Kamis, 17 Juli 2014

SING OUT LOUD, LOVE 11

SING OUT LOUD, LOVE 11

November 25, 2011 at 6:15pm
CHAPTER11
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
Hero Jae-joong (TVXQ)
Max Chang-min (TVXQ)
Uknow Yun-ho (TVXQ)
Xiah Jun-su (TVXQ)
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae bin

―Lee ah, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Apa ada yang kau inginkan sebagai hadiah balasan pada waktu white day?” Young-saeng memutar bangkunya dan duduk di depanku pada saat semua kru sedang istirahat bersama di kantin. Hyun-joong yang duduk di sebelahnya hanya menarik alis dan melirik reaksiku.

“Eh, tidak ada apa-apa…” Dari ekspresi Hyun-joong terlihat jelas kalau ia menahan diri. Aku tidak mau membuatnya marah dan akhirnya semuanya semakin kacau.

“Tidak apa, sebutkan saja apapun. Mungkin boneka? Aksesoris…” Young-saeng menoleh ke arah Ha-na dan berbisik. “Kau tidak tahu apa yang dia inginkan?”

“Jangan tanya aku,” jawab Ha-na pendek.

“Tenang saja, aku sudah menyiapkan yang seperti biasanya untukmu…” Young-saeng tersenyum lembut ke arah sahabat sejak kecilnya. Jung-min mengangkat wajah dan memberikan tatapan penasaran. Baiklah, situasinya kembali menegangkan.

“Tidak perlu repot-repot,” senyum Ha-na. Gadis itu berusaha menampilkan wajah biasa-biasa saja, namun bisa kulihat raut wajahnya melembut saat menatap Young-saeng. O-ow, sepertinya memang ada sesuatu di sini.

“Kudengar pengumuman calon-calon pasanganmu dalam WGM sudah keluar,” Hyung-joon mengangkat topik yang sangat kuhindari. Sejak kemarin aku sudah mencari banyak berita tentang topik itu dan tidak bisa disangkal, ketenaran Hyun-joong membuat berita itu menjadi top news di dunia entertainment.

 “Hwang Bo salah satu calon terkuat,” Kyu-joong membaca berita yang ditunjukkan Hyung-joong padanya. “Bukannya dia lebih tua darimu?”

“Dia itu terkenal seksi,” ucap Jung-min, menyela pembicaraan. “Dan eksotis dengan kulit cokelatnya. Hei, dia menulis kalau sejak lama sudah tertarik padamu. Biar kubacakan…” Jung-min berdehem beberapa kali lalu menirukan suara wanita dengan pose jahil. “Aku sudah lama memang tertarik padanya…”

Aku bukannya orang bodoh yang tidak tahu reality show semacam WGM. Acara itu memang sangat sensasional terutama sejak Victoria dan Nichkun benar-benar jadi sepasang kekasih. Itulah sumber utama kecemasanku.

Young-saeng melirikku dan terlihat cemas. “Kau tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali…”

Samar-samar bisa kurasakan tatapan tajam Hyun-joong ke arahku ketika kuberikan senyum terbaikku ke Young-saeng dan kukatakan aku baik-baik saja. “Aku mau ke toilet sebentar…” pamitku.

“Bisakah kita mengatakannya saja kepada mereka?” tanya Hyun-joong tiba-tiba. Entah sejak kapan cowok itu sudah muncul di belakangku ketika aku sedang mencuci tanganku.

“Tentang apa?” Mungkin pertanyaanku terdengar konyol, tapi aku benar-benar ingin tahu bagaimana sebenarnya hubungan kami.

“Kita… pacaran. Iya kan?” tanyanya memastikan. Perasaan hangat bertebaran di dadaku, seperti itukah hubungan kami? “Lalu, kenapa kau tetap membiarkan Young-saeng mendekatimu…”

“Aku tahu arah pembicaraan ini…” ujarku. “Kuharap kau tidak mulai memancing emosiku…” jawabku. Tapi Hyun-joong menggeser badannya tepat saat kakiku mau melangkah keluar dari toilet. Tubuhnya menutupi pintu, menghalangiku keluar.

“Kenapa?” tanyanya. “Kenapa kau tidak mau aku mengatakannya pada Young-saeng?” pancing cowok itu. “Karena kau memang mau membiarkannya berharap?”

“Kalau begitu, bagaimana kalau kau katakan saja pada Hwang-bo?” tantangku. “aku lebih senang melihatnya tidak bersikap begitu padamu…”

“Lee-ah…” Cowok itu menarik sudut bibirnya dan tersenyum sarkastis, “Kau cemburu?” Melihatku tidak merespon, ia terdiam. “Kurasa kau marah…”

“Kau yang memulainya. Kau tahu, aku dan Young-saeng hanya teman.” Tatapan marahku kuarahkan padanya. “Setidaknya dia tidak mencium pipiku dan terang-terangan mengatakan kalau ia tertarik padaku.”

Hyun-joong membiarkanku pergi, namun tangannya mencengkeram pergelangan tanganku sejurus kemudian. “Kau tahu, yang kuharapkan berada di WGM bukan Hwang-bo. Tapi kau…”



―Hyun-joong, Februari 2011, Jeju Island Airport, WGM Talkshow―
“Apa suasana hatimu sedang kurang baik?” tanya Hwang-bo sambil menatapku penasaran. “Kulihat kau tidak terlalu terkejut mendapatiku sebagai pasangan…”

“Ah, tidak juga…” sahutku sambil tertawa kering.

Otakku sedang memikirkan hal lain. Lee-ah. Gadis itu marah padaku. Memang salahku karena tidak memberitahukan apapun padanya tentang WGM. Tujuan awalku adalah supaya ia tidak cemas berlebihan, namun efeknya malah kebalikan. Semua jadi berantakan.

“Ehm, boleh aku bilang sesuatu padamu?” tanyaku jujur. “Mungkin kau tidak akan senang mendengarnya…”

“Tentang apa?” tanya Hwang-bo sambil menggeser duduknya mendekat. “Sesuatu yang rahasia?”

“Ya,” sahutku. Suaraku terasa kering saat mengucapkannya. “Sebenarnya, ada seorang gadis yang kusukai. Dan kuharap kau tidak keberatan untuk…”

Hwang-bo mengangkat alis dan memaksakan seulas senyum di wajahnya. Aku tahu ia tidak senang mendengar apa yang kuucapkan. “Menjaga jarak?”

“Ya. Apa kau… bisa melakukannya?”

“Hem…” Gadis itu berpikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum pahit. “Kita lihat saja nanti…” Sejenak senyuman di wajahku nyaris memudar. Gadis itu meneliti reaksiku dan tersenyum misterius.

“Baiklah, bagaimana perasaan kalian berdua?” tanya MC tiba-tiba. Segera saja kuubah ekspresiku untuk mempertahankan profesionalismeku.


―Lee ah, Februari 2011, Apartment―
“Jujur saja… kau sangat merindukannya…” Jae-shi berbaring di sebelahku dengan komik di tangannya. “Hah.. cinta itu merepotkan sekali…” godanya sambil bersenandung pelan.

“Jangan menggodaku…” kulempar bantalku dan kami mulai perang-perangan bantal seperti anak kecil. “Bagaimana denganmu sendiri? Kulihat ada yang tidak biasa dari hubunganmu dan Hero Jae-joong…”

Wajah Jae-shi memerah sejenak. “Yah…” Ia memilin jarinya dan tersenyum. “Kuakui, dia sangat baik… Tadi juga dia mengajariku membuat lagu.”

Kuangkat alisku. “Kukira produsermu si Yoo-chun…”

Jae-shi mengangkat bahunya dan tampak tak yakin. “Dia semakin sibuk. Perasaanku sih, sepertinya sedang menghindariku. Oh ya, ikut WGM berarti Kak Hyun-joong akan semakin jarang bertemu denganmu. Sebaiknya Kakak segera saja berbaikan dengannya. Berjauhan itu menyakitkan…” Jae-shi menasehati dengan gaya bijaksana. “Biarpun lebih muda, aku pernah merasakan cinta yang lebih menyakitkan daripada Kakak. Cinta sebelah pihakku pada Joong-hun…”

“Kau tega sekali sama sekali tidak cerita padaku. Setelah kau memutuskan melupakannya baru kau cerita padaku. Itu mah sudah basi…” keluhku.

Jae-shi rupanya bisa menangkap kesengajaanku untuk mengubah topik. “Kalau dia pergi berbulan madu bersama, pasti Kakak bakal setengah mati merindukannya…”

Sengaja kuangkat bahuku, menolak berkomentar. “Mungkin memang sebaiknya aku tidak pacaran dengannya…”

“Apa maksudnya itu?” tanya Jae-shi kaget. “Apa Kakak sudah punya calon yang lain?”

 Sejenak wajah Young-saeng memenuhi benakku. Wow… astaga… ini tidak benar. Rupanya aku memang merasa kesepian. Kalau tidak, tidak mungkin ada pria lain di benakku selain Hyun-joong.


―Hyun-joong, Maret 2011, WGM―
Beberapa minggu terakhir, sejak album pertama Lee-ah sudah dirilis, kami semakin jarang bertemu karena sibuk. Lee-ah sibuk dengan serangkaian tur untuk promosi albumnya, sementara aku sibuk dengan berbagai rutinitasku menjalani syuting WGM.

Akhir-akhir ini aku selalu pulang dalam keadaan super lelah, nyaris tidak ada waktu bagiku bahkan untuk beristirahat. Ponselku sudah lama tidak menerima sms dari gadisku dan aku sangat merindukannya. Tapi, kami masih saling menjaga jarak.

Aku tidak mau pertemuan kami diakhiri dengan kemarahan atau ledakan cemburu. Karena itulah yang seringkali terjadi di antara kami akhir-akhir ini. Kemarin, ketika pulang sebentar untuk berangkat ke Jepang, aku sempat berpapasan di lorong dan melihat gadis itu tersenyum menyapa, rasanya hatiku sudah senang; merasa hubungan kami sama sekali tidak ada masalah. Tapi aku tahu benar, memang sedang ada masalah di antara kami.

“Ini diberikan oleh manajernya Nona Lee-ah. Hadiah untukmu…” manajerku mengintip ke dalam mobil dan menyerahkan sebungkus kado kepadaku. Ia memberiku privasi untuk melihatnya sendirian.

Isi bungkusan kado itu adalah album original Lee-ah beserta bonus kalendernya. Bibirku tertarik membentuk senyuman ketika mengamati berbagai macam pose yang ditunjukkan gadis itu beserta wajahnya yang manis. Di sana juga ada single kami berdua dengan cover yang begitu romantis. Mengingat waktu pertama kali menciumnya, semua terasa tidak terlalu rumit saat itu.

Tanpa disadari sudah begitu lama tidak berada di dekatnya. Hah… kulirik kalender agendaku. Masih cukup lama aku harus berada dalam acara WGM ini, menghabiskan waktu bersama istriku yang menjalani pernikahan kontrak denganku. aku sudah berjanji akan menjadi suami yang baik walaupun hanya sementara untuknya. Kuharap Lee-ah tidak marah. Kuharap dia bisa memahamiku.



―Lee ah, Maret 2011, Apartment―
“Semakin Kakak menontonnya, semakin Kakak meracuni diri sendiri. Kuberi satu saran yang bagus. Ambil remote TV dan tekan tombol Turn-off.” Jae-shi melihatku dan menghela nafas. “Sudah kuingatkan…”

“Aku membaca banyak komentar fans di luar sana. Seperti misalnya: ‘Aku sangat berharap mereka benar-benar begitu di dunia nyata’. Atau ‘Lettuce couple sangat lucu’. Atau ‘Pasangan ini sangat serasi’.”

Jae-shi menarik nafas lagi. “Tapi Kakak kan pacarnya. Bersabarlah sedikit lagi…”

“Kau tidak tahu posisiku…” keluhku sambil menekuk lututku dan menyandarkan tubuhku ke sofa. “Bahkan bertemu saat white day saja tidak bisa. Cokelat balasan darinya hanya dikirim lewat kurir.”

“Paling tidak dia memperhatikanmu…” sela Jae-shi sabar. “Foto-foto pernikahan itu juga hanya dibuat untuk menyenangkan para fans dan meramaikan acara ini.”

Aku menutup mataku, membayangkan bagaimana Hyun-joong menyanyi untuk gadis itu dan bahkan bersikap romantis dengan membuatkan begitu banyak bangau kertas untuk menyatakan cinta mereka akan abadi. Bayangkan! Abadi! Astaga….

“Sebaiknya Kakak segera tidur…” Jae-shi mengambil remote dari tanganku dan mematikan televisi. “Jangan memperburuk suasana di antara kalian dengan bertengkar. Kurasa dia sekarang sedang merindukanmu…”

Sesungguhnya aku benar-benar menyesal karena tidak menuruti nasihat Jae-shi untuk menemui Hyun-joong sebelum dia berangkat ke Jeju. Sekarang sudah menunjukkan jam sembilan malam. Mungkinkah… dia sudah tidur?



―Hyun-joong, Maret 2011, WGM―
Ponselku berdering beberapa kali. Mataku terasa lengket karena mengantuk. Tetapi, begitu melihat nama Lee-ah tertera di sana, segera saja mataku terasa segar. Sayangnya, aku terlambat mengangkatnya dan gadis itu tidak lagi berusaha meneleponku.

Timbul dua pertanyaan di benakku sekarang. Kenapa dia meneleponku? Apakah dia sudah tidak marah? Atau jangan-jangan malah kebalikannya? Gadis itu menonton WGM dan merasa sangat marah atas semua yang… kulakukan dengan Hwang Bo?

Kuputuskan untuk meneleponnya langsung. Teleponku diterima, namun sama sekali tidak ada suara di sana. Hening. Kami sama-sama terdiam. “Hei…” panggilku. Rasa rindu yang kuat seolah mendesakku untuk bicara dengannya. “Kau belum tidur?” astaga… basi sekali pembicaraanku.

“Eh…” Akhirnya gadis itu bersuara. Kuhela nafasku, lega. Ternyata dari tadi ketegangan di antara kami membuatku menahan nafas tanpa sadar. “Aku belum tidur… Aku baru saja selesai nonton…”

Degup jantungku meningkat seiring jawaban terakhir darinya. Bisa kutebak apa yang ditontonnya. Pasti WGM. Pasti ia sudah melihatnya. Ia tahu. Dan… dia marah…

“Aku bisa menjelaskan…” ujarku dengan suara kering.

“Hem…” Bisa kubayangkan bagaimana Lee-ah mengangguk menanggapiku. “Tapi bukan itu yang mau kubicarakan…” suaranya berbisik pelan. “Aku merindukanmu…”

“Apa…” Rasa senang membuncah di dadaku, membuat sekejap tenggorokanku terasa tercekat. “Benarkah?” APa dia tidak marah? “Aku…” Rasanya grogi luar biasa mengatakannya. “Aku juga merindukanmu. Aku membayangkan dirimu saat menyanyikan lagu itu…”



―Jae-shi, Maret 2011, Apartment―
“Bisa kutebak, kalian sudah berbaikan…” Sambil tertawa kutuang susu ke dalam gelasku. “Wajah Kakak kelihatan luar biasa cerah dibandingkan kemarin…”

“Yah… setidaknya aku akan berterimakasih padamu…” Kakakku tersenyum malu sambil memandangku. Saat seperti ini ia terlihat lebih cantik. “Dia bilang dia rindu padaku…”

“Aku sudah menebaknya, bukan?” tawaku. Tak lama bel apartemen kami berbunyi.

“Aku datang untuk menjemput…” terdengar suara Jae-joong dari intercom.

Kulihat Kak Lee-ah melirikku bingung. “Bukannya aku penasaran; hanya saja sepertinya ada yang berubah. Dulu waktu pertama kali, selalu saja Yoo-chun yang menjemputmu…”

“Entahlah…” jawabku dengan nada mengambang. “Akhir-akhir ini dia luar biasa sibuk…”


―Micky Yoo-chun, Maret 2011, SM entertainment―
“Kulihat hubunganmu dengan Jae jadi agak renggang akhir-akhir ini…” Yun-ho melempar pandangan curiga padaku. “Ada sesuatu yang tidak kuketahui dari kalian?” tanyanya tiba-tiba.

“Tidak ada,” elakku. “Ah, aku mau ke ruangan sebelah untuk menunggu mereka tiba…”

Ruangan tempat Jae-shi berlatih gitar masih kosong. Tentu saja mereka belum tiba. Saat mereka tiba, aku akan langsung menyingkir―mungkin lebih tepatnya, merasa tersingkir.

Poster bergambar wajah Jae-shi tertempel di dinding ruangan itu. Di bawahnya, gitarnya disandarkan ke dinding. Kusentuh gitar itu dan bisa membayangkan bagaimana audisi pertamanya dulu. Saat itu hanya ada aku, Jae-shi, dan presdir Kim.

Album pertamanya baru saja diluncurkan, dan kami semakin jarang bertemu. Ditambah lagi dengan lagu barunya yang sedang digarapnya bersama Jae-joong. Presdir Kim cukup senang mengingat gadis itu berhasil menarik banyak fans sejak insiden debutnya. Memang tidak salah, lagunya menarik dan bagus.  Tapi ada perasaan kehilangan yang menggangguku akhir-akhir ini.

Tanganku merogoh kantung celanaku dan mengeluarkan sebuah kotak CD original dengan cover gadis itu di depannya. Ia sedang memeluk gitarnya dalam balutan pastel dress dan hiasan boneka di mana-mana. Pastel love adalah lagu yang kupilihkan untuknya. Lagu pertama dan mungkin yang terakhir. Sebelum menyadari apa yang kulakukan, tanganku sudah terangkat untuk mengelus CD itu dan menciumnya. Sialnya, tepat saat itu, pintu terbuka lebar dan Jae-shi memandangku dengan kaget.

“Apa yang…” Ia melihat CD di tanganku dan memandangku bingung. “Sebaiknya aku bertanya atau tidak?”

“Tidak perlu,” sambil berkilah, buru-buru aku berbalik untuk keluar dari ruangan itu.

“Apa kau menyukaiku?” tanyanya tiba-tiba.

Otomatis langkah kakiku terhenti ketika mendengar pertanyaannya. Matanya memandangku tajam. Kutolehkan kepalaku perlahan untuk memandangnya.

“Kalau begitu, kenapa terus menghindariku?” tanyanya lagi.

“Kurasa… kau sedikit salah paham di sini…” jawabku dengan suara yang terdengar grogi. Otakku masih berputar untuk mencari alasan. Matanya yang menatapku membuatku sulit mencari alasan dan berbohong. “Aku…”

“Kenapa kau mencium fotoku?” Gadis itu akhirnya marah karena aku terus menghindarinya. “Kau tidak punya keberanian untuk mencium yang asli?”

“kau yang minta...”geramku. “Kau akan menyesal sudah menantangku…” ujarku sambil menarik tangannya dan menekankan bibirku ke bibirnya.



―Lee-ah, Maret 2011, Photo shoot for MV―
“Model pria-nya belum juga tiba…” salah seorang kru mendatangi kami dengan wajah panik. “Katanya jadwalnya bentrok dan mereka memutuskan untuk membatalkan pemotretan ini…”

“Astaga… padahal model pria itu kan sudah setuju untuk menjadi model video clip lagu Freshen You. Tolong ditelpon lagi…” pinta Ha-na dengan wajah gemas. “Akan kucoba mencari model lain untuk video klipmu…”

Kupandangi wajah para kru yang tampak kesal. Gadis yang mendatangi kami dengan wajah panik itu kelihatannya berusaha keras memohon, tetapi hasilnya masih nihil. Wajahnya masih saja pucat. Tak lama kemudian Ha-na datang padaku dengan senyuman lebar.

“Kucoba untuk mengambil resiko yang berat…” tangannya sedikit gemetar, tapi wajahnya tampak antusias. “Sudah kudapatkan seorang pria yang kebetulan punya waktu luang untukmu. Kurasa mereka tidak keberatan berkolaborasi dengan kita…”

Nyaris satu jam lamanya kami dan para kru lainnya menunggu dalam ketidakpastian. Apakah sebaiknya diundur saja? Itu yang kupikirkan berkali-kali.

Tak lama kemudian, sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan gedung dan seorang pria turun dari sana. Nyaris tidak kupercaya pandanganku sendiri. Pria itu kan…

“Hai Yun Ho, senang kau bisa datang membantu…” Pengarah gaya dan Ha-na menghampiri pria itu lalu tersenyum.

Yun-ho memandang ke arahku dan tersenyum lebar. “Kau seharusnya masih mengingatku, bukan?” Ia berpikir sejenak. “Aku ingat kau dikenalkan Hyun-joong sebagai pacarnya…” Ia berbisik di telingaku.

Rasanya timbul hentakan kuat di dadaku. Ya, kami baru saja berbaikan. Aku tahu itu. namun, pemberitaan gencar paparazzi tentang Lettuce couple itu benar-benar mengusikku.

“Maaf. Aku menyinggungmu?” Yun-ho terkejut melihatku terdiam beberapa saat setelah mendengarnya.

“Tidak. Ayo, kita mulai saja sesi pemotretannya…”

“Ya, tersenyum saja. Begitu lebih baik…” Ia tertawa lebar dan menampakkan deretan gigi putihnya. “Walaupun kau pacar Hyun-joong, dalam pemotretan ini kau jadi pacarku. Bersiaplah…” Yun-ho mengedipkan matanya sekilas sebelum berjalan kea rah para kru untuk berganti baju. Dia memang punya karisma seorang leader. Seperti Hyun-joong…

Pemotretan berjalan lancar, walaupun entah beberapa kali gerakanku diubah dan Yun-ho dengan lihai bergerak menyesuaikan diri. “Tidak usah terlalu kaku,” ia menarik bahuku dan tertawa. “Anggap saja aku pacarmu dan kita sedang bersenang-senang…”

Konsep album Freshen You adalah seorang gadis yang merasa lebih baik dan seluruh dunia terasa lebih indah setelah jatuh cinta. Cinta seperti cipratan air, deburan ombak, dan hembusan angin yang menyegarkan di laut. Karena itu, semua pemotretan ini memakai background laut. Karena fotografer sangat menyukai Yun-ho, tanpa menanyakan pendapatku, mereka sudah memtuskan untuk memakai cowok itu dalam Music Video album Freshen You milikku.

“Bagaimana kalau sesudah pemotretan kita makan bersama?”

“Memangnya tidak berbahaya?”

“aku membawa alat penyamaran di mobil…” Yun-ho tertawa polos lagi. “Kau akan menyukainya…” Ia menampakkan ekspresi yakin seratus persen kepadaku.



―Micky Yoo-chun, Maret 2011, SM entertainment―
Jae-shi menatapku dengan wajah memerah. Ia menggigit bibir malu namun hal itu membuat darahku berdesir lagi. Aku ingin menciumnya lagi. Sekarang dan seterusnya. “Aku…”

Pintu terbuka tepat ketika akan kunyatakan perasaanku. Jae-joong masuk dan memandang kami yang berdiri terlalu dekat. “Kalian kenapa? Wajah kalian kok sama-sama merah? Oh ya, Chun, Yun-ho baru saja pergi untuk pemotretan. Mungkin hari ini kita tidak bisa berharap ia bisa ikut latihan nari bersama.”

“Oh, oke…” Kutatap wajah Jae-shi yang kini tertunduk malu. “Aku… pergi dulu…” ujarku menggumam tidak jelas. Jae mengangguk dan menatapku curiga.

“Ada yang terjadi?” samar-samar bisa kudengar pertanyaan Jae begitu pintu tertutup. Kakiku kulangkahkan menjauh dari tempat itu secepat mungkin. Astaga… Argh… apa yang baru saja kulakukan? Tidak biasanya aku lepas kontrol seperti barusan!



―Lee-ah, Maret 2011, Photo shoot for MV―
“Bagaimana penampilanku?” canda Yun-ho sambil mengenakan kacamata hitam bundar yang membuatnya seperti tokoh comedian. Topi felt bundar yang dipakainya semakin menunjukkan sisi jahil dari dirinya. Belum lagi wig kribo di kepalanya.

“Tidak kusangka kau mempunyai barang seperti ini…” tawaku pecah saat ia mulai menari dengan gaya kocak. Rambut kribo dan kacamata itu benar-benar berbeda dari sosok Yun-ho yang biasa kulihat di layar kaca.

“Jangan buru-buru meledekku…” ia mengedipkan mata sambil memberikan sekantung baju ke arahku. “Itu milikmu.”

Ha-na menghampiri kami dan bertanya dengan bingung. “Untuk apa penyamaran ini? Setelah ini Lee-ah masih harus ke kantor untuk melapor pada atasan…”

“Kurasa kau bisa membantuku, ya kan?” bujuk Yun-ho dengan wajah lugu. “Bukankah aku sudah membantumu hari ini?”

“Hah… apa boleh buat…” Ha-na menggeleng pergi sambil mulai menelepon dari ponselnya.

Kupandang baju di tanganku dan mulai mengeluarkannya. Yun-ho tertawa melihat wajahku yang terkejut setengah mati. “Nah kan,” tawanya. “Aku tahu kau akan menyukainya!”



―Uknow Yun Ho, Maret 2011, Seoul street―
“Jadi? Sekarang kita akan ke mana lagi?” tanya gadis di sebelahku dengan wajah gembira. Ia mulai menikmati wig kribo pink dengan pita besar di kepalanya. Juga kacamata hitam yang membuatnya seperti sepasang denganku.

“Sebaiknya kita main apa lagi ya….” Ujarku sambil melihat ke sekeliling arena bermain. Hari ini pengunjung lumayan ramai. Dan penampilan kami agak tersamarkan dengan adanya badut-badut lucu di sini. “Bagaimana kalau kita ke sana?” Kuarahkan telunjukku ke bianglala. Wajah gadis itu langsung mencerah gembira lalu sejenak mengkeruh kembali.

“Kenapa?” tanyaku, tidak dapat menahan rasa penasaranku.

“Eh? Tidak apa kok, ayo kita ke sana…” elaknya. Bisa kutebak… mungkin ia kembali membayangkan Hyun-joong… rival sekaligus sahabatku di sana menemaninya.

“Hei, hati-hati!” seruku sambil menangkap tangan gadis itu ketika seorang wanita gendut menabraknya sampai ia hampir terjatuh. Sialnya, saat itu kacamataku terlepas jatuh karena buru-buru.

“Astaga! Bukankah itu U-know Yun Ho!!!?”

“Gadis di sebelahnya itu… jangan-jangan dia….!!”

“Tidak mungkin! Itu kan Lee-ah!!” jerit gadis lainnya.

Spontan wajah kami berdua memucat ketika kamera mulai ditodongkan kea rah kami. Aku berusaha sebisanya melindungi gadis itu dan sambil menutupi wajahnya di balik jaketku, kami berlari kea rah pintu keluar.

“Tidak kusangka, bakal berantakan begini…” keluhku. “Maafkan aku… Akan kubantu menjelaskannya ke Hyun-joong nanti…”

“Sudahlah, tidak apa-apa kok…” Gadis itu membalas senyumanku dan tertawa lepas. “Lagipula rasanya tadi sangat menyenangkan. Sampai akhirnya penyamaran sempurnamu terbongkar. Dengan rambut kribo itu, wajahmu masih tetap tampan…”

“Kenapa kau masih bisa tertawa…” kugelengkan kepalaku bingung, namun akhirnya aku ikut tertawa bersamanya. “Kau juga masih manis walaupun rambutmu kribo begitu…”



Lee-ah tertawa grogi sambil menepuk-nepuk wig-nya yang tebal. “Sekarang bagaimana cara kita pulang?” tanyanya bingung.

“Akan kutelepon manajerku. Kami akan mengantarmu kembali ke rumah…” jawabku sambil tersenyum. “Tapi mungkin kau harus kembali berlindung padaku saat keluar dari sini nanti…”

Wajah gadis itu kembali memerah membayangkan akan berdekatan lagi denganku. seperti  tadi, saat ia kupeluk dan kututupi dengan jaketku. Tanpa sadar wajahku ikut terasa panas.

“Aduh… mukamu juga memerah…” tawanya lagi. “senang sekali bukan hanya aku yang merasa malu di sini…” ujarnya jujur.

“Ini karena kau menampakkan wajah seperti itu…” balasku. “Aku juga jadi malu sendiri…”



―Hyun-joong, Maret 2011, WGM―
Kubanting tabloid itu ke meja. Manajerku mundur selangkah karena terkejut. “Hyun-joong, itu hanya sekedar gossip…”

“Aku mau pulang ke Seoul sekarang juga…” desisku.

Tabloid itu memuat gambar-gambar Lee-ah dan Yun-ho dalam ukuran besar. Ada foto mereka berdua dalam MV Lee-ah. Dan ada foto mereka berdua tertangkap kamera sedang bersama-sama dalam kostum berpasangan di sebuah taman ria. Headline-nya tertulis: KENCAN MESRA SEUSAI PEMOTRETAN: APAKAH INI YANG DINAMAKAN CINLOK?


Berita itu membuatku panas. Dan cemburu. Aku ingin segera pulang dan menemui Lee-ah. Menemui Yun-ho. Aku ingin memastikan tidak ada apapun di antara mereka.

“Biasanya kau selalu tenang…” komentar manajerku sambil menarik nafas. “Tidak biasanya kau seperti ini… Lagipula acara WGM ini masih belum selesai…”

“Seharusnya akulah yang menemaninya menjadi model MV itu…” geramku. “Tapi lalu digantikan anggota CN Blue. Dan sekarang… Yun Ho?! Apa maksudnya itu?” tanyaku pada diri sendiri. “Dan kenapa mereka bisa kencan berdua….”

“Mungkin mereka pergi beramai-ramai dengan kru lainnya. Sekarang, kau konsentrasi dulu pada acara ini. begitu selesai, kau bisa menemui gadismu…”

Konsentrasi?! Apa aku bisa!?

Foto yang membuatku marah bukanlah foto kemesraan mereka dalam MV Lee-ah. Walaupun foto-foto itu cukup mengusik, itu belum seberapa. Bukan pula foto mereka memakai kostum berpasangan. Tetapi foto dimana Lee-ah berlindung di balik jaket Yun-ho. Bisa kubayangkan bagaimana dekatnya mereka. Bagaimana Yun-ho bisa menggantikanku melindungi Lee-ah dari serbuan pers. Bagaimana gadis itu merasa aman dalam lindungan pria lain.

Perasaan tidak berguna semacam itu yang menekanku.

Dengan kesal kutarik nafasku. Tidak ada gunanya berdebat. “Baiklah, sekarang katakan, apa jadwalku hari ini!”



―Hero Jae Joong, Maret 2011, SM entertainment―
“Kelihatannya kau tidak bisa konsentrasi…” komentarku, sengaja berdehem agak keras.

Jae-shi mengangkat wajahnya dan menghentikan permainan gitarnya. “Seburuk itukah?” tanyanya dengan wajah serba salah. “A-aku akan mengulanginya…” Mau tidak mau aku tidak tega melihatnya.

“Sudahlah,” ujarku. “Bagaimana kalau seharian ini kau istirahat dulu? Atau aku bisa meninggalkanmu supaya kau bisa menumpahkan apa yang sekarang kau pikirkan dalam sebuah lagu. Coba lihat cermin, wajahmu kusut sekali.” Aku bahkan tidak berani berkomentar lebih jauh. Sepertinya ia dipenuhi berbagai luapan emosi dan bisa meledak kapan saja. “Sebenarnya apa yang terjadi dengan Yoo-chun?”

“Eh… apa yang terjadi…” Dia malah menggumam tidak jelas dan bahkan mengulangi pertanyaanku. Tak lama kemudian wajahnya berubah memerah. Astaga, memang ada yang mencurigakan di sini.

“Apakah… terjadi sesuatu?” perasaan aneh mulai menekanku. Apa ini? Rasa penasaran yang terlalu tinggi? Entahlah.

“Ti-tidak ada apapun…” Jae-shi mencoba tersenyum tapi wajahnya kembali memerah. Ia memilih menunduk untuk menyembunyikannya.

“Dia melakukan sesuatu padamu?” Pancingku lagi. “Memegang tanganmu?” Jae-shi masih terdiam di tempatnya. Mungkin aku salah. “Memeluk?” Bukan itu juga. “Mencium?”

Wajah terkejut yang ia coba sembunyikan dariku membuatku merasa… aneh. Ya, aneh. Rasanya ada yang menekanku sampai terasa berat. “Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi.” Brengsek. “Sampai ketemu besok…”

Kakiku melangkah masuk ke ruang latihan tanpa mengetuk pintu seperti biasanya. Di sana Chang-min yang sedang berduaan dengan Hae-bin tampak terkejut dan gelagapan. Mereka langsung saling menjauh seolah tidak ada apapun yang terjadi. Mengaku sajalah! Kalian berciuman! Suara itu berteriak keluar dari dalam benakku.

“Teruskan saja,” komentarku, berusaha tampak cuek. “Anggap aku tidak melihatnya…”

Dari jauh bisa kudengar suara Chang-min mengomentari tindakanku. “Pasti moodnya sedang jelek.”

Bukannya jelek. Tapi sangat buruk. Sebenarnya mereka berdua seharusnya tidak menjadi sasaran kemarahanku. Tapi melihat pose mereka barusan mengingatkanku akan keanehan dari Yoo-chun dan Jae-shi yang juga bergerak menjauh dengan canggung sewaktu aku masuk. Jadi itulah yang memang terjadi. Hah! Kenapa rasanya memuakkan sekali!



―Lee-ah, Maret 2011, Apartment―
“Caranya melindungimu memang sangat keren…” Jae-shi memuji tindakan Yun-ho―entah untuk keberapa kalinya hari ini―dengan tatapan memuja yang tidak dibuat-buat. “Kelihatannya dia memang pria yang baik…”

“Yah, dia memang sangat baik…”

Jantungku nyaris berdebar mengingat bagaimana caranya melindungiku dengan protektif. Sebagian diriku berharap Hyun-joonglah yang melakukan hal itu. sayangnya pria itu sedang berada entah di mana bersama ‘istri’-nya dan berbahagia, bercanda, tertawa, bergembira dalam sebutan Lettuce Couple.

“Aku hanya mengira-ngira… bagaimana ya komentar Kak Hyun-joong kalau melihat ini…” Jae-shi memejamkan mata ngeri setelah memandangku. “Aku tidak berani bicara…”

“Menurutmu dia akan marah?” Sekarang aku setengah mati berharap Jae-shi akan bilang kalau pria itu akan cemburu berat pada Yun-ho. Wanita memang makhluk yang rumit. Di depan pria mereka akan mengatakan, “jangan bertengkar karena aku…” Tetapi di dalam hati mereka akan merasa sangat bangga karena diperebutkan.

“Kak, jangan bermain api…” Hanya itu yang diucapkan Jae-shi.

“Maksudmu?”

“Kalau Kak Hyun-joong memang benar-benar menyukaimu―dan begitulah pendapatku, dia sangat menyukaimu―dia pasti sangat marah. Kurasa sekalipun bersama gadis lain, ia tetap berharap Kakaklah yang ada di sisinya.” Jae-shi meneruskan dengan hati-hati. “Tentu saja kakak tidak mau hubungan persahabatannya rusak dengan Yun-ho karena gossip ini kan?”

“Astaga,” gumamku. “Aku tidak berpikir sejauh itu. Aku hanya berharap dia agak… memikirkan perasaanku.”

“Wanita memang sering menjadi pihak yang tersiksa. Tapi, coba bayangkan juga bagaimana posisinya. Kurasa, sekarang ia setengah mati ingin bertemu denganmu.”

Tepat setelah Jae-shi menutup mulutnya, bel apartemen kami berbunyi. TENG TONG.


―Hyun-joong, Maret 2011, Lee-ah’s Apartment―
“Hai…” sapaku begitu gadis itu membuka pintunya. Berani sumpah, wajahnya terkejut setengah mati melihatku. “Aku segera pulang begitu pekerjaanku selesai…”

Wajah Lee-ah segera tersenyum membalasku. Mungkin ia mengerti, apa yang kulakukan dengan Hwang-bo kuanggap sebagai pekerjaan. “tidak mau memelukku?”

Lee-ah menatapku bingung. Jae-shi dengan baik hati mengedipkan mata padaku dan menyingkir masuk ke kamarnya. “Aku harus membelikannya hadiah nanti, ingatkan aku…” bisikku pada Lee-ah sebelum akhirnya kutarik gadis itu untuk menciumnya dalam-dalam.

Lee-ah menerima ciumanku dengan sedikit terkejut. Aku sudah sangat merindukannya, dan ciuman yang bertubi-tubi seakan tidak cukup untuk mewakili perasaanku. Ketika ciuman kami semakin intens, Lee-ah sudah kehabisan nafas dan tangannya mencengkeram bajuku erat-erat.



“Kau tidak tahu betapa cemburunya aku pada sahabatku sendiri karena gossip itu. Melihatnya melindungimu membuatku iri…”

“Kami hanya makan bersama seusai kerja…” jawaban Lee-ah membuatku sedikit lega.

“Bersama kru yang lain, kan?” Kucoba memastikan lagi untuk kesekian kalinya.

Ada jeda sesaat sebelum gadis itu menjawab. “Begitulah…” Dan tiba-tiba saja kecurigaanku muncul lagi, seperti gelombang air yang mendadak pasang. Kutekan dan kutepis perasaan itu jauh-jauh. Sebaiknya aku tidak merusak suasana yang ada di antara kami. Kami baru saja berbaikan dan aku tidak mau menambah masalah di antara kami.



―Hyun-joong, Maret 2011, DSP Entertainment―
Keesokan harinya tidak menjadi lebih baik. Walaupun Young-saeng dengan jelas sudah bergerak mundur dari gadisku―mungkin karena dia tahu aku sangat tidak suka ada pria yang mendekatinya―sesuatu dari sikap Lee-ah membuatku waspada. Misalnya seperti sekarang, ketika ia mengobrol dengan seorang kru yang baru bekerja. Entah setan apa yang merasukiku sehingga menjadi begini posesif. Jadi dengan senyuman ala malaikatku, kuminta supaya pria itu pergi membantu membelikan kami makanan atau apalah.

Atau seperti sekarang ini, ketika ponselnya mendadak sibuk dan ia terus saja membalas sms entah dari siapa. Ketika gadis itu pergi meninggalkan ponselnya begitu saja, mataku tidak sengaja melihatnya.

From: Yun Ho
Senang kau tidak ada masalah dengan Hyun-joong. Kejadian waktu itu benar-benar bahaya.

To: Yun Ho
Hyun-joong bersikap sangat dewasa. Biar bagaimana pun, aku sangat berterimakasih atas bantuanmu waktu itu. kalau kau tidak ada, entah apa yang terjadi.

From:  Yun Ho
Hahaha… Tidak masalah. Aku senang bisa membantumu. Baiklah, jaga diri baik-baik, dan selamat bekerja!

To: Yun Ho
J

Sesingkat itu percakapan mereka, tapi cukup untuk membuatku merasa ada ratusan meriam ditembakkan di kepalaku. Baiklah, mereka menjadi lumayan akrab, itu saja. Kucoba untuk menegaskan pada diriku sendiri bahwa tidak ada apapun yang terjadi di antara mereka. Lagipula mengintip ponsel orang seperti ini bukan sifat atau hobiku.

Sampai telepon itu datang. Dari Yun-ho. “Hei…” panggilku ketika Lee-ah memasuki ruangan seperti biasanya. “Barusan Yun-ho menelepon dan mengajak kita semua berkumpul lagi untuk makan bersama. Dia terutama sangat mengajakmu.” Kucoba menekan nada sinis dari suaraku tapi gagal. “Sebenarnya, sedekat apa hubungan kalian?”


―Micky Yoo-chun, Maret 2011, Japanese Restaurant―
Aku tidak bodoh untuk bisa mengatakan kalau sekarang ini suasananya sangat tidak enak. Hyun-joong dan Lee-ah kelihatannya menjaga jarak. Lalu, dengan adanya Tiffany yang ikut bersamaku dan duduk di sebelahku, jae-shi juga menjaga jarak dariku.

“Kenapa makanmu sedikit sekali?” Jae-joong mulai bersikap seperti kekasih yang baik dan meletakkan beberapa lauk ke mangkuk Jae-shi. “Kalau kau lebih kurus dari itu, kau bisa tertiup angin di jalanan…” omelnya.

“Eh, ya, terima kasih…”

Melihat senyuman terima kasih dari Jae-shi membuatku merasa… tidak nyaman. Seperti ada yang mencelos di hatiku melihatnya tersenyum untuk orang lain.

“Hyun-joong, kalau kita pergi bersama ke taman ria, pasti sangat menyenangkan…” Yun-ho berkomentar riang sementara tiba-tiba kulihat ada percikan kemarahan di mata Hyun-joong. Aku ingin menyenggolnya tapi terhalang oleh Tiffany.

“Kenapa?” ia hanya menampakkan ekspresi manis dan mengangkat alis sedikit. “Kau tidak takut lagi, terserang gossip dan serbuan pers kalau ke sana?”

“Memangnya kita tidak bisa bersama-sama membooking tempat itu khusus untuk semua yang ada di sini?” Entah Yun-ho sedang tidak peka atau apa, yang jelas bisa kulihat sudut bibir Hyun-joong berkedut sedikit. Sepertinya ia bisa menembak seseorang kapanpun. Seperti gunung berapi yang siap meledak.

“Lupakan taman ria, terlalu beresiko.” Potong Jae-joong tiba-tiba. “Bagaimana kalau bersama-sama liburan ke pedesaan? Udara segar, pemandangan indah, air jernih…”

Jae-shi  dan Hae-bin tersenyum setuju. Demikian juga dengan Chang-min yang duduk di sebelahnya. “Aku masih teringat pemandangan indah yang kudapatkan waktu bermain film Vacation bersama Jun-su. Pedesaan memang sangat indah…”

“Kau akan ikut?” tanya Jae-joong lagi. Malam ini dia tampak… terlalu berlebihan memperhatikan Jae-shi. Bisa kulihat ia melempar lirikan kemenangan ke arahku. Entah apa maksudnya.

“Eh, aku tidak yakin…” jawab Jae-shi kalut. Ia menatap sekeliling ruangan, dan begitu bertatapan denganku, ia buru-buru mengalihkan pandangannya. Suasananya masih sangat kikuk. “Kalau Kak Lee-ah ikut, aku akan ikut…” jawabnya.

“Tapi, mendapatkan libur itu susah sekali…” ujar Lee-ah setengah berpikir. Yang lainnya mengangguk setuju.

“Kalau Hyun-joong, dia beruntung sudah syuting di Cheju dengan Hwang-bo…” Tiffany tiba-tiba menyela dan bisa kulihat perlahan senyuman Lee-ah menghilang. Aha, rupanya masing-masing orang di sini punya masalah sensitive dan tabu untuk dibicarakan.

“Ya, dia beruntung sekali bisa pergi duluan ke sana dan menikmati pemandangan bersama gadis cantik…” komentar Jung-min membuat suasana semakin panas. “Kurasa kau akan pergi. sebagai manajer Lee-ah, tentu saja…” uajrnya sambil menatap kea rah Ha-na.

Ucapan Jung-min disambut lirikan tidak senang dari Young-saeng. Ini hanya perasaanku, atau suasananya memang sekacau ini?

“Maaf… aku… aku mau ke toilet sebentar…” wajah Jae-shi pucat pasi dan ia segera berlari keluar. Jae-joong mengejarnya tanpa ragu-ragu. Ketika aku hendak melihatnya, tangan Tiffany menahanku.

“Kau di sini saja, aku tidak punya teman bicara…” Dengan enggan aku terpaksa menurut.

“Kurasa Jae-shi alergi udang. Dia mau pulang sekarang…”

Tusukan rasa bersalah menghampiriku dan bisa kulihat Jae juga merasakannya. Aku bisa melihat gadis itu sama sekali tidak menyentuh udangnya, namun karena merasa tidak enak pada Jae, dia memakannya.

“Astaga, aku lupa!” Lee-ah berdiri dan merogoh tasnya. “Aku selalu membawa antihistamin untuknya. Anak itu memang daya tahan tubuhnya agak lemah…” Diam-diam bisa kulihat ia merasa lega bisa pergi dari ruangan itu.

“Biar kuantar dia pulang…” tegas Jae.

“Tidak apa, kita semua pulang saja…” Hyun-joong juga merasa enggan berada di sini lebih lama.

“Sayang sekali, padahal acaranya baru mulai seru…” Tiffany mulai berkomentar sebal. “Kalau saja…”

“Bukan maunya seperti itu,” potongku pedas, dan Tiffany langsung menutup mulutnya dan tersenyum tanpa dosa padaku. “Biar kulihat sebentar keadaannya…”

Tapi, tepat saat kakiku melangkah keluar, Hyun-joong dan Yun-ho sedang bicara dengan wajah tegang di ujung lorong. Kuputuskan untuk tidak ikut campur dan mencari Jae-shi. Gadis itu dikelilingi Jae-joong, manajernya, dan kakaknya, sedang meminum obatnya.

“Seharusnya kau cerita padaku…” ujar Jae-joong lembut.

“aku tidak apa-apa. Sekarang sudah tidak gatal lagi…” gadis itu menjawab dengan lugu.

“Waktu itu wajahnya pernah merah semua karena alergi sampai berminggu-minggu. Parah sekali…” Lee-ah berkomentar. “Akhir-akhir ini aku tidak bisa menjaganya terus…”

“tidak apa,” sela Jae-joong. “Aku yang akan menjaganya…”

Tepat saat itu, kepalaku terasa berat seperti dihantam batu.


―Lee-ah, Maret 2011, Japanese Restaurant―
Aku hanya bisa memberikan senyuman lega pada Jae-joong yang berdiri di depanku. Diam-diam kuperhatikan wajah Yoo-chun yang terlihat keruh. Baiklah, sebaiknya aku tidak banyak berkomentar. Tapi sepertinya…

“Lee-ah, bisa kita bicara?” tanya Hyun-joong sambil menarik tanganku. Jelas itu bukan pertanyaan, nadanya seperti memerintahku.

“Aku harus segera pulang dengan Jae-shi…”

“Kalau begitu kita langsung ke pokok permasalahan saja. Aku baru bicara dengan Yun-ho.” Hyun-joong tidak melepaskan tatapannya sekalipun dari wajahku. “Walaupun aku berterimakasih padanya karena menjagamu, aku tidak suka dengan caranya memandangimu seharian ini…”

Astaga, topik ini lagi. “Kami memang hanya berteman.”

“Lalu kenapa pesan-pesan kalian begitu manis?”

Keterkejutanku segera digantikan dengan kemarahan. “Kau membaca sms-ku?”

Hyun-joong menatapku sekilas dan menghela nafas, sadar ia melakukan kesalahan. “Seharusnya aku tidak begitu, maaf. Tapi, akhir-akhir ini kurasa ada yang salah tentang kita. Kau tahu maksudku, aku tidak tahan melihatmu bersama dengan pria lain. Walaupun dia sahabatku sendiri, aku tidak yakin bisa memilih persahabatan daripada dirimu.”

“Ya, memang ada yang salah dengan hubungan kita…” balasku. “Kau tidak tahan melihatku berteman dengan pria lain, sementara aku harus tahan melihatmu menjadi pasangan suami istri dengan gadis lain!”

“Lee-ah…” Hyun-joong menangkap bahuku. “Jangan topik ini lagi…”

“Kau yang memulainya…” Air mataku mulai jatuh lagi. Akhir-akhir ini aku jadi emosional. “Aku juga lelah kalau harus menampakkan wajah biasa-biasa saja dan sabar di depanmu. Kau tahu tidak, bagaimana perasaan seorang wanita saat melihat kekasihnya menyanyikan lagu untuk wanita lain, memasak bersama wanita lain, hal-hal yang bahkan tidak bisa kita lakukan karena kita terlalu sibuk!”

“Maaf…” Hyun-joong menarik tanganku dan memelukku, namun aku bergerak mundur selangkah.

“Ada ribut-ribut apa di sini?” tanya seseorang tiba-tiba.


―Hyun-joong, Maret 2011, Japanese Restaurant―
Orang itu adalah Yun-ho. Ia bergerak kea rah kami dan menatap kami berdua. mungkin hanya orang bodoh yang tidak menyadari keanehan di antara kami. “Kalian bertengkar?”

“Tidak…” jawab kami hampir bersamaan. Namun Yun-ho melihat ke arahku dan kemudian kea rah Lee-ah. “Kau membuatnya menangis?”

“Itu bukan urusanmu…” jawabku sambil menatap matanya.

Yun-ho berdiri di depan Lee-ah, membuat dirinya berkesan seperti sedang melindungi gadis itu, dan hal seremeh itu membuatku kesal. “Bisakah kau membiarkan kami berdua saja?!”

Tepat pada saat itu, sebuah kilatan cahaya mengejutkan kami.

“Oh, sial…” geram Yun-ho. “Wartawan sialan…”

“Aku akan mengejarnya!” seruku pada Lee-ah. Yun-ho ikut berlari di sampingku untuk mengejar wartawan yang muncul entah dari mana itu. paparazzi memang selalu menyebalkan. Terbayang di benakku bagaimana peristiwa ini akan dibeberkan dan menjadi headline news besok pagi. Dan hanya Tuhan yang tahu, bumbu-bumbu apa yang akan mereka tambahkan dalam ceritaku.

Brengsek, makiku dalam hati. Semuanya mulai menjadi kacau sekarang.


-to be continued-



Tidak ada komentar: