Selasa, 08 Juli 2014

TRY MY LOVE 16

TRY MY LOVE 16

June 26, 2011 at 2:03pm
TRY MY LOVE
Chapter 16
Cast:
Author (Jesica) as Park Jae Shi
Han Geng as himself
Wei Li Zhi as herself
Ji Ro Wang
Kim Ri Na
Dennies Oh

―Park Jae Shi, Seoul Shuttle Bus, 2010―
“Lepaskan!” seruanku tertahan di bibirnya. Tanganku bergerak meronta memukuli dadanya, namun ia tetap tidak bergeming.

Beberapa saat lamanya ia memaksakan ciumannya. Terasa menyakitkan di bibirku. Kemudian, perlahan ia menciumku dengan lembut. Situasi itu kumanfaatkan untuk mendorongnya menjauh.

“Nah…” seulas senyum terlihat di bibirnya. Ia menyentuh bibirku yang diciumnya dengan kasar tadi. “Bagaimana kau akan menjelaskan hal itu pada kekasihmu?”

“Aku benci padamu!” seruku, marah. Dengan kesal kudorong tubuhnya dan berjalan ke pintu belakang. Begitu pintu itu terbuka, kakiku langsung melompat turun.

“Apa-apaan kau!” bentak Kak Dennies ketika menangkap pinggangku ketika nyaris saja aku terjatuh ke aspal karena terburu-buru turun walaupun bus itu masih belum sepenuhnya berhenti.

“Lepaskan aku, dan biarkan aku sendiri!” kutepis lengannya dengan kesal. Sebagai gantinya, ekspresi wajahnya menegang dan dicengkeramnya tanganku dengan kuat.

“Kau boleh marah padaku, tapi aku tidak akan membuatmu berbuat senekat itu tanpa pikir panjang! Kau memang masih memerlukanku, Jae Shi!”

“Tidakkah kau mengerti?” tanyaku dengan putus asa. “Aku sudah berubah dari Jae Shi-mu yang tidak bisa apa-apa tanpamu! Sementara kau menghianatiku, aku sudah berubah! Aku tidak bisa bersamamu lagi dan berdiri di tempat yang sama seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi!”

Kak Dennies menatapku dengan ekspresi terpukul dan terluka. “Aku tidak akan memaksamu. Aku tahu kau sudah berubah, tapi, bagaimana denganku? Perasaanku tidak berubah!”

“Kau boleh berdiri di tempat yang sama selamanya. Tapi jangan  bawa-bawa aku! Aku punya Han Geng sekarang! Dan kau pun punya Ri Na.”

“Jangan ungkit itu lagi…” ia memalingkan wajahnya dan mengembuskan nafasnya keras-keras. “Aku sudah bilang kalau aku menyesalinya…”

“Terserah. Aku hanya mau pulang sekarang. Dan apa yang terjadi tadi… di bus…. Itu kesalahan. Kalau bisa, aku tidak mau hal semacam itu terjadi lagi…”

“Kau menyesalinya?” kali ini ekspresinya benar-benar terluka. Sebenarnya aku tidak tega, tapi tidak bisa begini. Aku tidak mau masalah ini terus berlarut-larut dan membawaku kembali berputar ke tempat yang sama.

“Aku paham kau mau menolongku, terima kasih. Tapi kurasa, ada cara yang lebih baik dari pada itu…” tegasku, menatap matanya dalam-dalam.


♦♦♦
―Wei Li Zhi, Seoul Shuttle Bus, 2010―

Aku tidak akan mengatakannya pada siapapun, janjiku pada diriku sendiri. Jae Shi juga. Bahkan Ji Ro. Aku tidak akan mengatakannya pada siapapun.

Jae Shi tidak melihatku di bus itu. Dia tidak menyadari bahwa aku duduk di seberangnya, hanya saja posisiku di jendela dan terhalang orang lain. Jae Shi terlalu sibuk dengan dua gadis yang menghinanya. Dan ia terlalu terkejut dengan ciuman Kak Dennies.

Jadi, kuputuskan akan kulupakan peristiwa ini.

Sementara pikiran-pikiran aneh satu per satu berkecamuk di kepalaku, kumiringkan kepalaku ke belakang. Jae Shi dan Kak Dennies masih ada di sana. Tampak tegang. Entah apa yang mereka bicarakan.

Bus terus melaju. Dan sementara itu, kuteguhkan hatiku. Ini akan jadi rahasia yang harus tetap disimpan. Jae Shi dan Han Geng baru saja berhasil berbaikan. Dan sekalipun Kak Dennies kelihatannya sekarang sudah berubah dan tampak menjanjikan, aku tetap tidak bisa sepenuhnya mendukung pria itu.

Ya, Jae Shi baru saja berbaikan dengan Han Geng. Yang dibutuhkan Jae Shi adalah Han Geng. Bukan Kak Dennies. Bukan…

Sepintas, ucapan dua gadis mengesalkan itu kembali terulang di benakku.

“Pria tadi itu juga… mungkin mendekati gadis itu cuma karena kasihan. Begitu juga Han Geng”

Akhirnya yang kutakutkan terjadi.

Jae Shi mengalami hal yang sama denganku. Padahal, sekarang hubungan mereka belum diketahui pers. Bagaimana nantinya? Pucatnya wajah Jae Shi jelas menunjukkan gadis itu tidak siap dengan apa yang nantinya akan terus dia hadapi.

Rasanya aku ingin sekali menumpahkan semua perasaanku ini ke seseorang. Tentu saja bukan tentang adegan itu. Tapi tentang kekhawatiranku mengenai gossip yang mungkin akan memberatkan Jae Shi. Kadang-kadang para fans itu lupa, superstar mereka adalah manusia biasa juga.

“Ahh… aku kangen padamu, Ji Ro…” keluhku dalam hati.

♦♦♦

―Han Geng, Super Junior’s Apartment, 2010―

 “Aku ingin bertemu denganmu…” ujarku di telepon.

“Hmmm…” bisa kubayangkan gadis itu tersenyum bingung. Namun, ada sensasi yang lain dari suaranya. Semacam nada yang menunjukkan kalau ia tidak yakin.

“Apakah kau tidak ingin bertemu denganku?” pancingku. Di sebelah, Hee Chul mencibir dan menggerakkan bibir mengucapkan kata ‘gombal’.

“Ingin…” jawabnya.

Tapi, aku tidak menemukan antusiasme di sana. Apakah ia berbohong? Aneh sekali… padahal atmosfer di antara kami terkesan positif tadi.

“Kau sedang tidak sehat?” tanyaku, mulai merasa cemas. “Atau kau tidak ingin kutelepon?”

“Bukan begitu…” kali ini nada suaranya terdengar ragu. “Mungkin, sebaiknya kita tidak terlalu sering bertemu?” tanyanya.

“Hah?! Kenapa begitu!” dengan terkejut, aku bangun dari tempat tidurku.

Malam sudah larut dan di luar langit tampak gelap. Sekalipun demikian, beberapa butir bintang masih tampak indah di sana. Apakah ia melihat langit yang sama denganku?

“Di malam seindah ini kau tidak merindukanku?” tanyaku, menyindirnya.

Terdengar tawanya sejenak. Kelegaan menyembur keluar menyelimuti diriku. “Maksudmu bintangnya?” kubayangkan gadis itu dengan piyamanya melangkah ke jendela dan menatap langit yang sama denganku. “Hanya ada beberapa bintang di sana…”

“Ya…” sahutku. “Tapi kau masih belum menjawab pertanyaanku. Aku jadi iri melihat Dae Jia yang selalu saja lengket dengan Si Won.”

“Begini…” ia tampak menekan nada suaranya. “Kau… tidak keberatan jalan bersamaku?”

“Astaga. Pertanyaan apa itu?” tanyaku, menertawakannya.

“Tidak lucu,” potesnya, menyelaku.

“Baiklah, maaf…” kukatupkan mulutku perlahan, menahan tawaku. Jadi sekarang ia sedang krisis percaya diri. “Kenapa aku memintamu pacaran kalau aku malu jalan denganmu?”

“Karena kasihan?” tanyanya, menyentakku.

Astaga. Masih saja topik yang sama.

“Kenapa kau begitu tidak percaya diri kalau bersamaku? Apakah aku segitu tampannya?” senyumku, bermaksud menggodanya.

“Rasanya aku mau tutup teleponnya…” balasnya, mencoba mengancamku.

“Jawab saja pertanyaanku… Nanti kalau kau matikan aku akan meneleponmu berulang-ulang sampai kau bosan…”

Lama ia terdiam sampai akhirnya ia berdehem pelan. “Kurasa ya… kau terlalu berkilauan di sampingku…”

Tawaku pecah mendengarnya.

“Hei berisik! Sssh!!” Serentak teman-temanku meletakkan telunjuknya di bibir sementara Hee Chul melemparku dengan bantal.

“Aiish… kau berisik sekali…” gerutunya, lantas memasang mp4 playernya ke telinga.

“Sudah malam. Tawamu keras sekali…” gumam Jae Shi geli. “Masa yang lain tidak marah?”

“Oh ya… bahkan ada yang melemparku dengan bantal…” tukasku. “Hari minggu ini aku lowong. Bagaimana kalau kita kencan?”

“Hmmm…” Jae shi tampak ragu-ragu menjawabku. Sebelum ia sempat menolak, terlebih dulu kusebutkan kalimat yang ada di otakku.

“Baiklah, hari Minggu aku akan menjemputmu ya, jam 9 pagi!”

“Hei, tunggu…”

PIP

Apakah aku terlalu memaksa?

Tidak. Tidak. Ini normal.

Lagipula, entah bagaimana aku merasa kalau aku gagal mengajaknya aku akan mundur selangkah. Mengingat senyuman Dennies hari itu, aku yakin pria itu masih memperjuangkan hubungannya yang pernah gagal dengan Jae Shi.

Sekalipun masih berupa dugaan, aku tidak ingin mempertaruhkan hubungan ini. Aku ingin mempertahankannya.



―Han Geng, Park’s House, 2010―

Ting Tong

Tidak lama setelah menekan bel, sesosok wanita keluar sambil tersenyum. “Wah, Han Geng, ya?” tanyanya sambil tersenyum ramah.

“Ya,” anggukku, mengulurkan tanganku dan menyalaminya.

“Saya Mamanya Jae Shi. Jae Shi sudah cerita banyak tentangmu…” ia tersenyum sambil membukakan pagar untukku. “Masuk saja, sekarang dia sedang bersiap di dalam…”

“Terimakasih, Tante,” jawabku, tersenyum. Perasaanku meringan melihat sikap Mamanya yang menerimaku dengan baik, berbeda dengan Papanya.

“Papanya Jae Shi mungkin agak keras. Tetapi, sebenarnya ia hanya terlalu mencemaskan puterinya…”

Aku hanya tersenyum kecil membayangkan pertemuan pertamaku dengan Papanya Jae Shi. Belum sempat duduk di sofa, Jae Shi sudah berjalan keluar dengan terburu-buru.

“Apa aku terlambat?” tanyanya, menatapku kaget.

Mataku menatapnya dari atas ke bawah. Jae Shi memakai mini dress pastel dan flat shoes yang senada.  Mamanya menyenggolku ketika melihat senyum di wajahku melebar.

“Bagaimana putriku?”

Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya mampu tertawa malu sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Baiklah, kalian bersenang-senang saja…” ujar Mamanya sambil menutup pintu.

“Terima kasih, Tante…” setengah melambai, kubukakan pintu mobilku untuk Jae Shi. Ia melangkah masuk untuk duduk dan kemudian memakai seat belt nya.

“Kita mau ke mana?”

“Ayo kita nonton.” Jae Shi menatapku tidak percaya. “Ayolah, kau menginginkan kehidupan cinta yang biasa-biasa saja, bukan?” matanya menatapku menyelidiki. “Aku ingat jelas semua keinginanmu. Jadi, ayo kita lakukan kencan seperti manusia normal…”

“Mustahil tidak ada yang mengenalimu…” Jae Shi menambahkan sambil sedikit tersenyum, “Li Zhi cerita soal Ji Ro yang selalu memakai kacamata dan kumis palsu tiap kencan dengannya. Rasanya seperti kencan dengan om-om. Itu semua hanya untuk menghindari fans…”

“Tenang saja. Oke?” kataku, sambil memasang seat belt ku.






“Filmnya benar-benar bagus!” seru Jae Shi kagum.

Kukatupkan bibirku, menahan senyum. “Walaupun sebagian dari filmnya tidak kau lihat karena takut?” godaku lagi.

Aku berhasil mengetahui dari Li Zhi kalau Jae Shi menyukai film horror. Dan akhirnya, hari ini kami menonton film bergenre itu. walaupun mungkin tipe film semacam itu bukan kegemaranku, ternyata cukup menyenangkan menontonnya berdua pacar. Apalagi kalau hampir setengah film ia jadi memegang lengan bajumu terus karena takut.

“Aaah… aku membuatnya kusut…” Jae Shi menatap lengan kaosku dengan perasaan bersalah. “Maaf ya…”

“Tidak apa, justru rasanya menyenangkan…” tukasku sambil tersenyum. Ketika kuraih tangannya, Jae Shi tidak menolak. “Tidak apa kalau kugandeng, bukan?”

“Tidak apa…” ia tersenyum. “Sekarang, kita mau kemana?”

“Ah, ya, aku mau mengajakmu ke suatu tempat…” kukedipkan sebelah mataku padanya. “Kau akan menyukainya…”
♦♦♦



―Park Jae Shi, Seoul Mall, 2010―

“Ahhh… aku tidak menyukainya…” gumamku sambil menggelengkan kepala. “Tidak…..”

“Masa? Kudengar dari Li Zhi kau menyukainya…” sergahku, mencoba membujuknya masuk. “Ayolah, aku sudah memesan tempat…”

“Tidak mau… Astaga, memalukan sekali…” gerutuku sambil menggeleng sementara Han Geng masih terus menyeretku masuk ruangan yang dimaksud.

“Ayolah, apanya yang memalukan, sih?” tanyanya lagi, setengah tertawa.

“Aku tidak mau menyanyi… Astaga… aku tidak mau karaoke di depan anggota Super Junior…”

Entah apa yang dipikirkan Han Geng dengan mengajakku pergi ke tempat karaoke. Baiklah, aku memang suka menyanyi bersama Li Zhi. Tapi, menyanyikan lagu itu di depan penyanyi aslinya? Bukan ide yang bagus. Astaga, ini bakal memalukan.

“Tidak memalukan. Lagipula, banyak yang datang kok…” kata Han Geng sambil membukakan pintu untukku.

“Hai…” sapa yang lainnya sementara mataku menatap mereka takjub.


Eun Hyuk yang berada di ujung ruangan bersama seorang gadis juga ikut tersenyum, dan kemudian melanjutkan aksi mereka memotret semua yang ada di ruangan itu. Pada akhirnya mereka berpose sendiri di depan kamera mereka.

“Mengejutkan bukan, kita bisa berkumpul di sini. Karena ini peristiwa berharga, kita harus mengabadikannya, Shin Woo sayang…” ujar Eun Hyuk sambil merangkul gadis di sampingnya.

“Hei, tanganmu jangan bergeser ke bawah ya,” gadis itu menatap sambil tersenyum memperingatkan. Lalu ia pun ikut tertawa bersama Eun Hyuk di foto.

“Hai Jae Shi, kemarilah…” Dae Jia menepuk-nepuk tempat duduk di sampingnya. Shi Won duduk di sebelahnya. Sementara itu, Hea In dan Dong Hae masih asyik menyanyikan lagu di depan. Tidak terlihat Hee Chul di sini.

“Kapan kalian datang?” tanyaku, kaget.

“Ini usulan Han Geng. Aku kaget juga sih, karena akhirnya rencanaku berduaan dengan Shi Won jadi sedikit berubah. Tapi ini menyenangkan, sekali!” ia tertawa sambil mengedipkan sebelah mata kea rah Shi Won.

“Tapi aku tidak melihat Hee Chul…” gumamku. “Mana pacarmu?” tanyaku setengah tersenyum usil kea rah Han Geng.

“Sedang bertamu ke rumah Rae Mi. Karena harus segera wajib militer, ia jadi sering berduaan dengan pacarnya. Aku maklum akan hal itu…” Han Geng mendekat dan berbisik di telingaku sepintas. “Lagipula, apa maksudmu mengatakan dia pacarku? Dasar…”

“Nah, karena bagian duet kami sudah selesai, ayo, giliran Dae Jia-Shi Won!” Hea In tertawa riang sambil menunjuk skornya yang tinggi di papan. “Apa kalian bisa mengalahkan skorku dan Dong Hae?”

“Pasti dong!!” seru Dae Jia sambil menyahut tidak mau kalah. “Ayo Oppa, kita buktikan pada mereka!” ia menarik tangan Shi Won yang tertawa geli melihatnya begitu bersemangat.

“Nah, kita mau nyanyi apa ya?” Han Geng membolak-balik album di hadapannya dengan mata berseri-seri. Astaga, kukira tidak harus menyanyi. “Kudengar dari Li Zhi kau suka menyanyi lagu barat. Dan lagu Suju?” matanya menatapku dengan pandangan menggoda lagi.

“Hahaha…” tawaku terasa kering di tenggorokan. “Harus… ya?” tanyaku, pasrah.

Han Geng mengangguk dengan antusias. “Aduh… tidak bisa….” Mataku menatap Dae Jia dan Shi Won yang sepenuh hati menyanyikan lagu Marry You di depan. “Suaraku jelek…” setengah berharap, kutatap Han Geng dengan pandangan merajuk. “Tidak usah, ya?”

“Tidak bisa.” Cowok itu menggeleng dengan tegas. “Lagipula, masih ronde pertama. Anak Suju biasa bernyanyi gila-gilaan sampai malam. Dan ada sesi solo untuk ronde kedua.”

“Sesi solo?” Perutku terasa mulas sampai melilit. “Matilah aku…”

Senyuman Han Geng semakin melebar melihat ketakutan di wajahku. “Tenang saja, Jae Shi. Kata Li Zhi, suaramu bagus, kok!”

Li Zhi, Li Zhi. “Kelihatannya banyak yang dia bocorkan tentangku….” Awas kau nanti, Li Zhi! Huuhh… Matilah aku… ini akan sangat memalukan.

Sementara otakku berpikir macam-macam, Dae Jia dan Shi Won telah menyelesaikan satu lagu dan tampak bersemangat menunggu skor mereka. Nilai mereka lebih tinggi sedikit, yaitu 89, dan kemudian dengan penuh semangat Dae Jia memeluk Shi Won bangga.

“Baiklah,” kataku, kaget dengan suaraku sendiri. “Kalau sudah begini, sekalian saja memalukan!” seruku sambil menunjuk nama lagu yang disodorkan Han Geng.

“Itu baru gadisku,” balasnya sambil merangkulku bersemangat. Hea in dan yang lainnya tertawa dan bertepuk tangan menyemangati kami. Siapa bilang aku tidak bisa bersenang-senang?



―Han Geng, Karaoke Room, 2010―

“Aku tak percaya kau pernah bilang suaramu jelek sebelumnya…” ujarku sambil meletakkan mic dan menunggu nilai kami keluar.

“Masa  sih?” Jae Shi menutup kedua pipinya yang terasa panas. Baru saja kami menyanyikan lagu Suju M yang berjudul Blue Tomorrow.  Dan menurutku, ia bernyanyi dengan sangat baik.

“Jadi Li Zhi tidak berbohong…” kuraih tangannya dan mengajaknya kembali ke tempat duduk. Skorku dan Jae Shi sama dengan Skor Hea In dan Dong Hae. 86. Sementara Dae Jia dan Shi Won masih di posisi tertinggi.

“Kalian semua akan kukalahkan!!” seru Eun Hyuk sambil menyambar mic. Di sebelahnya, Shin Woo merenggut dan bergumam pelan.

“Jangan sesumbar…”

“Kau bernyanyi dengan bagus…” puji Dae Jia pada Jae Shi. “Tapi tentu saja, masih terlalu cepat untuk mengalahkanku.” Ia tertawa kecil dan kemudian memberikan album lagu pada kami. “Berikutnya sesi solo. Kau mau nyanyi apa?”

“Aku belum tahu,” senyum Jae Shi malu. “Syukurlah tadi sama sekali tidak memalukan…” bisiknya di telingaku.

“Aku akan menyanyikan lagu mandarin saja. Forever Love,” pilihku sambil memencet layar pilihan lagu. “Bagaimana denganmu?”

“Aku akan menyanyikan lagu Joo yang berjudul Because of Man. Untukmu…” Jae Shi menyebut bagian akhirnya dengan suara pelan. Namun, aku bisa mendengarnya dengan jelas.

“Aku tidak sabar menantikannya…” seruku sambil tertawa pelan. kurasakan getaran pelan dari tas Jae Shi. “Ponselmu. Mungkin ada yang menelepon…” tukasku memberitahu.

“Sebentar ya…” Jae Shi mengeluarkan ponselnya dan seketika wajahnya memucat melihat nama di layarnya. Firasatku mengatakan bahwa dialah yang menelepon. “Sebentar…” ujar Jae Shi sambil menekan tombol dan berjalan ke luar ruangan.




-to be continued-

Tidak ada komentar: