Rabu, 02 April 2014

Untukmu, Jingga


*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The bay bali & Get discovered! 

Untukmu, Jingga

Jingga, sebuah nama yang indah,
Nama yang mengingatkanku akan senja yang keemasan,
Akan semburat cahaya di ufuk timur penanda datangnya pagi
∞∞∞
Jingga menatap sebuah kartu undangan yang setengah terbuka di tangannya. Mia, teman dekatnya saat SMA akan menikah. Tetapi, calon pengantin prianya bukan dia, bukan Gilang.
Gilang bertetangga dengan Jingga sejak pertama kali mereka mengenal kata. Tepatnya, semenjak mereka masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Berkejaran, berenang, dan bermain pasir di pantai Nusa Dua menjadi agenda harian mereka.
Dua puluh tahun lalu, saat kelas satu SD, Gilang menjadi teman terdekat untuk Jingga.
Delapan tahun sesudahnya, Jingga sadar bahwa ia menyukai Gilang. Gilang adalah cinta pertama baginya.
Dua tahun berikutnya, Mia muncul. Seorang gadis dengan wajah ayu dan kulit putih. Tidak butuh waktu lama bagi Mia untuk menjadi sahabat dekat Jingga. Mereka cocok dalam banyak hal. Lalu tidak butuh waktu lama juga bagi Gilang untuk jatuh cinta pada Mia.
Satu tahun sesudahnya, Gilang dan Mia resmi berpacaran. Jingga pun menyingkir. Menjauh. Perlahan-lahan, ia mundur dari kehidupan Gilang. Membawa pergi kisah cinta pertamanya yang tak tersampaikan.
Kemudian… undangan ini pun datang. Jingga membuka sampulnya sambil mengingat-ingat. Sembilan tahun lamanya mereka tidak pernah bertemu. Terakhir kali, ia ingat mengantarkan Gilang ke airport. Pria itu mantap untuk mencoba mengadu nasib di Jakarta. Alasannya hanya satu, Mia. Mia lebih dulu pindah ke Jakarta dan menjadi pramugari. Gilang tampaknya ingin berada di samping kekasihnya.
Hadiah perpisahan mereka hanya selembar foto. Sebuah matahari terbenam dengan indah di Pantai Nusa Dua. Di pasir pantai, seorang gadis duduk menghadap mentari, membelakangi si pemotret. Rambutnya berkibaran indah ditiup angin. Siluet yang tidak menampakkan wajah, hanya saja terasa begitu sendu. Begitu kesepian, sekaligus begitu indah.
“Ini…” Jingga menatap foto di tangannya dengan dahi berkerut. “Ini tidak mungkin aku, kan?”
“Ya, tentu saja ini kau. Cantik bukan?”
“Ya,” senyum Jingga. “Cantik… Kau memotretnya dengan indah…”
“Ini cocok untuk namamu. Sedari dulu, aku selalu merasa namamu begitu indah. Jingga, sebuah nama yang indah. Nama yang mengingatkanku akan senja yang keemasan, akan semburat cahaya di ufuk timur penanda datangnya pagi…”
“Terimakasih,” ujar Jingga sambil mendekap foto itu erat-erat.
“Kau juga harus mencari pria yang tepat untukmu…” gurau Gilang, tidak menyadari mata wanita di depannya menatapnya nanar.
“Aku tahu…” Jingga tersenyum walaupun hatinya terasa seperti diperas. Kalau kukatakan pria itu adalah kau, apa yang akan kau katakan padaku? Menyuruhku melupakanmu? Menjauh darimu?
“Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu…”
Jingga tersenyum. Setetes air mata jatuh di pipinya. “Seperti aku selalu mendoakan kebahagiaanmu…”
Jingga menghela nafas dalam. Matanya kembali menatap sebuah foto berbingkai kayu di atas meja kamarnya. Hadiah perpisahan dari Gilang. Lucu sekali bagaimana pria yang selalu meledek namanya seperti anggota pensil warna ternyata bisa mengatakan hal semanis itu.
Sekarang usia Jingga sudah dua puluh enam tahun. Seharusnya, ia sudah cukup dewasa untuk bisa melupakan Gilang. Tetapi, ternyata Mia akan menikah. Bukan dengan Gilang. Semudah itukah melupakan cinta? Semudah itukah berpaling hati?
Jingga tidak mengerti, karena sampai kinipun ia masih merasakan perasaan yang sama untuk Gilang. Nyeri. Nyeri yang sama kembali lagi setiap mengingat nama Gilang.
Ia mengangkat pena, menuliskan satu kalimat tanya di buku hariannya. Apakah Gilang akan datang ke pernikahan Mia?
∞∞∞
“Jingga!” Mia berlari dan memeluk Jingga seerat mungkin. “Aku rindu sekali padamu. Ya ampun, kau jadi cantik sekali…” senyumnya.
“Kau juga jadi cantik, Mia…” sahut Jingga sambil menggenggam tangan Mia erat. “Apakah kau akan menginap di sini?”
“Benar! Tidak disangka kau bekerja sebagai resepsionis di sini! Tolong rekomendasikan tempat makan malam yang enak ya!” Mia mengerling manja dan tertawa cerah. Jingga menyambut tawanya. “Oh, kenalkan ini calon suamiku, Setyo…”
Jingga tersenyum kepada pria tegap yang berdiri di samping Mia. Mereka terlihat begitu bahagia. Jingga tak urung memikirkan Gilang. Apakah… Mia sama sekali tidak menyesal sudah meninggalkan Gilang dan memilih pria lain?
Jingga masih memikirkan tentang masa lalu ketika sebuah suara bertanya padanya. “Maaf, apakah saya bisa… eh… Jingga?” Pertanyaan itu beralih menjadi keterkejutan. Jingga mengangkat wajahnya dari meja dan tersentak.
Seorang pria berdiri di depannya. Bahu tegap yang sama, rahang yang tegas, dan tatapan mata yang tidak akan pernah Jingga lupakan. Gilang berdiri di depannya. Gilang sahabatnya. Gilang, cinta pertamanya dan bahkan… sampai sekarang pun, masih Gilang yang berada di hatinya.
Jingga tersenyum. Senyuman sendu yang sejenak membuat Gilang merasakan perasaan aneh di dadanya. “Apa kabar?” sapa Jingga. “Kau jadi semakin dewasa Gil…”
“Semakin tampan, kan?” tanya Gilang, masih dengan suara rendahnya yang menyenangkan.
“Ya,” jawab Jingga jujur. “Sebelumnya, apa yang ingin kau tanyakan, Gil?”
“Ah, ya… tentang Pirates Bay. Tadinya aku berniat pergi ke sana sendiri.” Gilang mengamati Jingga sejenak. “Kalau shift­-mu sudah selesai, bagaimana kalau menemaniku?”
Jingga tertawa, ditemani sebuah lesung pipi yang menawan. “Baiklah! Jemput aku satu setengah jam lagi, ya!”
∞∞∞
Jadi… Gilang sudah tidak pernah lagi berenang. Gilang hanya sedikit bercerita bahwa ia trauma berenang karena Mia hampir tenggelam ketika berenang bersamanya. Untung ada life guard yang menolong mereka saat itu.  
Jingga mengamati Gilang yang menepuk-nepukkan pasir dari celananya. Sejauh ini Jingga sudah puas tertawa melihat Gilang yang kembali menjadi anak kecil, keasikan dengan permainan treasure hunt dan pembuatan layangan.
Semilir angin memainkan rambut Jingga. Gilang mengulurkan tangan, menyapukan rambut yang menutupi wajah Jingga ke telinganya. Sejenak mereka bertatapan. Gilang kemudian berdehem, beberapa kali. “Ah, aku haus…” Ia bangkit berdiri sambil menarik Jingga bersamanya.
“Ayo, kita pesan makanan. Aku sudah dari tadi tergoda dengan Chicken sandwich mayo…”
Gilang duduk selonjor di salah satu tenda terbuka. Anak-anak kecil berlarian gembira. Ada yang bermain pasir, ada yang menerbangkan layangan, ada pula yang asyik berpose dalam kostum bajak lautnya. Kapal-kapalan kayu dipenuhi dengan banyaknya turis yang berfoto bahagia dengan keluarganya.
Langit begitu biru, awan begitu putih, pasir hangat, dan matahari terasa menyenangkan. Jingga memiringkan kepalanya, merasakan hangatnya matahari menyinari wajahnya. Samar-samar terasa semilir angin memainkan rambutnya. Di kejauhan, lautan terlihat berkilauan bagai berlian tertimpa cahaya mentari.
“Seperti di surga…” ujar mereka berbarengan. Gilang dan Jingga bertatapan dan tersenyum.
“Perasaan nyaman yang membuatmu seolah melupakan semua masalah. Lalu rasa bersalah yang muncul karena seolah kita membuang-buang waktu dengan menikmati segalanya di sini…” ujar Jingga sambil memainkan pasir dengan jemarinya.
“Perasaan nyaman itu muncul karena kau yang berada di sampingku…” ucap Gilang.
Jingga merasa telinganya salah mendengar, menatap Gilang dengan tatapan bingung. “Seandainya yang kusukai dulu bukan Mia, tetapi kau, mungkin sekarang kita sudah menikah…” candanya. Tetapi, di telinga Jingga, semua itu terlalu menyedihkan.
“Kenapa kau menyerah?”
Gilang bangkit dari duduknya. Ia meminum watermelon jusnya dengan cepat dan meletakkannya. “Ayo, sudah saatnya kita melihat bagaimana cara anak-anak itu bermain treasure hunt.”
Jingga mengelak dari uluran tangan Gilang. “Kau masih mencintai Mia, bukan? Kenapa kau menyerah?” Jingga mulai menghitung mundur dalam hatinya. Hitungan mundur menuju air matanya. Tangisan. Sebisa mungkin ia tidak ingin menangis dan mendramatisir suasana.
“Sudahlah…” Ekspresi Gilang tampak keras. “Jangan topik yang ini…”
Jingga menatap Gilang.  Hatinya terluka melihat wajah pria itu keruh dan putus asa. Jadi, Gilang masih mencintai Mia. Gilang trauma berenang karena Mia. Gilang datang untuk membuktikan pada Mia kalau ia bahagia tanpa Mia. Ia masih mengutamakan kebahagiaan Mia di atas segalanya.
“Kalau masih mencintainya, jangan pernah menyerah!” sambil berteriak, Jingga berlari ke laut dan menceburkan diri. Kemudian sosoknya menghilang.
Gilang langsung merasakan panik memenuhi dadanya. Jingga adalah perenang terbaik dari antara mereka berdua. Jingga adalah atlet renang yang baik. Tetapi itu dulu, sebelum Jingga kecelakaan dan bahunya retak, mengakibatkan dirinya tidak pernah lagi berenang.
Gilang terjun ke air tepat ketika seorang kru lifeguard  juga terjun ke air. Jingga! Jingga! Hanya Jingga yang ada di otaknya. Ketika akhirnya bisa melihat sosok Jingga dalam air, seluruh adrenalin memacu Gilang untuk bergerak lebih cepat, menyelamatkan Jingga.
“Dasar bodoh!” Gilang beberapa kali memberikan CPR. Jingga terbatuk saat air keluar dari mulutnya. “Dasar bodoh! Apa kau ingin mati?!”
Untuk beberapa saat lamanya dunia seolah bergerak lambat. Gilang membiarkan Jingga bersender di dadanya, berada dalam pelukannya. Sensasi yang entah mengapa terasa begitu tepat. Seolah gadis itu memang seharusnya berada di sana, dalam pelukannya.
Gilang menatap Jingga dari puncak kepalanya. Saat bulu matanya yang tebal dan basah beberapa kali mengerjap. Gadis itu diam, mengamati kerlap-kerlip cahaya matahari yang terpantul dari riak-riak ombak. Keindahan surga Nusa Dua yang mereka nikmati nyaris setiap harinya. Masa lalu yang terasa begitu jauh sekaligus begitu dekat.
“Kau suka berenang kan?” ujar Jingga saat air menetes dari rambut Gilang, mengenai pipinya. Ia tersenyum. Gilang merasakan matanya memanas.
“Ya…” bisik Gilang. Kerongkongannya perih saat suaranya sendiri bahkan terasa asing.
Jingga mendorongnya ke batasan rasa takutnya. Membantunya menghilangkan ketakutannya. Gilang masih bisa merasakan betapa intensnya perasaan menyenangkan ketika air melingkupi dirinya. Betapa biru dan penuh warna menakjubkan kehidupan di bawah laut itu. Keheningan dan kehampaan seolah kehidupan luar sesaat tidak lagi berarti. Berkas cahaya yang menyihir mata seakan anugerah dari surga turun berupa berkat kehidupan di dalam laut, juga gelombang cahaya dari permukaan laut seolah permukaan dunia adalah akuarium besar dengan kaca biru bening yang berkilauan.
Masing-masing terdiam dalam pikirannya masing-masing, sampai suara lembut Jingga memecah keheningan di antara mereka. “Aku suka melihatmu berenang. Aku mencintaimu, Gilang…”
“Apa…”
“Aku mencintaimu, jauh sebelum kau memilih Mia. Tetapi, kau mencintainya, jadi aku melepaskanmu. Seharusnya tidak begitu. Kalau kau suka berenang, kau tidak boleh membuangnya. Hal-hal yang memberikanmu kebahagiaan, kau tidak boleh membuangnya…”
Setetes air mata mengalir dari pipi Gilang. Jingga menghapusnya lembut dan bersender di dada Gilang yang bidang. “Aku sudah pernah kehilangan kebahagiaanku. Aku tidak mau kau mengalami hal yang sama denganku. Kalau kau masih mencintai Mia, kau harus mengakuinya.”
“Ya…” angguk Gilang, menyusupkan bibirnya di puncak kepala Jingga yang basah dan beraroma laut. “Ya…” ulangnya.
Angin masih berhembus lembut di sekeliling mereka. Langit masih tetap sama birunya dengan tadi. Hanya saja, kehangatan Jingga selaras dengan matahari. Menembus hingga ke dalam hatinya, membuat sesaat dunianya pudar dalam cahaya. Gilang tahu, lautan yang berkilauan tidak akan sama lagi dalam ingatannya.
∞∞∞
“Selamat atas pernikahanmu, Mia!” Jingga menyalami Mia dan kemudian memberikan kecupan di pipi sahabatnya. Setyo berdiri dengan dada membusung bangga di samping pengantin cantiknya. Mereka berdua terlihat serasi dan bahagia.
Pernikahan Mia dilaksanakan di De Opera Beach Club ala garden party. Penerangan temaram berasal dari lilin-lilin cantik yang menghiasi setiap meja, dipermanis oleh bunga-bunga lili putih kesukaan Mia. Sepanjang jembatan dipasang lampion-lampion kecil yang membuat suasana pernikahan terasa agung, nyaris magis.
Jingga melangkah menghampiri Gilang yang sedang duduk sendirian, menyesap red wine miliknya. Pria itu masih mengguncang pelan gelas winenya, memandang Mia dengan tatapan kesepian yang sama.
“Kau sudah mengatakannya?” tebak Jingga.
“Sudah,” jawab Gilang. “Mia hanya tersenyum. Khas Mia seperti biasanya.”
Jingga tersenyum lagi. Sosok Gilang malam ini terlihat tampan dan dewasa. Ada kesan maskulin melihat Gilang dalam balutan jas ketimbang memakai kostum bajak lautnya tadi siang. “Aku akan… menyusulmu ke Jakarta.”
Sejenak mata Gilang dipenuhi kilatan jenaka. “Kau tidak akan menyerah padaku?”
“Apa kau menolakku?” Melihat Gilang hanya diam, Jingga tersenyum. “Selama kau belum menolakku, aku tidak akan menyerah. Aku tidak boleh menyerah,” koreksinya.
“Kau tidak perlu menyerah, Jiji…”
Lagi-lagi Gilang memanggilnya dengan nama yang disukainya semenjak kecil. Jingga menahan nafas ketika pria itu menariknya mendekat untuk memeluknya. “Aku selalu menyesalinya, sumpahku yang bodoh itu. Kenapa aku bersumpah untuk menjadi sahabatmu selamanya saat aku begitu menyukaimu? Terimalah hatiku, Jingga…”
Jingga mengeluarkan isakan kecil ketika menyurukkan kepalanya di dada Gilang. Gilang mengecup dahinya, lalu menepuk punggungnya lembut untuk menenangkannya. “Aku selalu milikmu, Gilang…. Selalu…”
∞∞∞
Mia sedang memperbaiki riasannya ketika mendengarkan suara ketukan di pintu ruang riasnya. “Silahkan masuk,” ucapnya. Ia terkejut ketika Gilang melangkah masuk dengan mantap dan menghampirinya.
“Aku ke sini untuk membuat pengakuan.” Gilang tersenyum ragu-ragu dan menggenggam tangan Mia. “Aku pernah memanfaatkan perasaanmu, aku minta maaf…. Seharusnya aku dulu tidak pernah menerima perasaanmu hanya karena ingin membuat Jingga cemburu.”
“Kau menyalahkan dirimu karena aku hampir mati tenggelam. Kita impas?” Mia tertawa sambil menggenggam tangan Gilang. “Apa kau sudah memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Jingga?”
“Ya,” angguk Gilang. ”Karena itu, sebelum bicara padanya, aku ingin meminta maaf dan berterimakasih padamu. Aku juga selalu menyayangimu, Mia. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu.”
“Seperti aku mendoakan kebahagiaanmu…” ujar Mia dengan mata berkaca-kaca. “dengan Jingga.” Mia tersenyum dan memeluk Gilang. Gilang, cinta pertamanya. Pria yang meminta bantuannya untuk menjadi kekasihnya demi mengetahui perasaan gadis yang disukainya, Jingga.
Mia memandang punggung Gilang yang membelakanginya. Ia menutup bibirnya yang bergetar dengan tangan, menyembunyikan isakan tangisnya. Selamat tinggal Gilang, semoga bahagia.
Ketukan lagi. Mia segera menghapus airmatanya dan tersenyum melihat pria yang masuk membawakan sebuah buket bunga lili. Senyum di matanya penuh cinta dan kebahagiaan. “Setyo,” ucap Mia sambil menahan nafas kagum. “Bunganya indah sekali.”
Mia menatap mata Setyo dan mendekap bunga lili kesukaannya dengan bahagia. Aku pun akan menempuh kebahagiaanku dengan Setyo. Jadi, Jingga dan Gilang… semoga kalian pun bahagia.

TAMAT

7 komentar:

Anonim mengatakan...

lovely

Novita Amalia Puspitasari mengatakan...

Ada yang bilang, cewek dan cowok itu ga akan pernah bisa pure jadi sahabat. Pasti salah satu dari mereka ada yang jatuh cinta, tanpa disadari... Great story Jess!

Chika_erfenn mengatakan...

@anonim thanks for such a kind comment :*

@novita: siapa yang bilang begitu... apakah pengalaman pribadimu nov? hihhi.. thanks for the comment *ketjup

Unknown mengatakan...

hikz.. jadi nagis deh..bagus bgt.. cinta di dalam perhabatan..susah dihindariii.. aigoo..
author jjang!

Chika_erfenn mengatakan...

@gabriella aahh.. gaby... lama ga ketemu... makasih banget ya untuk komennya... :)

si_kura mengatakan...

Jejes,,, happy ending ya ceritanya... heheheh,,, baru tau klo jejes suka nulis juga...

buat novita amalia :D
cewe ama cowo bisa banget ko sahabatan,, pure punya perasaan sayang terhadap masing2 tapi ga ada hasrat untuk mencintai, apalagi saling memiliki. bahagia saat sahabatnya bahagia, dan sedih saat sahabatnya berduka. ;)

Unknown mengatakan...

uwaaaAAAA selamat eonni masuk jadi finalisnya~~!!!!