Kamis, 17 Juli 2014

Sing out loud, love 15

Sing out loud, love 15

February 28, 2012 at 9:33am
Sing out loud, love 15
Chapter 15
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
Hero Jae-joong (TVXQ)
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae bin

—Micky Yoo-chun, March 2011, Apartment—
“Permisi…” Jae-shi mengekor masuk di belakangku dan menatap apartemenku dengan pandangan kagum. “Tidak kusangka aku benar-benar bisa masuk ke apartemen DBSK!” matanya berbinar senang saat mengucapkannya.

Cuaca memburuk dengan cepat ketika kami sedang kencan sebentar di taman. Hujan turun begitu derasnya sehingga kutawarkan pada gadis itu untuk mengeringkan diri di tempatku. Waktu mengucapkannya, tidak kusangka jawaban “ya” dari gadis itu akan membuat jantungku melonjak kaget.

“Walaupun begitu, kau sendirian di sini…” tawaku sambil mengedipkan sebelah mata. “Memangnya kau tidak takut padaku?”

“Benar juga ya,” Jae-shi menatap wajahku dan berpikir sejenak. “Media banyak meliputmu sebagai playboy…” Sejenak kemudian, wajahnya tersenyum kembali. “Tapi aku tahu kau tidak begitu. Aku percaya padamu…”

“Ahh.. Eh… begitu ya…” Tanganku bergerak menyusuri dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kenapa malah aku yang jadi grogi di sini? “Kamar mandinya di sana. Aku akan meminjamkanmu baju kaosku. Tunggu sebentar…”

Tidak berapa lama, aku sudah sibuk mondar-mandir di ruang tamu. Jantungku berdebar membayangkan bagaimana situasi bisa menjebak kami seperti ini. Biar bagaimana pun, aku lelaki. Gadis yang kusukai ada di rumahku, sedang mandi sambil…. Bersenandung, dan jantungku berdebar begitu saja. Sialan….

Tiba-tiba ponsel Jae-shi bordering. Kuperhatikan nomor peneleponnya tidak diberi nama. Alisku naik sedikit. Aneh. “Halo?” Akhirnya kuputuskan untuk menerima telepon itu.

“Apa ini telepon milik Jae-shi?” Tanya suara yang terdengar berat dari seberang. Suara pria. Siapa?

“Ah ya, tetapi Jae-shi sedang tidak dapat mengangkat ponselnya…”

“Siapa yang meneleponku?” gadis itu tahu-tahu sudah muncul di sana. Dengan kaos kedodoran, celana pendekku—yang di tubuhnya terlihat seperti celana kedodoran—dia tampak begitu mungil. Sesaat aku terpana menatapnya, melupakan ponsel yang ada dalam genggamanku, sampai gadis itu maju untuk mengambilnya dari tanganku.

“Siapa ini—oh…” ia segera menyelinap keluar dan melanjutkan pembicaraannya yang berkesan pribadi.

Pertanyaan demi pertanyaan mulai berkecamuk di dadaku. Siapa? Siapa pria itu? Kenapa aku tidak boleh tahu? Hanya saja suaranya—terdengar tidak asing.


—Lee Ah, March 2011, DSP ENTERTAINMENT—
“Aku pergi dulu ya…” Young-saeng menarik gagang pintu dan melangkah dengan ringan. Dua hari terakhir ini ia selalu melakukan hal seperti ini. Menghilang saat jam istirahat, kembali muncul tepat waktu sebelum rekaman atau latihan, dan kemudian pulang lebih dulu dari yang lainnya.

Kulirik Hyun-joong yang hanya tersenyum melihat sahabatnya melenggang pergi. “Kenapa dengannya?” tanyaku penasaran.

“Ahh… urusan pria…” senyumnya senang. “Kuharap dia bisa berusaha lebih baik lagi…” jawabannya terdengar mengambang.

Apa maksudnya itu?

Hyun-joong lantas tersenyum dan mencubit pipiku. “Aku tidak bisa membocorkan rahasianya padamu sekarang. Tapi percaya saja padaku, dia melalukannya untuk tujuan yang baik. Dan sekarang, bagaimana kalau kau menemaniku makan malam?” tanyanya sambil mengambil sejumput rambutku dan menciumnya. Gerakannya selalu saja membuatku berdebar dan merasa perutku mulas.

“Tidak mengganggu jadwalmu?” tanyaku, tersenyum menggodanya.

“Tidak akan,” jawabnya cepat. “Aku sudah mengosongkannya untukmu…”

“Bagaimana kalau aku mengajak Jae-shi dan Yoo-chun juga? Pasti asyik sekali…” cetusku tiba-tiba. Kurasa ideku cukup cemerlang.

Hyun-joong tidak berkomentar apapun ketika kukeluarkan ponselku dan kutempelkan ke telinga. Nada dering terdengar, dan ketika suara Jae-shi yang menyahut terdengar, “Hai Jae-shi…”—Belum sempat kukeluarkan kalimat selanjutnya, Hyun joong sudah mengambil ponsel dari tanganku.

“Apa—“

Hyun-joong meletakkan jarinya di bibirku. Dengan terpaksa kubungkam mulutku. “Jae-shi, ini aku, Kak Hyun-joong. Apa? Oh… ya, Kakakmu tadi hanya ingin menanyakan kabarmu. Dimana kau—“ Hyun-joong sejenak tampak kaget lalu tersenyum kecil. “Hebat juga,” komentarnya sambil menggelengkan kepala. “Oh, aku? Aku hanya mau meminta ijin padamu. Mungkin aku akan mengajak kakakmu jalan berdua hari ini. Makan malam dan lainnya. Tidak apa kalau dia tidak pulang?”

Apa?

Mataku melotot ketika Hyun-joong masih meneruskan teleponnya. “Bisa aku bicara dengan Chun?” apa yang tadi dikatakannya? Tidak pulang? Aku… tidak pulang…? Kenapa… “Ya, ini aku, Hyun-joong…” Pria itu tertawa lagi. “Pastikan saja ia pulang dalam keadaan utuh. Oke, ya, selamat bersenang-senang…”

“Apa?” tanyaku.

“Oh, Jae-shi sedang bersama chun. Kurasa semacam kencan. Kau tidak mungkin mengganggu mereka kan?” Ia mengedipkan sebelah mata ketika mengembalikan ponsel itu ke tanganku.

“Bukan, maksudku…” Wajahku mulai memerah seperti orang bodoh. “Maksudku… kenapa aku tidak akan pulang…”

“Yah,” Ia menghela nafas dan menatapku memelas. “Aku kesepian sekali. Kurasa malam ini situasinya akan berbeda kalau kau bersamaku…”

Jantungku nyaris copot ketika pria itu tahu-tahu menarikku pergi.


—Jae-shi, March 2011, Apartment—
“Hyun-joong…” Yoo-chun terbatuk dengan suara serak. “Dia kadang agak berlebihan…”

“Ehm… iya…” sahutku. Malu. Mungkin tolol kalau aku baru menyadarinya. Di sini terasa sepi sekali. Apalagi kami hanya berduaan.

“Minum kopi dulu…” ia menarik tanganku untuk mengikutinya ke ruang duduk. “Kau bisa minum kopi, kan?” tanyanya tiba-tiba.

“Bisa,” jawabku tanpa pikir panjang.

“Silahkan diminum…” ia mengulurkan segelas kopi yang baru diseduh. Aromanya menguar dari dalam cangkir. Kupegang cangkir itu dengan kedua tangan.

“Kau tidak mau menceritakannya padaku?” tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangkat kepala terkejut. “Soal apa?”

“Telepon itu. Maksudku—yang sebelumnya, dari ehm… pria…” Ia berdehem ketika kutatap matanya.

“Tidak mungkin kan, kau cemburu…” candaku, berusaha tertawa. Tapi Yoo-chun sama sekali tidak merespon.

“Apa aku tidak boleh cemburu?” Suaranya yang berat dan dalam membuatku kaget. Pelan, ketika kuangkat wajahku, pandangan kami bertemu. “Aku lelaki…”

“Kau tidak perlu cemburu…” jawabku sambil menghela nafas. “Yang menelepon itu, Papaku…”

“Jae-shi…” Yoo-chun mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahku. Ia menyentuhkan jemarinya untuk menghapus air mata yang entah sejak kapan sudah menetes turun di sana. “Maaf…”

“Tidak. Aku tidak apa…” tanganku menggenggam cangkir semakin kuat. “Ia memaksaku untuk—melakukan tes DNA. Aku ingin melakukannya, tapi aku takut mendengar hasilnya. Bagaimana kalau—kalau ternyata aku bukan adik kandung kakakku? Eh, itu artinya kau akan berpacaran dengan gadis yang tidak jelas asal usulnya.” Aku berusaha tertawa, tapi sebutir air mata menetes turun lagi. Kuangkat tanganku untuk menghapusnya.

Yoo-chun menarikku dalam pelukannya. “Tidak penting siapa kau, margamu apa. Yang jelas kau selalu akan menjadi Jae-shiku…” Debaran jantung yang kurasakan dari Yoo-chun membuatku merasa tenang. “Lagipula, kalau menikah, otomatis kau akan mengambil margaku.”

“Apa—“

“Itu baru rencanaku.” Ia mengoreksi ucapannya dengan wajah memerah malu. “Kuharap seperti itu, tapi aku tidak tahu kapan bisa melaksanakan itu… dan apa kau setuju untuk…” Ia tersenyum lebar sambil memelukku lagi. “Menikahlah denganku, walaupun aku tidak tahu kapan aku bisa secara formal melamarmu…”

Aku tertawa dan menyusupkan kepala di bahunya. “Selalu, jawabanku akan selalu ya…”



—Hyun-joong, March 2011, DSP ENTERTAINMENT—
“Wow, bukankah restoran ini mahal sekali…” Lee-ah menggenggam tanganku keras-keras. “Pakaianku tidak pantas…” Ia memandang blus dan jeans yang dikenakannya karena mengira tidak akan kemanapun.

“Itu bisa diatur,” senyumku sambil menjentikkan jari. Seorang pelayan berseragam hitam putih menghampiri kami dan mengulurkan sebuah kotak besar berpita putih  kepada Lee-ah.

“Apa ini…” Pandangan curiganya membuatku menahan senyum. “Kau sudah merencanakan ini semua sejak lama?” tanyanya.

“Menurutmu bagaimana?” tanyaku jahil. Lee-ah menerima kotak itu dan mengikuti pelayan menuntunnya ke toilet.

Bersiaplah, Lee-ah. Aku tersenyum sambil menatap sosok punggungnya. Kau tidak akan bisa lari dariku malam ini.


To be continued-

Tidak ada komentar: