Kamis, 17 Juli 2014

SING OUT LOUD, LOVE-SIDE STORY1 (AFTER EP 13)

SING OUT LOUD, LOVE-SIDE STORY1

February 2, 2012 at 10:11am
Side Story 1
Sing out loud, Love
Cast:
Kim Jae-joong
Evhy as Choi Hye Bin

-Jae-joong, Maret 2011, Nagano Ski Resort-
Uap nafasku terasa panas, seperti hatiku saat ini. Terbakar. Kembali terulang di kepalaku bagaimana wajah Jae-shi tadi.

“Kenapa hanya dia yang kau pikirkan? Bagaimana dengan perasaanku?”

“Waktu itu... kau tanya apa aku membencimu? Jawabannya memang tidak. Lalu, apa aku tidak menyukaimu? Tentu saja aku menyukaimu, tapi...”

“Tapi apa? Aku masih tidak sebaik dia di hatimu?!”

“Bukan...” Gadis itu menutup wajahnya dengan tangan. “Kumohon jangan teruskan. Aku tidak mau menyakitimu...”

“Baiklah...” kuhembuskan nafasku kuat-kuat. Aku sudah lelah. “Kita sudahi saja sampai sini. Anggap saja kau sudah menolakku!”

“Kak Jae...”

Tidak kupedulikan gadis itu. Kakiku melangkah keluar cottage dengan tergesa-gesa. Langit begitu biru pucat. Dataran begitu putih. Seandainya semua ini bisa menelanku bulat-bulat. Membantuku melupakan gadis itu.

“Sialan...” gerutuku sambil menghela nafas lagi. “Seharusnya aku tidak memaksanya seperti tadi...”

“Waahhh!! “ dari jauh terdengar teriakan seorang gadis. Secara otomatis aku berdiri untuk mengamati si pemilik suara. Suaranya mirip dengan suara Jae-shi.

“Astaga... dari tadi kenapa kau tidak bisa juga?” tanya seorang wanita yang terlihat seperti pemain ski professional. “Kutinggal sebentar, kau latihan saja sendirian dulu.”

“Maafkan aku...”

Mereka bicara dalam bahasa korea. Berarti gadis itu juga dari Korea, bukan penduduk asli Nagano ini.

Gayanya juga mirip, pikirku sambil mengamati bagaimana gadis itu berulang kali meminta maaf pada instrukturnya karena tidak kunjung bisa melakukan apa yang diperintahkan. Setelah agak lama mengobrol, instruktur itu meninggalkannya untuk latihan sendirian.

Kukenakan masker dan google (kacamata ski) milikku. Gadis itu mengepalkan tangannya dengan bersemangat, seolah bertekad untuk berusaha keras agar bisa melakukan gerakan ski yang dicontohkan oleh instrukturnya. Sikapnya membuatku tergelitik untuk menghampirinya.

“Hei...”

“Ya?” Gadis itu menoleh, dan tentu saja―wajahnya tidak mirip dengan Jae-shi. Namun senyum cerianya membuatku tidak tahan untuk ikut tersenyum.

“Kulihat dari tadi, caramu salah total.”

“Astaga...” Ia menutup pipinya dengan kedua tangan karena malu. Hidungnya ikut memerah karena kedinginan. “Memalukan sekali.”

“Bagaimana kalau aku mengajarimu?”

“Benarkah?” Gadis itu mengamatiku lalu tertawa sesaat. “Oh ya, aku baru sadar kau bicara dalam bahasa korea!” Ia mengetuk kepalanya karena malu. “Maafkan aku karena terlambat menyadarinya. Sungguh kau mau mengajariku?”

Kepolosannya mengundangku untuk ikut tertawa. “Asal kau tahu saja, aku ini guru yang galak!”

“Eh? Benarkah demikian?” gadis itu bertanya dengan mata membelalak kaget. “Kurasa tidak, suaramu terdengar lembut dan ramah...”

Wajahku jadi terasa panas sesaat. “Dasar sok tahu,” gumamku sambil menahan senyum. “Ayo! Latihan pertama dimulai!”



-Choi Hye Bin, Maret 2011, Nagano Ski Resort-
“Nah, sekarang sudah lebih baik!”

“Aku masih tidak bisa berbelok... susah sekali...” keluhku sambil menepuk salju yang mengotori pundak dan pantatku. Walaupun berhasil melaju dengan baik, belokan masih sulit kutempuh, tapi pria ini begitu sabar mengajariku... namanya... namanya... Loh, pria ini? namanya siapa ya?

“Oh ya, apa tadi kita sudah berkenalan?” ucapku sambil memiringkan kepalaku.

“Oh...” Pria itu tersentak kaget sedikit. “Belum. Apa perlu?”

“Namaku Choi Hye bin!” seruku riang. “Aku tidak tahu namamu, kupanggil kau Pak guru saja ya?”

“Oh... Pak guru?” Pria itu seperti berpikir sesaat. Wajahnya serius menatapku, lalu tiba-tiba muncul senyuman sebelumnya. “Tidak masalah, Pak guru, itu kedengaran keren.”

Apa aku salah sudah memanggilnya begitu? Pikiranku mulai melantur saat tatapan kami bersirobok. Rasanya mata itu pernah kulihat dimana ya.... “Karena kau sudah banyak mengajariku, aku harus membalas apa?”

“Oh, tidak perlu kok...” Pria itu menepuk kepalaku dan tersenyum. “Aku pergi saja ya?”

“Jangan! Jangan!” tanpa pikir panjang kutarik tangannya. “Ayolah, kutraktir kau makan!”



-Jae-joong, Maret 2011, Nagano Ski Resort-
Gadis ini terlalu membuatku serba salah. Memanggilku Pak guru, mengingatkanku tentang panggilan yang diberikan Jae-shi kepada Yoo-chun. Dan sekarang, wajahnya melongo terkejut ketika kubuka google dan maskerku untuk menikmati makanan yang dibelikannya.

“Ada masalah? Terkejut karena aku begitu tampan?”

“Astaga...” Hye-bin masih mengangguk saking terkejutnya. “Iya, dua-duanya benar! Ada masalah karena jantungku jadi berdebar sekarang.... soalnya kau tampan sekali.” Pengakuannya yang jujur membuatku nyaris menyemburkan makananku. “Eh, apa tidak masalah makan di tempat seramai ini? tidak masalah kau tidak menyamar?”

“Teruskan saja makanmu,” senyumku sambil menatapnya. Ia kelihatan ragu-ragu menatapku. “Ada yang mau kau katakan?”

“Eh, apa makanan di sini cocok dengan seleramu? Bukannya artis biasa makan yang lebih mahal? Rasanya aku jadi ragu menghabiskan waktu untuk makan, seharusnya sepanjang hari berfoto denganmu...”

Selorohan panjang gadis itu membuatku tertawa tanpa henti. Tidak ada yang sejujur ini sebelumnya. Jae-shi juga tidak. “Tidak apa, aku suka tempat ini...” Yang terpenting, aku merasa nyaman bersamanya.

“Eh... apa aku boleh minta tanda tanganmu? Bagaimana kalau aku tidak bisa bertemu denganmu lagi...”

Senyuman tipis mengembang di bibirku. “Tidak masalah, besok saja. Aku masih ingin bertemu denganmu.”



“Hei, Jae!” Chang-min memanggilku dari ujung lorong. Ia kelihatan segar seperti baru selesai berendam. “Aku bertemu dengan produser, kelihatannya ada yang ingin dibicarakan denganmu.”

“Ada apa ya?” tanyaku bingung. Setahuku syuting sudah selesai dan sekarang semua kru sudah beristirahat. Chang-min mengedikkan bahu pertanda ia juga tidak tahu apapun. Produser kami terkenal perfeksionis, kurasa sebaiknya aku bertemu dengannya.

“Jae! Akhirnya kau datang juga!” produser itu menepuk pundakku begitu aku memasuki ruangan tempat proses syuting dilaksanakan. Masih terlihat beragam background si sana-sini, pertanda lokasi syuting itu belum dibereskan. Di sebelah sutradara itu, Jae-shi dan Yoo-chun berdiri dan agak ragu menatapku.

“Begini, kurasa dalam pengambilan gambar tadi, aku kurang lama menyorot wajahmu. Jadi kuputuskan untuk mengubah sedikit. Jadi, kau dan Chun akan menemani Jae-shi dengan gitarnya. Kalian bertiga bernyanyi bersama, jadi seperti sekali tepuk dua lalat. Pengambilan gambarmu lebih banyak, porsi menyanyimu lebih banyak, dan suasana juga akan lebih ceria.”

Cih! “Ceria?” Nyaris saja emosiku naik gara-gara teringat dua orang di depanku sudah jadian. Tidak, tidak tetaplah berkepala dingin, Jae. Bersikap profesionallah! “Baiklah, kenapa tidak?” sahutku lantang. Kulihat Jae-shi menatapku kaget dan kemudian tersenyum. Nyaris hatiku kembali luluh melihatnya. Aku masih menyukainya. Sialan.

“It’s holiday and I’m dreaming of snowy land....” Jae-shi memetik gitarnya dan menyanyi riang. Aku dan Yoo-chun kemudian bergantian menyanyikan beberapa baris selanjutnya. Suasananya seolah masih sama. Namun yang berbeda adalah tatapan di antara kami. Aku berusaha untuk tidak membalas tatapan dan senyumannya, tapi ya ampun sulit sekali.

“I hope I can be the only one...” nyanyiku sambil menatapnya. Jae-shi membalas senyumanku tanpa ragu, masih selugu biasanya.

“I hope it’s snowing forever...” sambung Yoo-chun sambil terus menyanyi dan tersenyum pada Jae-shi. Gadis itu memetik gitarnya dan tersenyum. Selesai. Fiuh... Akhirnya aku bisa bernafas lega karena sudah selesai!!

“Maaf ya, merepotkan Kak Jae-joong...” Jae-shi menatapku ragu sebelum akhirnya tersenyum. Tiba-tiba aku teringat gadis itu lagi. “Ada apa? Ada yang menyenangkan?”

“Ah... tidak... Ada seorang gadis yang mirip denganmu...” gumamku. Teringat senyumnya, buru-buru kukoreksi. “Tidak... aku salah. Maksudku, kau sangat mirip dengannya...”

Jae-shi menatapku bingung sementara Yoo-chun menepuk bahuku. “Teman?” tawarnya. Kubalas tepukan tangannya tanpa ragu.


-Choi Hye Bin, Maret 2011, Nagano Ski Resort-
“Sedang mendengarkan lagu apa?”

Cowok itu muncul bagai angin. Tiba-tiba saja ia sudah berjongkok di depanku, menatapku dalam-dalam dan wajahnya hanya berjarak beberapa centi dariku. Ya Tuhan, dia sangat tampan.

“Eh.. ini mp3 hadiah teman...” kulepaskan headsetku dan pria itu menyambutnya. Ia mendengarkan dan tersenyum. Ada sesuatu di senyumannya yang sulit kuartikan.

“Lagunya Jae-shi? Pastel love?”

“Iya... aku suka lagu ini,” jawabku sambil menekan dadaku. Jarak kami dekat sekali, apalagi sekarang ia sedang mengenakan sebelah headset-ku. Astaga, aku akan menyimpan benda ini seumur hidupku.

Tiba-tiba aku teringat betapa banyaknya gossip mengenai kedekatan Jae-shi dan Jae-joong. “Oh, apakah kau dan Jae-shi pacaran?” Pertanyaan bodoh itu tercetus begitu saja dari bibirku. Jae-joong menatapku kaget namun tetap diam, aku jadi kebingungan harus bagaimana. “Maaf, apa aku salah bertanya? Maksudku... ada begitu banyak gossip tentang kalian. Juga bagaimana kau memeluknya di panggung waktu debut pertamanya.”

“Ohh itu...”

“Waktu dia menyanyikan lagu itu, rasanya momen itu indah sekali, aku sampai sesak nafas dan menontonnya berulang-ulang. Kau seperti malaikat untuknya...”

“Malaikat? Jadi begitu... mungkin saja, aku ini malaikat pelindungnya. Tapi aku bukan kekasihnya.”

“Oh ya? Kenapa?” tanyaku bingung.

“Misalnya, karena aku ditolak? Atau karena aku lebih menyukai gadis yang bisa membuatku nyaman?”

Tatapannya seolah membuat jantungku seperti diremas kuat-kuat. “Eh... aku harus pilih yang mana?” Jae-joong tertawa lagi.

“Bagaimana kalau kau memberikan nomor ponselmu padaku? Akan kuberikan milikku.”

Apa?! Apa aku tidak salah dengar?!

“Tapi jadikan ini rahasia kita...” ia mengeluarkan kelingkingnya. “Janji?”

Hari itu adalah hari terindah untukku. Membuat janji dengan seorang superstar tampan seperti Jae-joong. Walaupun janji itu seperti janji anak-anak, aku percaya takdir di antara kami tidak berhenti sampai di sini.



-Jae-joong, Maret 2011, Nagano Ski Resort-
“Untukmu...” ujarku sambil memberikan sebuah cokelat batangan ke tangan Jae-shi. Gadis itu memandangku tidak percaya. Yoo-chun yang berdiri tidak jauh darinya juga memandangku heran. “Perjalanan akan panjang, kau bisa memakannya bersama Yoo-chun. Lagipula hari ini white day. Maaf, aku tidak sempat membungkusnya. Itu balasan untuk cokelat yang kau berikan waktu valentine...”


“Oh.. kak Jae tidak perlu repot-repot,” senyum Jae-shi sambil mendekap cokelat itu dengan hati-hati. “Aku suka merk ini, terima kasih...”

Dengan begini sama sekali impas. Aku tidak berhutang apapun padanya. “Ayo kita ke bis...”

Uap nafasku masih saja putih, langit masih saja biru pucat, dan salju masih saja memenuhi seluruh dataran ski resort ini. Lantas, apanya yang berbeda?

Brumm.... bus pariwisata lain berhenti di dekat bus milik SM Entertainment. Terlihat seorang gadis menyeret kopernya dengan susah payah. Otomatis tanganku bergerak untuk membantunya mengangkat koper itu ke bagasi.

“Ohh... “ Gadis itu―Hye Bin― menatapku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dan menggerakkan tanganku di samping telinga, yang artinya adalah sebuah isyarat. Telepon aku begitu kau sampai di Seoul. Gadis itu mengangguk tanpa ragu dan aku tertawa kecil sambil menaiki busku.

Ya, uap nafasku masih saja putih; langit masih saja biru pucat; dataran masih saja berselimut salju; tapi perasaanku sudah berbeda. Aku percaya suatu hari nanti, aku akan menemukan gadis yang ditakdirkan untukku, seperti halnya Chun menemukan Jae-shi.


-selesai-



Tidak ada komentar: