Minggu, 02 September 2012

fanfic wine, man, love 6

WINE, MAN, LOVE 6

by Patricia Jesica on Wednesday, September 14, 2011 at 5:47pm ·

Chapter6
Wine, man, love
-Fact and Truth-


―Hong Family’s House―
“Ada apa ini?” seru seorang wanita. “Tae-song?” ia menatap Nam-gil kaget dan langsung memeluknya. Wanita ini tampak cantik dengan rambut pendeknya. “Kenapa? Apa dia sakit?” tanyanya pada Jae-in dengan nada cemas.

“Aku tidak tahu…” jawab Jae-in. “Dia tidak mengenalku. Dia tidak tahu siapa itu Tae-song… siapa itu Gun-wook…” nada suara Jae-in terdengar putus asa. “Aku tidak tahu ada apa dengannya?”

“Apakah itu anakku?” tanya suara yang lainnya. Nam-gil mengangkat wajahnya dengan terkejut. Seorang pria tua memandangnya dengan mata penuh kasih. “Tae-song? Kau pulang?” pria itu menyongsongnya dalam pelukan.

Nam-gil tidak tahu apa yang terjadi. Sampai mulutnya sendiri menghianati otaknya. “Ayah…” tukasnya.

Jae-in dan Tae-ra berpandangan dengan bingung. Sedetik kemudian, Nam-gil mencengkeram kepalanya yang terasa sakit seperti mau meledak. “Argh! Hentikan! Hentikan!!!” ia merasakan kepalanya sakit seperti dihantam. Ribuan memori datang menghampirinya.

“Jangan! Jangan!” pintanya memohon. Dalam benaknya, seorang wanita datang mencekiknya. Setiap hari. Setiap malam. Kali ini lehernya yang terasa sakit. Ia bisa merasakan kebencian mendalam dari wanita itu.

“Kenapa? Ada apa dengannya?” Tae-ra dan Jae-in berpandangan dengan bingung.

Mo-ne berlari dari dalam rumah, menghampiri keributan di luar. “Ada apa? Ribut sekali di luar…” keluhnya. Seketika tangannya terangkat menutup mulut ketika melihat siapa yang berada di luar gerbang. “Kak Gun-wook! Tidak mungkin!” desisnya. “Aku sudah membunuhnya!”

“Apa katamu!” Tuan Hong memandang marah ke arah Mo-ne. “Nanti saja bicaranya! Panggil dokter!” Tuan Hong maju dan memeluk Nam-gil yang menggelepar dan terus mencengkeram kepalanya yang terasa sakit seperti ditusuk. “Tenanglah, tenanglah Tae-song, ada Ayah di sini…”

“Hong Tae-song… mulai hari ini margamu Hong…”

“Kau berbohong? Kau membohongiku?” tanya pria tua itu marah. Siapa? Dia… ayah? “Bukan… bukan… aku tidak berbohong…Jangan usir aku!!”

Kilasan lain muncul lagi di kepalanya. “Minggir!” seorang pria mendorongnya sampai jatuh menimpa lemari kaca. “Argh!!!” luka yang seharusnya sudah sembuh itu kini terasa tajam menusuk.

“Aku Moon Jae-in… Apa kau Hong Tae-song?” Nam-gil merasakan bibirnya terangkat membentuk senyuman. Ia tahu jelas gadis ini sengaja berpura-pura menubruknya. “Kalian akan hancur…” suaranya sendiri terdengar kejam dan kesepian saat menatap ribuan foto di hadapannya.

“Siapa aku? Suatu waktu di masa kecilku aku bernama Tae-song… dan sekarang, namaku adalah Gun-wook. Shim Gun wook…”

“Apa kau menipuku? Jadi, sebenarnya di sinilah rumahmu?” gadis itu menatapnya marah. Jae-in yang terlihat cantik sekalipun sedang marah.

“Malam ini kau yang terindah…” Astaga, ia mengenal kode dan isyarat tangan itu. Wanita berambut pendek yang dimaksud olehnya tampak terkejut dan segera memalingkan wajah. Siapa dia? Tidak seharusnya aku mendekatinya, tapi… Tae-ra. Ya, dia… kakakku?

“Marahi saja aku… Anggap aku Tae-song. Kau boleh memukulku…” Jae-in mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata. Kesesakan yang sama memenuhi dada Nam-gil. Ia tidak bisa menahan diri untuk maju dan mencium gadis itu…

“Kau pasti lelah bukan?” tangis gadis itu. Selalu saja ia menangis untukku, batin Nam-gil bingung. Kali ini lokasi mereka terlihat seperti di sebuah rumah sakit jiwa. Ruang isolasi. Tidak, aku tidak gila… ini hanya sandiwara…

“Ada aku…” senyum gadis itu. Mereka berpelukan dan berciuman. Saat itu segalanya terasa begitu indah… Walaupun tanganku sudah dipenuhi dosa…

“Kau membuatku jadi kejam, Kak!” cetus seorang gadis. Siapa dia? Siapa? Oh… ya… Mo-ne. Mo-ne. Itu namanya… sedetik kemudian, gadis itu menarik pelatuk pistolnya. Semuanya gelap… gelap…

“Memandang dunia… dari mata kekasih…”

Kali ini, gadis lain duduk di hadapannya. Tersenyum hangat. “Masa lalu memang penting, tapi yang lebih penting lagi adalah sekarang dan masa depan…”

Gadis itu adalah… Yo-won.

―Seoul Hospital―

Nam-gil membuka matanya yang dipenuhi air mata. Di samping kiri kanannya, Ayahnya, Tae-ra, Jae-in, dan Mo-ne menunggunya sadar. Juga seorang wanita separuh baya dengan senyuman menenangkan. Wanita itu adalah… bibi pengasuhnya dulu saat tinggal di rumah keluarga Hong.

“Bibi,” panggilnya sambil tersenyum. “Senang bisa melihatmu lagi…”

“Tuan muda, syukurlah…” Bibi itu maju dan menyerahkan sebungkus permen ke tangannya.

“Ya, terima kasih Bibi.” Nam-gil menerimanya dengan tangan gemetar. Dibukanya bungkus permen itu perlahan dan dimasukkannya ke dalam mulut. Air matanya menetes begitu rasa yang familiar itu menyentuh lidahnya. “Aku ingat rasa ini…” tangisnya.

“Kenapa tidak ada kabar selama ini?” tanya Ayahnya sedih sambil merangkulnya. “Bukankah kau pergi ke Amerika?”

“Aku tidak pergi ke Amerika sebenarnya…” tutur Nam-gil.

Mo-ne lebih dulu mengakui kesalahannya, “Aku menembak Kak Gun-wook… maksudku, Kak Tae-song malam itu…”

“A-apa katamu!?” Tae-ra, Jae-in, dan pria tua itu menatap putrinya dengan keterkejutan yang tidak dapat disangkal. “Kenapa?”

“Sudahlah, itu tidak penting lagi… Mo-ne memang menembakku malam itu, tapi itu karena salah paham saja. Ia mengira aku menghancurkan keluarganya. Dan sebagian besar hal itu benar. Aku yang salah…” senyumnya pedih. Mo-ne memalingkan wajahnya karena malu dan menyesal.

“Tapi sekarang lukanya sudah sembuh. Aku sudah tidak apa-apa. Pendeknya, aku lahir lagi dari kematian. Sebuah keluarga mengadopsiku dan memberiku nama baru. Ingatanku hilang total, dan baru saja aku mengingat semuanya…”

“Benarkah? Lukanya sudah sembuh?” wajah Tae-ra dan Jae-in sama cemasnya. Nam-gil mengangkat kaosku dan memperlihatkan pada mereka. “Maaf sudah membuat kalian semua khawatir… Sekarang, apa aku boleh pinjam telepon?”

“Kau mau menelepon gadis tadi? Adikmu, ya?” tanya Jae-in sambil tersenyum.

“Bukan,” balas Nam-gil. Lehernya terasa kering saat memaparkan fakta itu, mengingat dulu mereka sempat saling menyukai. “Dia tunanganku…”

Sejenak Tae-ra dan Jae-in tampak syok mendengarnya. “Tunanganmu?” tanya mereka tidak percaya. Mo-ne ikut memandang Nam-gil dengan tatapan kaget. “Maaf Jae-in…”

“A-aku pulang dulu…” gadis itu menyambar tasnya dan  berlari keluar.

Tae-ra memandang Nam-gil dengan cemas. “Dia menunggumu selama ini…” Di matanya juga terbersit ungkapan yang sama, bahwa Tae-ra sebenarnya juga memaksudkan hal itu untuk dirinya. “Kau mau menelepon keluargamu yang sekarang juga?” tanyanya sambil mengulurkan ponselnya.

“Ya,” Nam-gil tersenyum berterimakasih. “Aku senang bisa bertemu kalian lagi… dan kau juga, Mo-ne. Aku bersalah padamu…”

“Itu tidak benar, Kak…” Mo-ne menghambur ke pelukan Nam-gil dan menangis. “Sejak hari itu aku terus menyesal dan tidak bisa tidur. Aku merasa sangat berdosa…”

“Kenyataannya aku tidak apa-apa…” Nam-gil mengelus kepala Mo-ne dan tersenyum tulus padanya. “Kita saling memaafkan saja…” bujuknya, disambut anggukan antusias dari Mo-ne.

“Ya, ya! Aku merindukanmu, Kak…” tangis Mo-ne di dadanya.

―Shim Gun Wook’s House―
“Ternyata benar dugaanku, kau pasti akan kemari…” Nam-gil tersenyum dan memutar posisi kursi tempatnya duduk ketika Jae-in melangkah memasuki rumahnya.

“Aku selalu tidak tega kalau tidak membersihkan tempat ini…” Ucapan Jae-in membuat hati Nam-gil terasa ditikam rasa bersalah. “Aku selalu mengira-ngira kapan kau pulang. Aku tidak mau kau pulang dan semuanya terlihat kotor…”

“Aku akan menjual tempat ini, Jae-in…” tukas Nam-gil. “Jadi, seterusnya kau tidak perlu repot-repot membersihkannya.

“Apa maksudmu!” Gadis itu menatapnya marah. “Kau tidak senang aku kemari?”

“Bukan, hanya saja…” Nam-gil memilih kata-katanya sebelum bicara. “Tempat ini menyisakan masa lalu yang buruk dan kejam. Aku tidak mau kembali ke dendam yang sama…”

“Tapi ini juga tempat di mana pertama kalinya aku memasak untukmu! Dan sebelum kau pergi ke Amerika, bukankah kita sudah saling memahami? Maksudku… kita saling mencintai. Benar kan?”

Nam-gil menutup matanya. Ia jelas mengingat semua itu sekarang. Malam itu sebelum Mo-ne menembaknya, mereka sempat bertukar perasaan dan mengakui perasaan mereka dalam sebuah ciuman panjang.

Ia mencintai gadis itu. Maksudnya… dulu… ia pernah sangat mencintainya. Begitu mencintainya sampa-sampai ia mendoakan kebahagiaan gadis itu setiap hari. Jae-in adalah satu-satunya orang yang ia harap tidak mengetahui kejahatannya, masa lalunya yang kejam, dan semua kepedihannya.

Tapi… bagaimana dengan… Yo-won?

Bayangan Yo-won sejenak memenuhi diri Nam-gil. Betapa ia menyukai tawa gadis itu, senyumnya, dan matanya yang terlihat jernih dan jujur.

“Sekarang tidak sama lagi, maafkan aku…” Nam-gil meminta-maaf dengan penuh penyesalan. “Aku memang sangat mencintaimu dulu…”

“A-apa maksudnya itu?” Gadis itu bertanya dengan air mata mengambang. “Sekarang tidak lagi? Kenapa? Karena ada gadis itu di sampingmu?”

“Sebagian benar,” Nam-gil mengulum senyuman terpaksa. “Maafkan aku, Jae-in…”

“Kau juga dulu pernah… terlibat hubungan menyesatkan dengan Tae-ra… Jadi, ucapanmu itu tidak akan kudengar. Mungkin saja hubunganmu dengan gadis itu hanya perasaan sesaat. Aku tahu, di antara kita bukannya tidak ada apapun. Aku akan menunggu sampai kau sadar, Nam-gil…”

“Jae-in… Kau sudah tahu, bukan…”

“Mari kita bicara lain kali saja…” elak Jae-in sambil menyambar tasnya dan pergi. sebelum benar-benar melangkah keluar, ia menyentuh kenop pintu dan mulai terisak kecil, membuat Nam-gil merasa tidak tega. “Kau… jangan menjual tempat ini…”

Blam.

Pintu yang tertutup itu seperti menggemakan sebuah luka di dada Nam-gil. Apakah memang begini caranya? Seandainya tidak ada Yo-won, tidak ada penembakan dari Mo-ne… apakah ia akan menghabiskan seluruh sisa hidupnya bersama Jae-in?

Lantas… siapa yang bisa disalahkan?

Siapa yang harus… tersakiti nantinya?


-to be continued-


Tidak ada komentar: