-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY FIRST SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Moon No: Jung Ho Bin (memakai nama asli di FF)
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
Bo Rang: Park Eun Bin (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Fatimah: Kang Sung Fat
Karinna: Kim Rae Na
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
“Kalau butuh sesuatu, kau boleh mengatakannya…” ujar Guru Jung sambil menepuk bahuku pelan. Tatapannya terlihat simpatik.
“Terimakasih, Guru.. Tetapi, sungguh, ini lebih dari cukup. Terimakasih banyak. Dan untuk uang sewanya, aku akan berusaha mencari kerja part-time dalam waktu dekat ini…”
“Tidak usah khawatirkan hal itu…” senyum Guru sambil menatapku lurus-lurus. “Kau boleh tinggal selama apapun, bahkan seumur hidupmu. Kau sudah kuanggap bagian keluarga ini…”
“Terimakasih, Guru…” aku tidak dapat menahan keinginan untuk memeluknya. Air mata mendesak di pelupuk mataku, dan dadaku terasa sesak. Guru Jung menepuk punggungku, seolah berusaha menenangkan anak kecil dalam pelukannya.
Keluarga kandung, aku tidak tahu apakah aku memilikinya atau tidak. Namun, kalau ada yang menanyakan definisi keluarga padaku, kurasa Yoon Hoo, Yong Soo, Hee Wong, Sung Pil dan Guru Jung lebih dari sekedar keluargaku.
“Kalau ada yang bisa kubantu, katakana saja, Guru…” kucoba mengubah cara bicaraku. Kurasa, kalau tetap berkeras memberikan balas jasa, Guru akan semakin menolaknya.
”Kita makan malam,” ujar Guru sambil berjalan mendahuluiku ke dapur. Aku menyusulnya dalam tiga langkah.
”Guru, bagaimana kalau tugas makan malam kali ini, serahkan saja padaku?” tanyaku. Dalam sekejap, tawanya melebar.
”Aku setuju,” jawabnya. ”Kurasa, yah... aku bisa memberikan tugas itu padamu...”
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─
“Dia belum menghubungimu?” Tanya Yoo Jin, entah keberapa kalinya hari ini.
“Belum, dan tolong sampaikan juga pada pacarmu. ’Belum...’”
”Apa maksudnya sampaikan kata belum pada Kak Sang Wook?” tanya Yoo Jin sambil berkacak pinggang.
”Dia juga bertanya padaku, kapan Kim Nam Gil akan mulai melatih basket...” aku menghela nafas. Rasanya semua orang di dunia ini seolah tak bisa hidup tanpa kehadiran pria itu. Hebat sekali Kim Nam Gil itu!
“Yo Won!! Kau dipanggil sama Yoo Seung Hoo tuh! Mungkin ada yang penting!!” teriak Ye Jin dari sisi luar koridor. Aku menyahut dan kemudian menyusulnya.
Sudah berapa lama ya tidak bertemu Seung Ho? Terakhir melihatnya, ia memandangku dengan tatapan paling aneh sedunia. Dan kini, tatapannya semakin aneh.
”Ada apa?”
”Pertama, aku mau bilang terimakasih karena sudah membantuku di festival itu.. Rasanya kalau nggak ada Kak Yo Won, mustahil acaranya bisa sesukses itu... Dan kemudian...”
“Hm?” ia kelihatan kesulitan menata kalimat untukku. Beberapa kali ia membatalkan mengucapkannya.
“Apakah... gosip itu benar? Kalau kau, pacaran dengan Kim Nam Gil?” tanyanya, akhirnya. Aku menatapnya dengan mulut menganga.
”Tidak benar, bukan?”
”Tentu saja tidak benar!” sergahku cepat. Gosip aneh darimana itu?
”Kalau begitu, bagaimana dengan perasaanmu padanya??” tatapan matanya terasa begitu dalam menatapku. Aku terpaku, menatap kejernihan matanya yang begitu polos. ”Kau menyukainya?”
Aku terdiam. Sejenak, udara seolah berhenti berhembus. Kim Nam Gil.. apa aku menyukainya? Kenapa takdir selalu mempertemukan kami dengan cara yang aneh? ”Kurasa... tidak...”
Tidak kusangka kalimat berikut yang keluar dari bibirnya tidak kalah mengejutkan. ”Aku...menyukaimu, Kak Yo Won...”
”Apa?”
”Iya, aku menyukaimu,” tegasnya. Bisa kurasakan tanganku terasa dingin. Seung Ho menyukaiku? Rasanya kok, tidak mungkin. Aku tidak sadar kalau entah sejak kapan aku sudah menertawai diriku sendiri.
”Tidak lucu,” protesnya.
”Maaf,” sahutku. ”Kau menyukaiku? Maaf, tapi... kenapa?”
”Entahlah,” ia mengangkat bahunya, lalu menarik nafas. ”Perasaan suka itu.. siapa sih yang bisa menebaknya?” tanyanya lagi.
Dan ia tersenyum polos, senyuman yang sangat menarik. ”Tapi, kurasa aku salah... dan kau, juga melakukan kesalahan, Kak Yo Won...”
”Kesalahan? Apa sih maksudnya?” Rasanya pembicaraan kami semakin berbelit-belit saja.
”Kau tidak menyadari perasaanmu, bertolak belakang denganku. Kurasa, aku juga salah mengartikan perasaanku. Maksudku, aku memang menyukaimu, tapi dalam artian lain. Mungkin... Rasa kagum?”
”Begitu?” akhirnya perasaanku juga terasa lebih lega. Rasanya aneh kalau memikirkan cowok ini pernah menyukaiku.
Ia tersenyum hangat dan menenangkan. ”Yah... rasanya perasaanku sudah lebih baik sekarang...” Seung Ho merenggangkan kedua tangannya dan menarik nafas panjang. ”Ada yang ingin kukenalkan padamu, Kak Yo Won...” ujarnya lagi.
”Siapa?” tanyaku penuh selidik. Seung Ho tertawa jenaka dan menarik seorang gadis keluar dari persembunyiannya.
” Kau mengenalnya, namun biar kukenalkan, ini pacarku, Eun Bin. Kami mulai pacaran sejak... beberapa jam lalu. Dan ia ada di sini untuk memastikan kalau aku tidak selingkuh...” pada kalimat yang terakhir, aku dan Seung Ho sama-sama tidak bisa menahan tawa kami, apalagi melihat wajah Eun Bin yang memerah seperti tomat, lucu sekali, hahaha....
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
”Apa tidak masalah kau mengajakku ke rumahmu?” tanyaku pada Sung Pil.
Ia tersenyum dan menjawab dengan polosnya. ”Yeom Jong sedang keluar kota untuk bertemu dengan Baek Do Bin, yoo.. Kurasa ia tidak akan kembali dalam waktu dekat....”
Kurasakan alisku berkerut pelan. ”Siapa itu Baek Do Bin?” tanyaku dengan bingung.
Seketika wajah Sung Pil memucat. “Kecilkan suaramu, yoo… Ahh, kenapa mulutku tidak bisa direm yoo? Uhh… Baek Do Bin itu, ketua mafia yang cukup terkenal, dan ia menguasai daerah Incheon. Dia merupakan back up terkuat untuk Yeom Jong, yoo… rahasiakan ya, yoo…”
“Oke, tidak masalah…” kami berjalan memasuki pelataran kompleks apartemen.
Sung Pil menekan tombol lift dan ketika kami menaikinya, ia tersenyum salah tingkah. ”Akan kukenalkan pada adik tiriku... dia anaknya manis sekali, yoo...”
”Oh ya?” aku tertawa menanggapi tingkah lakunya yang polos. ”Kenapa wajahmu merah sekali saat menyebut nama adik tirimu?”
”Soalnya, dia manis, yoo…” elak Sung Pil malu. Namun aku tahu, perasaannya tidak sebatas kakak terhadap adiknya. Entah ya, tapi menurutku sih begitu.
“Aku pulang,” ujar Sung Pil sambil memasuki pintu rumahnya. Seorang gadis menyambut kedatangan kami. Persis seperti kata Sung Pil, ia memang manis... tapi dari tatapan mata Sung Pil, sepertinya lebih dari itu.
”Selamat datang, silahkan masuk,” sapanya. ”Ahh, kau pasti Kim Nam Gil yang sering diceritakan Kakak kan? Ayo, masuk, kubuatkan teh,...”
”Tidak usah repot-repot Sung Fat,” senyum Sung Pil. Aku tertawa pelan saat melihat gadis itu mencibir ke arah kakaknya dan tertawa.
“Hubungan kalian dekat juga, ya...” suaraku terdengar getir ketika teringat betapa dinginnya suasana rumahku.
”Lumayan, yoo…” sahut Sung Pil malu. Namun jelas, ada nada bangga dalam suaranya. Ia tampaknya tahu, aku memang tidak biasa memuji seseorang.
“Kurasa, aku butuh bantuanmu, Sung Pil...”
”Apa, yoo?” tanya Sung Pil.
”Tapi sebelumnya, ada yang mau kutanyakan…”
“Apa itu, yoo?” tanyanya lagi.
”Apakah akses seorang mafia luas? Apakah aku bisa mendapat banyak informasi kalau menjadi bagian dari mereka?”
Wajah Sung Pil berubah warna menjadi seputih kertas. ”Tidak akan kubiarkan kau terjerumus, yoo!!” suaranya terdengar gusar.
”Baiklah, lupakan. Tadinya aku hanya berharap bisa mencari informasi tentang keluargaku dengan mudah... dan kenapa aku disebut pembunuh...” kukecilkan suaraku, agar tidak seorang pun mendengar selain kami berdua.
”Kalau hanya mencari informasi, sebaiknya kau gunakan detektif, yoo... bukannya jaringan mafia. Mereka mungkin memang bergerak cepat, tetapi ikatan mereka sangat kuat, yoo...”
”Tehnya siap!!” Sung Fat menghidangkan teh dan dengan senyuman ceria meninggalkan kami. ”Aku jalan-jalan ke mall dulu ya sama Kim Rae Na, kak...”
”Cuma berdua saja?” wajah Sung Pil terlihat cemas.
“Tidak usah khawatir begitu! Mall-nya kan dekat!!” gadis itu terlihat sebal karena kakaknya begitu protektif. ”Akan kuajak Dae Chi bersamaku!!”
”Jangan pulang terlalu malam,” ujar Sung Pil sebelum pintu tertutup sepenuhnya.
”Kurasa kau sangat perhatian padanya....” ujarku sambil menyeruput tehku pelan.
”Begitulah, kurasa... kau sudah bisa menebaknya, kan yoo?” rona merah menjalari wajah Sung Pil.
”Kurasa begitu,” jabaku lalu meminum tehku lagi. ”Menurutmu... apa sebaiknya aku menemuinya saja?”
”Mamamu?”
”Belum tentu dia Mamaku!!” tukasku dengan suara keras.
Sung Pil terdiam, kaget dengan perubahan nada bicaraku. ”Maaf, yoo… sepertinya mereka yakin sekali kalau mereka keluargamu, yoo… Makanya….”
“Tidak, tidak usah minta maaf...” kukepalkan tunjuku dan kuacak rambutku dengan bingung. “Kau benar, mereka memang terlihat terlalu yakin. Karena itu, kurasa ada yang tidak beres di sini, tapi kurasa... untuk menemuinya sekarang....”
”Aku siap menemanimu kapan saja, yoo...”
”Terimakasih, tapi tidak perlu. Kurasa, mulai dari sini, aku akan bergerak sendiri. Hanya saja, kapanpun kubutuhkan, aku harap aku bisa mengandalkanmu....”
Senyuman Sung Pil mencerah. “Kau tahu, yoo! Kapanpun kau minta, aku akan selalu siap, yoo!! Kapan kau akan menemui mereka?”
Kukepalkan tinjuku, berharap membantuku membulatkan tekadku. ”Secepatnya... kurasa... Belakangan ini, aku terlalu banyak membuang waktuku...”
--to be continued--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar