Kamis, 17 Juli 2014

Sing out loud, love Side Story 5

Sing out loud, love Side Story 5

May 1, 2012 at 9:27am
Sing out loud, love
Side Story 5
Cast:
Kim Jae Joong
Evhy Vhiesa as Choi Hye Bin

—Kim Jae Joong, March 2012, Apartment—
“Aku tidak ingin berhenti menyanyi…” ucap Yoo-chun. “Untuk sementara, ini pilihan hidup yang kupilih. Kau keberatan tidak?”

Perbincangan mereka terdengar dengan jelas dari ruang tamu tempatku duduk menikmati buku bacaan. Walau tidak bermaksud menguping, pembicaraan itu seolah memang untuk kudengarkan.

“Aku tidak keberatan…” terdengar suara sopran Jae-shi. “AKu tahu betapa senangnya perasaanmu saat ada begitu banyak orang bernyanyi dan menikmati musik bersamamu. Memang menyenangkan…”

“Kalau begitu, kapan kita akan melaksanakan pesta itu?”

“Pesta?” Suara Jae-shi mengecil.

“Pertunangan, tentu saja! Kau kan sudah menerima buket dari Nona Ha-na!”

“T-tapi…”

“Aku tidak sabar melihatmu dalam gaun seperti itu…”

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. Yoo-chun berubah sejak bertemu Jae-shi.  Aku juga berubah. Awalnya, aku sama sekali tidak menganggap keberadaan gadis itu. Sampai kami akhirnya dekat dan aku merasa ia mengubahku.

Sayangnya, pilihan Jae-shi bukan aku. Pria yang paling istimewa di hatinya bukan aku, tetapi Yoo-chun. Dulu, rasanya begitu menyebalkan melihat kedekatan mereka berdua, atau bahkan ketika mereka menjaga jarak saat melihatku, berusaha untuk tidak menyakiti perasaanku.

Sekarang… tidak, maksudku… setelah mengenal Hye Bin, sakit hatiku perlahan menghilang. Aku bisa bersikap wajar dan tersenyum di depan mereka. Aku bisa bersyukur karena mereka bahagia. Dan aku juga bisa bersyukur karena hari itu bisa melepaskan Jae-shi.

Semua berkat Hye Bin.




—Choi Hye Bin, March 2012, Bioskop—
“Wah, kau menonton di sini juga Hye Bin?” tanya seseorang. Ternyata teman yang seangkatan kuliah denganku.

“Ah… benar…” jawabku sambil tersenyum. Mataku masih mencarinya ke kiri dan kanan. Dia belum datang juga, pikirku.

“Menunggu seseorang? Siapa?”

“Ahh… tidak…” Seperti biasa, dia sudah menyuruhku masuk duluan dan menunggunya di dalam. “Ayo, kita masuk saja…”

Selang beberapa menit setelah lampu bioskop dimatikan, pria itu muncul dan mengambil tempat di sebelahku. “Maaf, aku terlambat…”

“Kau selalu menunggu lampunya dimatikan supaya tidak ada yang mengenalimu kan? Tenang saja, aku sudah hapal gayamu…” tawaku. “Yang penting kita bisa nonton bersama…” jawabku dengan suara berbisik.

Kemudian, Jae-joong tidak bicara lagi. Matanya menatap serius ke layar bioskop. Kami menonton film Hunger Games. Tentu saja lebih banyak action yang terdapat di film itu daripada masalah percintaan. Tapi entah mengapa, bumbu cinta memang selalu ada dalam setiap film, bahkan film action sekalipun.

Dalam Hunger games, tokoh utama wanita terjebak di antara dua pria. Diam-diam kutatap wajah tampan Jae-joong yang menekuni film di sebelahku. Kenyataan tentang kisah cinta segitiga itu menggelitikku.

Kisah cinta selebritis adalah sasaran empuk bagi para wartawan. Aku tahu dengan jelas ada begitu banyak gossip di antara Jae-joong, Jae-shi, dan Yoo-chun. Jae sendiri pernah menceritakan padaku tentang perasaannya dulu pada Jae-shi.

Aku tidak bisa menyalahkannya karena pernah menyukai gadis itu. Jae-joong pernah membawaku bertemu gadis itu. Kami akrab dengan cepat, dan dia memang gadis yang menyenangkan. Jae-shi juga  menyebutku sebagai gadis yang baik dan pujian kecil itu membuatku tersenyum.

Jae memang pernah bilang kalau ia… emm.. menyukaiku. Dan ia ingin membangun hubungan yang berbeda denganku.

 Tapi setiap kali melihat Jae-shi dan Jae-joong berduaan, tidak bisa kupungkiri, ada perasaan tidak tenang di dadaku. Bagaimana kalau Jae-joong tenyata salah? Ia bilang sudah melupakannya tetapi ternyata belum?

Jadi, di sinilah aku, terjebak dalam perasaanku sendiri. Aku dan Jae-joong biasa menghabiskan waktu bersama, tapi rasanya belum bisa disebut pacaran. Kenapa? Karena aku tidak yakin dengan diriku sendiri.  Pernah suatu waktu, Jae-joong bertanya bagaimana perasaanku padanya. Nah, pertanyaan itu belum kujawab sampai sekarang.

ADa tidak yang mau bilang aku bodoh?



—Kim Jae Joong, March 2012, Sushi Restaurant—
“Jadi,” kuulangi kalimatku sambil tertawa. “Mereka sudah secepat itu memutuskan masa depan mereka. Aku sampai terkejut mendengarnya… Menurutku sih, usia segitu terlalu muda bagi Jae-shi, bahkan untuk bertunangan. Eh, bagaimana menurutmu?”

Hye-bin menatapku serius dan kemudian mengunyah makanannya. “Selama mereka bahagia, menurutku tidak masalah. Apalagi kelihatannya mereka benar-benar saling menyukai satu sama lain…”

“Kau benar juga…” ucapku.

“Kenapa wajahmu terlihat tidak rela?” tanya Hye-bin tiba-tiba.

“Tidak rela? Aku?” Aku berpikir sejenak sebelum menjawab. Benarkah wajahku terlihat tidak rela? “Kalau Yoo-chun menikah… otomatis ia akan kehilangan beberapa kesempatan tampil bersama kami. Tentu saja karena ada beberapa urusan pernikahan, bulan madu dan lain-lainnya. Lalu DBSK akan terasa tidak lengkap…”

“Sungguh?” Hye-bin menatapku penasaran. “Sungguh hanya itu?”

“Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Jantungku tiba-tiba berdebar. Kalau kuakui, aku memang merasa agak canggung membayangkan gadis yang dulu pernah kusukai akan menikah dengan teman baikku. Aku manusia normal, wajar punya pemikiran semacam itu. Tapi…

Kuraih tangan Hye-bin dan meremasnya pelan. “Ada apa? Kau sungguh tidak seperti biasanya hari ini. kau jadi banyak bertanya padaku. Ada masalah?”

Hye-bin menggeleng. “Aku ini… biasanya dikenal sebagai orang yang suka mengutarakan apa yang kupikirkan…”

“Ah, aku tahu itu,” tawaku.

“Tapi denganmu, aku jadi banyak berpikir sebelum bicara.”

Nah loh. “Kenapa?”

“Karena menurutku ada beberapa pertanyaan yang kalau kutanyakan, aku takut kau malah akan menjauh dan marah padaku…”

Sebuah nama melintas di benakku dengan cepat. Jae-shi. Mungkin Hye bin tidak tahu, tapi daripada mencemaskan Jae-shi, aku lebih mencemaskan wajahnya yang murung seperti ini. Seperti ada yang hilang karena seharian ini ia jarang tertawa bersamaku.

“Contohnya…” Hye Bin berdehem dan memainkan jemarinya sesaat. “Tentang film tadi. Apa tidak mengingatkanmu pada Jae-shi?”

Kunaikkan alisku sedikit. “Dalam hal apa?”

“Cinta segitiga. Ah, maksudku…” Hye-bin menunduk dalam-dalam. “Aku tidak bermaksud menyinggung, tapi aku hanya penasaran, dan…”

“Aku bohong kalau bilang aku sama sekali melupakannya.” Hye-bin mengangkat kepalanya dan lama menatapku. “Kami satu kantor, sering bertemu, sering menyapa, sering terlibat dalam pekerjaan yang sama. Kau bisa membayangkannya?”

Hye-bin mengangguk. Ragu-ragu. Kuteruskan kalimatku. “Tapi perasaannya, situasinya, semua terasa berbeda dengan dulu. Dulu aku tidak nyaman melihatnya bersama Yoo-chun, bersama cowok lain. Tapi sekarang, aku bisa tertawa dan menggodanya seperti dulu. Rasanya wajar sekali…”

Hye-bin masih menatapku. “Kau tahu sejak kapan aku merasakan hal semacam itu? Sejak kepulanganku dari Nagano. Sejak pertemuanku denganmu… Perlahan-lahan, semuanya berubah…”


—Choi Hye Bin, March 2012, Apartment―

“Nah, sampai kapan kau mau menyembunyikan wajahmu seperti itu?” Jae-joong tertawa geli melihatku menyembunyikan wajah dengan kedua tanganku.

“Kata-katamu membuat wajahku terasa panas setiap kali mengingatnya…”

“Apa aku membuatmu jadi tidak bisa tidur malam ini?”

“Mungkin saja begitu. Kau mau bertanggung jawab?”

“Tentu saja. Pilihanmu hanya dua sekarang. Pikirkan aku sampai pagi, atau mimpikan aku…” ujar cowok itu santai. “Oh ya, dank au juga belum bilang bagaimana perasaanmu sebenarnya padaku. Mungkin itu juga harus kau pikirkan…”

“Tapi…”

“Selamat malam…” cowok itu membalikkan badannya dan pergi, setengah melambai.

“Aku menyukaimu, Jae-joong…” ucapku tanpa sadar.

Jae-joong membalikkan badannya dengan wajah terkejut.  Aku ikut melotot melihatnya. Tidak kusangka ia bisa mendengarku.

“Kau dengar?”

“Ya…”

Selanjutnya ia membiarkanku menghambur masuk pelukannya. “Dasar bodoh, kenapa aku juga begini bodoh waktu bersamamu…” keluhnya, lalu kami sama-sama tertawa. Perlahan, Jae-joong menyentuh daguku dan menatapku lama, sebelum akhirnya bibir kami bersentuhan.


-Tamat-

Tidak ada komentar: