Jumat, 19 Maret 2010

Fanfic The Future and the Past 5

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FIFTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Park Jung Chul: Kim Yong Soo: Jung Yong Soo
Moon No: Jung Ho Bin (memakai nama asli di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

”Kehadiranmu tidak diharapkan di sini...”
Hentikan!! Hentikan!! Hentikan!!! Aku menutup kedua telingaku, tidak berharap mendengarnya. Dan kemudian cambukan-cambukan terasa di tubuhku.

Sesaat kemudian, cambukan itu terasa semakin menyakitkan. Namun ketika kuangkat wajah dan kulihat diriku, bukan memar yang ada di sana, melainkan darah. Dan ketika kulihat dadaku, beberapa anak panah menghujam di sana. Nafasku terasa berat, dan kakiku tidak bisa kurasakan masih berpijak atau tidak. Dengan heran kurasakan tanganku terangkat, dan bibirku berulang kali bergetar, mengucapkan sesuatu.

─ Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

RRRRR…RRR…RRR…
Setengah mengantuk dan mengomel aku mengangkat kepalaku, tanganku terulur ke meja, mencari-cari handphoneku dan kemudian meletakkannya di telingaku. ”Ya?” tanyaku. Lalu tidak ada jawaban. Mataku kembali melihat ke layar. Nomor siapa ini?

”Hei...” akhirnya ada juga suara dari seberang. Aku menggeliat bangun lalu membuka gorden kamarku dan mengacak-ngacak rambutku. Pemandangan yang terasa sedikit janggal di mataku. Oh, ya, ini Seoul, bukan Amerika.

“Siapa?” tanyaku lagi. Lalu terdengar umpatan kesal sekaligus bercanda dari seberang. ”Apa aku mengenalmu?” tanyaku lagi.

” Nam Gil, kau benar-benar kelewatan...” terdengar decak kesal dari suara penelepon ku. Aku mengernyit bingung. ”Ini aku! Aku! Masa kau lupa pada sobatmu sendiri!!” ia tertawa renyah sementara otakku berusaha mengingat si pemilik suara.

”Masa masih tidak ingat?”

”Masih, ” sahutku malas-malasan. Aku menguap lagi dan lagi. Mungkin pagi ini minum kopi enak juga. Kemarin seharian merupakan hari menyebalkan. Bisa-bisanya bertemu Yeom Jong dan temannya, dan tambahan lagi, ditendang sama gadis yang tidak kukenal!!

”Akan kuberikan satu. Aku sering mengucapkan kalimat ini: ”aku tahu kebiasaanmu menjahili orang tidak akan hilang”, bagaimana sudah ingat?” tantangnya.

”Ahh!! Kau rupanya!!” aku tertawa sendiri setelah mengingatnya. Ternyata peneleponku adalah Jang Hee Wong. Teman satu kamarku saat aku pertama kali menginjakkan kaki di asrama saat masih berusia 4 tahun. Aku sering menjahili guru asrama bersamanya. Sayang sekali ia tidak ikut pindah ke Amerika bersamaku. Terakhir kali kudengar, karirnya sebagai aktor cukup sukses.

”Bagaimana kabarmu?” tanyaku sambil tersenyum. ”Bagaimana juga kabar Jung Yong Soo dan Go Yoon Hoo? Mereka baik-baik saja? Lalu bagaimana kabar ayahnya Yong Soo?”

Jung Yong Soo dan Go Yoon Hoo setahun lebih tua dariku. Sistem di asrama kami dulu menjadikan satu kamar terdiri dari 4 orang dimana dua di antaranya sebaya dan tidak. Yong Soo pernah suatu kali mengajak kami bertiga kabur dari asrama dan main di mall.

Siapa sangka di tengah jalan kami dipergoki ayahnya. Akhirnya, beliau bukannya memarahi kami, malah mengajak kami berlatih taekwondo untuk menghilangkan keinginan kami membuang-buang waktu. Menurut beliau, lebih baik energi kami yang berlebihan disalurkan ke olahraga. Dan walau awalnya enggan, harus kuakui, ternyata beliau guru yang baik. Dan alhasil, kini taekwondo sudah menjadi bagian hidupku.

”Hahaha.. mereka baik-baik saja. Bahkan mereka memaksaku untuk memintamu bertemu. Oh ya, Pak Jung, beliau yang membuatmu tertarik setengah mati sama taekwondo... dia baik-baik saja, sangat sehat...”

”Bagus kalau begitu. Kapan kita bertemu?” tanyaku santai. Rasanya tidak sabar ingin meminta Pak Jung mengajarkan gerakan-gerakan baru padaku. Dan aku ingin tahu sejauh mana kemajuanku. Soalnya di Amerika, tidak hanya taekwondo, aku juga mengikuti karate dan basket di tengah kesibukanku bekerja part time.

”Sekarang kau sudah kuliah?” tanyanya.

”Belum, tentu saja. Sabtu besok baru di test, doakan aku!!” gurauku, disambut tawa Hee Wong di seberang sana.

“Kau tidak perlu didoakan! Sialan, masih suka merendah saja kau! Dulu saja waktu sekelas denganmu aku dapat peringkat sepuluh dari bawah, sementara kau selalu nomor satu di kelas!! Sampai-sampai aku tidak percaya kau tidak menyontek! Soalnya aku tidak penah melihatmu belajar!”

”Hahaha... aku kebetulan saja ingat sama apa yang diajarkan guru saat ujian..” elakku. Dan kami sama-sama tertawa. ”Tapi, darimana kau tahu nomorku ini?” tanyaku.

”Oh, akan kujawab. Tapi jangan marah,” ujarnya waspada.

”Baiklah, akan kucoba,” tukasku bercanda. Ia menahan nafas dan sepertinya mempertimbangkan perlu mengatakan sebenarnya atau tidak. ”Aku sedang menunggu,” ujarku mengingatkannya.

”Oke, tadi pagi kutelepon rumahmu dan Kakakmu, Tae Wong yang mengangkat. Dan yah, dia yang memberitahuku...”

”Oh, Kakakku?” tanyaku. Aku bisa merasakan betapa janggal lidahku mengucapkan kata itu. Wajar mungkin, selama ini aku tidak merasakan kedekatan kami.

”Aku tahu hubungan dengan keluargamu sepertinya tidak begitu baik,” ujarnya hati-hati. ”Tapi paling tidak, akhirnya aku jadi bisa menghubungimu!” ia tertawa. ”Oh, bagaimana kalau besok, sesudah tesmu kita makan-makan?” tanyanya.

Aku mendekatkan telingaku, bingung. ”Apa katamu? Besok? Memangnya sekarang hari apa?” tanyaku lagi.

”Jumat,” jawabnya enteng. Aku menatap layar handphoneku dengan tidak percaya. Lalu segera mataku tertuju ke kalender. Dan lagi-lagi kulihat tanggal di layar handphoneku. Astaga! Secepat ini waktu berlalu? Aku bahkan tidak melakukan persiapan apapun untuk tes masuk besok.

”Oke, besok setelah tes, kita makan-makan. Sekarang aku mau belajar dulu...” dalam satu gerakan cepat aku mematikan pembicaraan. Kalau tes besok aku gagal, entah apa yang akan dikatakan keluarga ini lagi.


─ Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Kau menendangnya?!” Ye Jin memandangku dengan mata terbelalak. Aku buru-buru menggunakan kedua tanganku untuk menutup mulutnya.

Saat ini malam sudah larut. Kedua orangtua kami seharusnya sudah tidur nyenyak. Tapi aku dan Ye Jin jelas belum. Kami selalu mengobrol dan berbagi cerita pada malam hari. Sebagai anak kembar, hampir tidak ada rahasia apapun di antara kami.

”Sst!!!” bisikku sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir. ”Habisnya... mau bagaimana lagi?” kali ini aku hanya mampu mengangkat bahu dengan bingung.

”Dari ceritamu saja aku rasa kau duluan yang bersikap menantangnya!!”

”Aku tidak menantang!!” tukasku kesal. ”Aku hanya sebal karena dia menganggapku banci. Jadi aku menatapnya begini!!” aku mengulangi caraku menatap pria itu ke arah Ye Jin. ”Dan aku bertanya padanya, ’menurutmu bagaimana’?’ Cuma itu saja kok!!” belaku.

”Kau tidak sadar? Sikapmu tadi jelas-jelas kelihatan menantang. Aah, aku tidak tahu deh,” ia menghela nafas panjang. ”Padahal wajahmu manis, kenapa tingkahmu kadang susah diduga sih?”

Aku mendengus kesal. Begitulah cara Ye Jin mengatakan kalau sikapku agak maskulin. Ia pasti akan mengatakan sikapku susah diduga. Oh ya, secara halus, tapi apa yang ia maksud, aku sangat memahaminya.

“Jadi bagaimana? Menurutmu ia marah padaku?”

Ye Jin menatapku kaget lalu mengeluarkan senyuman terpaksa. ”Kalau ada cowok yang nggak marah karena ditendang bagian vitalnya, kurasa otaknya agak nggak beres…”

“Baik, baik, itu salahku…” ujarku sambil menunduk. “Habisnya ia bersikap seolah-olah mau membuka semua bajuku! Itu kan refleks!!”

“Kan ia sudah mengatakan kalau ia ingin membuktikannya! Kurasa yang ingin ia lihat hanya reaksimu! Bukannya benar-benar ingin melakukannya!” Ye Jin bergerak-gerak dengan gelisah.

”Aduh, kenapa tidak mengaku saja sih kalau kau cewek! Dasar aneh!” akhirnya ia mengatakannya juga. ”Padahal kau punya otak pintar dan selau rebutan peringkat denganku. Kenapa bisa linglung begini?”

Aku hanya mampu terpekur. Diam. Benar juga ya? Kenapa dengan diriku? Tidak biasanya aku bersikap seaneh ini. Biasanya aku selalu bisa berpikir logis dalam situasi sesulit apapun. Dan biasanya aku bisa menjaga kepalaku tetap jernih. Memandang angkuh dan mencibir? Jelas itu bukan kebiasaanku.

Kalau dipikir-pikir, hanya di depan cowok itu aku jadi salah tingkah begini. Apa karena wajahnya yang tampan itu? Ah, kurasa tidak juga. Begitu banyak pria di luar sana. Tidak sedikit yang lebih tampan darinya.

Tapi, entah mengapa ada magnet aneh yang membuatku merasa konyol saat berdiri di depannya. Pokoknya, aku jadi bingung dengan diriku sendiri. Bisa-bisanya perbuatanku jadi gak logis begini!!!

”Yah sudahlah,” sahutku sambil menarik nafas panjang. ”Toh kemungkinan besar nggak akan ketemu dia lagi!!”

”Semoga saja begitu...” tutur Ye Jin cemas. Ia memandangku dengan pandangan menyelidik.

Dan ternyata, semua dugaanku salah. Atau setidaknya begitu, karena ternyata, kami bertemu lagi. Dalam situasi yang jauh berbeda.
---to be continued---

Tidak ada komentar: