Kamis, 13 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 26

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY SIXTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
Desi : Uhm Dae Chi
Karinna: Kim Rae Na
Shendi: Han Shin Woo
Rin: Na Rin Young
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Permisi,” ujar Kim Nam Gil sambil mengetuk pintu ruang UKS. Tidak ada jawaban. Mungkin memang tidak ada seorang pun di sini. Hari Sabtu, Seharusnya guru jaga memang libur.

“Dikunci,” keluh Kim Nam Gil. “Kau tahu siapa yang memegang kuncinya?” tanyanya padaku.

“Coba kubuka,” ujar Yoon Hoo. Ia maju dan membuka pintu. Kami sama-sama terkejut ketika tahu-tahu sebatang sapu mengarah tepat ke arah kami.

”Kyaa!!” seru Dae Chi.

”Awas!!” jerit Rae Na.

Otomatis kututut mataku sambil berusaha menghindar. Dengan gerakan sigap,, Kim Nam Gil menggunakan bahunya untuk melindungiku sementara Yong Soo yang gerakan refleksnya cukup terlatih, menangkap gagang sapu itu dengan kedua telapak tangannya.

”Bahaya sekali, Ye Jin...” komentar Yong Soo sambil tersenyum. ”Sudah kukatakan bukan, kami akan menunggumu di UKS?”

”Aku kan tidak tahu kalau kalian yang datang...” Ye Jin muncul dari balik pintu dengan wajah malu. Ia menunduk dan tersenyum grogi ke arah semuanya yang berada di depan pintu. ”Maafkan aku...”

”Sudahlah, tidak apa-apa...” tawa Yoon Hoo. Padahal tadi wajahnya terlihat paling kaget. Dan belum apa-apa, ia sudah paling cepat menghindar dan menarik Rae Na dan Dae Chi mundur. Cowok itu kelihatan sangat menjaga penampilannya. Mungkin ia benci yang kotor-kotor seperti sapu.

”Ternyata kau cukup berani juga. Hebat!” puji Hee Wong kagum, membuat wajah Ye Jin semakin memerah.

“Yo Won!!” Ye Jin yang feminin langsung menjerit histeris saat melihat wajahku. “Siapa yang tega memukulmu?!” tanyanya lantas menghampiriku. Ia mengambil kotak obat dan membukanya.

“Salahku,” gumam Kim Nam Gil sambil membantu Ye Jin memilah-milah obat itu.

Ye Jin memandangnya dengan tajam. “Kenapa setiap kali ada masalah denganmu, Yo Won selalu saja terlibat?” tudingnya sambil berdecak marah. “Bisa nggak kau jangan mencari masalah dan menyulitkan Yo Won terus?”

“Aku juga tidak pernah berkeinginan untuk menyulitkannya,” sahut Kim Nam Gil sambil memandang ke arahku. Spontan kupalingkan wajahku.

Tidak, tolong jangan tatap aku dengan pandangan seperti itu.

”Sudahlah, itu bukan sepenuhnya kesalahanmu...” ujar Ye Jin sambil menarik nafas lagi. Aku menyaksikannya dari sini. Kulihat kau menolongnya, terimakasih...” senyumnya sepintas kemudian. Ia menunjuk ke arah halaman. Oh ya, memang lokasi kami tadi tidak jauh dari sini.

”Tidak, kau boleh menyalahkanku,” sergah Kim Nam Gil. ”Aku tidak boleh melibatkan wanita dalam masalahku...” gumamnya dengan penuh penyesalan. ”Dan untuk itu, aku akan melindunginya, aku janji....”

”Tidak perlu, tidak usah...” seruku sambil bangkit dari kursiku. Pelototan mata Ye Jin membuatku terpaksa duduk manis lagi di tempatku. ”Kau, tidak bersalah. Seperti katamu, aku yang nekad...”

”Ya, kau memang nekat...” Ye Jin mencubit pipiku yang tidak memerah. ”Dan aku sangat takut melihatmu tadi... Kali ini, belajarlah dari pengalaman. Jangan bertindak tanpa pikir panjang...”

”Aku tahu itu...” keluhku sambil menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali aku mengaduh saat Ye Jin mengoleskan obat di pipiku dan menutupnya dengan kain kasa.

”Yo Won,” panggil Kim Nam Gil. Aku menoleh menatapnya, dan ia menatapku lagi dengan pandangan bersalah yang menusuk tajam dadaku. ”Kau tahu nomor teleponku?” tanyanya. Aku mengangguk.

Ia tersenyum menambahkan. ”Panggil aku saat kau membutuhkan perlindungan. Aku akan datang padamu, tidak peduli dimana pun aku berada saat itu...” janjinya.

Seolah kehilangan seluruh kemampuanku untuk bicara, aku hanya mampu mengangguk mengiyakan janjinya, sumpahnya untuk melindungiku. Dan detik itu, setetes air mata meluncur jatuh di pipiku.


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Panggil aku saat kau membutuhkan perlindungan. Aku akan datang padamu, tidak peduli dimana pun aku berada saat itu...” janjiku..

Aku tidak tahu mengapa bibir dan lidahku bisa membentuk kalimat itu, namun dalam kalimat itu, kurasakan kesungguhan dari dalam dadaku. Entah mengapa, baru kali ini kurasakan dorongan sebesar ini untuk melindungi seorang gadis.

Seorang gadis yang bertemu denganku dengan cara aneh, dan kemudian entah bagaimana, selalu dan selalu muncul dalam keseharianku.

Kami adalah dua pribadi yang sangat berbeda, namun cara Tuhan mempertemukan kami selalu saja dalam situasi yang penuh komplikasi dan unik.

Aku melihatnya mengangguk dan tersenyum, lalu setitik air mata yang jatuh di pipinya, entah kenapa membuatku berpikir kalau detik itu juga ia terlihat sangat rapuh. Rasanya aku ingin sekali mau dan memelu… Hah! Apa sih yang kupikirkan?!

“Permisi! Kami butuh obat merah!!” seru seseorang sambil mendobrak masuk ke dalam ruang UKS.

Aku sudah bergerak refleks untuk memberikan perlawanan kalau saja yang masuk adalah anak buah Yeom Jong. Tetapi ternyata bukan. Yang masuk adalah Sang Won, salah seorang karateka yang menarik perhatianku.

Wajahnya mencerah melihat keberadaanku di sini. “Kim nam Gil!” serunya dengan mata berbinar. “Kau datang?!” ia menggendong seorang gadis di punggungnya. ”Boleh minta obat merah, Kak Ye Jin?” tanyanya sambil menurunkan seorang gadis dari gendongannya. Gadis itu tipikal gadis manis dengan mata bulat besar dan wajah yang khas.

”Silahkan,” ujar Ye Jin sambil menyerahkan sebotol obat merah. ”Mau kubantu memasangnya, Rin Young?” tanyanya sambil mengamati lutut gadis itu. Ternyata berdarah.

Sang Won memang cukup jantan. Mungkin daritadi ia berlari menggendong gadis itu, tetapi kulihat nafasnya masih agak teratur.

”Tolong ya, Kak...” pintanya sambil tersenyum manis.

Sang Won begerak ke arah jendela perlahan. ”Di luar kacau sekali,” ia mengusap keringat dan mengatur nafasnya. ”Kau sebaiknya jangan langsung muncul di depan mereka. Kacau sekali preman itu, masa sekolah dijadikan tempat berkelahi?” ia mengomel sambil mengintip melalui celah gorden ruang UKS.

”Mereka memang brengsek...” makiku. Selain merusak sekolah ini, mereka juga melukai yang tidak bersalah dan menyebabkan banyak yang kena imbasnya, termasuk Yo Won. Dan mereka juga merusak nama baikku. ”Aku akan muncul kalau memang itu yang mereka inginkan...”

”Aku sudah menelepon Kang Sung Pil juga tadi...” ujar Yoon Hoo sambil tersenyum paksa. ”Ia mungkin akan datang, tapi ia tidak janji...”

”Tidak usah mengganggunya. Kami baru saja berurusan dengan anak buah Yeom Jong, dan ia sudah cukup babak belur. Aku tidak mau menambah masalahnya. Kalian juga, sebaiknya kalian pulang...”

”Tidak bisa!” tukas sahabatku dan semua orang yang ada di sana berbarengan. ”Semuanya bersama-sama maju, dan posisi kita akan lebih kuat!” Hee Wong yang sedari tadi membisu akhirnya bicara mewakili yang lainnya.

”Ingat? Kau tidak sendirian Nam Gil. Di samping itu, posisimu juga tidak seimbang. Lihat wajahmu di cermin. Kurasa kau cukup direpotkan oleh anak buah Yeom Jong tadi. Mana mungkin kami tega membiarkanmu membuang nyawa?”

”Aku sudah menelepon polisi...” ujar seseorang dengan tegas. Kami menoleh ke arah suara itu dan tersentak kaget. ”Ini wewenangku. Murid sekolah ini masih di bawah wewenangku, setidaknya sampai bulan september nanti...” ujarnya sambil berjalan masuk dan duduk di salah satu ranjang UKS. Tubuhnya penuh keringat, kendati demikian, cara bicaranya masih penuh wibawa.

”Lee Seung Hyo...” bisikku. Ia tersenyum dan memukul pundakku dengan penuh persahabatan.

”Senang kau masih mengingatku,” guraunya. ”Kurasa kami membutuhkanmu di sini. Bukan hanya untuk membantu menjelaskan masalah apa yang terjadi di sini.... tetapi juga untuk menjadi pelatih basket kami...” ia tertawa kecil.

”Dengan keadaan seperti ini, kurasa pihak sekolah tidak mungkin menerimaku sebagai pelatih...”

”Aku tidak tahu itu, tetapi, CV yang kuterima darimu sudah kukirimkan jauh-jauh hari, dan tanpa banyak pertimbangan, mereka menyetujui lamaran kerjamu di sini. Sayangnya, kau tidak pernah muncul lagi sejak hari itu...”

”Banyak yang terjadi,” ujarku sambil menatapnya. ”Kurasa, lamaran kerjaku sudah masuk tong sampah sekarang...” ujarku. Dari jauh, kudengar sirine mobil polisi datang mendekat. ”Kau tahu, mengirim mereka ke polisi tidak akan menyebabkan banyak perubahan...”

”Aku tahu itu, setidaknya kalian aman sekarang. Dan sementara waktu, aksi mereka bisa diredam... Dan jumlah anak buah mereka juga akan berkurang...” ia tersenyum dan memandang sekeliling, lalu menatapku.

”Seluruh sekolah mungkin mencapmu buruk, tapi aku tahu kalau seluruh klub basket masih mengharapkan keberadaanmu. Entah dengan para pejabat yayasan sekolah, tapi kurasa, kalau ada surat persetujuan masuk ke OSIS, aku akan menjadi orang pertama yang mengecap dan menandatanganinya.”

”Kim Nam Gil!!!” teriakan amarah Yeom Jong terdengar memekakkan telinga. Teriakan kekalahan dari seorang pecundang. ”Brengsek! Sialan! Lepaskan aku! Lihat saja! akan kubunuh kalian semua!!”

”Ia tidak akan lama mendekam di penjara. Sebentar saja, ia akan bebas...” gumamku. Dan saat itu, aku tahu pasti, seseorang pasti akan menelponku... sambil berpikir demikian, mataku menatap Yo Won. Gadis itu tersenyum sambil menatapku dalam-dalam. Kali ini, tatapan terimakasih yang ia tujukan padaku.

”Aku berhutang padamu, Lee Seung Hyo...” ujarku sambil merangkulnya. ”Kurasa akhir-akhir ini hutangku sudah banyak bertumpuk...”

Padahal tadi aku sudah menelepon polisi dan memintanya datang, namun mereka malah mengira aku hanya membual. Pria ini memang hebat, aku tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan para polisi itu untuk datang kemari.

”Jangan bilang begitu, aku lebih senang kalau kau menganggapnya sebagai bantuan seorang sahabat. Oh ya, kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil menatap sekeliling. ”Han Shin Woo, kau tidak apa-apa tadi?”

Shin Woo tersenyum kecil lalu berterimakasih. “Tidak apa-apa, terimakasih Kak! Kalau tidak ada Kak Seung Hyo, entah apa yang…” ia menggeleng cepat, lalu kembali berterimakasih dan bertatapan cukup lama dengan Seung Hyo.

“Sudahlah, ayo kita pulang. Akan kuminta supirku datang. Sang Won, Rin Young, Shin Woo, kalian pulang dengan mobilku saja…”

“Aku bawa motor dan aku akan mengantar Rin Young pulang. Kak Seung Hyo antarkan Shin Woo saja…” tukasnya sambil memapah gadis itu, membantunya berdiri.

“Baiklah,” ia tersenyum sambil menatap Shin Woo. “Kau ikut saja, jangan menunggu saja di sini… Begitu supirku datang, kita langsung pulang...”

“Baiklah…” jawab Shin Woo tanpa pikir panjang. Kelihatannya ia tipe gadis pendiam.

“Aku akan mengantarmu,” tegasku sambil memandang Yo Won. Ia menatapku kaget, lalu tersenyum dan menolak. “Ingat, aku sudah berjanji untuk menjagamu...”

“Aku tidak mau merepotkan..” elaknya.

”Tidak akan merepotkan. Dan kalaupun ya, aku mau kau repotkan. Begitu saja, ayo ikut aku.” kedengarannya kata-kataku memaksa sekali. Tapi aku benar-benar tidak peduli. Gadis ini tanggung jawabku.

”Tapi, bagaimana dengan Ye Jin?” ia memandang saudara kembarnya dengan cemas. Kulirik Yong Soo, dan pria itu membalas dengan mengangguk.

”Yoon Hoo akan mengantar Kim Rae Na, dan Hee Wong akan mengantar Dae Chi. Jadi, kurasa tidak ada pilihan lain selain menumpang motorku, bagaimana?” tanyanya sambil tersenyum ramah ke arah Ye Jin.

”Ruamhku dekat,” tolak gadis itu.

Aku berpandangan dengan Yong Soo dan menarik nafas hampir bersamaan. Ternyata dua gadis ini memang kembar. Watak mereka cukup mirip satu sama lain. Sama-sama berprinsip dan ada kalanya keras kepala dan terlampau mandiri.

”Percayalah, aku akan mengantarmu sampai ke rumahmu. Kita tidak akan mampir-mampir, kecuali kau yang memintaku...” ujar Yong Soo lagi.

Ye Jin terdiam dan tertawa kecil. “Kau tahu, bukan karena itu aku menolak. Aku percaya padamu, tentu saja. tapi, aku tetap tidak mau merepotkan...”

”Ayolah nona... aku tidak mungkin mengambil resiko tidak mengantarmu. Bagaimana kalau salah satu dari sekian banyak anak buah Yeom Jong masih berkeliaran di sini? Nam Gil akan mengantar saudari kembarmu, dan ia mempercayakanku untuk mengantarmu. Jadi tolong, jangan menolak lagi...” pinta Yong Soo. Yang lain sudah mulai meninggalkan ruangan dan pulang.

”Baiklah,” jawab gadis itu akhirnya. Sinar matanya terlihat meredup, lalu kembali bercahaya saat tersenyum. ”Terimakasih,” jawabnya, akhirnya.

Dalam perjalanan pulang kali itu, aku tidak banyak bicara. Yo Won juga diam saat memeluk pinggangku. Baru kali itu motorku kukendarai dengan hati-hati, tidak secepat biasanya. Ini hari yang panjang untuk semuanya, dan untuk Yo Won juga, karena itu, aku tidak mau membuatnya ketakutan di atas motorku.

Tidak ada kata apapun yang keluar dari bibirku. Aku hanya mampu mengangguk saat mendengar ucapan terimakasih darinya. Rasanya melihat punggungnya bergerak memasuki rumahnya, membuat setumpuk beban di dadaku menguap bagai diserap cahaya matahari. Mungkin aku harus menjaga jarak dengannya. Lebih jauh lebih baik. Tanpa aku, hidupnya tidak akan sekacau ini, tidak akan sebahaya ini.

Yong Soo berdiri diam di atas motornya, juga mengamati Ye Jin yang melambai pelan sebelum masuk ke rumahnya. Ia menatapku, dan kurasa, ia juga memikirkan hal yang sama denganku. Dua gadis itu terlalu banyak terlibat dalam masalahku, dan tidak seharusnya demikian.


--to be continued—

Tidak ada komentar: