Kamis, 17 Juli 2014

SING OUT LOUD, LOVE 8

SING OUT LOUD, LOVE 8

October 12, 2011 at 8:00am
CHAPTER8
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun
Hero Jae-joong
Xiah Jun-su
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae Bin

―Jae Shi, Februari 2011, Yoo-chun’s Car―
“Apa semua masalah memang harus dibicarakan di mobilmu?” keluhku sambil memberikan map berisi kontrak yang telah kutandatangani. “Kemarin sebagian besar sudah kutanyakan padamu, kan, di telepon…”

“Sikap macam apa itu? Aku ini kan seniormu, bersikap baiklah padaku!“ protes Yoo-chun sambil meneliti berkasku dan membaca kontrakku. “Baiklah, memang ada beberapa hal yang perlu ditanyakan, tapi kurasa kontrak ini cukup baik untukmu…”

Kuperhatikan ia terbatuk-batuk sedikit saat menyerahkan map itu kembali padaku. “Apa kau sakit?”

“Tidak.” Ia menjawab cepat dengan pandangan kaget. “Mana mungkin aku sakit? Hari ini banyak kegiatan yang harus kau lakukan denganku, kita akan sibuk sekali…”

“Ehm… begini… sebenarnya, aku punya saudara perempuan, dia… kakakku…”

“Apa dia cantik?” tanya Yoo-chun tiba-tiba. Sifat genitnya keluar lagi.

“Dasar playboy…” keluhku. “Ya, dia cantik, tapi sayangnya kau sudah terlambat. Menurutku, mungkin… tidak seharusnya kau mengorbitkanku. Kakakku lebih berbakat. Tapi sayangnya dia sudah masuk agensi DSP Entertainment…”

“Begitu? Wah, kalian berdua berbeda agensi? Mungkin akan sedikit rumit, tapi kurasa bukan masalah besar…” jawabnya sambil mulai menutup pintu. “Ayo, tutup pintu. Kita berangkat ke SM Entertainment. Mulai hari ini tempat itu juga akan jadi agensimu…”

“Tapi… kau yakin mau membawaku ke sana? Aku masih tidak pede… Dan…”

“Tidak ada lagi kata tidak,” sergah Yoo-chun sambil menyalakan mesin mobilnya. Mobil bergerak dan perlahan-lahan meninggalkan lokasi apartemenku. “Aku penyanyi, telingaku tidak akan salah mengenali bakatmu…”

“Ini kacau sekali…” keluhku. “Kalau kakakku mungkin memang ada alasan untuk menjadi idola karena bisa berdekatan dengan Kak Hyun-joong, Tapi aku?” bakatku ditemukan waktu teriak-teriak menyanyi di gazebo orang? “Eh! Iya! Kalau ada pers bertanya bagaimana caramu mengetahui bakatku, apa yang akan kau jawab?”

Yoo-chun melempar pandangan sekilas dari kaca depan. “Tentu saja yang sebenarnya. Kenapa memangnya?”

“Kumohon! Rahasiakan itu! Memalukan sekali….” Sambil menghela nafas, kututup wajahku dengan topi yang berasal dari jaketku.

―Lee Ah, Februari, 2011, Ha-na’s Car―
“Selamat pagi!” sapa manajerku, Nona Lee Ha-na ramah sambil membuka pintu mobil untukku. “Silahkan masuk! Kita akan langsung ke DSP!” Sekilas pandang, kurasa usianya tidak jauh berbeda denganku.

“Uhm… bolehkah aku bertanya Nona Lee?”

“Panggil Ha-na saja. Usia kita hanya berbeda setahun…” senyumnya terlihat misterius. Astaga, mungkin dia bisa menebak pikiranku. “Kau terlihat penasaran padaku. Mungkin ada lagi yang mau kau tanyakan padaku?”

“Ti-tidak…” sahutku cepat. “Maaf kalau aku terlihat penasaran…”

“Tidak apa-apa…” Ha-na tertawa pendek mendengarku. “Mungkin itulah sebabnya kau menang. Kepribadian yang unik. Kurasa itu akan membawa tren baru dalam industry music…”

“Kuharap begitu…” jawabku. Tiba-tiba kurasa tanggung jawab yang kupikul terasa berat. “Aku akan berusaha keras…”

“Hari ini kau dan Hyun-joong akan langsung mengadakan pemotretan untuk duet di singlenya…” Ha-na tersenyum melalui kaca spion depan. “Ingat kan, bagian refren kalian akan duet berdua saja tanpa anggota SS501 lainnya…”

“Ya,” anggukku.

“Nanti lirik dan notasinya akan diberikan begitu kita tiba di ruang rekaman. Dan, kau juga harus bersiap untuk konferensi pers lusa. Untuk pesta penyambutanmu di DSP, mungkin akan diadakan nanti malam…”

Rasanya aku kesulitan mengingat semua daftar acara yang ada di depanku itu. “Ah, anu… aku sedikit lupa, bolehkah kau mengulangnya? Aku mau mencatatnya dulu…”

“Tidak perlu,” Ha-na tersenyum simpatik menatapku. “Itulah gunanya manajer, bukan?”


―Jae Shi, Februari 2011, SM Entertainment―
“Hai, namaku Park Hae-bin… salam kenal, mulai hari ini aku akan menjadi manajermu…” Nona Park membungkukkan badan dan memberikan salam formal sambil mengulurkan tangan padaku.

“Namaku Kim Jae-shi… panggil Jae-shi saja….” Kusambut uluran tangannya dengan rasa canggung.

“Tuan Kim sudah memberikan beberapa jadwal untukmu hari ini…” Nona Park menyerahkan sebuah buku padaku. “Ini adalah essay yang harus kau jawab… anggap saja ini PR”

“Apa ini?”

“Isinya pertanyaan-pertanyaan ringan tentang hobi, makanan kesukaan, minuman kesukaan, film favorit, dan lainnya. Ada sekitar lima puluh pertanyaan. Kau jawab saja sebisanya. Ini penting untuk mengetahui image idola macam apa yang akan kau bangun… mungkin nanti kami akan mengedit sedikit kalau jawabanmu kurang pas…”

“Oh… begitu ya…” sambil membolak-balik halamannya, kuamati daftar pertanyaan dis itu. Apa hewan kesukaanku? Memang itu penting? Aneh-aneh saja… “Lalu apa lagi yang harus kulakukan?”

“Konferensi pers akan diadakan minggu depan hari Sabtu. Bersamaan dengan itu juga akan diadakan pengumuman single-mu. Jadi, hari ini dan dua hari ke depan, kau akan memilih lagu dibantu dengan Park Yoo-chun…”

Dahiku mengernyit sedikit mengingat pria itu. Aku mengidolakannya, tapi ini rahasia ya. Dia kadang-kadang bisa menyebalkan juga… “Dia akan menemaniku?”

“Ya, tapi tidak untuk semua acara. Oh, dan berhubung Park Yoo-chun sudah menginformasikan pada Tuan Kim tentang demam panggungmu, kau juga akan dilatih mulai hari ini sampai konferensi pers. Pada saat konferensi itu tiba, kami harap kau sudah terbiasa muncul di panggung…”

“Wow, itu kan… rasanya agak mustahil…” kukulum senyumku, tidak berani membayangkannya. “Bagaimana cara kalian melatihku?”

“Hari ini akan ada sesi pemotretan untuk tahap pertama. Tahap kedua nanti ketika kau sudah memilih single, jadi kami bisa menentukan tema apa yang sesuai untukmu. Selain itu, kau juga akan menyanyi di beberapa tempat sekaligus. Untuk melatih rasa percaya dirimu…”

Mungkin ini bukan ide yang bagus, pikirku. “Di mana?”

“Besok di taman kanak-kanak dan panti asuhan. Lusa di panti jompo dan selanjutnya sebuah pentas seni murid SMU. Besoknya lagi di jalanan…”

Yang terakhir sama sekali tidak terbayang olehku. Memikirkannya saja perutku sudah terasa mulas. “Astaga… Nona Park, ingatkan aku untuk membawa tabung oksigen untuk alat bantu pernafasan kalau-kalau aku pingsan nanti…”

―Lee Ah, Februari, 2011, DSP Entertainment―
 “Lagunya berjudul First Kiss, First Love” Hyun-joong memberikan sebuah naskah lagu ke tanganku.

“Judulnya bagus…” senyumku senang.

“Kata Hyun-joong suaramu bagus,” Young-saeng yang bersuara lembut menyapaku. “Aku tidak sabar ingin mendengarnya…”

“Tapi, sehebat apapun dia, tetap saja tidak bisa mengalahkan pesona Park Jung-min,” sela Jung-min sambil mengedipkan sebelah mata padaku. “Benar kan, Nona Lee?” Jung-min melingkarkan sebelah tangannya ke manajerku.
Manajerku bergerak lebih cepat dan tersenyum misterius. “Aku akan keluar dulu untuk membelikan kalian makanan. Lanjutkan saja, Young-saeng dan kawan-kawan…”

“Ah… dasar gadis itu,” keluhnya. “Dia sengaja tidak memanggil namaku…”

Dalam hatiku, timbul sebuah tanda tanya besar. Jangan-jangan ada sesuatu yang special di antara Kak Jung-min dan Ha-na…. Kulihat Young-saeng menatap Ha-na sampai menghilang, baru berpaling pada Jung-min dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.

“Jadi, kapan kita akan latihan, Nona Lee-ah?” Jung-min mulai lagi menjahiliku, seolah tidak ada apapun yang terjadi barusan.

“Kalian jangan menggodanya begitu…” tegur Hyun-joong tidak senang, “Kapan kita bisa mulai kerja serius kalau begitu?”

“Kenapa kau membelanya begitu?” pancing Hyung-joon. “Kemarin saat aku diomeli Jung-min saat membangunkannya saja kau tidak membelaku…”

“Sudah, sudah… Kapan kita bisa mulai latihan, teman-teman?” Kyu-jong berusaha mendamaikan.

Aku tidak bisa menahan senyum melihat keakraban yang menyenangkan dari para pria di depanku ini. “Mohon kerja samanya!!” seruku sambil bersiap-siap di tempatku.

Tidak kukira
Pertemuan denganmu hari itu
Membuatku jatuh cinta seumur hidup

Dan ketika tawamu
Senyummu, dan kebahagiaanmu
Menjadi harta karunku
Aku tahu satu hal…

Ketika bagian refren tiba, aku sudah bersiap untuk menyanyi. Hyun-joong melirikku dan tersenyum, sejenak jantungku berdebar begitu keras. Kenapa dia menatapku seperti itu?

First Love, First Kiss
Ciuman pertama di langit malam
Aku ingin bersamamu
Dan menciummu lagi

First Love, First Kiss
Cinta pertama dalam sebuah ciuman
Dan aku ingin menciummu lagi

Aku bertatapan begitu lama dengan Hyun-joong setiap kali bagian refren kami nyanyikan. Sensasi rindu yang sama terulang lagi… Lagu itu seperti membawa kami ke masa kecil kami dulu.

Yang jadi pertanyaanku adalah…. Perasaan kami…

Apakah lirik lagu itu benar mencerminkan perasaan kami?

Aku tidak tahu tentang bagaimana perasaan Hyun-joong padaku.

Namun, jelas bagiku, dialah cinta pertamaku dulu. Apakah sampai sekarang… hanya dia yang ada di hatiku? Itu pertanyaan lain yang timbul di hatiku.

―Jae Shi, Februari 2011, SM Entertainment―
“Lagu seperti apa yang kau suka?” Yoo-chun mengeluarkan sebuah map berisi banyak notasi lagu.

“Yang enak didengar…”

“Jawabanmu itu kurang jelas…” gerutunya sambil membolak-balik halaman di depannya. “Bagaimana ciri khasnya? Slow? Punya beat cepat?”

“Uhm… yang melodinya manis dan ringan…” jawabku asal. “Seperti lagu Someday-nya IU. Atau Like Weather yang kau buat… atau Winter Memories dari SM-town”

“Hemm… aku bisa membayangkan,” angguk Yoo-chun. “Cocok juga dengan imagemu. Ringan…” tawanya terdengar mengejek di telingaku.

“Apa maksudmu?”

“Hei, aku cuma bercanda…” jawabnya sambil tertawa dan tidak mengangkat wajahnya dari buku di depannya. “Harusnya kau senang kupuji ringan. Banyak cewek mati-matian menguruskan badannya…”

Kupilih untuk diam saja supaya ia tidak bertambah senang menggangguku. “Bagaimana dengan lagu ini? Judulnya Love Hurts… “

“Kedengarannya mellow sekali…” komentarku sambil menatap lirik itu dan membayangkan nadanya di kepalaku. “Tidak mungkin cocok kunyanyikan di tempat-tempat yang harus kukunjungi besok…”

Yoo-chun tertawa sedikit melihatku. “Jadi? Sudah ada keputusan mereka akan menyuruhmu menyanyi di mana?”

“Panti asuhan, TK, panti jompo, pentas seni, jalanan…” Kuketuk kepalaku dengan gusar. “Aduh… ini bakal berantakan…”

Yoo-chun pun tertawa lagi. “Tidak perlu cemas, latihan semacam itu sangat efektif. Kuncinya adalah kalau kau berada di panggung, kau harus berusaha sebaik mungkin dan hal itu yang akan mencuri perhatian penonton. Kalau kau malu-malu dan takut, hasilnya malah akan semakin buruk dan memalukan…”

Kubayangkan panggung itu dengan ngeri. “Apa aku boleh menyanyikan lagu yang kutahu saja besok? Tidak mungkin kunyanyikan lagu ini di TK. Anak TK tidak paham. Dan di panti jompo? Apa aku mau membuat mereka kehilangan semangat hidup?”

Untuk ketiga kalinya, Yoo-chun kembali tertawa terbahak-bahak setelah menatapku.

“Nyanyikan saja apa yang kau suka…” ia masih sempat mengelap air mata yang mengalir di wajahnya karena tertawa begitu kerasnya tadi. Menyebalkan!

Ini sih benar-benar gawat. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan besok. Arghh...

“Oh, aku lupa bilang sesuatu, ya?” Yoo-chun tiba-tiba menoleh ke arahku dan menyeringai senang. “Begitu jadwalku lowong, aku akan ikut ke sana untuk menontonmu.”

“A-apa? Itu kan tidak perlu!”

“Perlu dong. Aku kan harus melihat bagaimana partner-ku beraksi di panggung. Ahhh… pasti menyenangkan…” serunya gembira. Yoo-chun mengedipkan mata padaku. “Lakukan yang terbaik karena aku akan menonton.”

Tidak mungkin! Ini tidak benar. Argh… double arrrghhh!!!


―Jae Shi, Februari 2011, SM Entertainment―
“Aku masih mengantuk…” Kututup mulutku saat menguap dengan tangan.

Semalam Kakak pulang larut malam karena ada pesta penyambutannya di DSP.  Pesta penyambutannya diliput berbagai tabloid dan diberitakan di banyak infotainment sejak semalam. Kakak sudah lebih dulu memulai karirnya. Kami menghabiskan semalam suntuk untuk bercerita sebelum akhirnya pergi tidur.

Nona Park tersenyum sekilas, “Kau tidur saja, nanti begitu sampai akan kubangunkan…”

“Ya, terima kasih nona Park…” sahutku. Kusenderkan kursiku lebih rendah dan mencari posisi yang nyaman untuk tidur.

Rasanya aku baru tertidur lima menit ketika tahu-tahu Nona Park membangunkanku. “Tidurmu sangat pulas, aku tidak tega langsung membangunkanmu…”

“Di mana ini?” Tidak ada tanda-tanda taman kanak-kanak di tempat ini. “Bukankah kita akan pergi ke taman kanak-kanak?”

“Sebelum ke sana, kita akan mengatur penampilanmu dulu…” ujar nona Park sambil menyuruhku turun dan memasuki sebuah salon.

Ehh… padahal aku sudah puas dengan rambutku. Dan baru-baru ini bukankah Yoo-chun sudah membawaku ke―salon entah dimana itu―untuk merapikan rambutku?


“Rambutnya lebih bagus dibuat sedikit ikal di bagian ujung. Bagaimana menurutmu?” tanya stylist itu pada manajerku.

Nona Park mengangguk setuju. “Kemarin Tuan Kim menyuruh kami memberikan image manis seperti pastel padanya…”

Sekitar sejam lamanya stylist itu mencocokkan gaya rambutku dan memilihkan pakaian yang tepat.  Poniku diberi tatanan bowl cut dengan aksen runcing di sudut pelipis, sementara rambut panjangku yang tadinya lurus diberi layer dan dibuat ikal. Rasanya seperti bukan diriku sendiri…

“Kita akan ke taman kanak-kanak dan panti asuhan… jadi untuk apa aku didandani secantik ini?” Tidak dapat dipungkiri perubahan penampilanku membuatku sendiri terkejut.

Kau harus membiasakan diri karena ini akan menjadi trade mark-mu mulai sekarang…” Nona Park mengajakku berfoto di studio terdekat sebelum akhirnya pergi ke taman kanak-kanak. “Bagaimana dengan PR essay yang kuberikan?”

“Sudah kujawab sebagian…” sahutku. Nona Park tersenyum puas.

―Jae Shi, Februari 2011, Taman Kanak-kanak―

“Baiklah, ini misi pertamamu. Semoga berhasil…” ia menurunkanku dan menyuruhku masuk sementara ia akan pergi memarkir mobil. “Oh ya, berikan bungkusan itu ke kepala sekolah…”

Kakiku memasuki ruangan kepala sekolah dan seorang ibu tua menyambutku dengan ramah dan gembira. Setelah sedikit berbasa-basi dan menyerahkan bingkisan padanya, ia membawaku ke sebuah ruangan penuh anak-anak.  Suaranya ribut bukan main. Ada yang berteriak, ada yang menangis, ada yang bermain sendiri.

“Anak-anak biasanya sangat menikmati permainan dan dunia mereka sendiri…” Kepala sekolah itu menginformasikan pada gurunya dan mereka berkumpul di sebelahku. “Anak-anak! Ayo lihat siapa yang datang!!”

“Halo anak-anak…” sapaku sementara semua anak-anak itu menatapku dengan penasaran. “Hari ini Kakak akan menemani kalian, kalian mau main apa?”

Uuh… tidak berhasil. Anak-anak itu kembali dengan kegiatannya masing-masing sementara Ibu guru mereka menepuk pundakku untuk menyemangati.  “Yang datang dua bulan lalu juga marah-marah. Tapi anak-anak itu tetap saja cuek…”

Ucapan Yoo-chun kembali terlintas di benakku.

“Kuncinya adalah kalau kau berada di panggung, kau harus berusaha sebaik mungkin dan hal itu yang akan mencuri perhatian penonton. Kalau kau malu-malu dan takut, hasilnya malah akan semakin buruk dan memalukan…”

Apa yang disukai anak-anak? Saat aku kecil dulu… Serta merta aku berlari menghampiri Nona Park yang baru saja datang. “Apa kita punya simpanan makanan untuk anak-anak? Snack atau semacamnya?” tanyaku buru-buru. Begitu kulihat Nona Park mengangguk ragu-ragu, aku langsung berseru senang. “Bantu aku! Bawakan itu kemari!”


―Yoo-chun, Februari 2011, Taman Kanak-kanak―
“Bagaimana hasilnya?” tanyaku pada manajer Jae-shi.

Begitu jadwalku lowong, aku langsung meminta manajerku mengantarku kemari. Gadis itu demam panggung, dan hal itu membuatku cemas. Pelatihan Tuan Kim memang efektif, tapi kalau orang itu berani berbuat nekat. Gadis seperti Jae-shi? Aku tidak yakin.

Nona Park tidak menjawab pertanyaanku, hanya mengantarku memasuki suatu ruangan yang dipenuhi anak-anak.

“Di luar dugaan bukan?” tanya Nona Park sambil menatap wajahku yang terkejut.

“Ya,” sahutku sambil tertawa lebar.

Ini benar-benar luar biasa! Anak-anak berkumpul di sekeliling Jae-shi, membentuk lingkaran. Gadis itu duduk bersender ke dinding, dengan gitar di tangannya, bernyanyi bersama anak-anak. Lagu doraemon.

“Bagaimana caranya melakukan itu?” tanyaku pada Nona Park yang ikut bertepuk tangan. “Setahuku acara ke sini biasanya dimulai dengan marah-marah untuk membujuk anak-anak itu mendengarkan…”

“Dia mengajak mereka berkumpul dengan menggunakan pancingan makanan dan permen. Kau tahu, itu kesukaan anak-anak. Hasilnya efektif sekali… Sebagian tadinya mau disumbangkan ke panti asuhan. Kurasa kami harus mampir di supermarket lagi untuk menambah persediaan…”

Kulihat wajah Jae-shi tersenyum senang dan menikmati nyanyiannya bersama anak-anak. “Baiklah, kalian mau nyanyi lagu apa lagi?”

“Nyanyikan lagu Shinchan!” seru seorang anak. “Tidak! Lagu chibi-maruko chan!!” sergah anak lainnya. “Jangan! Jangan! Aku mau lagu Mojako!!”

“Baiklah, baiklah…” tawa Jae-shi. “Kita akan menyanyikannya satu per satu…”

Tidak dapat kupungkiri, misi pertamanya berjalan dengan lancar. Bahkan, lebih dari itu. Ini sukses besar!

“Kenapa? Wajahmu senang sekali…” komentar Nona Park sambil tersenyum di sebelahku.

“Ah? Masa sih? Tidak, aku biasa saja…”


―Hyun Joong, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Bagaimana dengan persiapan konferensi pers-mu?” tanyaku pada Lee-ah.

Gadis itu menoleh dan tersenyum. “Aku sudah diberi gambaran tentang pertanyaan apa yang sebaiknya kujawab dan tidak. Oh ya, dengar-dengar kita juga akan ada wawancara majalah soal lagu single itu?”

“Ya, tentu saja. Masih ada lagi wawancara radio dan pemotretan. Single-mu sendiri bagaimana?”

“Produser masih memilihkan lagu untukku…” jawabnya. “Karena ini bulan Februari, jadi mungkin temanya akan seputar cinta…”

“Ya, lagu yang berkaitan dengan Valentine. Berarti pernyataan cinta…” Sahutku. “Kata produser kau juga boleh menyanyikan lagu First Love itu dengan versimu sendiri. Akan menarik, menurutku,”

“Kudengar kau yang membuat lirik lagu itu…” ucapannya terputus begitu Young-saeng memasuki ruangan dengan nampan di tangan.

“Ini sudah waktunya makan. Kalian jangan sampai keasyikan bekerja dan lupa makan…” ujarnya sambil tersenyum pada kami. Young-saeng kelihatannya menaruh perhatian pada Lee-ah. Rasa tidak nyaman menggerogotiku.

―Lee Ah, Februari 2011, Apartment―
“Bersamaan dengan perkenalan ini, kami juga akan mengumukan bahwa Nona Lee-ah pun akan segera mengeluarkan single-nya. Kami mengharapkan dukungan kalian semua…”

“Nona Lee-ah, ada gossip kedekatan Anda dengan Hyun-joong, leader dari SS501. Kalian berdua bahkan pernah berfoto bersama dalam suatu majalah. Tolong dikonfirmasi. Apakah itu benar?”

“Kami adalah rekan seprofesi…” jawabku diplomatis. “Tapi duet kami dalam single SS501 memang sangat romantis. Saya harap kalian bisa menyukainya…”

“Apakah ada kemungkinan hubungan kalian akan berubah ke percintaan rekan seprofesi?” tanya wartawan itu lagi, jelas tidak puas.

“Saya menolak menjawabnya… Maaf…”

-PIP-

Jae shi menatapku dengan tatapan memprotes, “Kenapa dimatikan? Aku mau belajar bagaimana konferensi pers sesungguhnya… Sebentar lagi kan aku juga akan menjalaninya…”

“Ya, tapi pelajaranmu cukup sampai di sana…” jawabku.

 Ujung-ujungnya adalah kericuhan. Wartawan terus mendesak dengan pertanyaan seputar hubunganku dengan Hyun-joong, bukannya bagaimana albumku nanti. Akhirnya pihak manajemen memutuskan untuk membubarkan acara tersebut karena dirasa pertanyaannya semakin menyimpang.

“Jadi, image macam apa yang mereka tampilkan padamu?” tanya Jae-shi dengan sorot mata ingin tahu.

“Segar. Single pertamaku berjudul Freshen You. Aku sudah melihat beberapa contoh sampul CD-nya. Konsepnya kesegaran, seperti siraman air. Itulah aku…”

“Warna baru dalam dunia music… itu keren sekali…” Jae-shi mendesah kagum. “Kesannya dewasa dan menarik…”

“Kudengar acaramu di TK dan di panti asuhan sukses. Di TK kau membagikan makanan dan di panti  kau mengajak mereka memasak bersama. Kuakui, ide semacam itu kreatif sekali…”

“Ya, aku juga kaget bisa terpikir ide seperti itu. Aku hanya merasa hal semacam itu menyenangkan. Tadi juga waktu menghabiskan waktu bersama para manula. Aku mengajak mereka berdansa dengan menyanyikan lagu nostalgia. Ternyata menghabiskan waktu bersama manula bisa begitu seru. Tidak kusangka semangat hidup mereka bisa membludak hanya dengan sebuah lagu…”

“Musik, juga cinta, menurutku dua hal itu adalah bahasa yang universal. Bagi semua bangsa, dan tanpa batasan umur…” kulihat Jae-shi mengangguk. “Bagaimana dengan single-mu? Sudah memilih lagu?”

“Ya, aku akan menyanyikan lagu berjudul Pastel Love. Melodinya manis sekali…” Jae-shi mengambil gitar dan memetknya. “Seperti ini…” ia mulai menyanyi dan aku mengangguk setuju. Melodinya memang cocok untuknya.

“Siapa yang memilihkan lagu itu? Seleranya bagus juga…”

“Dia pria yang tidak perlu kau puji…” komentar Jae-shi sambil setengah merenggut. “Siapa lagi kalau bukan Park Yoo-chun?”

“Kudengar dia akan menjadi pasangan duetmu,” godaku. Jae-shi mulai terlihat salah tingkah. “Tenang saja, kulihat kalian akan berhasil di panggung. Bagaimana dengan demam panggungmu?”

“Rasanya aku sudah mulai mengatasinya. Tapi entah bagaimana kalau di panggung asli. Besok aku akan menyanyi di panggung pentas seni. Membayangkannya aku mulai mulas…”

“Terkadang kau harus melupakannya. Jalani saja, dan begitu itu semua terlewati, kau akan terkejut dengan hasilnya. Seperti hari ini dan kemarin. Bukankah semuanya berjalan dengan baik?” nasihatku. Jae-shi tampak mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

“Astaga! Kak, sekarang sudah jam sebelas! Tidurlah! Besok kau akan ada wawancara dengan majalah! Wajahmu tidak boleh terlihat lelah dan kusam! Jangan lupa pakai masker sebelum tidur!” serunya mengingatkan. “Aku juga harus menghapalkan lagu untukku besok!”

―Jae Shi, Februari 2011, Pentas Seni SMU XX―
Aku memasuki area pentas seni SMU XX dengan penampilan biasa. Mumpung belum terkenal dan wajahku belum terpampang di TV, aku harus memanfaatkan kesempatan semacam ini karena tidak akan ada yang menyadari penampilanku sekarang.

Terdapat aneka booth yang menjual berbagai pernak-pernik, makanan, minuman, maupun games. Rasanya belum lama ini aku masih bisa menikmati semua itu di SMU. Seseorang memanggilku dengan suara heran.

“Jae-shi? Kenapa kau bisa di sini?” tanya Joong-hun sambil menghampiriku.

“Loh? Ngg… aku ada urusan…”

“Oh, sekarang kau tampak berbeda dengan rambut ikal itu…” ia tersenyum mengamati. Sekilas perasaanku mengatakan Joong-hun kembali menjadi dirinya yang dulu ketika ia tidak sedang bersama pacarnya. “Soal peristiwa waktu itu… aku mau minta maaf. Waktu itu aku pasti sangat menyebalkan ya?”

“Memang,” candaku. Joong-hun tersenyum dan kembali meminta maaf. “Kau sendiri sedang apa di sini? Tidak bersama pacarmu?”

“Oh… adikku menjadi salah satu panitia acara ini, dan ia memberikan tiket gratis untukku. Aku sedang punya waktu luang, jadi kenapa tidak? Dan soal pacarku itu… ehmmm” Joong-hun berdehem canggung menatapku. “Kami sudah putus…”

“Apa? Kenapa…” sebelum sempat kulanjutkan kalimatku, ponselku berdering. “Maaf aku angkat ini dulu…” ucapku. Ternyata peneleponku Nona Park. “Ya, ada apa Nona Park?”

“Kau harus ke belakang panggung sekarang. Ada sedikit perubahan acara jadi kau akan tampil di urutan kedua. Bersiaplah!”

“Loh? Jae-shi?” Joong-hun terlihat bingung ketika tahu-tahu aku pergi begitu saja.

“Aku ada keperluan mendesak! Kau tunggu saja di sekitar panggung!” seruku sambil berlari pergi.

Persiapan di belakang panggung serba instan. Dibedaki, ditaburi blush on, dan rambutku diberi taburan glitter. Lalu Nona Park memberikan mike padaku dan menyuruhku menaiki tangga menuju panggung. “Lakukan yang terbaik! Ingat keberhasilanmu kemarin!”

Awalnya kupikir akan semudah kemarin, tapi ternyata aku salah. Begitu naik ke panggung, mataku bisa melihat ke segala arah. Penonton ada di mana-mana. Kiri, kanan, di manapun. Tanganku mulai terasa dingin.

“Aku akan menyanyikan lagu Someday… dari IU…” ujarku gugup. Duuh… apakah suaraku terdengar aneh? Sementara penonton mulai bertepuk tangan, kutarik nafas berulang kali.

“…kau harus berusaha sebaik mungkin dan hal itu yang akan mencuri perhatian penonton. Kalau kau malu-malu dan takut, hasilnya malah akan semakin buruk dan memalukan…”

Ucapan Yoo-chun membuatku merapatkan gigiku dan mulai berkonsentrasi memainkan intro. Aku berusaha tersenyum seceria mungkin, karena senyum membuat otak lebih rileks. Ya, aku harus bisa! Kalau tidak, aku akan mempermalukan diriku sendiri!

Eonjengan i nunmuri meomchugil
Eonjengan i eodumi geodhigo
Ttaseuhan haetsari i nunmureul mallyeojugil…

Bait pertama, kedua… dan selanjutnya mengalir begitu saja dari suaraku dan  gerakan jariku di gitar. Ya,  memang seharusnya begini…. Sambil menyanyi aku terus tersenyum. Ternyata aku memang sangat suka menyanyi!!

Tepuk tangan membahana di seluruh lapangan tempat diselerenggarakannya pentas seni. Sebagian penonton ikut menyanyi dan bersorak bersamaku. Ini sensasi yang menyenangkan. Aku sangat menyukainya…

“Terima kasih semuanya, selamat menikmati acara selanjutnya!” seruku sebelum meninggalkan panggung.

Nona Park tersenyum dan ikut melakukan high-five bersamaku. “Tadi kau keren sekali,” pujinya sambil mengacungkan jempol. “Sepertinya sudah tidak ada masalah lagi, bukan?”

“Semoga saja begitu…” sahutku sambil tertawa.  Jantungku masih berdebar-debar, namun di luar itu semua, rasanya menyenangkan dan melegakan.

“Jae-shi!” Joong-hun datang menghampiriku begitu aku keluar bersama nona Park melewati sisi panggung. “Tidak kusangka kau bisa menyanyi sebagus itu! Aku kaget sekali!” serunya sambil menyalamiku.

“Ehm, terima kasih…” sahutku sambil tersenyum canggung.

Nona Park berdehem mengingatkanku. “Kau masih harus ke studio untuk menemui Tuan Kim. Maaf, dia masih sibuk…”

“Aku akan telepon nanti!” serunya sebelum Nona Park menarikku pergi.

“Lupakan pria itu!” Nona Park memberikan tatapan mengingatkan padaku. “Kalian tidak cocok bersama-sama…”

Aku hanya terdiam, tidak mampu menjawab.


―Lee Ah, Februari 2011, Wawancara TV Arirang―
“Jadi… kapan kira-kira lagu yang menyertakan duet kalian itu dirilis? Rasanya kami semua sudah tidak sabar untuk mendengarnya…”

  “Soal itu, kami masih menunggu jadwal resmi dari manajemen kami…” sahut Hyun-joong sambil tersenyum. “Kalau sudah keluar, jangan ragu untuk membelinya, ya?” Kedipan mata sekilas darinya membuat sekumpulan gadis yang berada di studio menjerit histeris.

“Oh, dan apa judul single itu?”

“First Love, First Kiss, tempo dan lirik lagunya sangat menyenangkan dan romantis.”

“Ahh… mengingatkanku akan masa mudaku dulu…” goda pembawa acara itu dengan senyuman khasnya. “Begini-begini aku sangat digandrungi gadis waktu muda dulu, kira-kira seperti Hyun-joong inilah….”

Kalimatnya disambut dengan seruan ‘huu……..’ dari penonton. “Aish… kenapa kalian tidak mempercayaiku, sih?” sahutnya lagi. “Oh ya, bercerita tentang lagu itu, berarti harus membahas tentang gossip di antara kalian…”

Astaga… pertanyaan ini lagi… Otomatis aku dan Hyun-joong saling melirik.

“Apa gossip itu benar? Sampai di mana kedekatan kalian? Tentu saja kalian tidak akan menjawab bahwa kalian hanya pasangan duet, bukan? Ayolah, jawaban itu kan sangat membosankan…” goda pembawa acara itu lagi.

“Doakan saja kami…” ujar Hyun-joong santai. Ia merangkul pundakku mendekat. “Sekarang di antara kami memang belum ada apa-apa sih….”

Para gadis di studio menjerit tidak rela. “Baiklah, sepertinya aku akan diomeli para gadis itu kalau membuat mereka cemburu…” candanya. “Oke, kita bicara tentang cinta dan ciuman pertama. Kapan ciuman pertamamu terjadi, Kim Hyun-joong?”

“Apa? Apa yang semacam itu perlu dijawab?” pria itu tersenyum grogi sambil menggaruk kepalanya.

“Tentu saja, aku dan semua penggemar wanita-mu di seluruh negeri sangat penasaran…”

“Oh, baiklah, tapi jangan terkejut…” Hyun-joong tersipu malu lagi saat menjawab. “Waktu umurku dua belas tahun…”

“Apa?!” pembawa acara tu terkejut dan segera berkomentar, “Astaga… itu kan sudah lama sekali ya…”

Sebagian darahku seperti membeku di tempatnya. Usia dua belas? Dengan siapa? Jantungku berdebar gugup. Usia dua belas… berarti Hyun-joong masih berada di panti asuhan. Masa sih… dengan… denganku?!  J-jadi maksudnya… ciuman yang waktu itu?



-to be continued-




Tidak ada komentar: