Kamis, 17 Juli 2014

SING OUT LOUD, LOVE 9

SING OUT LOUD, LOVE 9

October 27, 2011 at 5:41pm
CHAPTER 9
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun
Hero Jae-joong
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae bin
Heo Young Saeng


―Lee Ah, Februari 2011, Wawancara TV Arirang―
“Apa?!” pembawa acara itu terkejut dan segera berkomentar, “Astaga… itu kan sudah lama sekali ya…”

“Ya, memang…” Hyun-joong tertawa saat menyipitkan mata dan mengingat masa lalunya. “Sampai sekarang hal itu menjadi kenangan manis untukku…”

“Wow, kira-kira siapa gadis yang beruntung itu?” tanya pembawa acara itu lagi. “Kuharap Nona Lee-ah tidak cemburu ya, hahaha…”

Aku hanya bisa tertawa grogi menanggapinya. Kapan? Ciuman pertama? Duh… masa sih… denganku? Masa sih? Masa sih? Masa sih ciuman yang itu? Waktu itu kan… kami berdua sudah setuju untuk menganggapnya tidak terjadi!

“Nona Lee-ah sendiri? Bagaimana? Kapan ciuman pertamamu terjadi?”

Matilah aku! Skak mat! “Ah… itu… belum…” Sepertinya belum… Kurasakan tatapan Hyun-joong berubah tajam ke arahku. Glekh! Aku pasti sudah salah bicara tadi! “Ma-maksudku, aku lupa!” koreksiku buru-buru.

“Wah, wajahnya merah sekali…” ujar Pembawa acara itu sambil tertawa. “Baiklah, kita jangan menggodanya lagi… Hahahaha… Bagaimana kalau kalian berdua bernyanyi untuk mempromosikan lagu itu?”

“Baiklah, tentu saja,” ujar Hyun-joong sambil menarik tanganku untuk berdiri. Aduh… itu sakit! Tapi pria itu sepertinya cuek saja.

“Kami hanya akan menyanyikan bagian refrennya… Untuk lengkapnya, kalian bisa mendengarnya di CD kami. Beli saja, dan suara kami akan terus menemani kalian…” ujar Hyun-joong berpromosi.

―Jae Shi, Februari 2011, SM Entertainment―
“Kudengar dari Nona Park kau menemui pria itu lagi ya?” tanya Yoo-chun tanpa menoleh sedikitpun dari buku musik di tangannya.

“Hei, itu tidak benar…” sahutku. “Kau harus bisa membedakan antara bertemu dan menemui. Aku itu tadi tidak sengaja bertemu dengannya, jadi kau tidak boleh bilang aku menemuinya. Kesannya aku memang mengajaknya bertemu…”

“Sama saja…” Yoo-chun menutup bukunya. “Sekarang kau sudah mulai jadi idola! Jagalah jarak dengannya! Nantinya akan banyak orang berusaha mendekatimu! Masa kau mau melayani mereka satu per satu!”

“Iya, aku tahu, aku salah…” kukatupkan tangan di depan wajahku. “Maafkan aku… Tidak biasanya kau jadi pemarah begini…”

“Kata siapa aku marah!” balasnya. “Kau tidak bisa bedakan marah dan kesal?!”

“Ih… lihat, kau sewot sekali!” protesku. Kuraih gitarku dan mulai menyanyikan lagu Pastel Love.

Yoo-chun melirik dan mulai menasehati. “Bagian situ kau harus mengambil ada lebih tinggi. Suaramu bisa lebih bagus.”

“Aku hanya mengikuti buku musiknya…” jawabku.

“Itu kan hanya pedoman dasar. Bagaimana kau bereksperimen, itulah yang akan menjadi ciri khasmu…”

“Iya Pak Guru…” jawabku.

“Huuh… dasar kau ini…” Yoo-chun mengacak rambutku kesal.

“Chun, kau dipanggil yang lain. Kita sudah mau latihan menari…” Jae-joong muncul di pintu tiba-tiba. “Cepatlah, kami sudah lama menunggu.”

“Ya, aku segera ke sana…” ujar Yoo-chun. “Kalau aku pergi, kau harus bisa latihan sendiri, oke?” Ia memperlakukanku seolah aku ini anak kecil. “Dan jangan lupa latihan untuk konferensi pers. Lalu, coba tulis beberapa lirik lagu. Kau juga harus latihan membuat lagu sendiri…”

“Ya, akan kulakukan…” Kudorong punggung Yoo-chun agar dia bisa bergegas meninggalkanku. “Kau harus buru-buru latihan. Aku jadi tidak enak membuat anggota TVXQ yang lain menunggu…” tukasku. “Lagipula, sepertinya Jae-joong agak tidak suka melihatku…” gumamku tanpa pikir panjang.

“Hei, Jae-joong tidak begitu…” tahu-tahu Yoo-chun sudah menjitak kepalaku pelan. “Dia hanya agak jaga jarak dengan orang asing. Kalau kau dekat dengannya, kau akan tahu dia sama sekali tidak sombong dan sangat ramah. Dia hanya sangat menjaga kami sebagai sesama anggota…” tegurnya.

“Maaf… aku bicara sembarangan.” Kututup mulutku dengan jari.  “Ya sudahlah, kau cepat pergi saja. Sampai jumpa Pak Guru…” tukasku sambil menutup pintu.

Sambil duduk, kuraih gitarku dan memeluknya. Rasanya aku mulai kesepian di tempat ini. bagaimana dengan kakak? Hah… daripada kesal, mendingan menyanyi asal-asalan. Kupetik gitarku, mencoba menumpahkan kekesalanku dalam lagu.

Kalau ada yang ingin kau sampaikan padaku, katakanlah, katakanlah…
Kalau ada yang tidak kau sukai dariku, bicaralah, bicaralah
Jangan hanya diam dan memandangku
Sementara, kutidak tahu apa salahku…

Wowow… Katakanlah, jangan simpan semuanya…

“Apa maksudmu… itu aku?” tanya Jae-joong tiba-tiba di depan pintu. Astaga! Dia muncul entah dari mana! Aku terkejut sampai jatuh dari kursiku.


―Lee Ah, Februari 2011, Wawancara TV Arirang―
“Baiklah, terima kasih banyak…” para kru dan pembawa acara menyalami kami berdua.

Sementara kami menunggu lift tiba, Hyun-joong berbisik. “Apa maksudmu dengan belum ciuman? Lupa bagaimana?”

“Aku… banyak yang kulupakan… maafkan aku…” ujarku sambil menarik nafas dalam-dalam. “Kuharap kau tidak tersinggung…”

“Apa sih maksudnya menanyakan itu? Aduuh… kita kan sudah sepakat untuk menganggapnya tidak terjadi waktu itu! Kau yang bilang begitu! Jangan bilang kau lupa, dan sekarang malah tanya padaku dong….”

Berbagai pikiran berkecamuk di otakku. Sulit sekali menghapus pikiran itu sementara kami berduaan begini.

“Siapa bilang aku tersinggung?” tanya Hyun-joong dengan sebelah bibir terangkat. Senyuman sinisnya keluar lagi. Pintu lift terbuka dan kami berjalan masuk.

“Aku melupakan sebagian besar memori masa kecilku, karena banyak hal yang terjadi… Semenjak kau pindah dari panti asuhan itu dan…”

Ingatanku kembali seperti ribuan pelangi. Ya, sebelum Hyun-joong pindah, sempat ada drama putri salju untuk acara Natal. Dan sewaktu kami sedang latihan bersama, kakiku tersandung dan Hyun-joong yang tidak siap malah bertabrakan denganku.

Yang bertabrakan tepatnya adalah… bibir kami. Astaga! Ya, tidak mungkin kan,  aku lupa! Suster penjaga panti asuhan malah sempat mengabadikan adegan itu. Hanya saja aku lupa kemana foto itu kusimpan.

Kugigit bibirku dengan gelisah. Kenapa liftnya belum bergerak? Batinku… Kuangkat wajahku. Ternyata, Hyun-joong menekan tombol yang membuat pintu tak dapat dibuka, dari tadi ia belum menekan tombol menuju lantai basement.

“Kenapa kau tidak menekan tombol lantai dasar?” tanyaku.

“Kenapa wajahmu terlihat takut begitu?” balasnya.

“Apa maksudmu? Aku tidak takut. Aku biasa saja.”

“Kurasa sebenarnya kau ingat, makanya ekspresimu begitu…”

Hyun-joong berjalan mendekat ke arahku dan menekan kedua tangannya ke dinding di belakangku. Posisiku terkurung. Gawat, gawat, I-ini bahaya!

“Apa yang mau kau lakukan?”

“Membuatmu ingat kembali…”

“Apa…”

Sebelum sempat kujawab, pria itu sudah menekankan bibirnya ke bibirku. Begitu keras sampai bibirku terasa sedikit sakit. Lalu ciumannya melembut saat tangannya yang satu berpindah ke tengkukku. Hyun-joong kemudian mengulum bibirku pelan dan menggigitnya pelan, membuat kakiku terasa lumpuh. Kalau saja tangannya tidak menahan pinggangku, aku sudah akan merosot jatuh. Akhirnya ia melepaskanku dan tersenyum sinis.

“Kurasa sekarang kau sudah mengingatnya…”

Pintu tiba-tiba terbuka dan di depan kami, Ha-na menatap kaget dan buru-buru menarikku keluar dari kurungan tangan Hyun-joong. “Apa yang kalian lakukan? Berpose aneh begini bisa memancing pers dan menimbulkan kehebohan! Sebaiknya kalian tidak memancing gossip yang tidak perlu…”

“Siapa bilang aku hanya mau memancing gossip?” Hyun-joong berjalan ke sisi sudut lain dari lift dan menekan tombol basement.

“Apa maksudmu? Kalian tadi melakukan apa?” tanya Ha-na curiga. “Kalian berciuman? Sungguh?” Ha-na menatap bibirku dengan curiga, “Jelaskan. Tidak mungkin kan, bibirnya tiba-tiba lecet begitu…”

“Tidak ada yang perlu kujelaskan.” Hyun-joong melangkah pergi begitu saja. Pertanyaan Ha-na sama sekali tidak bisa kujawab. Bagaimana bisa kujawab kalau aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi?

―Jae Shi, Februari 2011, SM Entertainment―
“Astaga, apa kau tidak apa-apa?” di luar dugaan pria itu membantuku berdiri dan mengangkat kursiku yang terjatuh. “Kenapa kaget begitu melihatku? Seperti melihat hantu…”

“Maaf…” sahutku. Kukeluarkan senyum grogiku. “Sebenarnya tadi memang aku menyanyikan lagu itu… karena perasaanku sedikit kesal…”

“Padaku kan?” tebak cowok itu. Bingo! Tebakannya tepat sekali!

“Maaf… “ jawabku lagi, tidak bisa mengelak. “Kuharap kau tidak marah. Aku hanya… punya kebiasaan menuangkannya dalam lagu.”

“Hem, menurutku itu hobi yang bagus. Daripada balas dendam, membuat lagu lebih efektif. Kau punya karya yang baru, emosimu tersalurkan, dan tidak ada yang tersakiti. Sayangnya aku kebetulan lewat dan merasa agak tersinggung…”

“Ehm…” Jadi sebenarnya dia kesal atau tidak? Setengah ucapannya seperti mendukung dan setengah lagi seperti mencemoohku. “Soalnya kau sepertinya tidak senang padaku…”

“Aku tidak biasa berdekatan dengan orang asing…” Jae-joong menatapku lagi dengan pandangan menyelidik. “Tapi kurasa aku bisa mencoba untuk… berteman denganmu…” Pelan ia mengulurkan tangan padaku. “Aku suka orang yang jujur…”

“Terima kasih…” sahutku sambil menyambut uluran tangannya.

“Kurasa aku ketinggalan adegan menarik tadi…” ujar seseorang sambil berjalan masuk. “Kelihatannya ada yang sudah jadi teman di sini…” Yoo-chun mengomentari sambil tertawa melihat kami mulai melepaskan jabat tangan kami. “Ada sesuatu yang membuatmu berhasil membuat Jae terkesan?”

“Oh… dia hanya jatuh dan membuatku terpaksa turun tangan menolongnya.” Jae-joong berjalan pergi mengitari meja sementara ia tersenyum. “Menurutku sebaiknya kau melatih gadis itu membuat lagu. Dia punya bakat di sana. Hentikan saja mencari lagu penyanyi lain untuk dia nyanyikan…”

“Oh ya?” Yoo-chun menaikkan sebelah alisnya dan menatapku. “Kau baru kutinggal beberapa menit dan tahu-tahu Jae sudah tahu bakatmu yang tidak kau tunjukkan padaku selama tiga hari terakhir. Memangnya kau buat lagu apa tadi?”

“Eh itu…” Kukecilkan suaraku saat menjawab, “Sebenarnya aku sedang menyanyikan lagu yang mewakili perasaan kesalku pada Jae-joong itu…”

“Oh?” Yoo-chun tampak tertarik dan mengulum senyuman jahilnya. “Bagaimana kalau kau mencoba menyanyikannya?”

―Lee Ah, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Lee ah dan Hyun-joong, sebaiknya kalian cepat bersiap untuk melakukan pemotretan. Tema untuk poster lagu First Kiss, First Love sudah ditentukan…” seorang kru mengumumkan dengan terburu-buru sambil membuka pintu ruang rekaman kami.

“Sekarang juga?” tanyaku dan Hyun-joong hampir bersamaan. Duhh… kenapa sih aku harus semakin sering berduaan dengannya pada saat aku justru ingin menjauhinya? Kami kemudian meletakkan headphone dan berjalan dalam diam ke ruangan yang dimaksud.

“Bagaimana dengan rekaman lagu itu?” tanya juru rias sambil sibuk mengoleskan pelembab ke wajahku.

“Kami sudah selesai rekaman dan sedang memasuki tahap finishing. Kelihatannya produser cukup puas dan tidak akan melakukan pengubahan macam-macam…”

Mengingat latihan dan rekaman di tengah jadwal wawancara yang begitu padat, rasanya aku mau protes dan mengatakan tulangku hampir copot karena lelah. Belum lagi lagu yang akan kunyanyikan untuk single-ku nanti. Sebuah album perdana. Wow, memimpikannya saja tidak pernah!

“Baiklah, kalian harus lebih dekat lagi…”

Pengarah gaya mendorongku agar lebih dekat lagi ke arah Hyun-joong. Mataku jadi tidak bisa lepas dari matanya karena wajah kami begitu dekat. Aduh… ini pose yang sebenarnya harus kuhindari. Jantungku kembali berdegup kencang, teringat pada ciuman yang kami lakukan sebelumnya. Ciuman pertamaku…

“Kalian harus bertatapan lebih hangat lagi. Bagaimana ya? Ya, dengan perasaan seperti jatuh cinta! Lee-ah, kau harus mencontoh Hyun-joong! Hyun-joong, pertahankan ekspresi itu! bagus sekali!”

Jantungku terasa mencelos di tempatnya. Tatapan Hyun-joong terasa begitu… kuat, dalam, dan menusuk. Perutku sampai terasa mulas karena gugup menatapnya.

“Oke, ya, sekarang Hyun-joong miringkan wajahmu sedikit. Dan Lee-ah, wajahmu jangan setegang itu. Ingat, lagu kalian berkisah tentang cinta pertama dan ciuman pertama. Kau harus atur ekspresimu…”

Aku mencoba bersikap santai dan tenang. Tapi, tiap kali menutup mata, yang terbayang adalah wajah pria itu begitu dekat dan ciuman kami sebelumnya. Semua terasa begitu jelas. Nafasnya yang terasa dekat membuatku semakin kacau.

“Astaga, Nona Lee-ah! Masa wajah wanita yang menantikan ciuman pertamanya seperti ketakutan begitu?”

“Aaah…. Aku gugup sekali…” ujarku sambil mengipas-ngipas wajahku. Rasanya memalukan. Berdebar-debar seperti ini seolah aku baru berusia belasan tahun. Siapa wanita yang takkan lumer ditatap mata Hyun-joong?

“Baiklah! Kalau begitu istirahat saja dulu sepuluh menit!”

Sementara Nona Ha-na membantu mengambilkan minum untukku, Hyun-joong duduk di kursi yang kosong di sebelahku. “Kenapa kau gugup?” Pria itu memasang wajah malaikatnya, seolah bukan dialah yang membuatku jadi serba kacau seperti ini.

“Kau penyebabnya,” tudingku dengan suara kecil.

“Kita kan sudah pernah melakukannya dulu…” pria itu mengeluarkan dompetnya dan mengibas-ngibaskan selembar foto yang membuat mataku melotot melihatnya.

Itu foto ciuman kami!

Tidak salah lagi!

“Astaga! Kau gila! Kemarikan foto itu!” seruku sambil berusaha mengambil foto itu dari tangan Hyun-joong.

“Siapa bilang akan kuberikan padamu?” Hyun-joong mengangkat foto itu tinggi-tinggi dan tersenyum manis. “Lagipula untuk apa segugup itu? Pemotretan ini kan hanya pura-pura saja, tidak seperti yang terjadi di lift itu…” Hyun joong berbisik di telingaku sebelum akhirnya berjalan ke tengah lokasi pemotretan dan menyimpan foto itu di dompetnya.

Jadi selama ini foto ciuman kami dia yang menyimpannya? Pantas saja tidak kutemukan di mana-mana. Dasar gila! Foto itu tidak boleh tersebar! Aaah…. Memalukanku saja! Bukan! Sebenarnya bukan memalukan! Yang lebih tepat, foto itu bisa menimbulkan skandal di antara kami!

Setelah mengulang beberapa kali dan dimarahi, akhirnya pemotretan berakhir. Fotografer mengatakan kalau ekspresiku sudah cukup bagus jadi ia bisa menerima hasilnya.

“Hei, Nona Lee-ah!” panggil Young-saeng sambil tertawa ke arahku. “Bagaimana pemotretanmu tadi? Lancar tidak?”

“Aku berulang kali dimarahi karena kurang pandai,” keluhku. “Oh ya, panggil aku Lee-ah saja. Tidak perlu pakai Nona segala…”

“Baiklah, memang awalnya aku berniat begitu…” Young-saeng tertawa malu sambil menatapku. “Kau akan pulang sendiri? Atau diantar oleh Ha-na?” tanyanya.

“Oh… Ha-na sedang sibuk mencarikan iklan mana yang bersedia menampung wajahku…” jawabku sambil tertawa. Dalam hati aku terus berpikir kenapa Young-saeng tampaknya begitu akrab dan memanggil Ha-na tanpa embel-embel Nona dan semacamnya.

“Ah. Kau merendah sekali. Bagaimana kalau kuantar? Kebetulan aku juga sejalan dengan rumahmu… Aku mau mampir ke supermarket yang ada di dekat sana…”

“Benarkah?” Sejenak aku teringat dengan isi kulkas kami yang hampir kosong. Akhir-akhir ini Jae-shi dan aku terlalu sibuk sampai-sampai kami tidak sempat berbelanja. “Aku juga mau mampir ke supermarket. Isi kulkasku sudah hampir kosong…”

“Benarkah? Wah, tidak masalah, ayo kita sama-sama saja…” Young-saeng tertawa sambil membantuku mengangkat tasku, seperti layaknya gentleman. “Mobilku ada di sana…”

“Kalian mau ke mana?” Tidak sengaja kami berpapasan dengan Hyun-joong tepat pada saat pria itu juga bermaksud untuk masuk ke mobilnya yang terletak di lapangan parkir.

“Aku mau mengantar Lee-ah, sekalian belanja ke supermarket dan membeli beberapa bahan makanan. Malam ini Hyung-joon bilang dia mau makan sup kimchi…”

Aku tersenyum mendengar penjelasannya. “Kudengar kau pandai membuatnya. Kalau boleh, aku ingin minta resepnya,” ujarku. “Jae-shi suka makanan pedas…”

“Tidak masalah, kemarin Nona Ha-na juga sudah minta resepnya. Kau minta saja padanya…” Hyun-joong menyela ucapan Young-saeng, menggantikannya menjawab pertanyaanku.

“Akan kutuliskan untukmu…” jawab Young-saeng tenang. Suaranya yang lembut memang terdengar menyenangkan. Dia orang yang baik, tepat seperti dugaanku.

“Besok jadwal kita masih padat, jadi jangan pulang terlalu malam,” Hyun-joong memasang wajah serius untuk mengingatkan kami berdua. Astaga, kalau dipikir memang jadwalku masih sangat padat, tapi kenapa dia harus merusak mood-ku untuk berbelanja?

Young-saeng membukakan pintu mobil untukku dan tersenyum ramah. “Hyun-joong terlihat galak tapi sebenarnya dia sangat perhatian. Dia sudah biasa bertindak sebagai pemimpin karena kami menunjuknya sebagai leader…” jelas Young-saeng.

“Ya, aku tahu…”

“Kalian berdua sepertinya akrab.” Young-saeng meneliti ekspresiku sebelum melanjutkan. “Kedekatan kalian terasa agak janggal, menurutku… Sepertinya sudah lama kalian saling kenal…”

“Ehm, apa kalian tahu kalau Hyun-joong berasal dari panti asuhan?” Kulihat Young-saeng mengangguk sedikit. “Aku sebenarnya berasal dari tempat yang sama…”

“Astaga! Berarti, kau gadis kecil itu?” Young-saeng berpikir sebentar sebelum melanjutkan. “Apakah kau punya hobi di bidang fotografi?”

“Ya, kenapa?”

“Wah, berarti memang benar kau orangnya. Di dalam dompet Hyun-joong, Jung-min pernah membongkarnya dan menemukan foto seorang anak kecil, perempuan sedang memegang kamera. Waktu kutanya pada Hyun-joong, dia hanya bilang kalau gadis itu teman panti asuhannya. Hem… kalian punya hubungan khusus, tidak?”

“Eh, tidak…” Tapi… benarkah Hyun-joong menyimpan fotoku? Masa? Kenapa?

Sambil menjawab otakku diam-diam berpikir. Kalau dicium di lift, itu hubungan khusus bukan? Pipiku terasa panas mengingatnya. Kurasa ciuman itu hanya untuk menggodaku. Hyun-joong banyak berubah, jadi tidak bisa kumengerti.

“Kalian tidak ada hubungan khusus?” Young-saeng tersenyum lebar menatapku, sejenak membuatku berdebar. “Kalau begitu, apa aku masih ada kesempatan?”

“Eh? Apa?”

“Kau tahu maksudku…” sahut cowok itu sambil tersenyum tenang. Ia lantas mengalihkan pandangannya ke depan dan mulai menghidupkan mesin mobilnya. Sepanjang perjalanan pulang, pertanyaannya seperti menghantuiku.


―Hyun Joong, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Ini resep yang kemarin kau minta,” cetus Young-saeng sambil memberikan secarik kertas tulisan tangan ke Lee-ah.

“Terima kasih..” Gadis itu menerimanya dengan ekspresi senang.

“Hei,” Kusenggol Lee Ha-na yang berdiri tidak jauh dariku. Gadis itu sama denganku, sedang mengamati Lee-ah dan Young-saeng yang mendadak terlihat sangat dekat hari ini. Kedekatan yang tidak wajar. “Apa yang terjadi pada mereka?”

“Menurutmu aku tahu?” Ha-na balas menatapku dengan ekspresi minta penjelasan.

“Kau tidak tahu? Kau dan Young-saeng bukankah biasanya sangat dekat? Masa dia tidak cerita padamu…”

“Sama sekali tidak…” jawab Ha-na sambil menggeleng bingung. “Tapi kelihatan sekali kalau Young-saeng tertarik pada Lee-ah…”

“Apa kau tidak cemburu?” pancingku, berusaha memanasinya.

“Aku?!” Ha-na menatapku marah. “Bukannya kau?!”


―Lee ah, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Kalian berdua berniat membuat skandal, ya?” tanya Hyun-joong ketika hanya tinggal kami berdua yang berada di ruangan itu.

“Tidak. Apa maksudmu?”

“Kedekatan kalian tidak wajar. Apa dia mengatakan sesuatu padamu?”

“Memangnya kenapa kalau kami akrab?” protesku. Teringat kembali pertanyaan Young-saeng yang tidak sempat kujawab kemarin membuatku gusar.

“Kalau begitu, apa aku masih ada kesempatan?” 

“Kalau wajahmu memerah begitu, memang ada sesuatu yang terjadi.” Hyun-joong duduk di jendela dan memasang wajah curiga menatapku. “Apa dia bilang sesuatu tentang ‘pacaran’ dan sebagainya?”

“B-bukan urusanmu!” tukasku sambil buru-buru membalik badan.

“Bagaimana kalau kita hentikan semua kekonyolan ini?” Hyun-joong menghampiriku dan menarik tanganku. “Lee ah, sebenarnya…”

Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang kru menyerbu masuk. “Nona Lee-ah! Kau dipanggil oleh Presdir! Sekarang juga kau harus menemuinya!”

“Eh? Ada apa ini?” tanyaku. Kutatap Hyun-joong untuk mencari tahu ada apa sebenarnya yang terjadi. Pria itu tampaknya sama bingungnya denganku.

“Kau belum baca koran pagi ini?” Kru itu memberikan koran yang dipegangnya ke tanganku. “Benarkah gadis ini adikmu? Wah, kenapa kau tidak bilang kalau adikmu masuk agensi berbeda? Ini kan seperti deklarasi perang!”

“Apa? Maksudmu, Jae-shi?” Hyun-joong menatap wajahku yang sekarang memucat. “Kutemani kau menemui presdir segera…”

―Jae Shi, Februari 2011, SM Entertainment―
“Bagus! Konferensi persmu berjalan dengan baik! Ayo, kemarikan tanganmu!” Yoo-chun memaksaku mengulurkan tangan. “Tosss!!”

“Ahh… kau seperti anak kecil,” komentar Jae-joong tiba-tiba. “Mulai hari ini kau resmi jadi juniorku. Kalau sikapku sebelumnya kurang baik, mohon dimaklumi.”

“Ya, aku juga! Aku mohon bantuannya!” jawabku sambil menundukkan kepala. “Siapa tahu di masa depan kita bisa duet!”

“Oh! Bicara tentang duet, kau jangan lupa. Penampilan perdana-mu akan diadakan di antara penampilan Super Junior dan TVXQ. Bersiaplah!”

“Kau tidak akan menyanyi bersamaku?” tanyaku pada Yoo-chun. Tentu saja panggung yang sebenarnya akan berbeda dengan panggung di pentas seni.

“Jadi, apa sekarang kau sudah mengharapkan bisa duet denganku?” Yoo-chun memamerkan senyum menggodanya.

“Kudengar kakakmu masuk DSP.” Tiba-tiba Jae-joong mengalihkan pembicaraan. “ Mungkin sekarang jadi isu panas. Sepertinya akan jadi persaingan yang ketat. Kalian berdua debut di saat yang hampir sama. Walaupun dia lebih dulu, sepertinya persaingan tidak akan terelakkan. Kalian bersaudara, berusahalah untuk tetap saling pengertian…”

“Kudengar Kak Jae-joong dan Kak Hyun-joong bersahabat?” tanyaku.

“Ya, benar…” Yoo-chun mengambil alih jawaban yang kunantikan dari Jae-joong. “Yun-ho, aku, Jae, dan Hyun-joong memang dekat. Walaupun berbeda agensi, kami tetap sahabat…”

“Kuharap aku dan Kakakku tidak akan ada masalah apapun.”

“Sudahlah, stop berpikir yang aneh-aneh. Sana, bersiaplah untuk rekaman pastel love!”

“Apa itu?” Jae bertanya dengan bingung. “Lagu untuknya? Kau tidak biarkan dia membuat sendiri? Di antara lagu buatan kami, yang mana yang kau sukai?”

“Eh… lagu Steps, karanganmu.” Jawaban jujurku mendapat delikan tidak senang dari Yoo-chun. “Dan lagu Like Weather karangan Yoo-chun…”

“Kau memanggil dia Kakak dan padaku tidak? Diskriminasi macam apa itu!” protes Yoo-chun kesal. Ia lantas menarik tanganku, memaksaku mengikutinya. “Ayolah, kutemani kau rekaman!”

Samar-samar bisa kudengar teriakan Jae-joong. “Chun!!! Kembali ke ruangan tepat jam satu! Jadwal kita masih padat!!!”

―Lee ah, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Kenapa kau tidak memberitahukan kepada kami tentang adikmu? Kudengar dia direkrut langsung oleh Presdir Kim. Artinya dia punya bakat yang khusus, bukan? Akan lebih bagus kalau kalian berdua bisa duet.”

“Maafkan aku…” Kutundukkan kepalaku dalam-dalam.

“Ini tidak bagus. Kalian bisa saja saling bersaing nantinya. Apa itu yang kau harapkan terjadi?”

“Pak,” sergah Hyun-joong. “Mungkin aku lancang kalau tiba-tiba memotong ucapan Bapak. Hanya saja, semua ini serba kebetulan. Kurasa ini bukan kesalahan Lee-ah. Lagipula tanggapan pers atas duet kami juga bagus. Rasanya tidak adil kalau Bapak melupakan tujuan awal kita merekrutnya. Yang kita butuhkan dari awal memang penyanyi solo. Untuk duet denganku…”

Presdir Lee berdehem sejenak. “Kau benar,” sahutnya kaku. “Baiklah, kita pantau saja dulu bagaimana perkembangannya. Lee ah, promosi albummu akan kita lakukan secara besar-besaran. Hyun-joong, kau akan membantunya memilih lagu bersama Young-saeng. Paham?” Pak Presdir memandang kami sejenak sebelum akhirnya berujar, “Kalian boleh pergi.”


―Lee ah, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Kenapa kau membelaku?” tanyaku sambil menatap Hyun-joong, menuntut penjelasan darinya. “Kau tahu? Kadang aku tidak paham denganmu. Kadang dingin, kadang ramah, kadang kelewat baik dan membantuku― seperti tadi membelaku di depan presdir― dan kadang sinis bukan main. Yang mana dirimu yang sebenarnya?”

“Kau pikirkan sendiri.” Jawaban Hyun-joong sungguh di luar dugaanku.

“Kenapa kau menyimpan fotoku?” tanyaku lagi. “Young saeng yang mengatakannya…”

“Young-saeng?” alis Hyun-joong terangkat sedikit.  “Kalian membicarakanku?”

“Kau bisa menebaknya,” balasku.

Hyun-joong tersenyum lalu menatapku tajam. “Apa?” tanyaku, tiba-tiba merasa gugup. Dalam dua langkah panjang, pria itu sudah mengurungku lagi. “Hentikan mempermainkanku seperti ini!”

“Itu yang kau pikirkan tentangku?” tanya pria itu. Nafasnya bisa kurasakan di wajahku, dan hal itu kembali membuatku gugup. “Pernah tidak kau memikirkan perasaanku?” tanya Hyun-joong lagi. “Tidak pernah, kan?”

“Apanya yang tidak pernah?” Tahu-tahu Hyun-joong semakin kuat menekan tanganku ke dinding, mencegahku melarikan diri. Di saat bersamaan, bibirnya maju dan mulai mengulum bibirku. Ciumannya intens, lembut, dan terasa memabukkan.

“Apa yang kalian lakukan!?” bentak seseorang. Spontan aku dan Hyun-joong saling melepaskan diri. Pria itu kemudian menarik kepalaku supaya menyembunyikan diri di dadanya.

“Ha-na dan Young-saeng…” suara Hyun-joong membuatku menengadahkan kepala dan mengintip. Ha-na menatap kami dengan kesal sementara Young-saeng masih membuka mulutnya dan ternganga kaget.

“Kalian pacaran?!” serunya tidak percaya.


―Yoo chun, Februari 2011, SM Entertainment―
“Kalau kau sangat sibuk, tidak apa-apa tidak membantuku. Akhir-akhir ini aku mulai terbiasa sendirian mengurus semuanya…” ucap Jae-shi sambil memasang headphone dan melihat lirik lagu di depannya. “Di bagian mana kau akan menyanyi bersamaku?”

“Kupikir sebaiknya sekalian rekaman denganmu. Kalau kuundur mungkin akhirnya malah tidak jadi bernyanyi denganmu. Kau menyanyikan bait pertama dan aku bait kedua. Oh ya, untuk penampilan perdana, kau juga akan dipilihkan kostum…”

“Manajer sudah mengatakannya padaku…” ucap Jae-shi. Ia tersenyum ketika melihat manajernya berjalan memasuki ruangan. “Warnanya pastel, seperti lagu yang kau pilihkan…”

“Aku sudah memilihkan lagu kedua juga. Untuk sementara cukup dua lagu, karena masih berupa single…”

Jae-shi tidak mendengarkan. Ia asyik bersenandung menyanyikan sebuah  lagu, namun nada-nada yang dinyanyikan terasa berbeda, tidak seperti lagu yang terdapat di lirik yang terletak di hadapannya. “Lagu apa itu?” tanyaku sambil berjalan mendekatinya.

“Astaga, kenapa kau dengar?” omelnya sambil menggumam pendek. “Kukira kau tidak dengar. Bukan apa-apa…”

“Apakah itu… lagu buatanmu?” tanyaku. Gadis itu berusaha tidak menanggapiku. Lucu sekali. “Akan kukatakan pada presdir soal lagumu…”

“Jangan!” serunya kaget.

“Apa kalian sudah siap rekaman?” tanya kru di ruangan depan kami sambil memberi isyarat. Jae-shi mengangguk dengan terpaksa, membuatku lagi-lagi merasa terhibur dengan tingkah lakunya. “Akan kupaksa kau menyanyikannya lagi nanti. Kalau tidak, akan kuumumkan ke presdir…”

“Aku bisa menebak tingkahmu…” balasnya tak mau kalah. “Kunyanyikan atau tidak, kau tetap akan bilang!’


―Lee ah, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Tadinya kami datang untuk mengabari soal komentar fans-mu tentang penampilan adikmu…” Buru-buru Ha-na mengambil alih pembicaraan. “Kim Jae shi itu adikmu, bukan?”

“Ya,” kakiku otomatis melangkah ke meja tempat Ha-na membuka laptopnya dan menunjukkan sebuah situs padaku. Astaga, sebuah forum berisi ratusan fansku! “Ini… benar-benar fans-ku?”

“Ya, anggota yang aktif masih sekitar tiga ratusan. Dan akan terus bertambah. Memang ada beberapa anti fans yang mengejekmu mendompleng ketenaran Hyun-joong, tapi kurasa bukan masalah. Ini yang jadi masalah…”

Ha-na menggeser kursor di monitornya dan menujukkan sebuah thread diskusi padaku. Mereka berkomentar tentang video pertunjukkan Jae-shi di salah satu pentas seni SMU, menyanyikan lagu Someday dari IU...” Ha-na memutar video itu dan kami berempat langsung bersamaan menontonnya. “Karena tiba-tiba debut, video ini langsung tersebar di mana-mana.”

“Suaranya bagus,” Young-saeng tersenyum di sebelahku. “Dan wajah kalian memang cukup mirip…”

“Dulu aku jarang mendengarnya bernyanyi,” komentar Hyun-joong. “Cukup menarik.”

“Komentar dari fansmu cukup tajam, Lee-ah…” Ha-na menunjukkan ratusan komentar yang terdapat di bawah video unggahan itu. “Mereka menyebut adikmu copycat. Artinya adikmu hanya bisa jadi peniru. Sebagus apapun dia, itu bukan kemampuan aslinya.”

Mulutku ternganga kaget menatap Ha-na. “Astaga!” Dalam benakku bisa kubayangkan bagaimana sedihnya Jae-shi kalau mendengar berita ini. samar-samar bisa kurasakan cengkraman Hyun-joong di bahuku, menahanku agar tidak jatuh.


―Yoo chun, Februari 2011, SM Entertainment―
“Kau harus nyanyikan lagu itu lagi,” desakku.

Hanya tinggal hitungan jam sampai berita tentang gadis ini tersebar di tabloid besok. Bahwa ia mendompleng ketenaran kakaknya. Bahwa ia sengaja mencari sensasi dengan masuk ke agensi yang berbeda dengan kakaknya. Bahwa ia mendompleng ketenaran TVXQ, dan bahwa ia hanya seorang copycat sejati.

“Tidak akan!” Jae-shi bertahan dengan sikap keras kepalanya.

“Chun! Kau terlambat untuk latihan tadi!” Jae-joong datang menghampiri kami dan menepuk pundakku. “Kau sudah tahu berita itu?” bisiknya. Kujawab dengan anggukan sekilas yang hanya dimengerti Jae-joong. “Jae-shi, bagaimana kalau kau mulai merekam lagumu? Memasukkan lagu tentang sindiran padaku juga oke…”

“Kenapa Kak Jae-joong juga bilang begitu?” protes Jae-shi. “Aku belum siap dengan semua ini. Semua terlalu cepat di duniaku. Terkenal, tampil di panggung, rekaman, dan tiba-tiba mengumumkan pada dunia kalau aku punya lagu sendiri!”

“Kau harus siap dengan semua itu…” sahut Jae-joong menasehati. “Termasuk punya fans dan anti-fans…”

“Anti-fans…” Jae-shi terdiam seolah tersihir mendengar kata itu. “Apa ada yang kalian sembunyikan dariku?” tanyanya curiga. “Apa aku… punya anti fans?”

“Jae…” kutarik bahu Jae-joong, namun pria itu tetap berjalan ke arah Jae-shi.

 Ia menatap tajam ke arahku. “Dia harus tahu. Ini masalahnya. Cepat atau lambat dia akan tahu. Semakin lama kau mengulur waktu, semakin dalam kau melukainya. Bagaimana kalau dia sampai tampil dan ada yang mencemoohnya? Apa kau bisa bertanggung jawab sampai sana?”

Tidak satupun dari kata-kata Jae-joong bisa kubalas. Ia benar. Hanya saja, aku tidak ingin melihat wajah terluka gadis itu…

“Kau punya anti-fans…” seloroh Jae-joong. “Mungkin terdengar menyakitkan, tapi kebanyakan anti-fans itu berasal dari fans kakakmu…”

Jae-shi melotot tidak percaya mendengar ucapan Jae. “Tidak mungkin…” desisnya.

“Mereka menudingmu mendompleng ketenaran kami, sengaja mencari sensasi, dan hanya seorang copycat. Peniru ulung.”

 Wajah Jae-shi semakin mengkeruh mendengar penuturan Jae-joong. “Karena itu, hanya ada satu penyelesaiannya. Aku dan Chun akan membantumu membuat lagumu sendiri. Murni karyamu. Kuharap lagumu bagus. Semakin terkenal semakin baik. Hal itu bisa membungkam mulut mereka semua…”

“Kalian akan membantuku?” tanya Jae-shi tidak percaya. “Benarkah?”

“Kau pernah menonton film Dream High, bukan?” tanyaku sambil tersenyum pada Jae-shi yang tampak pucat di tempatnya. “Biarkan panggung itu yang akan menjawabmu…”

“Ya,” Jae-shi memikirkan kata-kataku dan tersenyum. “Terima kasih, tapi aku akan membuatnya sendiri. Aku tidak mau ada yang mengatakan kalau aku memanfaatkan kalian…”

Aku salah lagi tentang Jae-shi. Gadis ini sangat kuat. Dan kurasa… aku mulai tertarik padanya.


-to be continued-



sumber foto
http://weheartit.com/tag/asian%20child
nb: mian kalau fotonya agak kurang sesuai sama umurnya, susah cari gambar yang bener2 sesuai. hehehe



Tidak ada komentar: