Kamis, 13 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 25

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY FIFTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Desi : Uhm Dae Chi
Karinna: Kim Rae Na
Shendi: Han Shin Woo
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Baru saja beberapa detik yang lalu aku merasa cowok itu begitu banyak memiliki kelebihan. Baru saja aku merasa ia boleh juga, dan kini semuanya buyar. Bisa-bisanya seseorang terlibat hal semacam itu!

”Siapa yang meneleponmu?” tanya Dae Chi sambil menatapku dengan alis berkerut. ”Dan bagaimana caramu menghubungi Kim Nam Gil itu?”

”Oke, aku punya nomor teleponnya, dan sekarang bukan waktunya untuk itu. kau mau dengar kelemahan cowok itu? Dia punya banyak musuh. Jadi pacarnya sama saja dengan membuang hidupmu ke selokan...”

”Bicaramu keterlaluan sekali...” Dae Chi pura-pura tidak mendengarkanku dan mulai menghabiskan es krimnya. ”Apa sih yang terjadi?”

”Sekolahku diserang preman, tahu!! Atau mungkin, mafia? Dan mereka minta Kim Nam Gil segera datang. Kalau tidak, semua properti sekolah akan dihancurkan! Bahkan beberapa siswi sudah mulai ditakut-takuti!” ujarku sambil dengan panik mencari nomor hp cowok itu di ponselku.

Astaga, aku menyimpan nomornya dengan nama apa? Bukan Kim Nam Gil, bukan cowok aneh. Aduh, sudahlah, entah kenapa, kok aku malah menghafal nomornya? Oke, 099... yap, tersambung.

”Kim Nam Gil?!” rentetan kalimat meluncur dari bibirku. ”Ini aku, ya, kau tahu siapa aku. Sekolahku diserang preman. Kata Ye Jin, utusan Yeom Kong, Jung, atau apalah itu... dan ia tidak akan berhenti merusak sekolahku sampai... halo? Halo?”

”Kenapa?” tanya Dae Chi lagi. Kali ini tangannya sudah menggapai gelasku, membantuku menghabiskannya. Terimakasih, karena nafsu makanku memang sudah hilang.

“Cowok itu mematikan handphonenya! Uuh! Awas dia! Sudahlah, aku pergi saja ke sana!”

“Yo Won! Jangan mencari masalah, dong!” Dae Chi mengeluh sambil buru-buru mengelap bibirnya dengan tissu. ”Kau bilang cowok itu emosian, tidak sadar dengan dirimu sendiri? Ayolah, kutemani!”

”Tunggu! Dae Chi, pintu keluarnya di sa...” sebelum sempat berkomentar lebih jauh, ia sudah jatuh bertabrakan dengan seorang gadis yang berambut sebahu dengan pakaian modis.

“Aduh...” keluh keduanya. Aku memandang gadis itu dengan pandangan tidak percaya. Ia ganti memandangku dan Dae Chi.

”Aaaahh!!” jerit kami bertiga berbarengan, tetapi tetap saja Dae Chi paling heboh sendiri. ”Tidak mungkin! Tidak mungkin!!” ujar Dae Chi sambil geleng-geleng kepala dengan pandangan takjub.

”Dae Chi! Dan kau, Yo Won kan? Astaga, kalian tidak jauh berubah ya...” gadis itu mendecak kagum dan memandang kami bergantian. ”Astaga! Masih ingat denganku, kan?”

Kim Rae Na, sempat menjadi teman sebangkuku., dan ia duduk tepat di antara aku dan Dae Chi. Kami sempat bersama beberapa saat setelah Dae Chi pindah ke Amerika. Namun sejak pisah SMP, aku sudah tidak pernah lagi mendengar kabarnya.

”Tentu saja ingat, Kim Rae Na...” aku membalas pelukannya, kami saling memeluk untuk beberapa saat lamanya. ”Tapi, sekarang bukan saatnya untuk nostalgia begini... Ada masalah di sekolahku, aku harus ke sana sekarang juga...”

ia memutar bola matanya, ”Baru ketemu sudah harus pisah? Hh... oke, aku ikut denganmu. Sekalian main ke sekolahmu... ayo!! Kebetulan, memang waktuku lagi kosong, teman baikku baru saja pulang ke apartemennya...”

Dalam hati aku terus mengulang satu kalimat. ”Tunggu saja sampai kaulihat keadaan sekolahku, kurasa kau akan berhenti mengira aku datang ke sana untuk bermain...”


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Tidak boleh!” larang Yoo Jin dengan matanya yang bulat besar. Ia dengan cepat merebut handphoneku dan mematikannya. ”Yeom Jong lagi? Mama sudah menyelidikinya. Dan ia memerintahkanku untuk melarangmu pergi kalau mendengar namanya…”

“Yoo Jin, kali ini masalahnya sangat gawat!”

”Pokoknya tidak boleh! Justru karena itu, keadaanmu bakal lebih parah!” ulangnya dengan nada lebih tegas. “Lagipula, aku belum mengobatimu. Mukamu masih babak belur, dan aku tidak bisa melihatmu lebih bonyok lagi daripada ini…”

“Begini Yoo Jin. Itu kan sekolahmu juga, kau lebih suka melihat sekolahmu hancur daripada lukaku? Luka ini belum seberapa, Yoo Jin… tinggal tambah beberapa goresan dan aku akan pulang…”

“Kak, jelas aku lebih suka lapanganku bolong-bolong daripada melihat badanmu yang bolong-bolong. Tidak ada komentar…” ia mulai menggosokkan beberapa obat ke wajahku, memintaku duduk tenang dan diam.

“Yoo Jin…” di pikiranku, wajah gadis itu terus terbayang. Bagaimana perasaannya saat melihat sekolahnya hancur karena seorang tidak dikenal sepertiku? ”Sudah, hentikan. Kau setuju atau tidak, aku pergi!!” ujarku sambil mencengkeram pergelangan tangannya.

“Kak, jangan! Nanti keadaanmu tambah parah!!” serunya. Ia berlari mengejarku bahkan terus melarangku pergi saat motor sedang kuhidupkan. Entah motor siapa yang ada di rumah ini, aku akan mengembalikannya nanti.

”Kalau kau cemas, doakan saja keselamatanku!” ujarku sambil memasang helm. Sekejap kemudian, motorku melaju bagai terbang. West High school seharusnya tidak jauh. Kuharap tidak terjadi apa-apa di sana sebelum aku tiba!



─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Ya ampun! Ini sih parah sekali!!” keluh Dae Chi dan Rae Na. Mereka bersembunyi di semak-semak dekat gerbang sekolah, tepat di sampingku. Aku ikut mengintip, dan bahkan keadaannya jauh lebih kacau daripada perkiraanku.

“Lepaskan!!” teriak seorang gadis. Suaranya tidak asing. Gawat! Itu kan teman sekelasku, Han Shin Woo... aduh! Bisa-bisanya dia piket bersihin ruangan guru di hari sesial ini. Ya ampun! Aku hanya bisa menutup mata dengan takut.

“Lepaskan dia!” gertak Kak Seung Hyo. Ia muncul masih memakai seragam karatenya, lalu dengan beberapa pukulan, ia berhasil merebut perhatian pria preman itu dan menyuruh Han Shin Woo lari. Sialnya, gadis itu malah lari ke arah kami.

“Hei! Ada juga beberapa di sana! Ayo kita tangkap saja mereka! Sudah lama aku tidak main-main sama wanita!” ujar mereka bergantian. Spontan, sekaligus empat pria mengejar kami.

”Jangan kurang ajar, ya!!” Dae Chi dan aku maju lalu menendang alat vital mereka. Tendanganku masuk, namun Dae Chi gagal. Dan kemudian, yang lainnya dengan cepat sudah membekuk kami dari belakang.

”Gadis yang tengah itu!” umpat seorang preman yang kena tendanganku tadi. ”Dia.. harus dibereskan duluan...!!” keluhnya sambil mengernyit kesakitan.

Aku mulai berkeringat dingin saat mata-mata mesum itu memandangku. Jantungku berdegup kencang saat salah satu tangan mereka menyentuh pipiku. ”Dia cantik, tapi seperti kuda liar...” oceh yang lain, lalu mereka tertawa menjijikkan.

”Yo Won...” Dae Chi dan Rae Na sudah pucat setengah mati melihat keadaanku.

Aku ingin sekali pergi dari situasi seperti ini dan menolong mereka, tapi tidak bisa. Tanganku dicengkeram di belakang seperti kedua temanku. Dan pria di depanku menatapku seperti akan menelanku bulat-bulat.

“Mungkin dia masih belum pernah disentuh laki-laki!!” ujar lainnya, lalu maju mendekatkan muka padaku.

Aku menghindar dan meludahi wajahnya. ”Cuih!”

”Brengsek!!” umpatnya lalu menamparku. Sangat kencang. Dan panas. Saking pedihnya, kurasa sudut bibirku berdarah. Mataku sakit, dan terasa panas. Rae Na dan Dae Chi sudah mulai tersedu di sampingku, begitu pula Shin Woo yang tadi gagal melarikan diri.

Kau tidak akan menangis. Aku tidak akan menangis... biskku dalam hati. Tidak akan! Untuk makhluk serendah mereka! Kedutan di sudut bibirku terasa semakin panas dan menyakitkan. Menyakitkan. Dan gelegak rasa marah dan malu membuat mataku terasa panas...

”Kau mau menangis, hah? Rasanya tamparan saja masih kurang untukmu!!” ujar pria yang tadi kutendang.

Kondisinya sudah lebih baik sekarang, ia sudah mulai bisa berdiri. Ditatapnya aku dengan pandangan menusuk, dan tangannya maju untuk memukulku. Secepat ayunan tangannya, secepat itu pula kututup mataku, menantikan rasa sakit yang akan datang ke pipiku lagi. Tetapi, rasa sakit itu tak kunjung muncul.

”Cuma pria brengsek yang tega memukul wanita!” ujar seorang pria. Tangannya memelintir lengan pria yang bermaksud memukulku sampai pria itu mengaduh kesakitan dan memohon ampun. Tiga temannya, Hee Wong, Yoon Hoo, dan Yong Soo membantunya berkelahi melawan pria lainnya, membebaskan teman-temanku.

Aku mengangkat wajah dan melihat sosok yang tanpa sadar begitu kunantikan kedatangannya. ”Kim Nam Gil,” desisku sambil menahan nafas.

”Kau tidak apa...” ucapannya terpotong saat melihat ke arahku. ”Astaga,” serunya sambil memandangku. ”Maaf...”

”Tidak apa, terimakasih ya...” ucapku sambil melihat pergelangan tanganku yang memerah karena dicengkeram begitu kuat. Rupanya aku memberontak cukup kuat tadi.

”Aku terlambat, maaf...” ia memandang tanganku dan pipiku. Perhatiannya membuat dadaku terasa sesak dan sekaligus hangat. Rasanya ada sesuatu yang mau meledak dari jantungku melihatnya memandangku dengan tatapan penyesalan.

”Apa sih yang kau katakan? Seharusnya, aku berterimakasih, kau menolongku...” senyumku sambil menutup pipiku dengan tanganku.

”Yo Won nekat, sih...” tukas Rae Na sambil sesunggukan. ”Aku... coba aku juga berani seperti Yo Won...” keluhnya, lalu teman Kim Nam Gil, Yoon Hoo, mengulurkan sapu tangan padanya.

”Coba kulihat sebentar...” ia mengangkat tangan yang menutupi pipiku dan menatapnya dengan saksama. Bola matanya begitu dalam dan teduh, membuat debaran jantungku begitu kuatnya seperti memukul-mukul dadaku.

”Aku tidak apa-apa kok!” kupalingkan wajahku dengan cepat. Rasanya pipiku panas sekali kalau ia menatapku seperti itu.

”Bisa nggak, kau tidak usah pura-pura kuat? Lihat temanmu, mereka saja sudah jantungan melihatmu! Lee Yo Won, aku tahu, kau tangguh, berbeda dari gadis lain, dan sangat berani. Tapi, lain kali aku tidak mau melihatmu nekad begini!” perintahnya sambil memegang kedua pipiku, memaksaku menatap matanya langsung.

Aku mengangguk, berusaha menarik nafas sewajar mungkin. Rasanya sangat sulit mengumpamakan perasaan saat ini dengan kata-kata. Entahlah, rasanya menarik nafas pun jengah sekali. Entah bagaimana perasaannya juga saat ini.


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─


”Kau perempuan,” bisikku. Rasanya dadaku sakit seperti dihantam saat melihat memar merah di wajahnya. Apakah rasanya sakit ketika aku menyentuhnya?

“Dan kau, butuh pelindung. Tidak selamanya kuat sendirian. Saat itu, laki-laki yang akan melindungimu, bukan dirimu sendiri. Paham? Sekarang, ayo, kita ke UKS untuk mengobati pipimu...”

Kutatap memarnya lagi, dan kurasakan amarah membara begitu kuatnya di dadaku. Anak buah Yeom Jong. Mereka benar-benar bajingan! Bisa-bisanya menyakiti seorang gadis seperti ini!

”Terimakasih,” senyumnya, dan saat itu dadaku terasa sakit nyaris seperti ditikam. Entah perasaan apa yang menggerakkanku sampai saat itu juga kakiku dan tanganku bergerak maju memeluknya, dan sejurus kemudian, ia sudah menangis dalam pelukanku.

Lee Yo Won bukan seorang wanita biasa, pikiranku mengatakan demikian. Bahwa ia berani dan tangguh, dan saat ia lemah, aku akan maju untuk melindunginya.

Entah bagaimana, instingku menyatakan demikian. Naluriku, pikiranku, otakku, semuanya meyakinkanku untuk melindunginya, memastikannya aman. Seperti sekarang. Seperti ketika ia berada dalam pelukanku.


--to be continued--

Tidak ada komentar: