Selasa, 08 Juli 2014

TRY MY LOVE 20-END

TRY MY LOVE 20-END

July 24, 2011 at 4:55pm
TRY MY LOVE
Chapter 20
Cast:
Author (Jesica) as Park Jae Shi
Han Geng as himself
Wei Li Zhi as herself
Ji Ro Wang
Kim Ri Na

―Park Jae Shi, Seoul University, 2010―
“Dennies selalu cerita padaku… tentangmu.” Ri Na menundukkan kepalanya perlahan, berusaha memilah kalimatnya dengan hati-hati. “Bahwa Jae Shi adalah gadis yang baik, dan berada bersamamu… menyenangkan. Itu katanya…”

Aku terdiam di tempat dudukku. Ri Na sesekali tersenyum pedih sambil menatap langit yang terbentang luas di depan kami.

“Dia bilang, walaupun kadang kalau kau ceroboh, keberadaanmu itu… terasa penting. Baik dalam keluargamu, maupun bagi teman-temanmu. Mungkin karena itulah, aku iri. Aku iri… karena kau bisa membuat orang lain memikirkanmu begitu dalam… Dan iri, karena aku tidak punya semua itu…”

Ri Na mengelus perutnya perlahan saat mulai menangis. “Keluargaku kacau balau. Ibuku lari dengan pria lain. Dan Papaku, sering mabuk-mabukkan dan merusak barang di rumah. Aku tidak ingin… anak ini merasakan hal semacam itu.”

Ri Na iri padaku. Pada diriku yang selama ini hanya memandang sisi luar dirinya dan diam-diam merasa iri juga padanya. Pada akhirnya, saling membenci hanya membuat kami saling menyakiti satu sama lainnya.

Keluarganya berantakan. Dan ia iri melihat keluargaku. Aku punya sahabat sebaik Li Zhi. Ia tidak, dan ia iri padaku. Aku punya Kak Dennies yang memperlakukanku dengan baik sebagai kakak. Dan ia menyukai Kak Dennies. Akhirnya, semua itu menjadi satu puzzle utuh yang melengkapi rasa irinya padaku.

“Ri Na, kau tahu, tidak? Selama ini… sebenarnya aku iri padamu…” ujarku berterus terang.

Ri Na mengangkat kepalanya dan menatapku. “Eh?”

“Ya, aku sangat iri padamu. Bahkan pada awalnya, kukira Kak Dennies justru lebih senang bersamamu. Aku selalu bilang pada Li Zhi begini : Ri Na itu lebih cantik, lebih tinggi, dan lebih putih. Jadi mana mungkin Kak Dennies menyesal meninggalkanku?”

Ri Na hanya memandangku, jadi kuputuskan untuk terus bicara. “Tapi sekarang, bicara berdua denganmu, aku sadar. Ternyata benar kata pepatah : Rumput tetangga selalu lebih hijau. Mataku jadi terbuka sekarang. Bahkan, melihatmu mampu mengakui kelemahanmu itu… aku jadi agak iri padamu…”

“Yah! Kau bicara apa sih?” tanya Ri Na, jelas ia tampak semakin bingung.

“Kalau dipikirkan pasti tidak ada habisnya. Karena itu, ayo kita mulai semuanya dari awal lagi. Kali ini, aku pasti akan berusaha jadi teman yang baik untukmu…”

“Cih! Jangan kira karena aku bicara banyak padamu, kau jadi merasa aku butuh teman!” ia memalingkan wajahnya karena malu.

“Tapi aku benar-benar ingin berteman denganmu…” ujarku.

“Yah… lihat saja nanti…” ia bangkit berdiri dan segera berjalan meninggalkanku. “Tapi…” ditatapnya layar ponselnya. Data percakapan itu telah kukirim melalui Bluetooth tadi. “Aku berterimakasih untuk yang ini…” ujarnya sambil mengayunkan ponselnya.

“Sampai jumpa!!” teriakku sambil melambaikan tangan.

Ri Na terus berjalan tanpa membalasku. Lihat saja nanti? Itu artinya… suatu hari nanti, entah kapan, mungkin akan tiba waktunya kami bisa berbicang bersama. Sebagai teman…

―Wei Li Zhi, Seoul University, 2010―
“Jadi selama ini kau sembunyikan perkara sebesar ini dariku?!” seruku sambil mencubit lengan Jae Shi sebal. “Pantas saja tindak-tandukmu akhir-akhir ini benar-benar mencurigakan…”

“Maaf ya… Awalnya aku juga bermaksud untuk menceritakannya. Tapi, kupikir aku tidak punya hak karena ini bukan masalahku, tapi masalah Ri Na….”

“Terus, kenapa sekarang kau ceritakan padaku?” tanyaku sambil mendengus kesal.

“Karena, setelah percakapanku tadi dengannya… aku baru sadar. Aku beruntung, punya sahabat sepertimu. Kalau tidak, mungkin aku bisa jadi Ri Na yang kedua…”

“Iihh…. Kau itu pandai bicara…” geramku sambil mencubit pipinya kiri kanan. “Padahal aku sudah mau marah padamu…”

“Li Zhi… selamanya, kau akan jadi sahabatku, kan?”

“Tentu saja!” tukasku yakin. “Nah, sekarang, apa yang bisa kita lakukan untuk menolong Ri Na?” tanyaku.

Jae Shi menggeleng bingung. “Ri Na bilang dia mau mengurus semuanya sendiri… Aku tidak berani ikut campur lagi…”

“Bagaimana dengan Han Geng? Apa dia sudah meneleponmu?” tanyaku.

Jae Shi tersenyum dan menggeleng. “Tidak. Belum. Hubungan kami jadi semakin tidak jelas…” keluhnya. “Tapi, aku juga tidak bisa menyalahkannya. Mungkin hubungan ini sejak awal dimulai pada saat yang tidak tepat…”

“Itu tidak benar!” cetusku, kesal. “Menurutku malah sangat tepat! Dan kisah kalian juga sangat romantis!"

Jae Shi hanya membalas senyumku tanpa menjawab apapun. “Kudengar keputusannya sudah keluar. Dia berhenti dari SM…”

“Apa?!”

“Dan aku sudah memutuskan untuk tetap mendukungnya…” ujar Jae Shi sambil menatapku tegas. ‘Apapun keputusannya, termasuk… berpisah denganku…”


―Park Jae Shi, Park’s House, 2010―
“Konferensi pers! Langsung dari China” seru Li Zhi sambil menghidupkan televisi. “Kata Sung Min sebentar lagi akan dimulai!”

“Oh ya?” dengan penasaran kulirik layar televisi.

“Saya, Han Geng, dengan ini mengumumkan bahwa kontrak saya dengan SM telah berakhir. Sengketa di antara kami telah diselesaikan, dan terhitung sejak hari ini, saya bukan lagi anggota Super Junior…”

“Aaah… sayang sekali…” seruku dan Li Zhi berbarengan, menggantikan seruan ribuan fans lainnya.

“Berarti saudara Han Geng akan seterusnya di China?” tanya seorang reporter.

“Ya,”

“Dan itu berarti Anda akan meninggalkan kekasih Anda di Seoul?” tanya yang lainnya.

“Informasi dari mana itu?” tanya Han Geng.

Sesaat kemudian, manajernya sudah menyambar mic dan menjawab, “Dia masih single dan belum punya pacar.”

“Hei, enak saja! Ini yang di sebelahku adalah pacarnya…” seru Li Zhi memprotes ke TV. “Jae Shi, tenang saja. Mungkin cuma taktik penjualan. Kalau sekarang dia ketahuan punya pacar, mungkin akan ada banyak yang patah hati…”

“Ya…” sahutku, malas berdebat dengan Li Zhi.

“Bagaimana rencana Anda ke depannya?”

“Saya berencana untuk membuat album single dan bersolo karier di China. Ada sebuah manajemen yang mengontak saya, dan saya rasa saya akan menerima tawarannya…”

“Apakah Anda akan kembali ke Seoul lagi?” tanya seorang reporter wanita.

“Tidak…” jawab Han Geng setelah lama terdiam.

Bisa kurasakan tangan Li Zhi yang menggenggam tanganku terasa dingin. Lalu bagaimana denganku? Pandanganku kabur karena air mata yang berjatuhan di pipiku.

“Aku sudah janji akan mempercayainya…” sahutku. “Tapi, kenapa rasanya sulit sekali?”

Tidak ada diriku dalam rencananya. Padahal, ia sudah berjanji. Kalau ia kembali dari China, ia akan mengajakku bertemu kedua orang tuanya. Kemana janji itu sekarang?

Li Zhi bergerak ke arahku dan memelukku lembut. “Memang sulit, tapi… kuharap… Tidak. Aku yakin, Han Geng tidak akan mengecewakanmu…”


Sudah berakhir…

Berulang kali, frasa itu terulang dalam benakku. Aku ingin mempercayainya. Tetapi, hatiku tidak bisa berbohong. Aku takut karena―kurasa, barusan―segalanya telah berakhir.

Segalanya…

―Dua tahun kemudian―
―Wei Li Zhi, Bei Jing, Raffles Hotel, 2012―
“Kyaaa… selamat, kau cantik sekali, Li Zhi!!” seru Jae Shi sambil memelukku dengan ekspresi gembira. Di sebelahnya, datang Kak Dennies.

“Astaga, kau kembali pada cinta lamamu?” tanyaku bingung. “Eh, tapi cocok juga. Kau terlihat cantik dengan tulle dress berwarna pastel itu… Dan ia mengenakan kemeja hitam…. Hmmm…”

“Idih.. kesimpulan macam apa itu? Justru kau yang mengundang Kak Dennies tanpa bilang dulu padaku. Oh ya, dan dia bilang dia mau mengenalkan pacarnya padaku…” jelas Jae Shi dengan mimik bersemangat.

“Jadi dua tahun ini kau masih menunggunya?” tanyaku tidak sabar. “Memangnya tidak ada yang bisa membuatmu berpaling?”

“Masih belum sih…” akunya jujur. “Eh, aku lihat loh. Ji Ro tampan sekali…” ia berbisik senang padaku, kentara sekali kalau ia berniat mengubah topik pembicaraan. “Kalian memang serasi…”

“Nanti akan kuberikan buket bungaku padamu…” sahutku. “Berdiri agak di pojok ya, pastikan kau menangkapnya…”

“Haduh, jangan bicara hal yang mustahil. Tapi, aku akan berusaha menangkapnya!” balas Jae Shi tidak mau kalah.

Dua tahun berlalu demikian cepatnya. Bersamaan dengan keluarnya Han geng dari SM, otomatis alamat emailnya pun dihapus. Jae Shi benar-benar kehilangan kontak dengannya.

Di sisi lain, ia semakin dekat dengan Ri Na. Ia membantu memberikan kesaksian untuk Ri Na di pengadilan. Dan akhirnya, Dosen itu mau bertanggung jawab. Tentu saja, istri Dosen itu akhirnya meminta cerai. Hukuman yang pantas untuk pria semacam itu.

“Aku juga mengundang Ri Na, tapi kelihatannya dia sedang sibuk…”

“Oh… ya, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti beragam aksi sosial. Aku sempat ikut beberapa kali, cukup menyenangkan kok…”

“Jae Shi…” Apakah dengan menyibukkan diri ia baru bisa melupakan Han Geng? “Aduh… aku jadi mau menangis mendengarnya…”

“Ya ampun, aku tidak apa-apa kok, Li Zhi. Walaupun mungkin kedengarannya bodoh, tapi, aku yakin apa yang pernah terjadi di antara kami itu tidak sia-sia… Cuma, mungkin sudah saatnya bagiku untuk maju…”


Pesta dimulai beberapa jam setelahnya. Jae shi bertepuk tangan paling keras saat acara pemotongan kue, dan wedding kiss kulakukan. Dan kemudian, tibalah saatnya untuk acara lempar bunga.

“Tangkap ini!!!” seruku sambil melemparkan bunga itu dibantu oleh Ji Ro. Kami berusaha mengarahkan ke tempat Jae Shi. Namun, bunga itu tidak jatuh di tempat sahabatku itu. melainkan di tangan seorang pria.

“Wow,” siul Ji ro. “Kenapa dia bisa datang?” tanyanya di telingaku. Matanya berbinar kagum.

“Aku yang mengundangnya,” jawabku sambil tersenyum penuh arti.

Di depanku, pria itu maju dan memberikan bunga yang ditangkapnya ke tangan Jae Shi. Kerumunan yang tersibak seolah terhipnotis untuk memandang mereka berdua.

“Kenapa?” Bisa kutebak keterkejutan yang mengakibatkan Jae Shi kehilangan suaranya mendadak.

“Tanyakan pada Li Zhi…” jawab cowok itu sambil menggerakkan kepalanya ke samping.

Jae Shi memandang buket bunga di tangannya. Lalu matanya beralih ke Han Geng. Dan kini, ia tengah menatapku bingung.

Dengan ringan kujelaskan, “Aku yang mengundangnya…”


―Han Geng, Bei Jing, Raffles Hotel, 2012―
“Kau mengundangnya?” tanya Jae Shi, terlihat bingung.

“Kenapa? Kau tidak mau aku datang?” tanyaku.

“Bukan begitu…” jawabnya. “Kenapa kau sama sekali tidak mengabariku?” ia mulai memukuli dadaku dengan kesal.

“Bukannya tidak mau,” jawabku sambil menangkap lengannya. “Aku belum siap. Aku berusaha menyiapkan segalanya sebelum menemuimu…”

“Apanya?” Jae Shi mengangkat wajahnya dan menatapku curiga. “Aku bahkan tidak ada dalam rencanamu. Dan manajermu bilang kalau kau tidak punya pacar. Hanya saja, dengan bodohnya aku menunggu dua tahun!”

“Karena kau mempercayaiku, bukan?” tanyaku. Jae Shi menghambur ke dalam pelukanku. Ia menangis.

“Jangan menangis… banyak yang melihat kita…” bujukku.

Jae Shi mengalihkan wajahnya. Tangannya lantas bergerak menghapus air mata di pipinya.

“Aku pernah mencoba melupakanmu…” akuku akhirnya. “Manajerku… memintaku mencoba melakukannya… Dan aku, gagal…”

“Berarti seandainya berhasil, aku tidak akan melihatmu di sini? Atau mungkin, aku akan melihatmu, bersama gadis lain…”

“Kau tidak mengerti juga rupanya…” tawaku, menangkap lengannya yang sudah terangkat memukuliku lagi. “Aku tersiksa dua tahun ini…”

“Kudengar video klipmu dibantu sama artis-artis cantik…” ujar Jae Shi sambil memalingkan wajah.

“Aku juga… mencoba dengan mereka…” akuku akhirnya. Jae Shi mengangkat alisnya dan melirikku sekilas. “Tapi gagal. Dan akhirnya, datang undangan dari Li Zhi… Kupikir, hari ini aku akan patah hati dan melihatmu bersama pria lain…”

“Sayangnya aku masih si bodoh yang mempercayaimu…” Jae Shi mengejek dirinya sendiri.

“Aku awalnya mengira, bisa, melupakanmu. Tetapi, ternyata tidak bisa. Dan sebenarnya, sebelum datang kemari, aku sudah menelepon Papamu. Aku sudah bilang kan, bukannya tidak mau, tapi tidak bisa. Email lamaku sudah dihapus…”

“Kau bahkan melupakan alamat emailku…” keluh Jae Shi. “Dan kau tidak mengingat nomor ponselku…”

“Aku tidak bisa mengingat hal semacam itu, maaf… Hanya saja, setelah membongkar baju lamaku, ternyata dalam saku jaketku, masih ada nomormu. Itu kutemukan seminggu yang lalu…”

Jae Shi tidak bergeming jadi kuteruskan ceritaku, “Lalu, aku menceritakannya pada orang tuaku. Sebenarnya,sejak kembali ke China, sudah kukatakan. Namun, mereka tidak mendukung hubungan jarak jauh…”

“Jadi, aku ditolak. Iya kan?”

“Ketika kuceritakan lagi… untuk kedua kalinya, mereka tidak membantah. Ataupun melarang… Jadi…” kurogoh sakuku dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sana.

“Jae Shi, menikahlah denganku…” ujarku.

Jae Shi menatapku muram. “Kau percaya diri sekali aku akan menerimanya. Memangnya perasaanku tidak berubah?” tantangnya.

“Aku berani bertaruh…” kudekatkan wajahku ke arahnya. Ia bergerak mundur, namun tidak bisa bergerak lebih jauh ketika tangan kiriku sudah menahan belakang lehernya.

Kali ini Jae Shi tersenyum menatapku. Senyuman yang sangat kusukai. “Aku benci dikalahkan…” ujarnya. Jadi, dilemparnya bunga itu dan ia melompat dalam pelukanku. Samar-samar kurasakan derai tawa dan tepukan tangan di sekitar kami saat kudekatkan wajahku untuk menciumnya.

―Park Jae Shi, Bei Jing, Raffles Hotel, 2012―

“Seusai acara ini, ayo kita ke rumah orang tuaku…” ajak Han Geng, setengah berbisik di telingaku.

“Hemmm… bagaimana kalau kukatakan aku tidak mau?”

“Berapa lama aku harus menunggu? Sehari? Sejam? Setengah jam?”

“Astaga, kau tidak sabaran…” Jae Shi menyenggolku sebal. “Dibandingkan dengan penantianku selama ini, kau seharusnya bisa lebih sabar dariku…”

“Baiklah, kau masih kesal rupanya….” Goda Han Geng sambil tergelak di sampingku. “Aku benar-benar minta maaf untuk semuanya…”

“Akan kumaafkan,” sahut Jae Shi. Matanya bersinar jenaka saat memandangku. “Asalkan kau bisa menemaniku karaoke seharian…”

“Itu saja?” tanya Han Geng tidak percaya.

“Tidak Cuma itu. kau juga harus menebus kesalahanmu selama dua tahun.”

“Baiklah, tidak sulit…” ia membalas dengan percaya diri. Disodorkannya sebuah amplop ke tanganku.

“Apa ini?”

“Buka saja…”

Dengan heran, kubuka amplop itu. Isinya penuh dengan fotoku selama dua tahun terakhir. Ada fotoku bersama Ri Na, fotoku dalam ruangan karaoke bersama Dae Jia dan Hea In. Fotoku saat bersaksi di pengadilan untuk Ri Na. Juga fotoku saat wisuda…

“Astaga, kau seperti stalker…”

“Terima kasih. Kuanggap itu pujian…” ia tersenyum geli sambil menilai ekspresiku. “Ingat kan, aku pernah bilang, aku sudah berusaha melupakanmu…”

“Ya, kau bilang tidak bisa…” sahutku, masih membolak-balik lembar demi lembar. “Tuh, aku tidak fotogenik…” keluhku.

“Itu kan menurutmu,” sergah Han Geng, mengambil foto itu dan mengamankannya dariku. Tampaknya ia tahu, aku berusaha memusnahkan foto-fotoku. “Ini pose yang natural…”


―Han Geng, Bei Jing, Raffles Hotel, 2012―

“Jangan bilang kau mau menyimpan itu…” omel Jae Shi sambil memperhatikan tanganku yang menyelipkan amplop foto itu ke saku jasku.

“Oh… ini memang barang berharga untukku. Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu. Dae Jia, Hea In, Li Zi, mereka bergantian mengirimkan fotomu padaku. Dan entah bagaimana, aku keasyikan menunggu foto apa lagi yang akan mereka kirimkan setiap minggunya…”

Jae Shi melirik Li Zhi yang pura-pura tidak memandangnya.

“Akhirnya, setelah foto-foto itu berhenti dikirimkan, tampa kusadari, aku sudah menyewa detektif untuk membuntutimu. Dan setiap kali ia melaporkan kau belum punya pacar, rasanya lega bukan main…”

“Astaga, kau melakukannya sampai sejauh itu?”

“Ada sebuah kalimat yang baru kubaca di twitter. Sebuah quote. Dari TRZRMKY. The longer you are without something you love, the more you learn what it really means to you, the more you appreciate it. Kurasa itu benar…”

“Hem…” Jae Shi menunduk dan menyembunyikan senyumannya.

“Aku tidak mengganggu?” tanya Dennies, menghampiri kami. “Hei, lama tidak bertemu…” ia meninju bahuku pelan.

“Hei…” balasku, tersenyum. “Siapa gadis cantik itu?”

“Namanya Yu Hee, calon istriku…” ia memeluk bahu gadis itu lembut dan tersenyum. “Kau lama tidak terlihat bersamanya…” ia menganggukkan kepala sedikit ke arah Jae Shi. “Kuharap kau tidak membuatku kecewa karena harus mengalah padamu dulu…”

“Tentu saja, aku tahu itu…” sambil berbisik kukatakan padanya, “Susah sekali membujuknya menemui orang tuaku…”

Jae Shi tersenyum dan bersalaman dengan wanita cantik berambut pendek yang berdiri di sebelah Dennies. “Salam kenal… Jae Shi,” ia mengenalkan diri.

Wanita itu membalas sambil tersenyum malu, “Yu Hee…”

“Dia boleh juga…” bisik Jae Shi sambil tersenyum ke arah Dennies. “Aku beri tanda lulus…” ujarnya menambahkan. “Kau akan mengundangku, kan?”

“Tentu saja…” ujar Dennies sambil member tanda setuju dengan jempolnya. “Nah, sebaiknya aku menemui Li Zhi dulu…” ujarnya sambil mohon diri.

“Kelihatannya mereka cocok…” kataku sambil tersenyum pada Jae Shi. “Aku jadi iri. Gadis itu pasti tidak sulit diajak menemui orangtuanya Dennies…”

“Kau menyindirku, kan?” tukas Jae Shi sambil tertawa pelan. “Baiklah, sudah kuputuskan. Ya, aku akan menemui mereka…”

“Benar?” tanyaku, kaget.

“Kapan kau akan memakaikan cincin itu?” tanya Jae Shi sambil mengangkat jarinya.

“Sebentar…” dengan gugup kukeluarkan cincin itu dari jariku. “Aku akan membahagiakanmu….” Sambil memakaikan cincin itu, perlahan kutarik lengannya agar merapat ke arahku.

Jae Shi tersenyum dan mengalungkan tangannya di leherku. “Sebelumnya, kau harus meyakinkan Papaku juga…”

“Oh…?” kumiringkan wajahku, berpura-pura kaget. “Kau lupa? Sudah kubilang, sebelum menemuimu, aku sudah menelepon Papamu tadi. Dan walaupun kena semprot, aku sudah mendapat restu…”

Jae Shi membelalakkan matanya, kaget. Sebelum ia sempat bicara lebih banyak, kubungkam bibirnya dengan satu ciuman panjang. Selamanya, mulai saat ini, aku akan bersamanya. Selalu.


-TAMAT-

Tidak ada komentar: