-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTIETH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
“Sekarang… sebaiknya kemana ya?” tanyaku pada Sung Pil yang sedari tadi diam.
Kami baru saja melewati loket pembayaran dan menyadari kalau semua tagihan rumah sakitku sudah dilunasi oleh keluarga yang tadinya keluargaku.
“Ke rumahku, yoo…” tawarnya.
Aku tertawa dan menolak. “Tidak bisa, Yeom Jong pasti sering ke rumahmu. Aku tidak mau memancing keributan.”
“Kau benar, yoo…” ia terdiam lalu mengangguk paham. “Apa kau akan mengambil barang dari rumahmu?” tanya Sung Pil sambil mengamati tas ranselku.
”Barangku hanya ini,” jawabku sekenanya. ”Semua yang ada di tas ini termasuk tas ini sendiri kubeli dari hasil kerja part-time ku di Amerika. Sisanya semua milik mereka, bukan hakku untuk mengambilnya...”
”Begitu, yooo?” ia menatapku dengan mata berkaca-kaca, lalu mengumpat sendiri. ”Aduh! Kelilipan! Ini bukan air mata, yoo!!” ia buru-buru menghapus air matanya.
”Dasar kau...” aku tertawa sambil menepuk pundaknya. Di depan rumah sakit, tiga sahabatku sudah menunggu.
”Hai,” sapaku sambil memaksakan tawaku. Rasanya perasaanku mulai tidak nyaman untuk terus bersikap wajar.
”Kenapa formal sekali sih?” tawa Hee Wong sambil maju dan merangkul bahuku. ”Mereka sudah menjahit lukamu, bukan?” ia memandangku dengan tatapan menyelidik.
”Sudah,” jawabku sambil mengangkat bahuku dan menggerakkannya. ”Kurasa tidak ada masalah...”
”Kau akan tinggal di mana, Nam Gil?” tanya Yoon Hoo sambil maju dan mengambil tas dari tanganku, membantu membawakannya. Aku tersenyum berterimakasih.
”Entahlah, yang jelas, tidak di rumah itu lagi...” aku menutup mata dan berusaha mengenyahkan setiap inchi dari pikiran buruk yang memenuhiku setiap mengingat rumah itu. Rumah tempatku dibesarkan dengan buruk, karena aku adalah pembunuh?
”Kau mau tinggal bersamaku, Nam Gil?” tanya Yoon Soo ambil tersenyum. Ia meninju dadaku pelan dan tertawa. ”Kalau kau tinggal, kau bisa membantuku memasak. Asal kau tahu, aku dan Papa sama sekali tidak bisa masak...”
”Hei, aku juga cuma bisa beberapa jenis masakan yang simple saja tahu... Jadi jangan berharap banyak...” jawabku sambil tersenyum mencemooh.
”Dan kau, bisa membantuku lari dari latihan harianku. Kau bisa dilatih sehari 24 jam oleh Papaku. Asyik, bukan?” tawanya terlihat jahil, namun tawarannya memang menggiurkan
”Tapi, apa Guru Jung setuju? Aku... tidak mau merepotkan orang lain lagi...” pandanganku jatuh di tanah. Rasanya lelah sekali terus berusaha bersikap ceria. Mereka punya keluarga, dan aku tidak.
”Tentu saja tidak merepotkan! Lagipula, sejak kapan kita jadi teman?” ujarnya. Aku menatapnya dengan bingung.
”Jadi kita semua yang di sini bukan teman?” tanyaku, tidak yakin.
”Ya, kita bukan teman...” ia menatapku tajam. ”Kita adalah keluarga, bukan? Hee Wong, Yoon Hoo, aku, kau, dan juga... Sung Pil...” ia tertawa sebelum menyertakan Sung Pil dalam grup keluarga kami.
“Kita keluarga. Dan tak peduli apapun. Aku dan mereka yang di sini tidak akan meninggalkanmu, Nam Gil...” ujar Hee Wong dan Yoon Hoo bergantian.
“Atau… kau lebih suka tinggal dengan Yo Won?” celetuk Yong Soo tiba-tiba.
“Wew, apa maksudmu dengan pertanyaan tidak jelas itu?” tanyaku, terkejut. Bisa-bisanya ia berpikiran begitu. Dan kenapa harus gadis itu?
”Soalnya tadi saat kami datang di sini, kulihat ia bersama temannya berjalan keluar dari sini... Kurasa ia habis menemuimu...” tebaknya.
”Benar ia habis menemuiku, tapi ia tidak menawarkan untuk tinggal dengannya...”
Kutatap Sung Pil, memberinya kode untuk tidak membocorkan kalimat gadis bernama Yoo Jin yang memintaku tinggal bersamanya. Sung Pil mengangguk pelan, tampaknya ia paham. Sekarang bukan saat yang tepat untuk bicara mengenai orang yang tiba-tiba mengakuiku itu.
”Jadi, kau akan tinggal bersama Lee Yo Won kalau ia menawarkan rumahnya?” tanya Yoong So lagi. ”Tapi asyik juga, gadis di rumah itu kan cantik-cantik...”
”Sialan kau!” gerutuku. ”Memangnya dia siapaku?” tanyaku dengan nada sengit.
”Barangkali... dia gadismu?” sambung Hee Wong.
”Hentikan itu, tidak lucu....” kukibaskan lenganku, berharap mereka berhenti menggodaku.
”Lantas, kenapa wajahmu memerah?” tanya Yoon Hoo sambil meneruskan menjahiliku. ”Sepertinya tebakan kami benar...”
”Sialan! Wajahku merah karena kita terus mengobrol di bawah matahari tahu! Panas, tahu gak!!!”
Terpaksa kuakui, waktu nama gadis itu disebut, aku sempat mengingat caranya menangis di dadaku saat pertandingan basket itu kumenangkan, dan saat ia membalut lenganku. Oh, gawat, kenapa lagi nih jantungku? Kayaknya aku perlu ke dokter lagi nanti...
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─
“Apa sih maksudmu?” lagi-lagi aku mengomel. “Kalau tahu begini, aku tidak akan mengajakmu!!”
“Kau sudah mengatakan kalimat terakhir sepuluh kali hari ini, Yo Won…” sahut Yoo Jin sambil asyik memencet tombol handphonenya.
“Dan aku tidak memintamu menghitungnya. Sekarang jelaskan. Apa maksudmu? Jadi cowok itu bukan anak kandung di keluarganya, tapi di keluargamu?”
Yoo Jin meletakkan handphonenya dan menatapku dengan pandangan tidak sabar. ”Kau tidak perlu ikut campur dalam urusan keluarga kami,” ia menaikkan alisnya sedikit. ”Tapi kau boleh menebak, dan akan kujawab ya atau tidak. Dan ya, kalimat yang kau ucapkan barusan benar. Dan tidak, jangan bertanya apapun lagi...”
Aku tidak bisa mengalihkan pandangan mataku dari tatapannya yang tajam dan dingin. ”Paham?” tanyanya. Dengan terpaksa aku mengangguk. Mungkin, aku terlalu ingin tahu. Kenapa ya? Padahal cowok itu tidak ada hubungan apapun denganku.
”Bagus kalau begitu...” ia mengenakan headset dan mulai memutar beberapa musik kesukaannya.
”Ehm, aku mau bertanya lagi... tapi bukan yang seperti tadi...” ujarku.
”Oke, apa?” tanyanya sambil melepaskan headsetnya.
”Apa kau... senang ia menjadi kakakmu?”
Yoo Jin menatapku seolah aku baru saja mengajukan pertanyaan terbodoh di dunia.
”Kau gila ya? Dia tampan, tinggi, dan keren. Mana ada yang tidak mau dekat dengannya, sekalipun hanya sebagai adik? Aku rasa, lebih dari sekedar senang. Aku bangga kalau ia benar-benar menjadi kakakku....”
”Begitu?” sahutku dengan pandangan menerawang.
”Jangan khawatir, Yo won!!” senyumannya mengembang tiba-tiba. “aku tahu diri kok!! Mana mungkin aku menyukai Kakakku sendiri! Kupastikan akan kujodohkan ia denganmu kalau dia benar mau menjadi kakakku nantinya. Janji deh!!”
“Idih, janji macam apa itu! Siapa juga yang sudi!!”
“Eits! Jangan bohong! Lihat, kenapa wajahmu semerah itu? Tenang, sebagai sesama perempuan, aku paham perasaanmu, oke!”
“Apa-apaan, sih! Itu sih bukannya paham, tapi malah tidak mengerti apa-apa!!!” gerutuku kesal. Tapi, semakin menggerutu, Yoo Jin semakin tertawa terpingkal-pingkal melihatku.
--to be continued--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar