Senin, 03 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 22

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY SECOND SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Mishil: Mishil: Go Hyun Jung (memakai nama asli di FF)
Desi : Uhm Dae Chi
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (memakai nama asli di FF)- Yo Won and Ye Jin mother.
Lady Man Myeong : Im Ye jin : as Kim Nam Gil and Uhm Tae wong mother
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Yo Won!! Sudah siap belum?!” Mama setengah berteriak, memanggilku turun ke bawah. Aku berlari menuruni tangga sambil memasang ritsleting gaunku. Mama tampak puas melihatku mengenakan gaun yang khusus dibelikannya untukku.

”Roknya agak terlalu berombak nggak sih, Ma?” aku menatap renda-renda yang menghiasi pinggiran rokku. Rasanya tidak nyaman. Kenapa sih Mama tidak membiarkanku mengenakan rok jeans kesayanganku?

”Sudah, kenakan saja itu. tahun lalu Mama sudah membawa Ye Jin menemani Mama, dan sekarang, mereka ingin lihat putri kedua Mama. Dan Yo Won, berhenti berkaca, kau sudah tampak cantik...”

”Aku tidak yakin...” gerutuku, masih memandang penampilanku di depan kaca. Entahlah, sejujurnya, mungkin aku hanya tidak biasa melihat diriku seperti ini.

”Memangnya mereka itu siapa sih, Ma?” tanyaku sambil memasuki mobil kami.

”Mereka? Tentu saja teman-teman Mama. Kita kan mau ke tempat reuni tahunan Mama...”

”Apa!? Reuni!?” dengan perasaan kacau kubayangkan tempat itu akan penuh dengan Ibu-ibu setengah baya yang gemar menggosip. Oh, tidak. Tidak, tidak....

”Seharusnya kubawa mp4 playerku tadi...” keluhku sambil memeriksa tasku.

”Jangan bawa turun tasmu itu, ya...” Mama mengingatkan dengan dahi berkerut. ”Masa kau memakai gaun seperti itu, tapi membawa tas jeans usang itu? Seharusnya kau pinjam handbag Ye Jin...”

”Ma, cukup! Oke, aku tidak bawa turun tas ini, tapi aku harus bawa turun handphoneku...”

Diam-diam, kuselipkan headset ke sarung hp-ku. Setidaknya, hanya benda ini yang bisa menghilangkan sekitar 50% rasa bosanku. Belum lima menit, handphoneku bergetar. Dengan mata membelalak, kutatap nama penelepon di layar handphone-ku.

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Kalau boleh, aku ingin minta nomor telepon Yoo Jin. Sudah kuputuskan, aku akan bicara dengannya...”

Yo Won menjawab bahwa ia sedang dalam perjalanan ke suatu tempat dan tidak bisa bicara panjang lebar karena Mamanya berada di sebelahnya. Tapi, ya, dia akan mengirimkan nomor Yoo Jin melalui sms. Dan sms nya kuterima tidak sampai dua menit.

”Halo, Yoo Jin? Bisa aku ke rumahmu, sekarang?” tanyaku. Dan kulirik arlojiku. Tampaknya waktunya terlalu tepat. Kalau tidak bergegas, mungkin Mamanya keburu pergi ke tempat lain.

”Oke, aku ke sana sekarang...” ujarku sambil mengingat alamat yang diucapkannya. Perumahan itu tidak jauh dari rumahku yang dulu. Kupinjam motor milik Yong Soo dan melaju ke sana sendirian.



”Hai,” sapaku ketika pintu terbuka. Rasanya senyumku terasa kaku di bibirku.

Yoo Jin tersenyum menatapku dan tampaknya menahan diri untuk tidak terlihat berlebihan. Ia menggandengku masuk dan berteriak di koridor. ”Ma, Kim Nam Gil sudah datang!!”

”Biar aku menunggu saja...” ujarku pada Yoo Jin. Ia tersenyum dan kembali meneriakkan nama salah satu pelayan, yang tak lama kemudian datang dengan membawa secangkir kopi yang beraroma lezat.

”Kurasa kau akan menyukainya, kopi blue mountain...”

Aku tersenyum pada gadis yang kemungkinan besar adalah adik sedarah denganku. ”Kau benar, terimakasih...” kami sama-sama menyeruput kopi dari gelas kami.

Mataku berkeliling menatap sekeliling rumah. Peabotan mewah disusun begitu artistik dan tangga marmer menjulang ke atas, memamerkan lekuk keanggunan rumah itu. Siapapun yang membuat konsep desain rumah ini, pastilah ia berbakat. Rasanya melihat desainnya, membuatku ingin membuat suatu desain juga. Hah! Aneh-aneh saja pikiranku ini!

”Sudah lama menunggu?” tanya sebuah suara, membuyarkan lamunanku.

”Tidak,” sahutku, berusaha tersenyum. Namun, begitu melihat paras si empunya suara, sudut bibirku menegang.

Mataku terpaku memandangnya. Ia begitu mirip... mirip dengan wanita yang pernah muncul dalam kilasan memoriku. Dan wajahnya sangat cantik, membuat siapapun ingin menatapnya.

”Kau, Go Hyun Jung...?” tanyaku kaku, disusul anggukan ramah dari kepalanya. Ia mengenakan gaun mewah, kelihatannya berniat pergi ke suatu tempat. “Apa aku mengganggu waktumu?” tanyaku lagi.

“Tidak, aku juga tidak sedang buru-buru…” sahutnya lembut, lalu meminta pelayan membawakan air putih untuknya. Lama ia menatapku sebelum akhirnya bicara. “Kau sangat tampan, mirip dengannya…” gumamnya.

Siapa ‘dia’ yang dimaksud olehnya? Apakah… “Maksud Anda… Papaku?” tanyaku. Wanita itu tersenyum pahit lalu mengangguk sedih. Ia menerima air yang disodorkan pelayan lalu meminumnya dengan anggun.

”Bagaimana keadaan rumah itu?” tanyanya, menatap dalam ke mataku.

”Aku tidak tinggal di sana lagi...” kuharap ia mengerti kalau rumah itu adalah hal terakhir yang ingin kubicarakan dengannya.

”Aku rasa kau belum siap mengetahui semuanya... Tapi, kalau boleh kuakui, ya, kau memang anakku. Darah dagingku...”

Begitu? Jadi, ia benar Mamaku? Keluargaku yang sebenarnya? Perasaanku teasa aneh dan menyesakkan. Kenapa, selama ini ia tidak pernah mengambilku dari rumah itu? dari rumah yang menyebut diriku sebagai....

”Apa aku pembunuh?”

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Entah mengapa. Dan raut wajah wanita itu dan Yoo Jin seketika memucat. Aku bisa melihat tangannya gemetar ketika mengangkat gelas dan meminumnya perlahan.

”Siapa... yang mengatakan itu padamu?” tanyanya sambil berusaha keras mempertahankan senyumannya.

”Seseorang dari masa laluku...” jawabku dengan nada getir.

”Begitukah?” alisnya terangkat sedikit. ”Masa lalumu begitu pahit, aku turut menyesal... Tapi, kau bukan pembunuh. Akulah, pembunuh sebenarnya....” suaranya terdengar begitu bera saat mengatakannya.

Aku terpaku memandangnya, tanpa bisa bernafas sedikitpun. Ia tersenyum saat menatapku, lalu sambil menoleh ke arah Yoo Jin, ia berjata dengan lembut. ”Yoo Jin, persiapkan dirimu, dan antar kakakmu ke kamar ayahmu, pinjamkan dia salah satu jas formal ayahmu...”

”Anda mau mengajakku kemana?” tanyaku.

”Ke tempat kenyataan berada,” senyumannya terlihat begitu misterius saat mengucapkannya.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

kukira aku akan bosan setengah mati. Dan ternyata memang dugaanku hamper benar 100%. Siapa sangka Mamanya Kak Tae Wong dan Mamaku adalah teman sejak SMP?

” Yoon Yoo Sun!!!” seru seseorang sambil menepuk bahu Mamaku dengan mata berbinar.

”Ya ampun!! Im Ye Jin!!” jerit Mamaku histeris, mungkin terlalu gembira. Lantas mereka berdua berpelukan erat.

”Wah, apa ini putrimu? Cantik sekali...” ia tersenyum ramah menyalamiku. ”Perkenalkan, putraku, Tae Wong...” ia menarik seorang pria untuk maju ke depannya. Kami hanya mampu saling menatap dengan wajah terkejut.

”Kalian sudah saling kenal?” tanya Mamaku sambil menyenggolku.

”Ah, eh, iya... dia.... pelatih klub karate di sekolahku...”

”Dia, gadis yang sering membantuku mencatat skor nilai. Begitu juga, saudara kembarnya, Ye Jin...”

”Kau beri anakmu nama yang mirip denganku? Oh, aku gembira sekali, Yoo Sun!!” serunya lagi dan memeluk Mamaku. ”Mana putrimu yang satu lagi?”

”Sedang sibuk, dia selalu sibuk dengan urusan klub...” aku melirik Mama dengan jengkel. Kalimatnya seolah membuatku merasa akulah anak yang paling tidak sibuk dan paling punya waktu luang di rumah.

”Ya ampun, aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi...” ujar mereka berbarengan. Aku bertatapan dengan Kak Tae Wong dan tersenyum geli.

”Kenapa tahun lalu kau tidak ikut reuni, sih?” tanya Mamaku.

”Sedikit masalah keluarga, kau tahu...” Mama Kak Tae Wong menunduk sambil berusaha tersenyum. ”Tapi anak itu sudah kusingkirkan dari keluargaku...”

Aku menatap Kak Tae Wong dengan wajah tegang. Ia tersenyum paksa sambil menggandengku pergi. ”Suasananya mulai tidak nyaman, bukan? Ayo, kita ambil makanan saja...”

Aku mengangguk mengikutinya. Ia menatapku dengan pandangan kagum. ”Penampilanmu beda sekali dengan di sekolah...” ujarnya sambil memberikan sebuah piring dessert untukku.

”Sudah kuduga, memalukan bukan?” tanyaku sambil meringis. Dalam hati, kalimat tadi terus terngiang di pikiranku. Anak yang tersingkirkan itu, mungkinkah Kim Nam Gil? Dan Yoo Jin... dia juga mengucapkan kalimat yang sama... bahwa Kim Nam Gil bukan bagian keluarganya yang dulu... nasib cowok itu tampaknya mengenaskan sekali.

“Tidak memalukan,” sahut Kak Tae Wong akhirnya. Wajahnya memerah sedikit saat berusaha memujiku. “Kau cantik, lebih cocok begini...”

“Kakak sudah bilang hal itu ke berapa wanita?” tanyaku sambil tertawa dan memasukkan sepotong kue ke mulutku.

Ia hendak menjawab ketika sebuah suara memanggilku. “Yo Wooon!!!!” dan menubrukku dari belakang. Aku nyaris terjatuh kalau saja tangan Kak Tae Wong tidak menarikku.

“Ini aku, Dae Chi! Masih ingat tidak?” tanyanya sambil tertawa. Aku menatap gadis belia di depanku dan menatapnya lama sebelum akhirnya bersuara.

”Aaah!! Iya, Dae chi yang itu!!” aku memeluknya sebelum akhirnya mengamatinya lagi. Ia pindah ke Amerika ketika usiaku masih 10 tahun. Dan kini, pemapilannya jauh lebih dewasa, namun sifat ramahnya masih membekas. Kami selalu main bersama sejak kecil.

”Kau kemari dengan Mamamu?” tanyaku sambil celingukan ke kiri dan kanan, mencari sosok orangtuanya. ”Oh, biar kukenalkan, ini Kak Kim Tae Wong, pelatih karate di sekolahku...”

”Ooh, pantas saja badannya tegap! Salam kenal, Kak!!” ia menyalami Kak Tae Wong sementara Kak Tae Wong menatapnya dengan senyuman ramah sekaligus geli. Tatapannya seolah menyuarakan ketertarikan. ”Oh, ya,. Menjawab pertanyaan tadi, tidak. Aku datang sendiri ke sini!!”

”Oh ya? Kok bisa?” tanyaku sambil menatap penampilannya yang modis. ”Kau sekarang tinggal dimana?”

”Aku sedang menginap di hotel ini!” ia menjelaskan dengan antusias. ”Semingu lagi aku akan kembali ke Amerika untuk mengurus kepindahanku ke sini lagi. Nanti aku akan kuliah di Korea! Asyik kan? Oh ya, lalu tadi saat sedang jalan-jalan di lobi, aku melihat sekilas, kok sepertinya gadis itu mirip Yo Won, begitu pikirku. Lalu kuikuti saja. cukup lama juga aku menyiapkan diri sampai akhirnya memberanikan diri masuk ke sini!!”

”Kau enerjik sekali,” ujar Kak Tae Wong sambil tertawa pelan. Jelas, ia lebih dari sekedar terkesan dengan Dae Chi. Kedua orang itu tertawa berbarengan, menyetujui kesamaan pikiran mereka.

Tiba-tiba, suasana berubah hening. Kumpulan bisikan terdengar di sana-sini. Aku bertatapan dengan Kak Tae Wong dan Dae Chi, lalu bersama-sama memandang ke arah pandangan orang lain.

”Itu kan Go Hyun Jung dan putra haramnya...” bisik yang satu. ”Ya ampun, mau apa keluarga rupawan itu datang?” tanya lainnya. ”Gila, dari dulu mereka memang selalu menjadi pusat perhatian...”

Aku tidak bisa melepaskan perhatianku dari pria itu. ia muncul dengan tatapan angkuhnya. Dan jas hitam yang dikenakannya tampak begitu pantas membalut tubuhnya. Bisa kurasakan desahan Dae Chi yang berdiri di sebelahku.

”Pria darimana itu? Keren sekali, artis ya?” tanyanya sambil menggoyang tubuhku. Aku menggeleng antara menjawab dan tidak.

Biar bagaimanapun, Yoo Jin, Mamanya, dan Kim Nam Gil yang berjalan bersamaan terlihat seperti sebuah lukisan mewah di antara lukisan-lukisan lusuh. Atau seperti para model kenamaan di tengah catwalk.

--to be continued--

Tidak ada komentar: