Kamis, 17 Juli 2014

Sing out loud, love 13

Sing out loud, love 13

February 1, 2012 at 6:36am

CHAPTER 13
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
Hero Jae-joong (TVXQ)
Max Chang-min (TVXQ)
Uknow Yun-ho (TVXQ)
Xiah Jun-su (TVXQ)
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae bin


―Jae-shi, Maret 2011, Coffee Shop―

“Namaku... Han Kang Hoo...”

Nama itu dengan segera berputar di otakku. Kalau benar aku anaknya, apakah margaku akan berubah? Menjadi... Han Jae-shi? Atau mungkin, namaku juga sebenarnya bukan Jae-shi?

“Aku adalah Ayah Lee-ah...” akunya. “Dan mungkin, Ayahmu juga...”

Kalimat terakhirnya membuat alisku terangkat. Dia tidak yakin kalau dia adalah ayahku. Lalu kenapa... “Nama  keluarga Ayahku adalah Kim,” tegasku. “Kau siapa?”

“Ibumu hanya bilang kalau Ayahmu sudah meninggal, bukan? Apa kakakmu sama sekali tidak cerita apapun padamu? Kim itu sebenarnya nama keluarga ibumu...”

“Aku tidak tahu...” jawabku sambil menggeleng. “Usia kakak waktu Ibu meninggal masih kecil. Sewaktu tiba-tiba Papa menghilang, Mama hanya bilang sambil menangis kalau Papa meninggal karena kecelakaan...” jawabku datar.

Aku ingat betul hari itu. Mama keluar rumah dengan tergesa-gesa dan kemudian kembali dengan wajah lelah, marah, dan tampak sedih. Ia berkata kalau Papa sudah meninggal karena kecelakaan dan mulai hari  itu kami tidak boleh lagi mengungkit namanya.

 “Sebenarnya, hanya kau satu-satunya yang tidak tahu di rumah itu. beberapa waktu sebelumnya aku sudah mencoba menghubungi Lee-ah, tapi dia menolakku. Dia tahu jelas bahwa aku pergi meninggalkan kalian hari itu. Mungkin Ibumu merahasiakan semua itu darimu, supaya kau tidak kebingungan karena waktu itu usiamu sangat kecil.”

“Lalu kenapa?” rasa kecewa perlahan menusuk dadaku. “Kalau benar demikian, kenapa kau meninggalkan kami dan baru sekarang kau kembali?”

“Aku menyesali semuanya, Jae-shi. Biarkan aku kembali hidup bersama kalian untuk menebus kesalahanku. Sebenarnya, hari itu aku marah besar padanya karena mencurigai ibumu selingkuh. Aku curiga kau bukan anakku!” ia menggebrak meja dengan marah. “Tapi sekarang... aku bisa melihat jelas kalau wajah kita begitu mirip...”

“Aku...” kutarik nafasku perlahan. “Aku pasti tidak punya ayah seperti kau...” ucapku sambil menatap marah padanya.

Tidak tahukah ia bagaimana penderitaan kami ketika Ibu sakit-sakitan karena tiap hari membanting tulang kerja di berbagai tempat? Penderitaan kami selama hidup tanpa orang tua dip anti asuhan? Segala hinaan dan caci maki karena kami tidak punya orang tua? Perasaan segan kami pada orang tua angkat kami? Semua masa lalu yang menyakitkan itu tergambar begitu jelas di dalam otakku. Bagaimana aku menangis dalam pelukan kakakku pada bulan-bulan pertama kami pindah ke panti asuhan.

“Aku pergi sekarang...” ujarku sambil meletakkan beberapa lembar uang di meja. Kakiku terasa lemas, karena itu kucengkeram tepian meja kuat-kuat. Namun...



―Micky Yoo-chun, Maret 2011, Coffee Shop―
“Jae-shi!” dugaanku terbukti benar. Gadis itu melangkah dengan oleng dan tak berapa lama pingsan di depanku. Beruntung tanganku keburu untuk menariknya masuk dalam pelukanku. Jae-joong dan Hae-bin juga ikut menghampiriku.

“Bagaimana? Apa dia baik-baik saja?” tanya pria setengah baya itu khawatir.

Aku menatap pria itu dan merasakan kebimbangan dalam hatiku. Jae-shi marah. Ia tidak pernah semarah ini sebelumnya. Tidak pernah berlaku sedingin ini sebelumnya. Jadi, kenapa ia bisa begitu marah pada pria ini, kalau memang pria ini adalah ayahnya?

“Ini kartu namaku...” ujarku setelah merogoh kantungku dan menyerahkan kartu namaku padanya. “Mungkin sekarang dia belum bisa bicara dengan anda. Nanti setelah kondisinya membaik, saya akan menghubungi anda...”

“Terima kasih...” Pria itu menatapku dan tersenyum. “Kau pacarnya?”

“Ah, b-bukan...” jawabanku sedikit tersendat karena diluar dugaan, kurasa aku hampir mengiyakannya. Tatapan Jae-joong yang terasa menusuk membuatku mengurungkannya.



―Hyun-joong, Maret 2011, Bora-Bora Island―
“Hun-joong....” Mataku terasa mengantuk ketika gadis itu tiba-tiba memanggilku.

“Kau sudah bangun? Mau kupanggilkan dokter?”

“Tidak perlu, aku sudah tidak apa-apa kok...” Lee-ah menyentuh jariku sedikit. “Boleh kau menggenggam tanganku?” pintanya.

“Ada apa?” tanyaku sambil mempererat genggaman tanganku. “Ada yang tidak nyaman?”

“Aku terus memanggilmu...” bisiknya pelan, setengah menggumam. “Setengah mati aku berdoa agar kau yang datang dan memelukku....”

“Maaf...”

“Aku yang minta maaf...” sela Lee-ah parau. “Seharusnya aku tidak membuatmu khawatir. Dan membuatmu merasa bersalah karena bukan kau yang menolongku.” Penuturan Lee-ah dan tatapan matanya yang membius membuatku tercengang. Seberapa dalam ia memahamiku? Sedalam itukah?  “Dari tadi kau menjagaku, apa sudah makan?”

“Tidak usah cemaskan itu, aku tidak apa-apa...”

“Padahal aku sudah berjanji untuk tidak membuatmu cemburu lagi...” gumamnya sambil menutup mata. “Maafkan aku...”

Perlahan kutekan sisi tempat tidurnya untuk mendekatkan diri ke arahnya. Kucium bibirnya lembut. Lee-ah terkejut namun tidak menolak. “Aku belum gosok gigi...” bisiknya menggumam.

“aku tidak akan membiarkanmu kabur...” senyumku sambil menciumnya lagi. “Aku berterima kasih pada Yun-ho, aku tidak boleh cemburu padanya sekarang. Aku berhutang budi padanya karena ia menyelamatkanmu...”

Lee-ah meletakkan tangannya di belakang leherku dan menarikku untuk mendekat. Sejenak sinar di matanya mencerah. “Aku sangat merindukanmu...”


―Yun-ho, Maret 2011, Bora-Bora Island―
Sepasang kekasih itu tidak sadar kalau aku berdiri di depan pintu, menatap mereka. Buru-buru kulangkahkan kakiku ke daerah bayang-bayang untuk menyembunyikan diri.

Kuhela nafas dengan rasa sesak di dadaku. Aku terlambat menyadarinya. Dan terlambat menyesalinya. Sekarang aku tahu apa yang dinamakan jatuh cinta. Ternyata begini menyesakkan. Kenapa aku baru sadar kalau aku menyukai gadis itu sekarang? Saat melihat mereka saling memandang dengan mesra dan berciuman seperti itu, terasa ada yang menghujam dadaku dengan pisau.

Sialan.

Tok-tok-tok

Kuketuk pintu dengan canggung. “Aku bawakan makanan...” ujarku sambil tersenyum santai. “Silahkan menikmati...” dan silahkan lanjutkan.


“Yun-ho!” panggil gadis itu tiba-tiba. “Mungkin sudah terlambat, tapi... aku ingin berterima kasih...” senyumnya senang.

“Oh... itu bukan masalah...” sahutku, berusaha menekan luapan rasa bangga yang tiba-tiba memenuhi dadaku. Hyun-joong di samping Lee-ah juga ikut tersenyum tulus ke arahku. Lagi-lagi sebuah tusukan rasa bersalah menyergapku.



―Hyun-joong, Maret 2011, Bora-Bora Island―
“Ini...” Lee-ah mengangsurkan sebuah amplop kepadaku.

“Apa ini?” kukeluarkan isi amplop itu. Dua lembar tiket pesawat dan dua lembar voucher menginap di daerah Nagano. “Kenapa Nagano?”

“Manajerku yang baik hati itu sudah mengaturkan jadwalku.” Pipi Lee-ah bersemu merah saat menatapku. “Jae-shi nanti akan membuat video klip di sana, jadi ia membelikan tiket ini untuk kita berdua.”

“Apa...” Gantian wajahku yang terasa panas sampai ke ubun-ubun.

“Tentu saja tidak satu kamar...” potong Lee-ah tegas. Seketika adrenalinku kembali ke normal.  “Tapi pasti akan menyenangkan. Salju, ski, dan semua yang serba putih...”

“Ya...” Kuremas pelan pundak Lee-ah yang bersender di bahuku. “Aku yakin akan menyenangkan...”


―Jae-joong, Maret 2011, Seoul Hospital―

“Kau berlaku seperti pacar yang baik,” sindirku. Jae-shi tertidur di ranjang rumah sakit dengan wajah pucat. “Tapi aku bersyukur kau bisa menangkapnya sebelum jatuh...”

Yoo-chun tidak berkomentar apapun. Ia hanya terdiam dan menatap gadis itu dengan ekspresi cemas. “Dia sudah sadar...” gumamnya.

“Apa...” Tanganku segera menekan bel perawat begitu melihat kelopak mata Jae-shi pelan-pelan terbuka. “Ada yang sakit?”

“Tidak apa. Maaf mengejutkan kalian...”

“Pertemuan kalian pasti terlalu mengejutkan untukmu...” jawabku.

“Aku lega kau sudah baikan...” ujar Yoo-chun pelan. ia segera bersiap untuk pergi, ketika tiba-tiba tangan Jae-shi terulur untuk menarik jaketnya.

“Kau mau pergi?”

“Eh...” Yoo-chun menatap Jae-shi dengan ekspresi serba salah. “Aku... masih ada urusan...”

“Begitu ya...” Jae-shi tersenyum sedikit dan mengangguk. “Apa boleh buat, terima kasih ya...”



―Yoo-chun, Maret 2011, Seoul Hospital―
Sebagian perasaanku mendesak keluar untuk bertahan di sini dan memeluknya. Tapi perubahan ekspresi Jae-joong membuatku merasa tidak nyaman dan sungkan. “Ada Jae di sini...”

Sejenak kulihat mata Jae-shi membesar karena terkejut. “Ya...” sahutnya kemudian.

Setelah kakiku melangkah pergi, barulah aku menyesali keputusanku. Seharusnya aku tetap di sana dan menemaninya.



―Jae-shi, Maret 2011, Seoul Hospital―
“Jae-shi...” Gadis itu mengangkat wajahnya dan tersenyum menatapku. “Apa kau... menyukai Yoo-chun?” seketika itu juga, senyumnya menghilang.

“apa aku... harus menjawabnya?” tanyanya bingung.

“Tidak, tidak perlu.” Aku tidak mau mendengarnya kalau memang jawabannya itu malahan  akan membuatku sakit hati. “Biar aku saja yang bicara kalau begitu...”

“Eh... tentang apa...” Jae-shi mulai bergerak tidak nyaman di tempat tidurnya. “Harus sekarang?”

“Ya,” jawabku. “Sekarang.” Sebelum aku kehilangan keberanianku lagi. “Kau ingat... ketika aku hampir menciummu waktu itu...”

Jae-shi tidak menjawab. Tangannya sibuk memilin selimut di depannya. Kuteruskan bicaraku. “Sejak hari itu, tidak, sejak sebelumnya, kurasa aku sudah menyukaimu. Karena itu, jadilah pacarku...”

Jae-shi menatapku dengan tatapan bingung. “Aku... aku...” beberapa kali ia tergagap.

“Kau membenciku?” gadis itu menggeleng.

“Apa kau tidak menyukaiku?” pancingku lagi.

“B-bukan begitu...” potongnya. “Hanya saja...”

“Apa kau lupa, kalau Yoo-chun dan Tiffany...” Sengaja tidak kulanjutkan kalimatku. “Kau tahu...”


―Yun-ho, Maret 2011, SM Entertainment―
“Jadi pengumuman menyenangkannya adalah, kita juga akan menghabiskan waktu untuk White day di Nagano. Album kompilasi untuk musim dingin.”

“Sedikit terlambat dari jadwal tahun lalu. Apa di Nagano masih ada salju?” Chang-min mulai lagi dengan pemikiran kritisnya.

“Kurasa ya, menyenangkan sekali semua SM Town bisa berkumpul dan bernyanyi...” jun-su tersenyum lebar sambil membayangkan album-album musim dingin sebelumnya yang kami lalui bersama Suju dan Sm Town lain.

“Oh, Chun... bagaimana kabar Jae-shi...” Jun-su langsung menatap Yoo-chun yang berjalan memasuki ruang latihan dengan wajah keruh.

“Dia sudah sadar. Jae menemaninya...”

“OH, sebentar...” kulirik ponselku. “Jae mengirimiku sms.” Kubaca sms darinya dengan ekspresi kaget. Mataku beralih menatap Yoo-chun yang terlihat penasaran. “Ehm... tidak apa-apa...”

“Tidak mungkin, kau membuat penasaran saja...” Jun-su menyelinap ke belakang bahuku dan merebut ponsel dari tanganku, melemparnya kea rah Chang-min. Sialnya, Chang-min sedang tidak siap. Yang menangkap ponsel itu malahan Yoo-chun.

Perubahan ekspresi Yoo-chun dari terkejut menjadi terluka bisa kupahami sepenuhnya. “Yah,” ia mengembalikan ponsel itu ke tanganku. “Kalau kau mau membalasnya, titipkan saja ucapan selamat dariku.” Yoo-chun pun pergi begitu saja.

“Apa yang terjadi?”  seketika ruangan menjadi sangat heboh. Chang-min dan Jun-su bergantian merebut ponselku dan membacanya. “Kejadian deh...”

Aku sedang menyatakan perasaanku. Doakan aku. Sinyalnya positif.

“Ya, “ sahutku. Aku bisa merasakan perasaan Yoo-chun. Ia pasti terluka kalau mulai sekarang harus melihat Jae-shi bersama Jae-joong. Seperti aku ketika melihat Hyun-joong dan Lee-ah. Dua-duanya sahabatku. Dua-duanya berarti untukku.




―Lee-ah, Maret 2011, Apartment―
“Selamat datang kak!” Jae-shi menyongsongku dan memelukku. “Kau jadi terlihat pucat, apa kau baik-baik saja?”

“Dia kelelahan.” Hyun-joong yang berdiri di sebelahku membawakan barang-barangku menggantikanku menjawab. “Sayang sekali tidak banyak oleh-oleh yang bisa dibelikan di sana...”

“Wah, ini bagus sekali! Terima kasih!” Jae-shi menerima oleh-oleh botol kaca berisi kerang-kerang dan pasir putih Polynesia dengan gembira.

“Rumah memang tempat terbaik untuk istirahat...” keluhku sambil membaringkan diri di sofa ketika Hyun-joong sudah pulang.

“Kakak, sebenarnya, beberapa hari lalu, seorang pria datang menemuiku dan mengakui diri sebagai ayah kita...”

“Kau menemuinya?!”

Pria itu menghubungiku sebelumnya. Berulang kali. Mengatakan kalau ia menyesal sudah meninggalkan kami, menyatakan kalau ia mau hidup bersama kami. Tapi hatiku terlanjur sakit dan membencinya. Kalau saja ia tidak meninggalkan kami, Ibu tidak akan meninggal, kami tidak akan tinggal di panti asuhan dan merasakan hinaan anak-anak lain.

“Jadi... benarkah kalau Ayah kita sebenarnya belum meninggal?”

“Ya,” rahangku mengeras saat menjawab pertanyaan Jae-shi. “Tapi, pantaskah ia mengakui kalau ia Ayah kita? Aku tidak yakin jawabannya adalah iya..”

“Dia memintaku melakukan tes DNA. Aku... tidak mau melakukannya...” Jae-shi menundukkan kepala dan terlihat sedih. “Bagaimana kalau hasilnya, aku bukan adikmu?”

“Dasar bodoh!” kutarik Jae-shi masuk dalam pelukanku. “Tidak ada hubungan darah pun, kau tetap adikku! Lagipula, aku percaya kalau mama tidak pernah selingkuh! Kau memang adikku!”



―Lee-ah, Maret 2011, Seoul International Airport―
“Hyun-joong, apa kau benar-benar tidak ada jadwal apapun?”

“Aku sudah mengaturnya,” Hyun-joong merangkul bahuku dan mengedipkan sebelah matanya padaku. “Tenang saja, kita akan bersenang-senang.”

Jae-shi dan rombongan SM Town berangkat dalam pesawat yang terpisah. Itu berarti aku akan menghabiskan waktuku dengan Hyun-joong sepanjang perjalanan ini.

“Hanya dua hari, waktunya sempit sekali ya...” komentarku sambil menahan senyum. Manajerku dan manajer Hyun-joong sibuk mengatur jadwal kami sesudah pulang dari Nagano; mereka berdiri agak terpisah dari kami.

“Curang sekali kalian tidak mengajakku!” Jung-min muncul entah darimana dan merangkul leher Hyun-joong.  “Sayang sekali Gyu-joong dan Baby tidak bisa ikut karena punya jadwal iklan!”

“Padahal semakin ramai akan semakin seru...” gumam Young-saeng tiba-tiba. Aku tahu jelas arah pandangnya. Ia tidak bisa tenang meninggalkan Jung-min berduaan dengan Ha-na. sepertinya liburan kali ini akan lebih ramai dari dugaanku.

“Akan kucari kesempatan untuk kita berduaan...” Hyun-joong berbisik di telingaku, membuat wajahku spontan memerah malu.




―Micky Yoo-chun, Maret 2011, Nagano―
“Semuanya serba putih! Indah sekali!” Jae-shi merentangkan tangan dengan gembira sambil menghirup nafas dalam-dalam. Jae-joong berdiri di sampingnya, menatapnya dengan lembut. Pemandangan itu membuatku mulas.

“Chun! Nanti kita main ski di puncak sana! Kelihatannya seru!” Tiffany menggandeng tanganku dan menunjuk ke arah puncak. Aku hanya tersenyum membalas ucapannya.

“Bagaimana kalau nanti kita main ski juga?” tanya Jae-joong sambil menepuk pundak Jae-shi.

“Eh... aku tidak bisa...” akunya malu.

Jadi... mereka benar sudah pacaran?  Pikiran yang sama berulang-ulang terekam di otakku. “Kurasa aku sedang tidak mood melakukan apapun sekarang... “ gumamku sambil menghela nafas. “Kepalaku agak tidak nyaman Tiff...”

“Begitukah? Sayang sekali melewatkan White day begitu saja. Apalagi di tempat sebagus ini...” Tiffany memberikan senyuman di wajahnya yang cantik.


Waktu makan siang. Ruangan istirahat tampak lengang. Kakiku kulangkahkan ke dalam kamar istirahat. Syuting  sudah selesai dan hasilnya bagus, jadi kami diperbolehkan menghabiskan waktu dengan gembira. Kulihat tadi Jae-shi pergi bersama Jae-joong. Kurasa aku tidur saja di kamar seharian. Baru beberapa menit kupejamkan mataku, samar-samar terdengar pembicaraan di lorong.


“Kau belum menjawab perasaanku...” suara Jae-joong terdengar agak tidak sabar. “Kau menyuruhku menunggu, bukan?”

“Sekarang bukan saat yang tepat, Kak Jae-joong...” sahut Jae-shi setengah berbisik. “Kudengar Kak Yoo-chun sakit.”

“Kenapa hanya dia yang kau pikirkan? Bagaimana dengan perasaanku?”

“Waktu itu... kau tanya apa aku membencimu? Jawabannya memang tidak. Lalu, apa aku tidak menyukaimu? Tentu saja aku menyukaimu, tapi...”

Suara mereka semakin tidak jelas. Kepalaku semakin sakit. Apa yang mereka bicarakan? Jadi, sebenarnya mereka pacaran atau tidak?

Kesadaranku mulai kembali ketika sebuah handuk dingin diletakkan di kepalaku. “Maaf, aku membangunkanmu?” tanya suara itu. mendengar suaranya, aku ingin tersenyum lega. “Kurasa kau demam...”

“Kenapa kau di sini?” tanyaku.

“Kak Tiffany sedang bermain bersama yang lain. Aku juga tidak bisa main ski, jadi kurasa aku hanya akan mengganggu yang lainnya...” Ia mengambil handuk dari kepalaku dan mencelupkannya dalam ember berisi air es. Tangannya menyentuh dahiku, terasa dingin. “Masih sedikit demam ya...”

“Jae-shi...” Kuulurkan tangan untuk menarik tangannya. “Kau bertengkar dengan Jae?”

“Kau mendengarnya?” wajahnya berubah kaget. “Tidak bertengkar kok. Kak Jae-joong terlalu baik untukku. Aku yang tidak pantas untuknya.”

“Kalian belum pacaran?” tanyaku hati-hati.

“Aeh.. itu... Belum...” Jae-shi menyembunyikan rona merah di pipinya dan menggeleng. “Aku sudah menyakitinya. Dia pasti membenciku sekarang”

Dengan seluruh tenagaku, kutarik tangan Jae-shi. Gadis itu kehilangan keseimbangan dan kepalanya tepat di dadaku. Kurasa hanya sekarang kesempatanku. “Kukira hatiku sudah mati saat kudengar Jae menyatakan perasaannya padamu.”

“Apa... kenapa...”

“Jae-shi... aku menyukaimu...”

Gadis itu tidak menjawab, namun dadaku terasa panas. Ia hanya menangis tersedu-sedu di dadaku.



―Lee-ah, Maret 2011, Nagano―
“Menyebalkan sekali mereka mengganggu kita seharian...” Hyun-joong mendelik kesal pada sahabat-sahabatnya.

“Saljunya tebal sekali. Bagaimana kalau kau mengajariku main ski?” tanyaku, berusaha mengalihkan agar pria itu tidak lagi merasa sebal.

“Kau mau main ski denganku? itu ide yang bagus!” tawa Hyun-joong seketika mencerah. “Nanti kau akan sering berpegangan padaku, kan?” kedipannya membuatku tidak bisa menahan tawaku.

Kami memasuki kamar dan segera terkejut. Voucher hotel yang diberikan seharusnya menjadikan kami mendapat dua buah kamar, tapi kenyataannya hanya ada satu kamar dan satu ranjang di sana. "Aku memakai voucher yang satu untukku dan Young-saeng. Tidak keberatan?" Jung-min tertawa dari sambil melongokkan kepalanya dari pintu kamar sebelah.

Aku menutup mataku, tidak berani melihat wajah Hyun-joong yang entah beberapa kali berdehem di sampingku. AStaga... pria dan wanita... kekasih... satu kamar... seranjang berdua dalam satu malam... Apa yang akan terjadi?! jantungku mau meledak membayangkannya.

"Aaah... mendingan kita main ski saja dulu!" ujarku sambil berpura-pura tenang dan ceria, lalu mengeluarkan koperku dan mulai menyiapkan baju ganti.

Hyun-joong berdiri diam di belakangku. Senyuman usil tiba-tiba terlihat di bibirnya. "Apa aku keluar sekarang?"

"Tentu saja, aku kan mau ganti baju..." seruku, baru menyadari kalau mulai detik ini kami akan berbagi ruangan. Tanpa dikomando, wajahku langsung berubah merah.

"Wah, nanti malam sepertinya akan menarik." Hyun-joong mengedipkan mata sambil menarik handel pintu. "Aku menantikannya," tambahnya sambil tertawa. Jantungku hampir melompat keluar detik itu juga.





“Condongkan tubuhmu sedikit, tidak perlu kaku begitu... santai saja...” Hyun-joong mencontohkan gerakan padaku.

 Young-saeng dan Ha-na bermain berdua di dekat lodge, sementara Jung-min sudah menebar ketampanannya dan dikelilingi beberapa gadis cantik yang minta diajarkan ski dan snow boarding.

“Sulit sekali ya, bagaimana kalau kita main ke area sana? Di sana lebih sepi. Aku malu sekali kalau jatuh di depan orang banyak seperti tadi.”

“Di sana itu area yang berbahaya, hanya untuk yang sudah mahir. Lee-ah! Awas!”

“Kyaaa!!!” kakiku meluncur tanpa henti dan sekejap kemudian posisiku sudha jatuh terguling-guling di lereng salju. Hyun-joong langsung mengejarku dan berusaha menggapai tanganku. Sebentar kemudian, semuanya gelap.


-to be continued-





Tidak ada komentar: