Sista2 sekalian, aku membuat cerita FF ini murni imajinasi aku, jadi untuk tempat2 kunjungannya, atau bahkan nama daerahnya, kalau ngga sesuai sama keadaan di korea sana, mohon maklum ya...
Akhir kata. selamat membaca ya..^^
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWELFTH SCENE
BIDAM
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Apa?” Tanya Alcheon, nyaris tidak mempercayai pendengarannya sendiri. “Kau yakin kau juga memimpikan hal yang sama?” ia berusaha menekan suaranya, namun tidak dapat dipungkiri, terdapat kebimbangan dalam nada suaranya.
“Ya, dalam mimpiku, aku berkedudukan sebagai putri… dan seorang pria, prajurit, mungkin kepala prajurit…?” tanyanya pada diri sendiri. “Entahlah, tapi ia selalu berada di sampingku. Seorang prajurit...” ChenMyeong berusaha mengingat-ingat nama yang sering didengarnya dalam mimpi.
”Bicheonjido!!” seru mereka bersamaan. Dan tangan ChenMyeong otomatis terangkat ke mulutnya, terkejut. ”Resimen kolong langit?” tanya mereka hampir bersamaan lagi.
”Kebetulan yang aneh, bukan?” tanya Alcheon sambil tersenyum kikuk. ”Aku juga ingin bisa mencintai seseorang seperti itu...”
”Kurasa...” ChenMyeong menarik nafas pelan, lalu tersenyum. ”Kurasa ini bukan kebetulan,” ujarnya dengan semburat kemerahan memenuhi pipinya.
”Eh?” Alcheon menahan senyumannya yang nyaris melebar. ”Apa maksudmu itu?” tanyanya gugup. Tapi, chenMyeong sudah terlanjur mengalihkan topik pembicaraan.
”Lihat! Itu atasanku, Yushin-shi, ayo kukenalkan!” ujarnya sambil berlari kecil menghampiri Deokman , seorang pria yang kemungkinan besar bernama Yushin, dan BiDam.
”Apakah kau menikmati perjalananmu?” tanya Yushin sambil tersenyum sopan. BiDam mengangguk mengiyakan. ”Benarkah?”
”Anda manajer yang baik. Saya percaya anda telah melakukan yang terbaik dalam mendidik dua karyawati anda. Saya sangat terhibur dengan perjalanan ini, dan saya harap, lain kali kita bisa menjalin kerja sama lagi...” ujar BiDam sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Yushin menerima uluran tangan itu dengan cepat. Wajah mereka tersenyum, namun mata mereka mengatakan sesuatu yang lain.
-----------------------------------============================-----------------------------------------------”Apa
"Ada sesuatu yang terjadi? Wajahmu terlihat begitu senang...” tanya BiDam sambil memandang sobatnya. Alcheon hanya tertawa kecil, tidak menjawab. ”Kenapa akhir2 ini orang di sekitarku suka pelit dan nggak mau cerita padaku?” protes BiDam sambil memonyongkan bibrinya, membuat pipinya terlihat chubby.
”Nanti juga kuberitahu...” bisik Alcheon. Mereka berdua saat ini duduk di bagian belakang minibus. ChenMyeong sesekali mencuri pandang ke belakang dan tersenyum saat tidak sengaja matanya bertatapan dengan Alcheon.
BiDam menatap ke depan dengan perasaan aneh di dadanya. Di kursi depan, Deokman dan Yushin tidak hendti2nya terlibat pembicaraan yang sepertinya seru. Melihat Deokman dan Yuhsin tampak begitu akrab dan nyambung dalam ngobrol, BiDam merasa tidak nyaman.
”Sekarang kita mau kemana, Deokman-shi?” tanyanya setengah berteriak. Ia tersenyum senang saat gadis itu menghentikan pembicaraannya sesaat dengan Yushin. Minimal aku masih diakui keberadaannya, pikirnya.
”Kita akan ke daerah bekas camp perang dimana pemberontakan terakhir berhasil diatasi...” jawab Deokman dengan bersemangat. Bidam tersenyum menanggapi. ”Apakah tempatnya begitu jauh?” tanyanya.
”Kita sudah hampir sampai,” sahut Yushin, dan sejenak dua pria itu bertatapan. Keduanya menyunggingkan senyuman.
”Terimakasih untuk jawabannya,” tukas BiDam sambil memamerkan senyuman terbaiknya. Dan kuharap bukan kau yang menjawabnya tadi.
Tak lama mereka tiba, dan begitu turun, BiDam lama terdiam di pintu. Kakinya terasa begitu kaku karena ada begitu banyak perasaan menyelusup di dadanya. Ia ingat, walaupun sedikit berbeda, setiap inci pemandangan ini seolah sedang membawanya ke alam mimpi.
”Deokman-shi...” ujar BiDam dengan suara pelan. Gadis itu menoleh, menunggu kelanjutan kalimatnya. ”Apakah aneh kalau aku merasa pernah berada di sini?” tanyanya dengan suara berat dan dalam, nyaris seperti menyelidiki pikirannya sendiri.
Deokman tidak menjawab. Pikirannya juga nyaris sama dengan BiDam. Ia merasa perasaannya begitu aneh, seperti ada kesedihan mendalam yang tidak diketahui penyebabnya. Namun tiap kali ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru tempat itu, ada kepedihan memenuhi dadanya.
Tanpa sadar, air matanya bergulir. Ia terus berjalan ke tengah lapangan. Ke tempat dimana terdapat banyak tanah-tanah berbukit dengan tonggak-tonggak kayu di sana. Makam prajurit dan orang2 yang pernah meninggal di tempat ini. Begitu banyaknya gundukan tanah itu, namun entah kenapa Deokman terfokus pada satu gundukan yang tidak menonjol, yang terletak sedikit jauh dari lainnya, namun nalurinya begitu kuat untuk menghampiri tempat itu.
BiDam menatap Deokman yang kini berada jauh darinya. Dan matanya terpaku pada gundukan yang sama. Tiba2 jantungnya berdentum tidak karuan. THUM! THUM! THUM! Begitu kuat hingga menyakitkan tulang2nya. Ia jatuh berlutut, menahan sakit di dada dan kepalanya.
”BiDam?!” Alcheon dan Wolya dengan panik menghampiri BiDam, tetapi BiDam menolak uluran tangan itu. Dahinya dipenuhi keringat, dan wajahnya begitu pucat. Dengan gontai ia berdiri, lalu memandang Deokman yang masih berjalan menghampiri gundukan yang juga menarik perhatiannya.
”Tiga puluh langkah...” ujarnya sambil terseok-seok melangkah. ”Tiga puluh langkah menuju Deokman...” suaranya kacau dan terdengar parau. Ia berjalan seperti kesetanan. Tidak tahu apa yang membimbingnya. Pemandangan mulai berputar di sekelilingnya.
”Dua puluh langkah...” desisnya. BiDam bahkan nyaris tidak mengenali suaranya sendiri. Ia tidak tahu dorongan apa yang membawanya menghampiri gadis itu. ”Sepuluh...” bisiknya saat jarak mereka semakin dekat. ”Sepuluh langkah...” suaranya seolah menjadi satu2nya hal yang bisa membuatnya tidak kehilangan kesadaran.
”Deokman...” BiDam seolah harus mengeluarkan seluruh tenaganya untuk memanggil gadis itu. Namun yang keluar hanya suara yang lirih, nyaris seperti bisikan. ”Deokman...”
Deokman menoleh ketika mendengar ada yang memanggilnya. Lama mereka berpandangan. Atmosfir di sekeliling mereka seolah menjadi berat dan menyesakkan. Mereka nyaris tidak bergerak, dan keduanya terpaku di tempatnya berdiri.
BiDam menatap gadis itu. Wajahnya penuh dengan air mata. Dan dengan terseok-seok, ia meneruskan langkahnya. ”Deokman...” desahnya sambil terus mengulurkan tangan.
Sekelebat ingatan menembus pikiran dua pribadi itu. Keduanya memandang satu sama lain dengan pandangan penuh kepedihan. ”Aku... begitu mempercayaimu...” ujar Deokman, tidak yakin dengan apa yang ia ucapkan. ”Aku begitu mempercayaimu... Tapi kenapa?” tanyanya dengan suara lirih dan air mata yang mengalir deras.
BiDam menggeleng, lalu tersenyum lemah. ”Maafkan aku...”
Deokman menggeleng sedih. ”Apakah ini akhir kita berdua?”
BiDam lagi-lagi hanya mampu menggeleng. ”Aku mencintaimu... Deokmanku..” bibiknya dengan senyumannya.
”Aku mencintaimu...” gumam Deokman dengan suara yang nyaris putus asa. ”Sangat... mencintaimu...”
Ia maju dan menghapus air mata gadis itu, lalu tersenyum puas. ”Akhirnya... aku bisa memelukmu...” BiDam maju selangkah dan diiringi dengan Deokman. Kedua tangan mereka bertautan, namun sejenak kemudian mereka berdua rubuh dan pingsan.
ChenMyeong, Yushin, Alcheon. Dan Wolya dengan terburu-buru menghampiri keduanya. ”apa yang terjadi? Sebenarnya apa yang terjadi di sini!?” tanya Yushin dengan suara parau, meminta penjelasan. Namun semua yang ditatapnya hanya bisa membalas dengan pandangan yang sama bingungnya. Mereka tidak memahami arti semua ini.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
to be continued-----------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar