Jumat, 16 Juli 2010

Fanfic The Future and the Past, side story 8

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 2
-CINDERELLA AGAIN-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
tita: Park Ri chan
Bo Jong Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (tetap memakai nama ini)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

Tanganku masih terasa gemetar. Kuatkan dirimu, Ri Chan, batinku. Dok Bin tertidur pulas di ranjang rumah sakit, dan nafasnya sayup-sayup terdengar. Ia masih hidup dan itulah yang harus kusyukuri.

“Kapan ia akan sadar?” tanya Nam Gil. Ia masuk sambil membawa keranjang buah dan makanan dalam plastik. “Kau makanlah, kau pasti perlu tenaga untuk menjaganya semalaman…”

“Ya, terimakasih…” senyumku, menerima makanan yang disodorkannya.

“Jadi, kapan…?” tanya Nam Gil.

“Oh, apa?” otakku sempat kacau sejenak. “Bisa kau ulangi? Aku tidak begitu fokus tadi…” ujarku sambil tersenyum kikuk.

“Kapan kalian akan menikah?” tanya Nam Gil, masih dengan intonasi yang sama. Dadaku berdebar naik turun mendengarnya, dan sekejap kemudian, air mataku sudah tumpah begitu saja.



“Aku minta maaf…” Nam Gil menyodorkan tissue padaku, entah keberapa kalinya. “Seharusnya aku agak peka…”

“Oh, tidak, bukan salahmu…” elakku. “Kau sudah sangat membantu di Rusia. Dan Dok Bin juga sudah mengatakan padamu kalau setelah urusan Rusia selesai, kami akan membubarkan grup mafia dan kemudian mengurus pernikahan…”

Samar-samar kulihat Nam Gil mengangguk. “Akulah yang tidak siap dengan pertanyaanmu… maaf….”

“Ya, tidak apa-apa kok…” ia tertawa lebar sambil menggaruk kepalanya. “Kulihat grup kalian sudah bubar baik-baik, dan itu membuatku sangat lega…”

“Ya,” sahutku, merasa lebih antusias. “Dengan uang yang kami bagikan―Do Bin menyebutnya pensiun―mereka setuju untuk mencoba cara hidup yang lebih baik…”

“Dan Yeom Jong… dia yang mengacaukan segalanya?” tanya Nam Gil dengan senyuman simpatik. Aku tidak dapat menahan anggukan kepalaku. Suasana hening meliputi kami.

Di kepalaku, semua tergambar sangat jelas. Kami sedang memilih undangan perkawinan.

“Yang ini lucu…” ujarku, mengangkat salah satu desain kartu berwarna pink.

“Terlalu kecewekan… yang ini saja, lebih keren…” Dok Bin mengangkat kartu berwarna keperakan.

“Tapi, kalau begitu sih… aku yang ini saja… lebih elegan!!” balasku, menyodorkan kartu berwarna keemasan.

Dok Bin tertawa dan meneliti kartu-kartu itu lagi. Lalu, tiba-tiba… pria itu masuk. Tatapan marahnya terlihat mengerikan. Matanya berkilat, dipenuhi dendam.

“Mau apa kau ke sini!!” seru kami berdua, terkejut.

“Hai Ri Chan…” ia kembali tersenyum mengerikan ke arahku. Dan Do Bin secepat kilat menarik tanganku, menyuruhku berlindung di belakangnya. “Dan Do Bin, kuharap kau tidak lupa, wakilmu itu, Kim Nam Gil dan Sung Pil sungguh merepotkanku di Rusia…”

“Semua akan baik-baik saja kalau kau tidak pernah muncul di Rusia, di Korea, atau di manapun! Kau membuat Sung Pil terbunuh!!”

“Oh, ya, ya…” ia tersenyum sambil merogoh saku celana panjangnya. “Aku tahu, adiknya yang manis itu pasti sedih, bukan? Dan kurasa, sebentar lagi Ri Chan juga akan merasakannya!!”

“Jangan!!!” pekikku sambil mendorong Dok Bin begitu Yeom Jong mengangkat pistolnya. Lenganku terasa panas. Rupanya peluru itu menyerempet lengan bajuku.

“Ri Chan!!” seru Dok Bin kaget. “Brengsek kau!!” ia menatap marah ke Yeom Jong yang tampak kaget melihat lenganku berdarah.

“Berikutnya kau!!!” sru Yeom Jong. Ia menarik pelatuknya dan detik itu juga jantungku nyaris lepas melihat Dok Bin terkapar di lantai sambil berguling-guling memegang perut dan bahunya.

“Polisi!!” seruku panik. Tanganku gemetaran saat menghubungi nomor polisi. Dan ambulans.

Yeom Jong melangkah dengan tenang keluar ruangan. “Sayang sekali kau miliknya, Ri Chan… padahal aku menyukaimu…”

“Kau pembunuh!” seruku. Air mata merembes dari mataku. “Kalau Dok Bin mati, aku bersumpah, tanganku ini yang akan membunuhmu!!”

“Coba saja, silahkan! HAHAHAHAHA…” tawanya bergema di seluruh ruangan. Sebelum benar-benar pergi, ia menambahkan. “Aku benar-benar tertarik pada wanita yang berani…”



“Dia biadab sekali…” komentar Nam Gil saat kejadian itu kuceritakan. Pagi itu, saat menghampiri rumahnya, aku hanya bisa menceritakan garis besarnya. Apalagi ada orangtua dan adiknya di sana. Mana bisa aku mengatakan semuanya.

“Benar, dan untungnya Dok Bin tidak apa-apa…” tanganku terasa gemetar saat menyisiri rambutku. “Dan bahunya juga… Dan ia juga tidak akan cacat…”

“Tentang Yeom Jong… aku rasa dia sangat malang. Sendirian dan tidak ada orang yang benar-benar ia percaya… Kau tahu sebabnya?”

Aku mengangguk sekali. “Dok Bin pernah cerita… keluarga pria itu kacau. Dan ia tinggal bersama pamannya, Seo Bum Shik, pria yang suka memakai kekerasan…” aku bergidik sedikit saat mengingat cerita Do Bin.

“Tidak heran wataknya seperti itu…” ujar Nam Gil sambil geleng-geleng kepala. “Kau ada rencana, Ri Chan?”

“Belum ada,” sahutku pendek. “Akan kucoba memikirkannya…” Ada begitu banyak pikiran di otakku saat ini.


─Baek Do Bin, Seoul, 25 Desember 2008─

Kalimat pertama yang kudengar begitu mataku terbuka, adalah, “Syukurlah kau sudah sadar, Do Bin…” Dan kegiatan pertamaku adalah tersenyum.



“Merry Christmas…” Ri Chan tertawa sambil menyuapkan sepotong biscuit ke dalam mulutku. “Hadiah natal dariku, kue kering buatanku sendiri…” ujarnya sambil tersenyum dan menyuapkan sepotong lagi.

“Enak,” gumamku sambil terus mengunyah. “Agak kurang manis, tetapi enak…”

“Hu… katanya nggak suka manis… dibikinin malah dibilang kurang manis… Ya sudah, untukku saja…” ia memasukkan sepotong ke mulutnya. Cepat-cepat kuambil bungkusan di tangannya.

“Hei!! Ini kan kado natalku… Untukku ya berarti untukku… Kenapa kau memakannya, kan jatahku jadi berkurang,” protesku sambil mendekap bungkusan itu dalam pelukanku. “Kau tidak pulang? Orangtuamu mungkin menantimu di rumah…”

“Ya, tapi ada seorang pria besar yang kesepian kalau kutinggal sendiri. Lagipula, Papa punya Mama yang menemani. Kau?”

Senyum mengembang di pipiku. “Karena sikapmu manis, aku berikan satu potong…” ujarku sambil menyuapkan sepotong ke mulutnya. Kami tertawa bersama sambil memakannya.

“Hm…. Do Bin, tentang pernikahan.. lebih baik kita mengundurnya, bukan?” tanyanya ragu. Aku memandangnya bingung. “Kebetulan, aku ada sesuatu yang harus diurus…” ujarnya, tampak gugup.

“Ya, aku tahu, kita harus benar-benar siap, bukan?” tanyaku.

“Dan besok, aku tidak bisa datang…”

“Oke, tidak masalah…” Tetapi, entah bagaimana, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku. Apakah ia kecewa karena aku harus dirawat lama di rumah sakit ini?

Malam itu, sesudah Ri Chan pulang, aku menemui dokter dan menanyakan beberapa hal mengenai kemungkinan pulang lebih cepat. Di luar dugaan, dokter menyetujuinya!!


─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

“Ada angin apa ini? Bisa-bisanya tunangan Do Bin mengajakku bertemu…” tawa mengejek mengembang di sudut bibirnya.

“Aku ingin bicara empat mata denganmu…” ujarku, berusaha tampak tenang. “Di kafe itu saja…”

“Oke, tidak masalah…” ia merangkulkan lengannya ke pundakku.

“Lepaskan tanganmu,” ujarku memperingatkan. Ia patuh dan membukakan pintu untukku.

“Apa yang mau kau tanyakan?” pria itu, Seo Bum Shik mulai menghisap rokoknya. “Silakan, tanya saja…”

“Apa kau tidak bisa mengurus keponakan sendiri?” aku memesan secangkir teh pada pelayan. “Bagaimana bisa dia mencoba membunuh calon suamiku?”

“Sejak kecil tingkahnya memang demikian. Kalau tidak mendapat apa yang diinginkannya, ia akan menggunakan segala cara untuk mendapatkannya. Bisa kutebak, kau adalah benda yang dia inginkan…” Bum Shik menyentuhkan tangannya ke atas tanganku. Aku ingin menariknya namun ia dengan kuat menekannya.

“Lepaskan…”

“Dan bisa kutebak, kau memang menarik…”

“Lepaskan!!” seruku dan tepat pada saat yang sama, sebuah pisau menancap di tangan Bum Shik.

“Anak jahanam kau!!” maki Bum Shik saat melihat Yeom Jong melangkah masuk dan menarikku. Kutepis tangannya tetapi gagal. “Sudah kukatakan, jangan muncul lagi di hadapanku! Kita tidak punya hubungan apapun!!” seru Bum Shik sambil mengerang dan menahan darahnya dengan serbet meja.

“Tapi wanita ini akan menjadi milikku. Cepat atau lambat. Dan kau menyakitinya,. Tidak mungkin aku diam saja…” suaranya terdengar bengis saat bicara. Bum Shik pergi keluar kafe dengan marah, sementara Yeom Jong masih saja memegang lenganku, menahanku tetap di tempat.

“Lepaskan!” makiku padanya. Ia tetap tidak bergeming. “Baik, terimakasih karena menolongku tapi aku tidak pernah minta ditolong oleh pria yang kubenci…”

“Sama-sama…” sahutnya sambil melepaskan tanganku. Dengan kesal, kuletakkan sejumlah uang di meja untuk membayar kafe itu. Dan kemudian, secepat mungkin, aku berlari meninggalkan tempat itu, sebelum akhirnya bertabrakan dengan seseorang.

“Do Bin!!” seruku, terkejut sampai nyaris mau pingsan.

“Dia melindungimu,” seulas senyum mengejek muncul di bibir Do Bin. “Kurasa aku benar-benar salah… atau kacau… Maaf, Ri Chan… sementara kita jangan bertemu dulu..” suara Do Bin sedingin siraman air es di kepalaku. Apakah hubungan kami harus berakhir seperti ini?


─Baek Do Bin, Seoul, 25 Desember 2008─

“Nam Gil, aku minta kau Bantu aku mengawasi Ri Chan…”

“Do Bin…” wajah Nam Gil terlihat serba salah.

Tugasnya sudah double, menjaga pacarnya dan menjaga adiknya Sung Pil. Dan kini kalau kutambahkan lagi, artinya tugasnya triple. Kurasa ia tidak akan sanggup.

“Baiklah, aku tidak akan memintamu…”

“Aku akan berusaha membantu. Tapi, kau tahu, tidak bisa 100 persen percaya padaku… Aku tidak bisa selalu di sampingnya… Kau lebih pantas menjaganya…”

“Aku masih seperti pria cacat, Nam Gil.” Kugerakkan tanganku dengan susah payah. “Dan melihat Yeom Jong yang ternyata melindunginya, aku makin membenci diriku sendiri…”

“Tapi, Ri Chan membutuhkanmu…”

“Seperti aku membutuhkannya…”

“Do Bin, kita perlu menyusun rencana untuk menjebak Yeom Jong…” tanganku kukibaskan pelan dan Nam Gil terdiam memandangku. “Kau sudah punya rencana, rupanya?”

“Tidak sulit,” jawabku enteng. “Kau hanya perlu ini…” tanganku kuketukkan pelan di kepalaku. “Dan uang plus koneksi, dan voila, kau dapat informasi!!”

“Perlu menghubungi polisi?”

“Sudah kulakukan,” jawabku. “Di saat orang lain bisa menggerakkan tangannya bebas, aku perlu mencari cara lain unttuk membuat Ri Chan terkesan padaku…” akuku jujur.

“Baiklah, jadi apa rencanamu?”

“Tiga hari lagi, Yeom Jong akan menyelundupkan narkoba dan minuman keras lewat tiga pelabuhan terpisah di Korea. Aku sudah menghubungi polisi dan mereka akan menangkapnya… Kurasa ia tidak bisa kabur lagi sekarang…”

“Pria yang menyedihkan… Tempat iti dikelilingi karang besar dengan ombak tinggi. Sulit untuk lari hidup-hidup…”

“Ya, sangat sulit…”

“Dan… tentang Ri Chan, kurasa aku berubah pikiran,” ujar Nam Gil tiba-tiba. “Aku tidak bisa menemaninya. Jadi bung, selamat bersenang-senang…” bersamaan dengan tepukan ringannya di bahuku, Nam Gil berlalu dan pergi.

Aku tidak dapat menahan senyumku. Nam Gil tidak pernah kalah cermat dariku. Kuambil surat beramplop perak dari meja dan membacanya pelan. Kapan Nam Gil melihatnya? Dasar sialan…


─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

Akhir tahun adalah saat yang paling menyenangkan untuk pesta. Seharusnya, tentu saja. Dan sekarang, tanpa pria di sampingku, aku tidak merasa nyaman.

Rencana semula, pesta ini akan digunakan oleh Do Bin untuk mengumumkan hubungan kami ke semua relasi bisnis keluarga kami. Tetapi semuanya gagal dan hancur sekarang. menyebalkan sekali.

“Sampanye, nona?” dengan senyuman kutolak tawaran pelayan itu.

“Mungkin sebaiknya aku pulang saja,” pikirku kesal. Dan lagi-lagi, seorang wanita tidak sengaja menyenggolku sehingga nyaris saja aku jatuh kalau saja tidak berhasil meraih pinggiran meja itu.

“Wow, terimakasih…” pikirku malu saat sepatuku lagi-lagi terlepas tidak jauh dariku. Memang menyebalkan kalau memakai sepatu tanpa sling atau sangkutan… rasanya gampang sekali lepas. Dulu pun… pernah kejadian seperti ini… Dan…sekarang D Bin… tunggu, bukankah itu adalah…

Kurasakan nafasku naik turun tidak terkendali.

“Hello again Cinderella…” ujar Do Bin sambil mengambil sepatuku dan memakaikannya.

Beberapa orang berhenti berdansa dan menatap kami sambil berbisik-bisik. Bahkan MC datang dan mendekati kami sambil mengucapkan sepatah dua patah humor segar.

“Jadi, apa Anda akan berdansa dengan Cinderella?” goda MC sambil tersenyum.

Do Bin mengulurkan tangannya dan mengajakku berdansa pelan-pelan. Tanganku berada di atas bahunya, semuanya seperti mimpi.

“Bahumu tidak sakit lagi?” tanyaku kaget. Do Bin tersenyum sambil menuntunku berdansa. Musik masih mengalun, dan kini hanya kami yang berdansa di tengah ruangan.

“Kau cantik malam ini…” ujarnya kagum. “Bukan berarti malam sebelumnya tidak cantik. Hanya saja, hari ini kau lebih cantik dari biasanya…”

“Terimakasih,” suaraku terasa bergetar di tenggorokanku. “Aku sudah lama sekali tidak melihatmu…”

“Maaf, kalau cemburu, tindakanku sering kekanakan…” ia tersenyum mengakui. Kami berhenti berdansa. “Ayo kita ambil minum,” ajaknya.

“Tunggu, aduh…” ujarku, kesal. Do Bin menatap kakiku dan tertawa. Ia membungkuk lalu membantuku memasang sepatuku dengan benar. Dan detik itu, kulihat ia memakaikan gelang kakiku kembali.

“Do Bin…”

“Aku mengembalikannya…”

“Jadi, hubungan kita benar-benar sudah selesai?” tanyaku dengan mata nanar.

Do Bin menatapku bingung dan tertawa keras. Akhirnya, ia kembali berlutut dan mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. “Maukah kau menikah denganku, Cinderella?”

Air mata merembes keluar begitu saja. Dalam satu tarikan nafas, aku sudah melompat dan menghambur dalam pelukannya. “Ya, aku mau!!” seruku sambil menangis di bahunya. Do Bin menarikku dalam pelukannya dan menciumku.

Sebuah kalimat klasik melintas di kepalaku. Pangeran menikahi Cinderella, dan mereka hidup bahagia, selamanya. Apakah… kami juga akan mengalaminya? Ya!! Kurasa, ya!!!

-selesai-

Tidak ada komentar: