Kau tampak biasa-biasa saja...” ujarku, bermaksud menyindirnya. Namun ia hanya tersenyum simpul, mengira aku mengajaknya bercanda.
“Setelah tiga tahun menetap di asrama. Kau dapat rekomendasi beasiswa ke Amerika, hebat sekali!” ia berdecak kagum saat melihat penampilanku. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya sambil menepuk pundakku. Aku memaksakan seulas senyum seperlunya.
”Baik,” jawabku. ”Di sana makanannya lebih enak,” sambungku. Daripada di rumah ini, sahutku dalam hati. “Mana yang lain?”
“Yang lain?” ia mengerutkan kening, tidak suka mendengar caraku menyebut orangtua seperti itu. “Mereka sedang keluar, mungkin malam nanti baru kembali,” jelasnya.
“Oh? Kalau begitu lebih baik aku ke kamar dulu...” ujarku sambil menarik ransel yang kuletakkan dekat tangga.
“Nam Gil!” ia berseru saat saat aku menaiki anak tangga rumah. “Nanti malam ikutlah makan malam dengan kami...”
”Kurasa, kalaupun aku mau,” jawabku. ”Semua tergantung kalian. Apakah kalian mengharapkan kehadiranku atau tidak...” suaraku terdengar parau saat mengucapkannya.
Biar bagaimana pun aku masih tidak bisa melupakan masa-masa kecilku yang buruk. Dan keberangkatanku ke Amerika saja tidak ada yang mengantar. Itukah yang namanya keluarga?
Besok aku sebaiknya mulai berkeliling untuk mencari universitas yang tepat untukku. Biar bagaimanapun, yang mereka tahu hanya soal kebutuhan uangku. Hanya itu yang mereka penuhi. Sisanya nol. Tidak ada yang kuharapkan dari mereka. Dan demikian pula mereka. Tidak ada yang mereka harapkan dariku.
Malam itu, aku menolak untuk makan di rumah. Lagipula tidak ada yang mengajakku makan. Setelah aku pulang, Mama menungguku di pintu depan dengan sorot mata penuh amarah. Apakah ia mau memarahiku lagi entah untuk keberapa kalinya??
”Kau tahu ini sudah jam berapa!?” tanyanya sambil menunjuk jam.
Aku mengikuti arah pandangnya dan menjawab dengan enteng. ’”Jam sepuluh?” tanyaku sambil tersenyum. Semakin aku tersenyum, Mama semakin dongkol.
“Kau berani melawan sekarang?” ia mengangkat tangan dan bermaksud untuk menamparku. Aku bergerak sedikit sehingga tangannya hanya menampar udara. ”Selamat malam,” ujarku sambil berjalan melewatinya.
Papa menatapku dari ruang tamu, Beliau menutup koran yang sedang dibacanya. Aku mengangguk pelan dan beliau membalas dengan anggukan pelan juga. Hanya itu salamku di rumah ini. Dan hanya sejauh itu pula keberadaanku di sini.
---to be continued---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar