Selasa, 08 Juli 2014

TRY MY LOVE 18

TRY MY LOVE 18

July 5, 2011 at 8:10am
TRY MY LOVE
Chapter 18
Cast:
Author (Jesica) as Park Jae Shi
Han Geng as himself
Wei Li Zhi as herself
Ji Ro Wang
Kim Ri Na
Kim Nam Gil
Lee Yoo Hee


―Wei Li Zhi, Seoul  International Airport, 2010―

Sekarang Jae Shi mungkin sedang menelepon ke rumahku. Dan kalau dia tahu aku pergi tanpa bilang apapun padanya, mungkin dia akan marah dan mengomeliku. Hhh… maaf ya, Jae Shi. Semua ini juga terlalu mendadak untukku.

Aku sedang membaca buku di kamar siang tadi, dan tiba-tiba ponselku berdering. Lagu ringtone-nya adalah lagu khusus untuk Ji Ro.

(dialog dengan tanda “*” berarti berbahasa Mandarin)

“*Ji Ro?” tanyaku, gembira. Tidak biasanya ia melakukan sambungan internasional denganku kecuali via YM, pikirku.

“*Bukan, ini Wu Zhun…” jawab suara dari seberang. “*Apakah ini Li Zhi?” tanyanya lagi.

“*Ya. Kenapa dengan Ji Ro?” tanyaku langsung to the point. Soalnya, ini benar-benar aneh. Tidak biasanya Ji Ro diwakilkan bicara. Ia biasanya langsung bicara padaku. Perasaan tidak enak memenuhi benakku.

“*Apakah beritanya belum sampai ke Korea? Ji Ro ada kecelakaan di lokasi syuting film. Dan sampai sekarang, dia belum sadar…”

“*Apa?”

Astaga. Ternyata firasat burukku benar.

“*Mungkin terlalu mendadak, tapi, bisakah kau ke sini? Kata dokter, semenjak kemarin, ia terus memanggil namamu…”

“*Aku ke sana sekarang!” seruku tanpa pikir panjang.

Saat itu yang terpikir di kepalaku adalah mengajak Jae Shi untuk menemaniku. Tetapi, begitu meneleponnya dan mendengar bahwa ia sedang bersama Han Geng, aku sadar aku salah.

Mengajaknya pergi menemaniku artinya egois. Mana mungkin aku mendadak memintanya meninggalkan kuliah dan Han Geng hanya untuk menemaniku? Karena itulah, setelah telepon kumatikan, aku langsung mengemasi dompet, paspor, dan keperluan penting lainnya.

“Astaga, bahkan aku tidak membawa mp4-ku…” keluhku sambil membongkar tasku. Apa Ji Ro baik-baik saja? Semoga “ya”. Kuharap dia tidak akan kenapa-kenapa. Ji Ro sangat kuat.



―Park Jae Shi, Park’s House, 2010―

“Ji Ro? Kenapa dengan Ji Ro?” tanyaku, mendadak merasa panik.

“Ji Ro katanya kecelakaan waktu syuting, dan mungkin cukup serius sampai-sampai Li Zhi memutuskan untuk pergi melihatnya…”

“Begitukah? Lalu, apa dia menitipkan pesan untuk saya?”

“Oh… ini Jae Shi? Ya, benar, dia menitipkan pesan. Katanya, tolong catatkan semua pelajaran kuliahnya… Dasar anak itu…” tawa Yoo Hee terdengar kasual dan ringan.

Kalau Li Zhi masih bisa bercanda, apa Ji Ro baik-baik saja? Tidak, kurasa bukan. Ia hanya tidak ingin aku ikut mencemaskannya. Mungkinkah…

“Apakah tadinya Li Zhi menyebut akan mengajak saya ke Taiwan?”

“Dia tidak mengatakan hal itu sih… Hanya saja katanya… oh ya! Kalau Jae Shi menanyakan apakah ia perlu ikut atau tidak, bilang saja tidak usah… Begitu…”

Berarti dugaanku benar. Awalnya ia bermaksud mengajakku. Tapi, karena ada Han Geng, ia membatalkannya.

“Halo?”

“Oh, iya, saya mengerti. Terima kasih, selamat malam…”

“Malam…”

KLIK.

Tidak lama, ponselku berdering. Kali ini telepon dari Han Geng.

“Halo? Ada apa, Han Geng?”

“Bagaimana masalahmu dengan Li Zhi?”

“Oh… Ji Ro kecelakaan waktu syuting, ia bermaksud mengabariku tadi. Sekarang Li Zhi sudah berangkat ke Taiwan.”

“Secepat itu?” nada suara Han Geng terdengar kaget. “Hahh… Rasanya mendengar suaramu bebanku jadi berkurang…” ujarnya dengan kelegaan yang tidak dibuat-buat.

“Kenapa? Apa masalah kontrak?”

“Ya…” Mendadak suaranya berubah serius. “Pihak manajemen memutuskan akan memberiku cuti beberapa minggu ke Bei Jing. Sebenarnya bukan cuti, menurutku lebih berupa skorsing…”

Perasaanku tiba-tiba berubah berat.

“Aku tidak tahu harus bilang apa selain ‘kau harus tetap bersemangat’…”

“Itu pun sudah lebih dari cukup…” jawabnya. Bisa kutebak, ia sedang tersenyum. “Tapi, itu berarti aku tidak bisa melihatmu beberapa waktu…”

“Berapa lama, sebenarnya?”

“Masih belum jelas. Tapi mungkin lebih dari dua minggu… Kudengar mereka akan menyuruhku melakukan kegiatan-kegiatan ringan saja di sana… Misalnya konser amal, kunjungan panti asuhan, jadi sebenarnya tidak sepenuhnya bebas juga…”

“Setelah itu, kau akan kembali ke Korea, kan?” tanyaku, mendadak merasa takut.

Entah mengapa, firasatku mengatakan Han Geng meneleponku bukan hanya sekedar mengatakan sampai jumpa lain waktu.

“Kuharap begitu…” jawabnya, merasa tidak yakin. “Tapi, kalau… kalau aku tidak kembali lagi ke Seoul?”

Aku tidak bisa menjawabnya.

“Lupakan saja…” ujar Han Geng cepat.

Rupanya ia sadar aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku tidak yakin dengan hubungan jarak jauh seperti Li Zhi dan Ji Ro. Apakah aku bisa sesabar mereka?

Tidak. Aku tidak mau itu terjadi. Sekarang aku mulai menyesali kebodohanku akhir-akhir ini. Seharusnya aku lebih percaya pada Han Geng. Seharusnya aku lebih sering berjalan bersamanya. Dan kini. Seperti mimpi, semuanya itu akan segera hilang.

“Selamat malam…” suaranya membuatku merasa enggan memutuskan telepon.

Aku tidak bisa menjawab. Tanganku menutupi bibirku yang sekarang sedang mengeluarkan isakan-isakan kecil.

“Jae Shi? Kenapa? Kau menangis?”

“Tidak… tidak apa-apa kok…” sahutku, berusaha mengembalikan suaraku ke normal. “Selamat malam…”

“Aku tahu, kau pasti menangis , ya?” tebak Han Geng.

Bahuku bergetar menahan air mataku. “Maaf…” tukasku. Aku tidak siap dengan semua ini. Rasanya terlalu gelap. Masa depan yang ada di depan sana terlalu gelap.

Sekarang Li Zhi pergi dari Seoul. Siapa yang bisa menjadi tempatku mengadu?

Dan Han Geng… dia akan pergi ke Bei Jing. Berapa lama? Tidak tahu. Akankah dia kembali? Belum pasti. Jadi, bagaimana denganku?

“Jae Shi… jangan menangis dong…” ia berusaha membujukku. Perlahan, terdengar helaan nafasnya yang berat. “Coba kau intip ke luar jendela. Malamnya indah sekali. Mungkin bisa membuatmu tersenyum…”

Walaupun enggan, kulangkahkan kaki ke jendela dan menatap langit yang memang dipenuhi bintang. Dan bulannya purnama. Indah. Namun, dadaku tetap terasa sakit membayangkan kemungkinan besar kami tidak bisa lagi bersama-sama menghirup udara Seoul.

“Indah…” ujarku, merasa tenggorokanku kering. Han Geng tidak akan bisa lagi mengabariku tentang keadaan malam yang indah seperti sekarang ini.

“Sekarang, coba lihat ke bawah jendelamu…”

“Eh…”

Ketika kuarahkan pandanganku ke jalanan di depan rumah, tampak Han Geng di sana. Dengan motornya. Cowok itu melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahku. Aku tidak bisa menahan senyumku.

“Geng!” seruku senang.

“Ssst…” ia meletakkan jarinya di telunjuk. “Sudah malam…” bisiknya.

“Tunggu di sana…” pintaku, lalu buru-buru kuturuni selasar tangga dan membuka pintu rumahku. Ia berdiri dengan tangan terentang di depan pagar, menyambutku dalam pelukannya.

“Kenapa harus menangis sih?” tanyanya lembut, menempelkan pipinya ke pundak kepalaku.

Kubenamkan kepalaku semakin dalam ke dadanya. Deg… deg… deg… Bisa kurasakan debaran jantungnya. “Aku tidak bisa membayangkan tidak ada Han Geng di sini….”

“Padahal beberapa hari lalu kau bilang sebaiknya kita tidak usah terlalu sering bertemu…” godanya.

“Jahat! Itu kan berbeda sekali!” tanganku bergerak memegang pipinya. “Tapi, aku memang menyesalinya. Pasti kau jadi sulit ditelepon, dan kemudian…” kalimatku terhenti sampai di sana. Seperti dulu dengan Kak Dennies. Aku tidak sanggup melanjutkannya.

“Kau takut aku sama seperti pria itu, ya?” ia menyentuh tanganku yang kuletakkan di wajahnya. “Aku juga takut pria itu merebutmu waktu aku tidak ada. Dan aku juga jadi tidak bisa…” disentuhnya bibirku dengan ibu jarinya. “Aku akan merindukanmu…”

“Paling tidak kalau masih di Seoul, masih ada kemungkinan untuk bertemu…” gumamku. “Padahal semuanya mulai berjalan dengan baik, dan bahkan aku sudah bicara pada Papaku…”

“Benarkah?” Han Geng menatapku kaget. Lalu bahunya merosot kecewa. “Kalau begitu sebaiknya aku tidak mengajakmu kawin lari supaya pandangannya tentangku tidak semakin jelek…”

“Kawin lari?”

Itu ide yang sama sekali tidak terpikir olehku.

“Tadinya kupikir kalau masih gagal juga, aku akan mengajakmu melakukannya…” Han geng tersenyum sendu menatapku. “Kenapa masalah selalu saja muncul ya?” ia tersenyum pahit memandangku.

Semenjak awal pertemuan kami, masalah tidak ada henti-hentinya melanda. Dan selalu saja, dalam setiap masalahku, ia hadir dan menemaniku. Aku sangat menghargai itu.

“Aku akan menunggumu…” ujarku mantap.

Tiba-tiba perasaanku mencerah begitu saja hanya karena melihatnya. Han Geng bahkan mempercayaiku begitu dalam. Ia mempercayaiku, sekalipun sesaat aku goyah dalam ciuman Kak Dennies. Aku pun harus bisa melakukan hal yang sama.

“Jae Shi?” Han Geng memberikan tatapan tidak percaya padaku. “Apa kau bisa mempercayaiku?”

“Kalau kau bisa mempercayaiku, aku juga harus bisa mempercayaimu…” jawabku. “Walaupun rasanya pasti berat sekali… Tapi, aku ingin percaya kalau apa yang ada di antara kita ini bukan sesuatu yang sia-sia.”

“Ya,” Han Geng menangkup wajahku dengan kedua tangannya. “Setelah aku kembali dari Bei Jing, aku ingin mengajakmu bertemu kedua orang tuaku…” bisiknya.

“Ehh…” pipiku terasa panas. Bertemu kedua orang tuanya? Apakah….

“Selama itu, kau harus menungguku. Dan mungkin aku akan sering menelepon. Juga YM-mu jangan dimatikan, siapa tahu kita bisa video call. Dan kemudian, sering-sering cek email dariku…”

“Aku tahu, aku tahu itu…” tawaku. Baru saja hendak kusampaikan hal yang sama. “Kau mengatakan hal yang sama dengan yang kupikirkan…”

“Dan aku juga tidak mau mengganti email-ku selamanya. Li Zhi cerita soal tipu daya Ri Na untuk mendapatkan Dennies dulu. Dan aku tidak mau ada yang tertipu di antara kita…”

“Aku tahu,” sambil tersenyum kutambahkan, “Kau jadi bawel seperti Papaku…” gerutuku.

“*Aku mencintaimu, Jae Shi…”

Perlahan, bersamaan dengan mendekatnya wajah Han Geng, kututup mataku, membiarkan air mata yang sedari tadi tergenang mengalir di sana. Han Geng menciumku dengan lembut, dan bulan yang akan menjadi saksi janji kami. Bahwa kami akan saling setia dan menunggu.

“*Aku juga mencintaimu…” bisikku, membalas pelukannya.



―Wei Li Zhi, Taiwan, 2010―

“*Di mana Ji Ro?”

Seluruh tubuhku terasa pegal setelah duduk di pesawat berjam-jam. Dan tidur sebentar di taksi sama sekali tidak membantu memulihkan energiku.

“*Dia di dalam…”

Wu Zhun menjelaskan sambil berbicara pada perawat yang bertugas. Setelah memaka baju yang khusus untuk pasien yang menjenguk, aku melangkahkan kakiku masuk.

“*Li Zhi?” Ji Ro memandangku dengan wajah kaget.

“*Hah?” seruku, tidak kalah kagetnya. Hampir saja aku pingsan melihat keadaannya sudah sadar dan tampak tidak terluka parah. “*Kata Wu Zhun kau masih belum sadar?”

“*Astaga… itu tidak benar…” ia tertawa dan meringis malu. “*Tanganku patah. Tapi, aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit merengek dan bilang merindukanmu. Tapi, benar, aku tidak memintamu datang kemari…”

“*Aapa?!” Rasanya energiku untuk marah sudah naik sampai ke ubun-ubun. “*Padahal aku berangkat malam-malam dari Seoul karena cemas! Teganya! Jahat! Jahat!” kupukuli dadanya dengan kesal.

“*Aduh… igaku retak loh!! Aw…” ia mengaduh kesakitan.

Dengan terpaksa kuhentikan pukulanku. “*Maaf, maaf… sakit ya? Makanya, jangan ngerjain orang…”

Saking leganya kakiku langsung terasa lemas. “*Li Zhi?!” Ji Ro terkejut melihatku terduduk di lantai. “*Kenapa?”

“*Aku kaget sekali…” kututup wajahku dengan tangan, menyembunyikan air mataku. “*Kukira kau kenapa-kenapa… Huuhhuhu…”

“*Aduh… maaf, maafkan aku…” dengan panik, Ji Ro berusaha menenangkanku. “*Hei! Dasar sialan, keluar kalian! Aku tahu kalian mengintip! Kalian membuat Li Zhi menangis, tahu!” gerutu Ji Ro smenetara tangannya yang tidak di gips berusaha menjangkau dan menepuk pundakku ringan.

“*Maaf Li Zhi… sebenarnya, itu ideku…” Calvin keluar dengan wajah malu. “*Soalnya ia sempat tidak mau makan beberapa hari…”

“*Benarkah begitu?” kutatap Ji Ro dengan marah. Perlahan kuseka air mata dari wajahku. “Kenapa kau manja sekali, sih?”

“*Benar, dan akulah yang mengusulkan untuk membuat undian saja siapa yang akan meneleponmu…” sambung Aaron malu.

“*Benar, akhirnya karena kalah undian, akulah yang kebagian tugas meneleponmu. Maafkan aku…” ujar Wu Zhun dengan kepala tertunduk.

“*Ya sudahlah, toh aku sudah di sini. Mau bagaimana lagi?” ujarku, merasa separuh bebanku sudah menghilang. “*Berarti aku harus mengabari Jae Shi bahwa kau tidak apa-apa…”

“*Oh… Jae Shi…” Ji Ro seperti teringat sesuatu.

“*Kenapa dengan Jae Shi?”

“*Ah, tidak… Kukira dia sedang bermasalah juga. Apa dia masih pacaran dengan Han Geng?”

“*Masih. Memangnya ada masalah apa dengannya?”

“*Lho? Kau tidak tahu?” Ji Ro menatapku kaget. “*Beritanya sedang santer, kan? Katanya Han geng sedang ada masalah kontrak dengan SM. Dan manajemen kami juga sedang mempertimbangkan untuk merekrutnya…”

“*Yang benar? Aku memang jarang memperhatikan gossip di sana…” akuku. Berarti Jae Shi juga sedang repot sekarang.

“*Dan kudengar, beberapa hari lagi ia dipindahtugaskan sementara ke China…” Aaron dan Calvin berpandangan dan saling menambahkan. “*Kurasa akhir minggu ini…”

“*Secepat itu?” seruku kaget. Jangan-jangan Jae Shi sekarang sendirian di Korea?


―Park Jae Shi, Park’s House, 2010―

Kemarin malam Han Geng resmi meninggalkan Korea. Demikian yang tertulis di headline forum Super Junior yang kulihat pagi ini. Banyak komentar  para fans Korea yang menyayangkan kepergian Han Geng ke China. Tetapi, tentu saja banyak dukungan dan antusiasme dari para fans di China. Meskipun demikian, mereka sama-sama berharap Han Geng tidak keluar dari Super Junior.

Otakku berpindah ke tempat lain. Li Zhi. Bagaimana kabarnya? Ji Ro juga… semoga dia baik-baik saja.

“Kemarin malam kau menemui siapa di luar?” Papa masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.

“Astaga, Papa membuatku terkejut saja..” gumamku. “Tentu saja Han Geng. Kemarin dia langsung berangkat ke China…”

“China?” Papa memandangku kaget. “Padahal Papa mau memintanya bertemu empat mata…” ujar Papa tidak sabar. “Kenapa tiba-tiba?”

“Masalah kontrak, Pa…” jawabku, merasa malas menjelaskan lebih jauh.

Papa memandangku dengan pandangan menyelidiki. “Matamu kelihatan bengkak…” komentarnya pendek. “Walaupun dia tidak ada, Papa harap kau tetap menjalani kuliahmu dengan baik. Buat Papa bangga pada kalian. Setelah itu, baru Papa pertimbangkan…”

“Huuu… Papa, dari kemarin pertimbangkan terus… setujunya kapan, Pa?” tanyaku, gemas.

“Lihat saja nanti…” jawab Papa sambil melenggang pergi.

Hah… baru satu hari ya… kutatap kalender yang sudah kulingkari warna merah. Aku akan merindukanmu, Han Geng.


―Park Jae Shi, Seoul University, 2010―

“Dasar wanita jalang!” maki seorang perempuan. Dan seketika itu juga, segelas air disiramkan ke wajah wanita itu di kampus.

Bisik-bisik terdengar di kiri-kananku. “Dia kan memang terkenal suka menggoda pacar orang…”

“Tampangnya saja alim, hatinya busuk…”

“Mentang-mentang wajahnya cantik…”

Kutatap wanita itu dengan perasaan serba salah. Dialah Kim Ri Na. Sebagian hatiku membencinya, dan sekarang, sebagian lagi merasa kasihan padanya. Walaupun dia menyebalkan, setidaknya ia tidak pantas dipermalukan di depan umum.

“Ri Na… pakai saja tissue ini…” ujarku, menyerahkan tissueku padanya.

“Tidak perlu…” tolaknya, menepis tanganku kasar.

“Hei, aku hanya bermaksud membantu…” desisku, mencoba bersabar.

“Kau tidak usah mengasihaniku, deh. Jangan bilang kau mau jadi temanku sekarang!” geramnya marah.

“Astaga. Bisakah kau berterima kasih sekali saja? Asal kau tahu, aku tidak semunafik itu. Kuakui, aku memang membencimu. Tapi, kau tidak pantas dipermalukan di depan umum seperti ini!”

“Tinggalkan saja aku!” makinya lalu beranjak pergi setelah menyambar tasnya dengan marah.

“Ya ampun, kenapa sih dengannya?” pikirku bingung.

Sejenak kembali kurasakan timbunan bisik-bisik yang kembali membuat telingaku panas. Baiklah! Yang penting, aku sudah menawarkan bantuan! Salahnya sendiri kalau tidak mau menerimanya!




Tapi, dasar nasib sedang sial, bahkan di ruang dekan pun aku bertemu dengannya. Beruntung Ri Na dan dekan itu belum melihatku. Kuurungkan niatku untuk masuk ketika mendengar pembicaraan mereka.

“Saya hamil Pak…” ujar Ri Na lirih.

“Saya tidak tahu apa yang kamu bicarakan…” sahut Dekan itu.

“Tapi yang menghamili saya kan, anak Bapak!” seru Ri Na, putus asa.

Tanganku terangkat ke bibir, menutup mulutku. Akhir-akhir ini memang terdengar gossip tentang ada seorang mahasiswi yang pacaran dengan anak dekan yang juga seorang dosen. Tetapi, tidak kusangka orang itu Ri Na.

Sebelum menyadari apa yang kulakukan, tanganku bergerak mengambil ponselku dan menekan tombol record.

“Oh ya?” Dekan itu terdengar tidak yakin. “Dari yang saya dengar, kamu tipikal gadis yang suka berganti teman kencan. Bahkan katanya kamu mau berkencan dengan pria yang baru sekali kamu temui. Saya meragukan kalau itu cucu saya…”

“Pak!”

“Berhentilah berteriak!” seru Bapak Dekan itu kesal. “Anak saya kan sudah menikah, kau tahu itu!”

“Tapi, saya tidak menyangka hari itu saya akan mabuk dan melakukannya!”

“Itu salahmu sendiri! Kau sudah tahu risikonya tapi masih mengencani anakku! Pergilah!”

“Saya harus apakan anak ini, Pak!?” keluh Ri Na. Terdengar sesal dan kepanikan dalam suaranya. “Benar, Pak. Sungguh, ini cucu Bapak. Ini yang pertama untuk saya…”

“Apa yang kamu mau, hah?! Uang? Baiklah, akan saya berikan! Kamu gugurkan saja anak itu!” Dekan itu menggeram marah dan menggebrak meja.

“Saya tidak mau uang Bapak! Saya mau anak Bapak bertanggung jawab!” desis Ri Na dengan suara bergetar.

Ri Na yang cantik namun malang.

Ia tenggelam dalam kehausannya akan pujian. Tidakkah cukup satu pria yang ssungguh-sungguh menyayangimu? Apakah semua pria harus tunduk dan mengatakan bahwa kau cantik?

Dan inilah dampak yang harus ia terima akibat ego-nya itu. Sungguh tragis.

Kumatikan recorderku dan berlari dari tempat itu. Jauh. Sebelum ada yang mengenaliku.



-to be continued-

Tidak ada komentar: