Kamis, 13 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 24

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY FOURTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Desi : Uhm Dae Chi
Tita: Park Ri Chan
fatimah: Kang Sung Fat
Bo Jong : Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
Seok Pum: Hong Kyung In (memakai nama asli di FF)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Aku memukul dan menendang. Kakiku menyapu kesana kemari, dan semakin lama, kepungan kami semakin rapat.

“Brengsek!!” entah makian keberapa yang kudengar hari ini. Apa anak-anak buah Yeom Jong semuanya bermulut kotor ya?

Dengan kesal kuhindari pukulan mereka yang dengan mudahnya terbaca arah gerakannya. Kulirik Sung Pil. Posisinya semakin terdesak. Kugunakan tendangan memutar untuk membuka celah baginya. Dalam sekejap, kami kembali berkumpul di tengah,.

“Ada ribut-ribut apa ini?!” teriak seseorang. Aku mengangkat wajahku yang penuh keringat.

“Siapa dia!!” teriak pria itu lagi sambil menghampiriku. Aku memandang langsung ke matanya. Baek Do Bin tersenyum sinis melihatku. Wanita tunangannya berjalan cepat menyusulnya di samping, dan bergidik ngeri melihat keadaan Sung Pil dan keadaanku.

“Dia punya tatapan mata yang bagus!!” pujinya padaku. Lalu tertawa menatap Yeom Jong. “Apa dia musuhmu?”

“Dia… begitulah, kalau tidak bisa diajak berteman, bukankah itu artinya dia tidak berguna?” Tanya Yeom Jong sambil menatapku kesal. Sudut bibirnya bergerak mengumandangkan kemarahan.

“Apa aku boleh bicara?” tanyaku sambil berdiri dan menyingkirkan tangan-tangan yang memaksaku berlutut kearah pria itu. Sekarang posisi kami sama tinggi, dan tidak ada haknya untuk meremehkanku.

“Silahkan,” pria itu mengangkat bahu dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana hitamnya. Wanita yang berdiri di sampingnya bergerak dan menggandeng tangannya. Jelas, ia merasa tidak nyaman berada di samping Yeom Jong.

”Aku tidak punya urusan apapun dan tidak sedang mencari masalah di sini. Aku hanya ke sini untuk menghibur diri dengan temanku, Sung Pil. Untuk mengeluarkannya dari grup Yeom Jong, aku sudah menghadapi banyak anak buahnya. Dan kurasa, ini tempat terbuka bagi siapapun, untuk bersantai. Bukankah demikian?” tanyaku, menatap langsung ke matanya.

Ia tertawa terbahak-bahak mendnegar pembelaanku. ”Bagus, aku suka gayamu!!” ia maju dan menepuk pundakku keras. ”Dan kau sangat tangguh dalam perkelahian. Bagaimana kalau kau pertimbangkan menjadi tangan kananku?” tanyanya sambil tersenyum, menjentikkan jari, dan seorang pelayan membawakan dua buah gelas untuk kami.

”Barangkali sebaiknya aku tidak menerimanya,” elakku. ”Bagaimanapun, kau dan wanitamu yang lebih pantas merayakan keberadaan kalian di sini...”

”Baik, tidak mengapa, minumlah, Ri Chan..” diberikannya gelas itu pada wanita di sampingnya. “Barangkali kau lebih suka sampanye?” ia masih berjuang keras menawarkan minum untukku.

“Aku tersanjung atas penghargaanmu, tapi kurasa lain kali, aku masih ada urusan sebenarnya, kalau saja anak buah pria pendek itu tidak memaksaku bertindak...”

“Oke,” ia mengibaskan dua tangannya, mempersilahkan kami berjalan keluar. “Silahkan. Ksatria selalu dihargai di sini...” ia menatap orang di sampingku dan mereka mengendurkan kepungan mereka.

“Kapanpun kau datang, tepati janjimu untuk minum bersamaku...” ia mengangkat gelasnya tinggi-tinggi dan meminumnya. Lalu mengulurkan tangan padaku. “Namaku Baek Do Bin, kau?”

“Kim Nam Gil. Dan dia Sung Pil...” jawabku membalas jabatan tangannya.

Ia mengangguk dan mengulangi namaku, lalu berbisik pada wanitanya. ”Bagaimana Ri Chan? Apakah ini yang kau inginkan?”

Wanita itu akhirnya tersenyum, dan senyuman samar yang membuat Baek Do Bin tertawa bangga. ”Ya, keputusan tepat, ia tidak seharusnya dijadikan musuh,” ujarnya, lalu tersenyum padaku.

Aku membalas senyumannya, dan dengan cepat, setelah mengangguk pamit, kami berlalu dari tempat itu. suatu pengalaman luar biasa hari ini. Dan kurasa, untuk beberapa waktu, aku akan aman dari Yeom Jong.

”Aku akan mengantarmu pulang, Sung Pil...” bisikku sambil mencegat taksi. Kami diam sepanjang perjalanan. ”Kurasa, Baek Do Bin bukan tipe pria yang licik seperti Yeom Jong...” gumamku.

”Jangan salah yo...” Sung Pil mengaduh sambil mengusap pipinya yang lebam. ”Dia memang lebih jantan dan sportif, serta menghargai pria pemberani sepertimu. Asal kau tidak mencari masalah, yoo... Dan jangan lupa, yoo.. dia mengingat namamu, yoo... Dalam waktu dekat, kujamin yoo.. dia akan mencarimu segera, yoo... Hati-hatilah...”

”Aku akan hati-hati...” jawabku. ”Apa yang harus kukatakan pada adikmu kalau ia melihat keadaan kita seperti ini?”

Sung Pil terdiam dan memandangku, lalu menghela nafas. ”Dia pasti mengerti yoo... kau tidak perlu bilang apa-apa...” ujarnya saat kupapah memasuki kawasan apartemennya.

”Baiklah kalau menurutmu begitu,” jawabku sambil menekan bel rumahnya. Sejujurnya, aku masih bingung kenapa ia berkata adiknya sudah mengerti.

”Kak!!” jerit Sung Fat begitu melihat wajah kami berdua lebam-lebam, sementara wajah Sung Pil lebih kacau lagi. ”Ayo masuk, aku siapkan obat!!” serunya oanik sambil membuka pintu.

”Sudah berapa kali kukatakan, jangan ketemu lagi sama Yeom Jong. Aku sudah bosan melihat wajah Kakak hancur begini...” ia terus mengomel sambil mengeluarkan berbagai macam obat ke atas meja.

”Sakit bilang ya!” ia menatap Sung Pil dan mulai mengoleskan obat ke lukanya. ”Tuh, dipukuli lagi sama Yeom Jong. Kan sudah kubilang, dia itu jahat. Mendingan kakak berhenti jadi temannya...”

”Aduh yoo.. pelan-pelan yoo...” Sung Pil mengaduh kesakitan sambil mengedipkan mata ke arahku.

Rupanya adiknya sudah tahu ia berteman dengan Yeom Jong. Dan dari omelannya, kurasa ini bukan pertama atau kedua kalinya ia pulang dalam keadaan seperti ini.

“Kalau begitu, aku sampai di sini saja ya…” ujarku sambil bangkit berdiri. Tapi, tangan itu keburu menarik ujung jaketku.

“Kak Nam Gil jangan pulang dulu!!” ia menjejalkan bermacam-macam obat ke tanganku. ”Akan kuobati setelah selesai mengobati Kakakku! Kalau Kak Nam Gil bisa mengobati sendiri, silahkan! Soalnya, ini bakal lama!!”

Dengan enggan kutatap perban dan berbagai obat gosok yang dijejalkan padaku. Mungkin begini rasanya punya adik perempuan.

Sambil tertawa kecil, aku menolak bantuannya. ”Tidak perlu, Sung Fat. Adikku di rumah yang akan membantuku. Ia pasti tidak senang kalau kau merebut tugasnya...”

”Begitu?” ia menatapku dalam-dalam dan tersenyum lega. ”Baiklah, dan oh, terimakasih karena sudah menolong Kak Sung Pil...”

Seulas senyum mengembang di bibirku. Rasanya semakin lama aku semakin sulit memahami wanita. Kenapa insting mereka sangat tajam ya?


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

”Apa begitu ceritanya?” tanya Dae Chi, menatapku tidak percaya, lalu menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya. Ia terlihat sangat menikmati porsinya.

”Ya, begitu saja...” jawabku, lalu memakan buah-buahan topping yang rasanya sangat manis. Hmmm... ”Biasa saja kan?”

”Kalau kujawab biasa saja, itu namanya aku tolol....” ia terus mengunyah dan berceloteh. ”Kau tahu, pertemuanmu dengan cowok itu sudah seperti takdir tahu!” tukasnya sambil menggerak-gerakkan sendoknya.

”Takdir dari Hongkong?” tanyaku, lantas dengan kesal menyuap sesendok besar ke mulutku.

”Benar, dan rasanya setiap pertemuan kalian, seolah sudah ditakdirkan. Eh, jangan marah dulu, Yo Won...” ia masih sibuk berkomentar sambil mengamati perubahan ekspresiku. ”Begini, kau mengaku saja, masa melihatnya dalam balutan jas, begitu kerennya, kau sama sekali tidak tersentuh?”

”Tersentuh? Apa sih maksudmu?” kalau dibayangkan. Cowok itu sepertinya nyaris sempurna. Dan di balik segala kelebihannya, ia punya background keluarga yang begitu kelam.

”Lihat? Itu maksudku. Kau, secara tidak sadar, selalu tertarik ke arahnya, demikian pula dengannya. Singkatnya, kalian itu seperti magnet, saling menarik...”

”Dae Chi...” geramku. ”Jangan karena membelikanku es krim, kau merasa bisa komentar aneh-aneh ya...”

”Bukan!!” ia mulai menggerakkan sendoknya dan kemudian menusuknya lagi ke mangkuk es krimnya. ”Kau tidak sadar juga, Yo Won? Kalau aku jadi kau, aku pasti merasa sangat beruntung, kalau benar cowok setampan itu jadi pacarku. Walau aku tidak tahu ya, apa masalah keluarganya... di luar itu, ia sangat sempurna, bukan? Tapi, kurasa ia juga ada ketertarikan padamu...”

”Sudah, cukup. Aku mulai eneg mendengar ceritamu,” ujarku sambil meraih tissu. ”Yah, dia memang tampan, dan keren, jago basket, dan karate...”

”Juga jago berkelahi, tinggi, dan badannya bagus...” tambah Dae Chi.

”Oke, oke,” potongku. ”Bagaimana kalau kau sebutkan kelemahannya?”

”Apa ya? Giginya putih? Eh, itu sih kelebihan. Mungkin ini, satu-satunya kelemahannya adalah masalah keluarganya. Bagaimana?”

”Yah, apa itu kelemahannya?”

”Lantas, apa dong kelemahannya?”

”Kelihatannya dia emosian,” ujarku. ”Kalau nggak, kenapa dia selalu terlibat perkelahian?” aku mulai mencari celah untuk membuatnya memiliki kelemahan. Mustahil ada cowok yang begitu sempurnanya.

”Masa? Tapi, yang duluan mencari masalah, malah Kak Tae Wong, kan lebih dulu menarik kerah bajunya. Kurasa ia cukup terkendali...”

”Dae Chi, cukup deh! Kita ganti topik lain! Gini saja, gimana kalau kuatur agar kau bisa datang ke sekolahku dan bertemu Kak Tae Wong?”

“Oke, setuju! Aku akan mengirim sms padanya nanti! Sekedar ucapan terimakasih karena sudah membantuku menghubungi orangtuaku, alias hp-ku sendiri...” ia mulai tergelak sendiri oleh kecerdikannya mendapatkan nomor hp cowok itu.

“Silahkan saja, kau tentukan saja kapan mau main di sekolahku. Dan sekalian ke rumahku. Ye Jin pasti senang bertemu denganmu!!” seruku sambil mengaduk es krimku yang mulai cair.

”Oh, kalau aku jadi kencan dengan Kak Tae Wong, kau ajak juga si tampan Kim Nam Gil untuk double date ya! Dari dulu aku selalu ingin mencobanya! Kelihatannya seru sekali!!”
”Aarrghh... double aargh...” erangku dalam hati. ”Kenapa dalam setiap rencanamu, ujung-ujungnya melibatkan dia sih!”

’”Akui saja, Yo Won...” ujarnya sambil tertawa menatapku. ”Kau menyukainya, aku saja itu. dan aku akan berhenti menggodamu...”

”Enak saja!!” gerutuku.

Bersamaan dengan itu, handphoneku bergetar. Telepon dari Ye Jin. “Ya?” jawabku. Sejenak kemudian, dahiku berkerut, tidak percaya dengan pendengaranku. “Apa?! Baiklah, akan kuhubungi Kim Nam Gil!”


--to be continued--

2 komentar:

Dan_delion mengatakan...

i love you kim nam gil as bidam.

Chika_erfenn mengatakan...

wah, thx for the comment^^

do u like his character in here?