Kamis, 17 Juli 2014

SING OUT LOUD, LOVE 12

SING OUT LOUD, LOVE 12

December 23, 2011 at 7:09pm

CHAPTER 12
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
Hero Jae-joong (TVXQ)
Max Chang-min (TVXQ)
Uknow Yun-ho (TVXQ)
Xiah Jun-su (TVXQ)
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae bin


―Hyun-joong, Maret 2011, DSP Entertainment―
“Lagi-lagi sebuah skandal untuk Nona Lee-ah. Rasanya saya tidak perlu mengingatkan Anda tentang skandal yang baru-baru ini terjadi dengan U-know Yun-ho dari SM Entertainment.”

Lee-ah berdiri sedikit jauh dariku, menekuk bibir dan menutup mulutnya rapat-rapat. Ekspresi wajahnya menandakan kalau ia sedang merasa terpojok.

“Sebenarnya, Pak Presdir… Ini kesalahan saya juga…”

Presdir Lee menatapku dan mendengus. “Kau tidak pernah selalai ini sebelumnya, Hyun-joong! Kau selalu…” Ia menahan nafas untuk menekan rasa kesalnya. “Kau selalu tenang dan terkontrol. Jadi pertanyaanku adalah: “Bagaimana mungkin”?”

Sekarang giliranku yang terdiam. Kurasakan tusukan pandangan Lee-ah yang berdiri menatapku. Memang, kuakui akhir-akhir ini diriku seperti lepas kendali.

―Lee-ah, Maret 2011, Apartment―
"Semuanya serba salah..." keluhku. Jae-shi setengah heran menatapku. Seharusnya memang kekesalan ini tidak kulimpahkan padanya.

"Ada yang terjadi?" tanyanya.

"Banyak. Terlalu banyak yang terjadi. Aku sendiri sudah tidak jelas dengan hidupku. Begini, kalau kuceritakan padamu... Aku ingin kau tidak berkomentar apapun sampai ceritaku selesai."

Jae-shi menatapku serius dan mengangguk. Perlahan kutatap wajah adikku. Sudah berapa lama kami tidak duduk berdua dan bersantai? Bahkan kurasa aku mulai menjauh dari adikku sendiri. Selama aku menceritakan masalahku, Jae-shi memenuhi janjinya. Kadang mengangguk, kadang memiringkan kepalanya, namun ia sama sekali tidak berkomentar.

“Bagaimana menurutmu?” Akhirnya, setelah ceritaku usai, itulah kalimat pertama yang kuucapkan. Aku sangat membutuhkan nasihat sekarang ini.

“Sebelumnya, kak Hyun-joong cemburu pada Kak Young-saeng…” Jae-shi mulai berpikir. “Sekarang setelah Kak Young-saeng mundur, tiba-tiba muncul Kak Yun-ho. Aku tidak bisa bilang kalau kalian berdua sama-sama benar atau sama-sama salah…”

“Jadi? Maksudnya apa?”

“Kalian berdua terlalu posesif. Sehingga pada akhirnya, kalian sama-sama tidak bebas. itu menurutku…” Jae-shi kembali menatapku. “Kau cemburu padanya, dia cemburu padamu. Menurut Kak Hyun-joong, mungkin kedekatanmu dengan Yun-ho adalah untuk membalas semua yang dia lakukan dengan Hwang Bo. Bagaimana pun, semuanya serba kebetulan. Waktunya terlalu tepat…”

Kucerna pemikiran Jae-shi. “Kau benar,” Kulihat Jae-shi tersenyum memaklumi ke arahku. “Pipimu masih gatal? Bagaimana alergimu?”

“Tidak masalah, dalam dua hari akan segera sembuh. Aku sudah ke dokter kulit kemarin…” Jae-shi berdehem sedikit. “Bagaimana dengan Kakak? Aku sudah melihat berita itu di tabloid gossip pagi ini…”

“Sementara ini aku dan Hyun-joong akan pulang-pergi diantar bodyguard…” jawabku. Melihat wajah Jae-shi berbinar kagum, aku langsung menertawakannya. “Sempat-sempatnya kau kagum padaku!”

“Jadi? Bagaimana pendapat presdir kalian?”

“Hyun-joong mengatakan soal hubungan kami pada presdir,” akuku. “Bisa kulihat tadi presdir kaget bukan main. Tapi… dia hanya bilang ‘apa boleh buat’. Kau tahu kan, Hyun-joong anak asuh kesayangannya. Dan dia menyuruh kami segera mengumumkannya…”

“Bukankah itu hal yang bagus?” Jae-shi bertanya dengan wajah cemas. Aku mengangguk. “Lalu, kenapa wajahmu sekeruh itu?”

“Karena aku sekarang sedang tidak yakin dengan diriku. Dengan Hyun-joong. Kau tahu, rasanya seperti menghisap candu. Kurasa, seperti itulah hubungan kami. Setiap kali kami hanya berdua, rasanya begitu manis dan menyenangkan. Tapi, begitu kami saling menjauh, begitu ada orang lain di antara kami, semua mulai rusak. Berantakan.”

Kali ini Jae-shi sama sekali tidak memberikan komentar apapun.


―Yun Ho, Maret 2011, SM entertainment―
“Lagi-lagi dia tidak membalasku…” gumamku kecewa saat melihat layar ponselku sama sekali tidak ada pesan balasan darinya.

“Siapa?” tanya Chang-min yang tahu-tahu sudah mengangkat wajahnya dan melirikku.

“Tidak, bukan siapa-siapa,” jawabku, menghindar.

Astaga, ada apa denganku. Aku tahu jelas, soal kenyataan bahwa  Lee-ah adalah kekasih sahabat sekaligus rivalku. Aku juga tahu jelas, bahwa gadis itu sangat menyukai Hyun-joong, bagaimana wajahnya sedih ketika membayangkan pria itu. namun, ada sesuatu dari dirinya yang membuatku tidak bisa menghindar.

Gadis itu membuatku merasa seperti… kena jackpot… mungkin seperti itu, perasaanku mengatakan inilah dia. Entah apa kedudukannya di hatiku. Teman seumur hidup? Atau… gadis yang kuidamkan…?

“Eh,” sadar telah melupakan sesuatu, aku memandang sekeliling dan bertanya, “Di mana Jae?”


―Micky Yoo-chun, Maret 2011, SM entertainment―
Yun-ho mulai lagi dengan kebiasaannya menggaruk kepala yang tidak gatal saat melihat ponselnya. Aku tahu jelas pesan dari siapa yang ditunggunya, tapi jelas, itu bukan urusanku.

“Jae sedang bersama Jae-shi…” jawab Jun-su ceria. Yang satu ini sedikit menyentakku. Nah, memangnya yang ini urusanku?

“Akhir-akhir ini perannya seperti tertukar..” sindir Yun-ho, sadar kalau bukan hanya dirinya yang teriksa saat ini. Sialan. “Aku akan memanggilnya kalau begitu. Sudah saatnya kita latihan menari untuk MV baru.”

“Tidak,”Aku sendiri agak kaget dengan suaraku. “Biar aku yang menjemputnya.” Sialan, apa yang kukatakan. Dasar bodoh!


―Jae-joong, Maret 2011, SM entertainment―
“Kedengaran terlalu tidak bersemangat. Bagian di sana suaramu terlalu terputus-putus… Coba diatur lagi nafasnya…” komentarku.

Jae-shi mengangguk dan mulai memetik gitarnya lagi. “Kalau di bagian sini, kunyanyikan begini bagaimana?” tanyanya sambil mulai bernyanyi. Suaranya ketika bersenandung terdengar manis dan lucu, tanpa sadar kutarik bibirku dan tersenyum.

“Eh, kau menertawakanku…” gerutu Jae-shi. “Tidak jadi kuubah kalau begitu…”

“Eh, tidak, tidak. Itu bagus kok…” jawabku sambil tertawa. “Aku hanya senang mendengarmu…”

“Kau menertawakanku…” tuduh Jae-shi.

“Tidak. Memangnya kau tidak bisa bedakan tertawa dan tidak. Tertawa itu seharusnya begini. HAHAHAHAA…!!!” kuperagakan gaya tertawa terbahak-bahakku. “Begitulah…”

“Astaga…” gantian Jae-shi yang tertawa. “Setelah kau memasang wajah geli dan tertawa begitu besar, wajah seriusmu itu sama sekali tidak cocok…”

“Hahaha…” tawaku sambil menarik kursi dan duduk di sebelahnya. “Nada yang tadi bagus juga kok…” Jae-shi masih menatapku, membuatku menghentikan bicaraku. “Kenapa?”

“Tidak,” ia cepat-cepat mencatat di kertas liriknya. “Dulu aku tidak tahu kau ternyata seramah ini, bahkan bisa tertawa sekeras itu…”

“Asalkan kau tahu saja, aku tidak tertawa sekeras itu di hadapan sembarangan orang…” jawabku.

“Eh, oh ya… uhm” entah kenapa Jae-shi tiba-tiba berhenti tersenyum dan jadi salah tingkah. “Aku mau beli minum dulu, Kak Jae-joong mau minum apa…”

“Apa saja…” Tapi sebelum selesai bicara, aku sudah mengulurkan tanganku untuk menangkap Jae-shi yang tersandung kursi dan nyaris jatuh. “Hati-hati dong…”

“Maaf…” Jae-shi masih dalam pelukanku ketika mengangkat wajahnya. Sejenak matanya membesar karena terkejut melihat posisi wajah kami begitu dekat. Tatapanku langsung turun ke bibirnya. Sebelum sadar apa yang kupikirkan, wajahku sudah mendekat untuk menciumnya. Jae-shi spontan menutup mata. Dan saat itulah…

“Jae! Kau dipanggil! Kita harus latiha…” Yoo-chun memang menghentikan bicaranya dan segera menutup pintu, tapi semuanya sudah terlambat. Jae-shi sudah melompat mundur, dan semua suasana yang mendukung tadi sudah hilang.

Brengsek!


―Hyun-joong, Maret 2011, Music Bank―
Lee-ah masih saja absen bicara dariku. Ia sama sekali tidak bicara selama perjalanan menuju studio tempat kami akan bernyanyi bersama. Ini penampilan resmi kami untuk pertama kalinya menyanyikan lagu duet itu. Seharusnya memang sudah dilakukan beberapa minggu lalu, namun semua tertunda karena syuting WGM.

“Hai…” Yun-ho menemui kami di belakang panggung dengan penampilan yang sedikit gothic. “Aku baru saja selesai tampil. Tidak disangka bisa bertemu kalian…”

“Hai juga…” Kami melakukan toss seperti biasa. “Kau akan menonton?”

“Tentu saja. Kenapa tidak?” Yun-ho menjawab dengan gembira.

Dalam hati aku sedikit berharap, Lee-ah akan mendukung aktingku dan membantuku menampilkan kemesraan kami di depan semua orang. Termasuk Yun-ho.

Lee-ah tampil cantik dengan gaun hitam yang membalut tubuhnya. “Tidakkah gaun itu agak terlalu pendek?” Aku cemas para pria di luar sana akan berpikiran tidak pantas padanya. Biar bagaimana pun, aku ingin hanya aku yang melihatnya secantik ini.

“Bagaimana ya, sudah tidak sempat lagi kalau mau mengubah gaunnya sekarang...” jawab si peñata rias dengan bingung.

“Biarkan saja,” jawab Lee-ah acuh. “Terima kasih, ya sudah membantu meriasku.”

Kami bernyanyi di hadapan banyak orang dengan sukses. Lee-ah tidak menolak gandengan tangan dariku, dia bahkan tersenyum selama menyanyi bersamaku. Tapi… rasanya ada yang berbeda dari kami. Sikapnya terasa dingin. Dingin, walaupun ia tersenyum hangat padaku.

Tepukan tangan penonton membahana dan membuatku mengulum senyuman puas. Lee-ah membalas senyumanku lalu diam-diam menarik tangannya dariku. “Ayo..” ajaknya. Pelan, kutinggalkan semua kemegahan panggung itu bersama gadisku. Punggung Lee-ah yang berada di depanku terlihat kesepian. Kalau saja tidak menahan diri… mungkin aku sudah memeluknya.

“Ya… aku mengerti…” Gadis itu mengangguk sesaat setelah menjawab teleponnya. “Baik, aku bisa berkemas mulai sekarang…”

Apa? Apa yang dikatakannya? “Kau akan pergi…?” Mulutku bicara tanpa kendali. Lee-ah mematikan ponselnya dan mengangguk padaku. “Kemana?”

“Ke Pulau Bora-bora. Aku harus syuting MV Freshen You.”

Dengan Yun Ho. “Kapan?”

“Besok aku sudah berangkat…” jawab gadis itu singkat. Matanya tidak menatapku. “Karena aku harus cepat pulang.. aku permisi dulu…”

Ha-na muncul tidak lama kemudian, bersama Young-saeng. “Loh, kemana Lee-ah? Baru saja aku mau mengantarnya pulang…” ujar Ha-na sambil menatap sekeliling. “Oh ya, kau sudah tahu besok ia akan pergi ke pulau Bora-bora?”

“Ya, sudah. Baru saja.” Dengan Yun-ho, kan? “Siapa saja yang akan ke sana?”

“Aku akan menemaninya, lalu para kru. Dan lawan mainnya. Yun-ho.”

Sial, tebakanku tepat. “Begitu waktuku lowong, aku akan kesana menemaninya…” Ha-na hanya melirikku sekilas dan mengangguk paham lalu berlalu dari hadapanku dan Young-saeng.

“Kau terlihat terlalu paranoid.” Young-saeng menasehatiku dengan nada suara yang tenang. “Pergi bersama Yun-ho bukan berarti dia akan selingkuh. Kau mengikutinya kemanapun bukankah hanya membuatnya merasa terkekang?”

Kutatap Young-saeng dengan pandangan ragu. Ya, ia benar, kuakui itu. Tetapi, harus kuapakan rasa cemas ini? Apakah karena menyukainya… aku harus membebaskannya?


―Lee-ah, Maret 2011, Apartment―
“Iri sekali…” Jae-shi menatapku dengan sorotan mata kagum. “Aku juga berharap bisa pergi ke tempat itu sejak dulu…”

“Nanti juga kau akan kesana. Makanya, buatlah lagu tentang sepasang kekasih di pantai…” Jae-shi menanggapi ucapanku dengan tawa. “Nanti akan kukabari begitu tiba di sana…”

“Kak…” Jae-shi menatapku serius sebelum akhirnya bicara. “Jangan bermain api ya…”


―Micky Yoo-chun, Maret 2011, SM entertainment―
“Jae-shi… selamat ya.. kau dapat banyak hadiah dari para fansmu…” Hae-bin berjalan masuk sambil membawa banyak bingkisan di tangannya. Di sebelahnya Chang-min membantu membawakan beberapa kantong plastic. “Kami sudah menyeleksi dan memeriksanya. Tidak ada benda berbahaya kok…”

“Wah.. terima kasih. Senangnya, ini pertama kalinya untukku…” Jae-shi tampak senang dan menerima hadiah-hadiah itu dari tangan manajernya. Kulihat Jae-joong juga memperhatikan gadis itu dengan senyuman kecil.

Sekejap, semua ingatanku tentang kemarin terulang lagi. Jae-joong dan Jae-shi… sebenarnya sampai di mana hubungan mereka? Sebenarnya, apa hakku untuk penasaran begini? Aarrhhh sial.

“Eh ini…” Jae-shi terdiam dan mengambil sebuah kartu dari boneka beruang kecil yang diberikan fansnya. Sesaat wajahnya memucat. “Ini…”

“Apa itu?” Jae-joong tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya. Jae-shi masih menggeleng tidak percaya dan membaca kertas itu berulang-ulang. “Ayahmu?” Jae-joong bertanya dengan bingung sementara Jae-shi membalas tatapannya juga dengan bingung. “Bukankah katamu kau dari panti asuhan?”

“Ada apa ini?” tanya Hae-bin saat mengambil kartu itu dan melihatnya. “Dia mencantumkan nomor teleponnya di sini, dan berharap bisa bertemu denganmu besok di kafe yang terletak di depan gedung ini. benarkah ini ayahmu?”

“Ti-tidak tahu…” Jae-shi menggeleng. “Memang pernah ada yang bilang, aku tidak mirip kakakku, tapi…” samar-samar bisa kulihat wajah gadis itu begitu pucat. “apakah ini artinya aku bukan adik kakakku?” Kami saling menatap. Semua anggota TVXQ ada di sini kecuali Yun-ho. Ia sedang bersama Lee-ah untuk syuting MV-nya.

“Belum tentu begitu…” jawabku seadanya. Jae-shi menatapku dan berusaha tersenyum. Dalam hati aku terus berdoa. Semoga hal ini tidak akan menjadi skandal baru bagi gadis itu.


―Lee-ah, Maret 2011, Bora-Bora Island―
Udara yang hangat, langit biru, dan laut yang sangat jernih. Pas sekali dengan image yang ingin kutampilkan dalam video clip Freshen You. Hari pertama kami tiba sore hari. Karena semua kru kelelahan akhirnya syuting ditunda dan kami semua beristirahat. Hari kedua, semua tampak lebih segar dan siap untuk bekerja di bawah langit biru pulau Bora-bora.

“Udaranya segar… bau lautnya terasa sekali…” komentarku sambil merentangkan tangan lebar-lebar. Rasanya aku paham kenapa jae-shi ingin kemari. Tempat ini sangat indah.
“Setelah syuting hari ini selesai, kalian boleh berjalan-jalan dan menikmati waktu bebas,” ujar sutradara. “Jadi, kalian lakukan yang terbaik, oke?” Siapa yang bisa menolak tawaran seperti itu?

Konsepnya adalah jatuh cinta. Jatuh cinta yang membuat suasana jadi menyegarkan, seperti cipratan air. Dalam video klip ini, kami seolah-olah jatuh cinta pada pandangan pertama. Lalu aka nada cerita seperti cinta pertama dan gandengan pertama. Sesudah jatuh cinta, semua akan terasa menyegarkan.

Syuting tahap pertama berjalan lancar. Tidak sulit untuk berpura-pura jatuh cinta setelah membayangkan Hyun-joong yang berada di depanku. Senyuman Yun-ho membuatku berdebar, dan semakin mendukung aktingku. Karena syuting hari pertama selesai, kami diperbolehkan jalan-jalan di pulau ini.

“Kemana?” tanya Yun-ho saat kakiku melangkah riang melewatinya. “Ke sana. Sebentar saja…” ujarku. Di dekat pantai ada yang menyewakan perahu boat. Tanpa pikir panjang, aku langsung menaikinya setelah membayar seperlunya.

“Tunggu sebentar ya..” pintaku. Penjaga perahu itu mengangguk. Kakiku menjelajah pulau yang kuseberangi dan berfoto di beberapa tempat. Tetapi, saat kembali ke tempat semula, penjaga perahu itu sudah menghilang. Keringat dingin langsung membasahi tengkukku. Gawat! Apa yang harus kulakukan?!


―Yun-ho, Maret 2011, Bora-Bora Island―
Lee-ah tidak kembali walaupun dua jam sudah berlalu. Para kru sedang berkumpul untuk makan. Diam-diam aku kembali mengkhawatirkannya. Apa yang dilakukan gadis itu? kenapa ia belum bergabung makan bersama kami? Kurasa ia sekarang sedang lapar. Buru-buru kuhabiskan makananku.

“Kau mau kemana Yun-ho?” tanya seorang kru.

“Aku mau mencari Lee-ah sebentar…”

“Kembalilah sebelum gelap. Kata nelayan tadi cuacanya akan segera berubah menjadi mendung. Kemungkinan besar akan hujan…”

Kecemasanku semakin menjadi-jadi. “Aku akan segera kembali,” ucapku. Tanpa membuang waktu, aku langsung berkeliling di pulau ini. jejak lee-ah tidak kutemukan di manapun.

“Are you want to go to that island too?” tanya seorang nelayan dalam bahasa inggris yang fasih. Ia tampak menggenggam beberapa lembar mata uang Korea. Mungkinkah Lee-ah…

“Have you seen a girl before? Asian, long hair, pretty face?”

Nelayan itu mengangguk dan menunjuk sebuah pulau. “She asked me to send her there…” Kakiku langsung lemas campur lega mendengarnya.

“She asked you to wait?” Nelayan itu menggeleng. Apa? “Take me there, I’ll give you the money, but please wait. I’ll give you extra if it’s rain…”


―Lee-ah, Maret 2011, Bora-Bora Island―
Perutku lapar dan rasanya semua badanku sakit. Salahku. Dasar si bodoh Lee-ah. Saking laparnya, aku memanjat pohon kelapa terdekat dan akhirnya malah jatuh. Sekarang wajahku juga kotor karena jatuh. Langit mulai terlihat gelap. Apakah hujan akan turun?

Kulirik ponselku yang sama sekali tidak ada sinyal. Apa yang harus kulakukan? Jam tanganku menunjukkan pukul dua siang. Sudah dua jam berlalu dari waktu makan siang dan rasanya perutku sakit karena lapar.

Saat ini yang terbayang di wajahku adalah wajah Hyun-joong yang kecewa kemarin itu.. Aku sudah menyakiti hatinya, jadi mungkin ini balasanku. Dan Jae-shi… aku rindu padanya. Penyewa perahu itu mungkin tidak mengerti bahasa korea-ku. Sungguh bodoh karena tidak mengatakan apapun dalam bahasa inggris tadi. Aah… sekarang menyesal pun terlambat.

Pelan-pelan air mata bergulir di pipiku. Kenapa tidak ada yang mencariku? Apakah aku akan terlupakan di sini? Kuhela nafasku yang terasa berat. Samar-samar, terasa suara memanggilku, Lee-ah… Lee-ah… seperti mimpi…

“Lee-ah!!”

Kutajamkan pendengaranku. Bukankah itu suara… “Lee-ah!!!” panggil suara itu lagi. Dengan sekuat tenaga, aku berteriak. “Aku di sini!!”


―Hyun-joong, Maret 2011, Bora-Bora Island―
“Aku baru sampai karena ada beberapa pekerjaan…” ujarku sambil meletakkan ranselku. Tidak ada yang menjawab, bahkan beberapa kru berbisik bingung dan tampak gundah. “Ada apa?” tanyaku, perasaanku jadi tidak enak. “Mana Lee-ah dan Yun-ho?”

“Lee-ah menghilang…” jawab Ha-na gusar. “Yun-ho juga pergi mencarinya dan sampai sekarang belum kembali…” Hujan di luar mulai turun. “Aku takut sesuatu terjadi pada mereka…”

Rasa takut pelan-pelan merayap memasuki hatiku. “Aku juga akan mencarinya…” tegasku, namun Ha-na keburu menahanku.

“Kau tetap di sini saja. Aku tidak mau ada yang menghilang lagi…” tegas sutradara itu.

“Tapi…” Ha-na menahanku, mencegahku untuk memprotes. Lee-ah… apa yang terjadi? Semoga kau baik-baik saja!


―Yun-ho, Maret 2011, Bora-Bora Island―
“Lee-ah!!” panggilku lagi. Suaraku hampir habis karena sudah memanggilnya sejak satu setengah jam yang lalu. Kuseka keringatku dengan lengan bajuku. Di mana gadis itu? sejauh ini aku masih belum menemukannya. Rasanya seperti terus menemui jalan buntu. Hujan sudah turun dari tadi. Aku takut gadis itu sakit dan tersesat.

“Lee-ah!!” panggilku lagi.

“aku di sini~” suara itu terdengar jauh dan kecil.

“Lee-ah!! Katakan kalau itu kau! Di mana kau!”

“Aku di sini!! Kakiku mungkin keseleo, aku tidak bisa menggerakkannya…!!” suara gadis itu membuatku mempercepat langkahku. Tidak lama kemudian aku berhasil menemukannya. Wajahnya kotor, bajunya kotor, dan ekspresinya seperti mau menangis. Tanpa pikir panjang, aku menariknya dalam pelukanku.


―Lee-ah, Maret 2011, Bora-Bora Island―
Begitu melihat Yun-ho, semua ketakutanku menguap. Dalam pelukannya, aku menangis terus-terusan seperti anak kecil. “Lain kali aku tidak akan sembarangan lagi… Maafkan aku…” tangisku terisak-isak.

“Sudahlah, yang penting kau selamat…” Yun-ho memutar badannya dan menyuruhku naik ke punggungnya. “Apa tadi kau tidak meminta nelayan menunggu?”

“Aku mengucapkannya dalam bahasa korea…” sesalku. Yun-ho mengangguk paham dan menyuruhku segera naik ke gendongannya. “MAaf kalau aku berat…”

“Ini bukan saatnya memikirkan itu…” guraunya sambil tertawa. Punggungnya terasa lembab dan basah. Ada sesuatu yang hangat memasuki dadaku.

“Sudah berapa lama kau mencariku…” tanyaku hati-hati saat cowok itu menggendongku sampai ke perahu. Ia membayar sejumlah besar uang ke si pemilik perahu yang sebelumnya perahunya kusewa.

“Sejak makan siang…” jawab cowok itu, membuatku tersenyum. “Tidak apa… Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang penting kau bisa pulang sekarang…” Yun-ho menarik kepalaku agar bersender di bahunya. Rasanya lelah… dan sangat lega. Aku ingin menangis karena terharu.

“Are you guys a couple? Such a sweet couple…” komentar selanjutnya dari nelayan itu tidak terdengar lagi karena mataku terasa sangat berat. Sehabis menangis.. memang rasanya mengantuk sekali…


―Hyun-joong, Maret 2011, Bora-Bora Island―
“Itu mereka!!” suara Ha-na yang terdengar lega campur kaget membuatku terlonjak. Ia segera berlari menghampiri Lee-ah yang berada dalam gendongan Yun-ho. Gadis itu tertidur dan tampak kotor.

“Astaga… apa yang terjadi…”

“Kakinya keseleo…” jawab Yun-ho. “Aku menemukannya di pulau sebelah.” Para kru yang mendengarnya tampak terkejut. “Sebenarnya aku cukup beruntung menemukannya…” ucap Yun-ho menjelaskan. “Jangan dimarahi lagi, ya Pak.. Kasihan dia kelelahan begitu…” ujar Yun-ho membujuk sutradara yang hanya manggut-manggut mendengarnya.

Kuhampiri Lee-ah yang memejamkan matanya. Yun-ho dengan pengertian memindahkan gadis itu ke pelukanku. “Karena sekarang kau yang ada di sini, sekarang kau yang bertanggung jawab menjaganya..”

“Ya…” jawabku tegas. “Tentu saja.”

Pelan, kusentuh pipi Lee-ah. “Bisakah kau membantuku menggantikan bajunya?” tanyaku pada Ha-na yang buru-buru mengangguk dan mengantarku ke kamarnya.


―Jae-shi, Maret 2011, SM entertainment―
“Aku akan menemuinya…” itu yang kuucapkan dengan tegas kemarin. Tapi, tidak kusangka sekarang aku akan menyesalinya.

Kumainkan jemariku dengan gugup. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas. Waktunya akan tiba. Sebentar lagi pria yang mengaku sebagai ayahku itu akan datang.

Hae-bin dan Jae-joong duduk tidak jauh dariku. Mereka akan bertindak seperlunya begitu situasinya berubah, misalnya pria itu menipuku.

Lalu, pintu kafe terbuka dan seorang pria masuk. Ia menatap sekeliling dan bertemu pandang denganku. melihat langkahnya ke arahku, jantungku langsung mati rasa.

“Halo, Jae-shi…” pria itu duduk dan tersenyum ramah padaku. Tidak ada tanda-tanda kejahatan di wajahnya. “Terakhir kali melihatmu, kau masih sangat kecil…”

Segera saja wajahku memucat. “Apa kau… Ayahku?”


-to be continued-

















Tidak ada komentar: