Senin, 03 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 16

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIXTEENTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
King Jinpyeong (Duk Man and Chun Myung's father) : Jo Min Ki: Lee Min Ki
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Belakang yoo!!” seru Sung Pil. ”Kanan yoo!” serunya lagi. Ia mati-matian mengeluarkan sisa-sisa tenaganya untuk menolongku.

Kondisiku semakin terdesak. Tampaknya mereka tahu wilayah bahuku selalu kulindungi, dan wilayah itulah yang menjadi target serangan mereka. Dasar, brengsek!!

”Belakang!!! Awas, Nam Gil!! Aargh!!” dan kemudian suaranya menghilang. Kupalingkan wajahku sedikit dan kurasakan sudut rahangku mengeras. Mereka memukulinya! Hah! Sialan!! Tepat saat aku lengah, sebuah tongkat dipukulkan ke kepalaku.

”Nam Gil!” teriak Sung Pil mati-matian. Aku bangkit sambil memegang bagian kepalaku. Tanganku memerah karena darah. Sialan...

”Maju! Kalian maju semua! Aku tidak akan segan-segan!!” teriakku. Aku mengambil posisi di depan dinding sehingga tertutup kemungkinan untuk menyerangku dari belakang. Mereka baju berbarengan. Dengan olah tubuh dari Guru Jung, aku bisa mengatasinya, walaupun sedikit banyak, beberapa pukulan keras masuk ke rusukku.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

PRANGGGG!!!

“Aduh Yo Won, hati-hati dong…” Ye Jin mengintip dari balik bantal dan menggerutu. “Tuh, susunya tumpah ke mana-mana...”

“Aneh, kenapa tanganku licin begini sih?” omelku, kesal. Terpaksa kupunggut pecahan gelas kaca itu dan kuambil kain lap untuk mengepel daerah yang terkena tumpahan susu.

“Aduh!!” seruku. “Ye Jin, tolong ambilkan plester dong....”

”Oke, oke...” jawabnya malas. Ia mengambilkan alkohol sekaligus, dan membantuku memakai plester itu. ”Wajahmu pucat sekali, kenapa?”

”Kenapa ya? Entahlah... perasaanku tidak enak. Itu saja...” jawabku sambil mengamati tanganku yang terluka.


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Nam Gil? Nam Gil?” kurasakan suara Sung Pil terdengar sangat jauh di telingaku. ”Kau dengar aku, yoo? Bertahanlah Nam Gil yoo...”

”Aku... tidak apa...” jawabku, berusaha mengembalikan kesadaranku. Di sekeliling kami ada begitu banyak pepohonan tinggi. Bukan lagi jalan sempit tadi.

Aku hanya ingat terakhir kali memukul dan menendang. Beberapa di antara mereka roboh, dan beberapa masih berdiri walaupun tampaknya mereka sama lelahnya denganku. Kemudian, samar-samar kudengar teriakan seseorang, ”Polisi!” dan ada sirine mobil patroli. Dan semua pria itu lari tunggang langgang.

”Apa tadi polisi datang?” tanyaku sambil mengetuk-ngetukkan tanganku ke kepala. Rasanya pusing sekali. Apa aku kehilangan banyak darah?

”Tidak, aku mencari kesempatan untuk menggunakan ringtone handphoneku, yoo...” jawabnya malu

Aku tidak bisa menahan tawaku. Ternyata ia berhasil juga menipuku. ”Kadang-kadang kau pintar juga.... Kau membuat kita menang hari ini...” ujarku susah payah.

”Kau yang menang,” ujarnya terisak. Kurasakan bahunya yang memapahku bergerak-gerak karena menangis. ”Maaf...maaf...aku tidak bisa... membantu....yoo...”

”Dasar bodoh,” kurasakan senyum mengembang di bibirku. ”Kau bisa membantuku...”

”Bagaimana?” tanyanya kikuk.

”Berhenti di sini... turunkan aku...” pintaku. Dan ia menghentikan langkahnya. Kutatap jalan di sekeliling kami. Rupanya ia sudah memapahku cukup jauh. Kami sudah memasuki daerah perumahan.

“Ambil...handphone dari saku celanaku...” kurasakan keringat dingin atau darah atau apapun itu mengalir di kepalaku. “Telepon... siapapun..dari temanku...” nafasku semakin berat, dan kemudian kesadaranku menghilang.

“Nam Gil? Nam Gil?! Jangan yoo!! Jangan pergi yoo!!” seruan Sung Pil terdengar jauh... dan semakin jauh.... dan kemudian, semuanya.. gelap...


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Jangan yoo!! Jangan pergi yoo!!” seru seseorang.

“Berisik sekali sih!!” gerutuku sambil melempar bantal yang menutupi kepalaku. ”Itu suara film ya?” tanyaku lagi. Ye Jin tidak menjawab, hh...rupanya dia sudah tidur.

Mengesalkan sekali. Apa tetangga memutar volume besar ya? Sebaiknya aku ke rumah mereka dan mengetuk pintu untuk mengingatkan.

”Yo Won? Mau kemana?” tanya Mama sambil mengamatiku melangkah menuju pintu keluar. Rupanya Mama masih belum tidur.

“Mama belum tidur?” tanyaku sambil mengamati gaun tidur Mama.

”Belum, Mama mau minum susu hangat dulu... Rasanya susah tidur. Kamu mau kemana Yo Won? Sudah malam begini...”

”Aku mau bilang sama tetangga, suruh kecilin voulme TV-nya. Mengganggu sekali, kan!” gerutuku.

”Ya sudah, mereka memang menyetel terlalu keras kadang-kadang... ingatkan saja, tapi yang sopan!!” ujar Mama mengingatkan.

”Ya, aku tahu...” sahutku. Tetangga kami sudah lanjut usia, dan rasanya cukup wajar kalau sehari-hari mereka menyetel televisi dalam volume besar. Aku sih maklum kalau dilakukan siang hari. Tapi, kalau malam?

”Nam Gil!! Nam Gil!!” seru suara itu lagi. Tuh kan, volumenya besar sekali. Loh? Film apa sih itu? Kok bisa-bisanya pakai nama Nam Gil untuk penokohan karakternya.

Aku memutar kunci pagar dengan kesal. ”Tolong kecilkan volumenya, ya, Opa... soalnya sudah malam....” aku mencoba mengatur suaraku, dan berpikir kalimat mana yang lebih sopan untuk kugunakan. Dan kemudian, begitu kakiku melangkah keluar pagar, aku terkesiap kaget melihat sosok yang terbaring di depan pagarku.

”Kau!? Sung Pil? Kim...Nam ...Gil...?” seruku kaget. Tidak kusangka dua pria ini yang membuatku mengira tetanggakulah yang memutar volume terlalu besar.

”Sedang apa kalian di sini!?” tanyaku. Dan mataku membelalak kaget melihat wajah keduanya lebam seperti habis kena pukul.

”Dia kenapa?” tanyaku lagi, padahal Sung Pil belum menjawab kalimatku. Kulihat Nam Gil tergeletak pingsan dalam pelukan Sung Pil yang terus menangis.

”Tolong Nam Gil! Tolong dia!!” isakan Sung Pil semakin keras dank eras.

”Ambulans! Kau sudah menelepon ambulans?!” tanyaku, ikut-ikutan merasa cemas.

”Belum yoo... Kami tidak tahu daerah apa ini... Dan temannya, sedang dalam perjalanan kemari yooo...” ia terisak-isak sambil memasang wajah memelas ke arahku.

”Tunggu di sini sebentar! Akan kuhubungi ambulans!!” ujarku, lalu secepat kilat masuk dan menyambar telepon di meja ruang tamu.

“Ya ampun, Yo Won!” seru Mama dari dapur. “Pelankan langkah kakimu, dong! Kan sudah malam!”

”Iya...” sahutku. ”Halo? Ambulans? Tolong ke rumah saya sekarang, sekarang juga!! Tempatnya di....” begitu aku selesai menjelaskan alamatku, terdengar suara tangisan Sung Pil semakin keras.

”Yo Won? Kamu belum bilang ke sebelah, suruh kecilin volumenya?” Mamam bertanya lagi.

”Sudah...” jawabku asal, lalu aku berlari ke lemari dan mengambil kotak P3K yang Papa letakkan di sana.

”Kenapa dia?” Nafasku terengah-engah begitu tiba di depannya. Dengan cepat kubuka kotak itu dan kukeluarkan beberapa peralatan yang mungkin diperlukan.

”Kepalanya berdarah banyak sekali, yoo... dan bahunya juga yoo...” Sung Pil sibuk menekan kaosnya ke kepala Kim Nam Gil.

Aku memandang mereka dengan marah. ”Kalian bertengkar lagi ya? Bahunya kan belum sembuh!!”

”Bukan Nam Gil yang salah, yoo... Dia hanya membelaku, yoo... Supaya, aku tidak dihabisi..yoo...” jelasnya.

Aku menatap cowok itu dengan dahi berkerut. Darahnya terlalu banyak keluar, sampai-sampai kaos Sung Pil memerah seluruhnya.

”Dia tidak akan mati kan, yoo? Tidak akan, kan yoo?” tanya Sung Pil sambil menangis lagi.

”Sudah. Jangan berisik! Bantu aku!! Pegang kepalanya! Aku mau membalut lukanya! Setelah itu bahunya!”

pikiranku semakin kalut dan semakin takut. Semoga pria ini bisa bertahan. Setidaknya sampai ambulans tiba...

”....” Bibir pria itu bergerak-gerak, dan tangannya terulur padaku, Mataku terasa panas, dan bisa kurasakan tetesan air mata mengalir jatuh di pipiku. Tatapan matanya begitu menyedihkan. Dan detik itu juga, aku ingin berlari menyonsongnya dalam pelukanku. Tapi, tiba-tiba ia rubuh... dan saat itu, kurasa dunia runtuh di depanku.

”Yo Won?” tanya Sun Pil bingung. Ia memandangku dengan matanya yang basah oleh air mata. ”Kau kenapa? Pucat sekali?” tanyanya.

“Yo Won!!” panggilan Mama terdengar dari dalam rumah. “Sudah malam! Cepat masuk! Kunci pintunya!!” tapi aku terlalu bingung untuk menjawab.

Kilasan apa itu? Kenapa? Kenapa, setiap kali ada Kim Nam Gil, kilasan itu selalu dan selalu muncul? Kenapa mata pria itu begitu hangat sekalipun tubuhnya yang gontai berlumuran darah di depanku?

“Yo Won! Mama sudah bilang berapa kali!?” protes Mama sambil melangkah keluar pagar. Aku memandangnya dengan wajah pucat pasi, tidak bisa bicara apapun. ”Siapa kalian!?” tanya Mama dengan wajah terkejut.

”Anu... Nama saya Sung Pil, yoo... Dan dia, teman saya yoo...” jawab Sung Pil ragu-ragu.

”Dia temanmu?” aku hanya memandang Mama dengan pandangan kosong. Kilasan barusan membuat otakku jadi hampa. ”Kau mengenalnya? Yo Won!”

”Ya,” jawabku, akhirnya. ”Aku mengenalnya... dia temanku...” dari jauh, terdengar raungan sirine ambulans, disusul suara deruman motor.


--to be continued--

Tidak ada komentar: