Kamis, 17 Juli 2014

SING OUT LOUD, LOVE 10

SING OUT LOUD, LOVE 10

November 10, 2011 at 7:46pm
CHAPTER10
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
Hero Jae-joong (TVXQ)
Max Chang-min (TVXQ)
Uknow Yun-ho (TVXQ)
Xiah Jun-su (TVXQ)
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae bin

―Lee ah, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Bersemangatlah,” Young-saeng mengulurkan sekaleng jus ke arahku.

“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada adikku… Aku tidak percaya kalau akhirnya aku sendiri yang melukainya.”

Hyun-joong pergi ke lokasi syuting MV single terbarunya ditemani manajernya. Pria itu memang super sibuk. Ha-na membantuku menyusun kalimat yang akan kukatakan dalam konferensi pers-ku yang sudah diputuskan oleh Presdir Lee harus segera dilaksanakan.

“Kau kakak yang baik,” puji Young-saeng tulus. “Kalau tidak, mana mungkin kau akan mencemaskannya begini? Adikmu pasti mengerti. Inilah kehidupan artis, selalu ada yang namanya fans dan anti fans. Sebaik apapun manusia, pasti ada saja orang yang tidak suka pada kita…”

“Kau benar,” senyumku sambil meraih jus itu dan mencoba membukanya.

“Biar kubantu…” ketika tangan kami saling bertemu, Young-saeng dan aku menarik tangan dengan terkejut. Kaleng itu pun jatuh dengan suara keras ke lantai. “Eh… maaf…” Young-saeng menukar kalengku dengan miliknya. “Ini untukmu saja, tenang, belum kuminum…”

“Ma-maaf…” Kutundukkan kepalaku dengan malu.

“Jadi… karena itu ya, waktu itu kau tidak bisa menjawabku?” tanya Young-saeng tiba-tiba. “Karena kau pacaran dengan Hyun-joong?”

“Bukan…” selaku. “Jangankan disebut pacaran. Aku saja tidak mengerti bagaimana hubungan kami sebenarnya…”

Melihat wajahku kembali murung, Young-saeng menepuk pundakku lembut dan tertawa. “Mau coba jadi anak nakal, tidak? Bagaimana kalau kita kabur sebentar untuk bersenang-senang?”

Tawarannya terdengar menarik. Tanpa sadar kepalaku mengangguk, dan tangannya dengan cepat menarik tanganku untuk berlari bersamanya ke arah parkiran gedung. “Kita akan kemana?” tanyaku, terengah-engah saat mengatur nafasku untuk berlari bersamanya.

“Sudah kukatakan, bukan? Kita akan bersenang-senang!” serunya gembira. Wajahnya begitu polos dan ramah, membuatku tidak tahan untuk tertawa bersamanya.


―Jae Shi, Februari 2011, SM Entertainment―
Walaupun sudah berkata dengan gagah berani di depan Kak Jae-joong dan Yoo-chun bahwa aku akan membuat lagu sendiri, sama sekali tidak ada ide di benakku. Mungkin bisa kugunakan lagu-lagu lama ciptaanku yang kubuat selintas lalu. Tapi… tidak, lebih baik jangan. Lagu-lagu itu kurang sensasional untuk menunjukkan siapa diriku sebenarnya.

Ya, aku bukan copycat. Aku bukan peniru. Aku adalah aku. Aku adalah Kim Jae-shi.

Itu pesan yang ingin kusampaikan dari laguku. Tapi… bagaimana?

Kuraih gitarku dan mulai mencoret-coret kertas di depanku. Beberapa kali kuhapus tulisan yang sudah kubuat. Astaga, ini tidak akan berhasil. Apa yang harus kulakukan!?

“Biarkan panggung itu yang akan menjawabmu…”

Kalimat Yoo-chun dan Jae-joong terulang-ulang di kepalaku. Membentuk sebuah melodi. Tersenyum, kuambil kertasku dan mulai menulis. Lalu setengah jam kemudian, aku sudah larut dalam laguku.


―Lee ah, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Saat sedang sedih, yang paling bagus adalah makan yang manis-manis supaya perasaanmu membaik…” ucap Young-saeng sambil menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan membawaku memasuki sebuah toko permen.

“Kau sering ke sini?” tanyaku.

“Cuma beberapa kali,” jawabnya sambil tertawa. “Mau rasa yang mana?” Young-saeng memilih beberapa permen lollipop ukuran besar.

“Ehm… yang mana saja…” tawaku saat melihatnya berpose dengan permen itu di depannya. “Ya, yang itu saja!”

“Baiklah, kami beli yang ini…” Young-saeng mengedipkan matanya padaku. “Lain kali giliranmu mentraktirku… Ingat saja, sebentar lagi Valentine.”

Sambil tertawa, kuterima permen yang disodorkannya. “Aku takkan lupa…” Diam-diam kucoba untuk menyembunyikan debaranku. Apakah… ia mengharapkan cokelat dariku?

“Hubunganmu dengan Ha-na… dekat tidak?” tanyanya tiba-tiba setelah kami berdua terdiam agak lama, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.

“Lumayan… kenapa?” Sekilas rasa ingin tahuku terusik karena teringat keganjilan situasi antara Jung-min dan Young-saeng kemarin. “Kau sendiri memanggilnya seperti itu, kelihatannya kalian akrab…”

“Yah… kami memang…” Young-saeng tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Dulu dekat, tapi akhir-akhir ini agak kurang. Agak mendingin setelah Jung-min menembaknya bulan lalu…”

“Menembaknya?” mataku melotot kaget mendengarnya.

“Jung-min sejak awal memang mengatakan kalau lebih baik Ha-na yang menjadi manajernya. Awalnya kukira dia bercanda, apalagi kau tahu, dia biasa bersikap santai dan bicara blak-blakan. Ternyata dia menembaknya, sejak saat itu rasanya ada jarak antara aku, Jung-min, dan Ha-na. Entahlah…” Young-saeng mengangkat bahunya bingung. “Kadang-kadang aku tidak mengerti wanita…”

“Apakah… maksudmu, Ha-na juga menyukai Jung-min…?” tanyaku hati-hati.

Sekilas kulihat ekspresi Young-saeng menegang. “Aku tidak tahu…” Rahangnya terkatup rapat saat mengucapkannya. “Mungkin. Tapi… kurasa kalau ya, ia akan mengatakannya padaku. Masalahnya, sejak saat itu, kami sama sekali tidak pernah berbagi rahasia lagi…”

Instingku langsung mengatakan ada sesuatu di sini. Namun, mengingat suasana di antara kami berubah tegang, kuputuskan untuk tidak menyinggungnya.

“Bagaimana kalau kita karaoke?” tawar Young-saeng tiba-tiba.

“Kenapa tidak?” sahutku dengan bersemangat. Tepat saat itu, ponselku bergetar. Kuangkat dan baru kusadari ada tujuh miss call dari Ha-na dan sepuluh dari Hyun-joong. Kenapa cowok itu bisa ikut mencariku?

“Lee-ah?” Aku mulai mendengarkan suaranya yang bernada marah ketika akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon darinya. Dalam hati, aku sudah siap dimarahi. “Kau bersama Young-saeng? Katakan ya, maka aku bisa lebih tenang. Kau dengar? Kau bisa jawab aku? Kau tidak apa-apa kan?”

Nada cemas dari cowok itu membuatku merasa bersalah. “Iya… aku bersama Young-saeng…” jawabku. “Kami hanya jalan-jalan sebentar. Maafkan aku, membuatmu khawatir”

“Ha-na meneleponku untuk menanyakan padaku apa aku melihatmu atau tidak. Sekarang aku masih di lokasi syuting, jadi tidak bisa menjemput. Ada Young-saeng bersamamu? Sungguh?”

“Ya,” jawabku sambil melirik Young-saeng dengan ekpresi serba salah. Young-saeng menggerakkan bibirnya dan bertanya dengan kode, ‘Hyun-joong?’ dan kuanggukkan kepalaku. “Aku akan segera menelepon Manajerku. Terima kasih sudah mencemaskanku…” kataku lagi.

“Sudahlah, tidak apa. Aku hanya takut kau kenapa-napa. Syukurlah tidak apa-apa. Sampai jumpa…”

Hyun-joong menelepon berkali-kali untuk mencariku di sela-sela syutingnya. Manajerku juga sama cemasnya, dan hal ini menumpuk rasa bersalahku. Perutku terasa mulas saat merasakan kebaikannya yang menghangatkan seperti ini. sudut mataku mulai terasa panas. “Kita pulang saja?” ajak Young-saeng. “Karaokenya lain kali saja…” senyumannya yang menenangkan sejenak menghapus sebagian rasa bersalahku.


―Jae Shi, Februari 2011, Apartment―
“Bagaimana dengan lagumu?” Kak Lee-ah tersenyum padaku sambil mengaduk cokelatnya. “Kudengar besok akan jadi penampilan perdana-mu…”

“Ehm, begitulah,” jawabku seadanya. “Aku sudah membuatnya dan mengubahnya beberapa kali. Kuharap mereka bisa menyukainya. Posisiku sama sekali tidak stabil. Bahkan aku belum punya fans club seperti Kakak…” keluhku. “Oh, kudengar debutku menyulitkan posisimu. Aku minta maaf…”

“Sudahlah, tidak usah cemaskan aku. Menurutku, kau akan berhasil,” Kak Lee-ah mengacungkan jempolnya dan tertawa bersamaku. “Kenapa kau buat cokelat sebanyak itu?” tanyanya dengan senyuman jahil.

“Lalu, kenapa Kakak juga membuat sebanyak itu?” balasku. Kami tertawa malu dan sama sekali tidak ada yang mau mengaku. “Kakak akan berikan pada Kak Hyun-joong?”

“Tergantung,” jawabnya sambil menatap cetakan cokelat di depannya. “Mungkin saja dia tidak menginginkannya…”

“Dia seorang pria,” ujarku. “Dan tidak ada pria yang akan menolak cokelat pada hari Valentine. Coba saja kau berpura-pura tidak membawa untuknya. Kujamin, dia akan marah….”

Kak Lee-ah tertawa lalu menuang cokelat itu ke dalam cetakannya. “Yah,” ujarnya. “Kita lihat saja nanti…”


―Lee ah, Februari 2011, DSP Entertainment―
“Kau benar-benar memberikannya padaku?” Young-saeng menatap cokelat di tangannya dan tersenyum riang. “Terima kasih…”

“Bagaimana dengan kami?” protes Hyung-joon sambil pura-pura merengek.

“Dan aku?” Jung-min tahu-tahu datang dan melingkarkan lengannya di bahu Young-saeng. “Kurasa kau tidak melupakan kami…”

“Tentu saja,” senyumku. Kuraih kantung tasku dan kuberikan cokelat yang memang kupersiapkan untuk mereka. “Selamat hari Valentine!!!” seruku sambil memberikan cokelat itu.

Kyu-joong menerima cokelat dariku dengan senyuman segan, wow, dia memang pemalu. Young-saeng sejenak mengeluarkan senyum terpaksa saat melihat bahwa tidak hanya dirinya yang kuberikan cokelat. Maaf, memang kurasa suasana akan canggung kalau tidak semuanya mendapat cokelat dariku.

“Kau memberikan cokelat untuk mereka semua?” Ha-na muncul dan tersenyum mengamati para pria itu yang sejenak tampak seperti anak kecil.

“Tentu saja aku tidak melupakan manajer-ku yang cantik,” senyumku sambil memberikan cokelat itu. “Terima kasih karena selalu mengurusku…”

“Memang beginilah seharusnya seorang cewek itu,” sindir Jung-min sambil tersenyum penuh arti ke arah Ha-na. “Sangat perhatian. Eh, pagi, Hyun-joong…” Jung-min menyapa leader-nya dan lantas kembali ke ruangan tempat asalnya. Seharusnya dia memang berlatih di sana.

“Aku pergi dulu ya,” Young-saeng menepuk bahuku dan pergi. “Selamat berjuang!”

“Kau berbagi cokelat dengan anak-anak itu?” tanya Hyun-joong sambil mengangkat sebelah alisnya. “Memangnya kau sinterklas?

“Tidak usah menyebalkan begitu, aku juga tidak akan memberikan padamu…” tukasku sambil membawa tasku pergi. Tahu-tahu saja Hyun-joong sudah menangkap tanganku.

“Pasti ada cokelat untukku, kan?” tanyanya sambil menahanku. Posisiku terdesak di dinding, sementara tangannya mengurungku. Kenapa dia suka sekali posisi semacam ini? “Ini untukku?”

Astaga! Sejak kapan dia merogoh isi kantungku! Saat aku sibuk dengan pikiranku, tangan pria itu sudah bergerak begitu cepat untuk mengambil cokelat yang tersisa di sana.

“Tertulis, untuk KHJ” ia membaca hurufnya dan tersenyum. “Ini memang milikku…”

“Bukan! Itu untuk baby!” seruku, mencoba membela diri.

“Kulihat Baby sudah mendapat bagiannya. Ini untukku…” pria itu melepaskan tangannya yang mengurungku dan membuka bungkusan cokelat itu lalu memakannya. “Rasanya persis sama dengan cokelat yang kita buat di panti asuhan dulu…”

Mataku terasa panas saat teringat masa kecil kami. “Untuk apa mengingat yang sudah berlalu?” tanyaku sambil berjalan pergi. “Aku mau pergi bersama manajerku untuk melihat pertunjukan perdana Jae-shi…”

“Tidak mengertikah, kau?” Hyun-joong meraih tanganku dan menyentaknya sehingga posisiku jatuh tepat di dadanya. “Untuk apa aku menciummu? Untuk apa aku mengatakan kalau aku merindukanmu? Dan mengapa aku begitu cemas saat kau menghilang? Tidak pahamkah, kau?” tanya Hyun-joong emosi.

“A-aku…” Tatapan itu begitu tegas seolah akan menelanku. “Aku tidak tahu…” ketika kupalingkan wajahku, Hyun-joong menahan kedua pipiku dengan tangannya.

“Aku paling tidak bisa mengucapkan kalimat itu. Apa kau mau tahu perasaanku? Pria tidak akan begitu saja mencium wanita yang tidak dicintainya…”

Hyun-joong memeluk pinggangku dan meraih tengkukku. Detik itu, kakiku serasa melayang ketika bibirnya menyentuhku. Rasa cokelat. Ciuman yang sama seperti ciuman pertama kami di panti asuhan. Sejenak memori yang sama kembali memenuhi otakku. Hyun-joong memang tidak mengatakannya dengan jelas, tapi kurasa… dia memang menyukaiku.

“Kau milikku…” desisnya di sela-sela nafas kami yang tersengal-sengal. Pelan, kusurukkan kepalaku di dadanya, merasakan degup jantungnya yang begitu cepat.


―Jae Shi, Februari 2011, SM Entertainment―
“Selamat valentine!!” seruku sambil membagikan cokelat itu ke semua personel TVXQ. “Eh, aku tidak melihat Yoo-chun di sini…” ujarku kecewa.

“Biar aku yang menyampaikan cokelat untuknya,” sahut Jae-joong sabar. “Sebentar lagi kau akan tampil, bukan? Bagaimana persiapannya?”

“Beres,” jawabku bersemangat.

“Tidak biasanya kami mendapat cokelat dari sesama artis…” gurau Jae-joong sambil mengedipkan sebelah matanya. “Aku jadi merasa agak sayang memakannya…”

“Padahal kau mendapat banyak dari fansmu…” sahutku sambil tertawa. “Aku akan menelepon Yoo-chun. Katanya dia akan tampil bersamaku…”

“Semoga saja tidak ada perubahan rencana,” jawab Jae-joong sambil menunjukkan ponselnya padaku. “Chun baru saja menyelesaikan pemotretan untuk iklan baju. Kalau dia datang terlambat, kurasa kau akan terpaksa menyanyi sendirian…”

Kutelan ludahku dengan gugup. Mendadak rasa takut kembali memenuhi diriku. Semua pemberitaan miring dan cemooh tentangku…. Semua itu seperti mimpi buruk yang menghantuiku akhir-akhir ini.

“Tenang saja, kami semua sudah tidak sabar mendengar bagaimana lagu ciptaanmu. Berjuanglah,” Jun-su dengan suaranya yang unik menyemangatiku.

“Terima kasih!” seruku. “aku akan berjuang!”


―Park Yoo-chun, Februari 2011, Concert Hall Seoul ―
“Aku baru sampai, bagaimana keadaannya?”

“Belum dimulai. Beberapa menit lalu Suju sudah memulai penampilan mereka. Sebentar lagi gadis itu akan tampil…”

“Begitu? Aku sedang dalam perjalanan ke sana…”

Kupercepat langkahku menyusuri koridor panjang di depanku. Manajerku berjalan tergesa-gesa di sebelahku, mengiringi langkahku. Telepon dari gadis itu membuatku cemas. Kelihatan sekali kalau ia gugup. Semoga saja aku tiba tepat waktu sehingga bisa menemaninya menyanyi di panggung.

“Bagaimana?” tanyaku, berusaha menahan nafasku yang ngos-ngosan karena berjalan terburu-buru kemari.

“Kau telat selangkah, ia baru saja naik panggung.”

“Kau lihat saja dulu…” ujar Jae-joong sambil menahan tanganku. “Sampai kapan kau mau membuatnya bergantung padamu?”

Pertanyaan itu menyentakku kuat. Bergantung padaku? Itukah yang kuharapkan? Yah, selama ini akulah yang selalu bersama gadis itu, menemaninya dan membawanya ke panggung dunia hiburan. Jadi… apakah keberadaanku tidak lagi diperlukan? Rasanya kenyataan seperti itu… agak terlalu mengecewakan.

“Dan sekarang, mari kita sambut… seorang gadis pendatang baru di dunia music Korea! Kim Jae-shi!!!”

Nafasku tertahan sementara mataku dan Jae terpaku ke panggung. Gadis itu meraih mike-nya dan memandang ke depan. Sejauh mata memandang, semua hening, sama sekali tidak ada sambutan antusias. “Ck… mereka keterlaluan,” komentar Yun-ho.

“Selamat malam semuanya… Lagu pertama adalah Pastel Love”

Jae-shi tersenyum dan mulai memetik gitarnya. Namun reaksi yang diberikan penonton sungguh di luar harapan. Tiba-tiba terdengar sorakan mencemooh dari seluruh panggung. “Turun! Turun! Turun! Kami mau Suju! Kami mau TVXQ!”

Jae-shi menatap panggung dengan bingung. Tangannya terhenti sementara, namun ia berusaha tidak mengacuhkannya. “Turun!!”

Lalu tiba-tiba saja banyak benda dilemparkan ke panggung. Jae-shi menutupi wajahnya ketika sebuah gelas kertas berisi minuman softdrink dilempar ke arahnya. Rasa terkejut dan marah memenuhi diriku, namun sebelum sempat berpikir, Jae-joong sudah melompat naik ke panggung dan menarik tangan Jae-shi untuk turun.

 “Aku belum menyanyi,” tegas Jae-shi sambil memandang Jae-joong yakin.

“Kau masih mau tampil? Apa kau sudah gila?”

“Kau mau menemaniku?” gadis itu mempertahankan prinsipnya sementara aku hanya bisa menonton dari sisi panggung bagaimana Jae-joong bersikeras membawanya turun panggung.

Akhirnya Jae-joong memilih untuk mengalah. “Aku akan memainkan pianonya…” jawab Jae-joong dengan tatapan sekaku patung es-nya. “Berikan liriknya…”

“Terima kasih,” ujar Jae-shi sambil menatap Jae-joong dan tersenyum. Penonton masih saja riuh dan menyuruh gadis itu turun panggung. Aku heran darimana ia bisa mendapat keberanian sebesar itu dengan tubuh sekecil itu?

“Aku hampir menyerah dengan mimpiku…” Gadis itu memulai dengan suara yang tajam dan bening, melupakan semua sorakan yang mencemooh namanya.
Ketika dunia mencemoohku,
kucari namun tidak kutemukan pijakan…
Ku kehilangan sayapku ‘tuk terbang,
kurasa bukan di sini tempatku…”

“Hei, dia…” seseorang berusaha menyela, namun gagal. “Ssst!! Diam… aku mau dengar…” seru yang lain. Satu per satu cemoohan berhenti dan mereka mulai terdiam, mendengarkan nyanyian yang dibuatnya.

“Cahaya panggung terlalu menyilaukanku…
Membuatku putus asa
Ketika air mata dan ketakutan memenuhi
Serta nyaris merenggut harapanku,

Panggung itu memanggilku
Takdir menyuruhku untuk bertahan
Keberanian muncul dalam ketakutan
Membantuku menghapus air mata

Kusadari,
Di sinilah tempatku
Bersama sayap-sayap mimpiku
Menggandeng harapan tuk terbang”

Tepuk tangan membahana di seluruh aula. Gadis itu memandang dengan tidak percaya. Air mata mengalir di pipinya, sementara matanya terpejam dan wajahnya tersenyum puas sekaligus lega merasakan semua gemuruh tepukan itu. Jae-joong menghentikan pianonya dan memeluk gadis itu, disambut teriakan histeris dari penonton.

“Kau kenapa Chun?” tanya Chang-min sambil mengamatiku. “Wajahmu seram sekali…” Matanya memandang tanganku yang sudah terkepal entah sejak kapan.



―Jae Shi, Februari 2011, Concert Hall, Backstage―
“Kau hebat sekali!” Yun-ho, Jun-su, dan Chang-min menyalamiku.

“Di mana pak guruku?” tanyaku sambil tersenyum.

“Kulihat dia sedang bersiap di panggung, mengingat kami akan segera tampil…” jawab Jun-su seadanya.

“Sebaiknya kau cepat menemuinya dan setelah itu, kau langsung pulang saja. Minuman soft-drink itu membasahi bajumu,” nasehat Jae-joong kutanggapi dengan anggukan setuju.

“Hei…” Kulongokkan kepala dan melihat pria itu sedang mengganti bajunya dan mendapat riasan dasar. Ia menatapku dengan ekspresi yang tidak kumengerti. “Kau mendengarnya?” tanyaku senang.

“Maafkan aku,” ia menatap bajuku yang basah serta berwarna kebiruan karena tumpahan sof-drink. “Seharusnya aku bisa tiba lebih cepat dan menemanimu bernyanyi…”

“Sekalipun awalnya buruk, hasil akhirnya bagus, kan?” tanyaku lagi. Pria itu bangkit dan memandangku. Lagi-lagi dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kau senang tampil bersama Jae-joong?” tanyanya tiba-tiba dengan suara tajam.

“Eh?”

“Tidak,” ia menilai ekspresiku lalu memilih pergi. “Kau akan menontonku?” tanyanya lagi.

“Ehm, ya, tapi aku akan mengganti bajuku dulu…” jawabku. Yoo-chun hanya tersenyum singkat dan menepuk kepalaku lalu berjalan pergi. Entah mengapa firasatku mengatakan sikapnya agak aneh hari ini.


―Hyun-joong, Februari 2011, Concert Hall Seoul ―
“Sudahlah,” kutepuk pundak Lee-ah dan berusaha menenangkannya. Gadis itu masih menutupi wajahnya dengan tangan. “Itu bukan kesalahanmu….”

“Tetap saja aku merasa tidak enak. Kasihan sekali Jae-shi…”

“Jalannya untuk maju lebih berat darimu, tapi kau bisa lihat keberhasilannya memukau penonton. Kurasa tidak perlu lama, fans-club nya akan segera terbentuk…”

Lee-ah menutup matanya dan kemudian memandangku sambil tersenyum. “Kau benar…” sahutnya. “Ayo, kita temui dia di belakang panggung…”

“Kebetulan aku juga mau menyapa teman lamaku, Jae-joong dan Yoo-chun…” ujarku sambil menarik tangan Lee-ah menuju belakang panggung. Performance TVXQ baru saja usai dan mungkin mereka sedang merayakannya di belakang panggung.

“Lama tidak bertemu,” Yoo-chun dan Jae-joong menjotos pelan bahuku dan kami tertawa bersama. “Senang bisa melihatmu lagi.”

“Hei man, bagaimana kabarmu?” tanya Yun-ho sambil menyalamiku dan menepuk bahuku. Kami beradu jotosan dan tertawa. “Hei, dia pasangan duetmu, bukan?”

“Benar, kenalkan, namaku Lee-ah…” ujar Lee-ah sambil mengulurkan tangan dan menyalami satu per satu pria di depannya. “Aku akan menengok Jae-shi,” ia hanya memberiku isyarat kecil sebelum akhirnya menghilang ke belakang ruang ganti.

“Pacarmu?” tanya Yun-ho dengan senyum menggoda.

“Begitulah,” jawabku sambil tersenyum.

“Apakah dia pasanganmu di WGM nanti?” tanya Yun-ho lagi. Kebenaran itu tiba-tiba menyentakku. Melihat wajahku yang merasa tidak nyaman, Yun-ho mengibaskan tangannya. “Sudahlah, soal itu dibahas kapan-kapan saja.” Ia mengedikkan bahunya dan melihat ke arah sahabatnya. “Bagaimana kalau hari ini kita makan bersama?”

―Lee-ah, Februari 2011, Concert Hall Seoul ―
“Apa yang mereka bicarakan?” tanyaku pada diri sendiri. “Apakah Hyun-joong akan ikut acara WGM? Kenapa aku baru tahu…”

“Memikirkan apa, Kak?” tanya Jae-shi sambil tersenyum. “Kudengar kau membantuku menjawab komentar pedas dari anti-fansku dan membelaku, terima kasih….”

“Kau tahu darimana?” tanyaku kaget.

“Aku tahu nama samaranmu dan gaya penulisanmu. Aku kan adikmu…” senyum Jae-shi semakin lebar saat mengintip keluar ruangan. “Kakak datang bersama Kak Hyun-joong? Jadi, benarkah semua gossip itu? Memang ada sesuatu di antara kalian?”

“Aish… masa kau ikut-ikutan seperti semua wartawan di luar sana?” Pipiku memerah karena malu. “Situasinya agak membingungkan,” akuku pada akhirnya. “Dia menciumku dan mengatakan tidak mungkin kalau pria akan mencium wanita yang tidak disukainya. Apa artinya menurutmu?”

Jae-shi menepukkan tangannya gembira. “Tentu saja artinya sudah jelas! Dia menyukaimu. Benar, kan?”

“Yah…mungkin…” Kuputar bola mataku, berusaha cuek untuk menyembunyikan rasa senangku. Kubantu Jae-shi mengemas barang-barangnya sementara manajernya masuk dan membawakan barang itu ke mobil. Tak lama kami terlibat pembicaraan seru dan akhirnya ikut bergabung makan malam dengan Hyun-joong dan anggota TVXQ lainnya.

―Hyun-joong, Februari 2011, Japanese Restaurant ―
Salah satu poin yang membuatku memilih restoran ini sebagai tempat makan favoritku adalah ruangannya yang terbagi atas bilik-bilik kecil yang sifatnya privacy. Tidak perlu memikirkan fans, paparazzi, dan hal-hal remeh lainnya.

“Aku mau ke toilet dulu,” tukasku sambil beranjak bangun dari tempat dudukku. Lee-ah hanya mengantarku dengan matanya, namun perhatian itu membuatku senang. Seusai dari toilet, kuputuskan untuk ke kasir dan melunasi tagihan sementara yang lain menikmati makannya.

“Wah, bukankah kau Hyun-joong?” seru seseorang. Dari suaranya jelas seorang gadis. Kutahan nafasku sejenak, berharap bukan salah satu dari wartawan surat kabar.

“Oh, kau…” Aku nyaris merasa lega melihat sosoknya. Ternyata Hwang-bo yang memanggilku. “Kau sedang makan di sini?”

“Ya,” jawabnya. “Bersama kru WGM. Kami bicara banyak hal. Tentangmu juga…”

“Aku?” Baiklah, arah pembicaraan ini mulai menyimpang. “Apa maksudmu?”

“Aku sudah terpilih sebagai pasanganmu di WGM. Nanti pasti akan menarik…” Kutarik senyumku seadanya. Tentu saja aku lebih berharap Lee-ah yang akan menjadi pasanganku. “Aku sudah lama tertarik padamu, kau tahu itu kan?” Hwang-Bo melemparkan senyuman menggodanya yang terkesan eksotis lalu menarik kerahku untuk mencium pipiku.

“Sampai jumpa…” Sambil tersenyum menggoda, ia melenggang pergi. aku baru tahu situasi berubah runyam ketika kulihat Lee-ah berdiri di ujung lorong dan memandangiku dengan mata terbelalak kaget. Tebakanku, dia sudah melihat semuanya.

“Eh, sudah berapa lama kau ada di sana?” Astaga, itu pertanyaan bodoh! Nyaris saja aku memaki diriku sendiri. “Dia hanya dipilih sebagai partnerku dalam acara WGM nanti…”

“Hanya?” Lee-ah mengangkat alisnya sedikit. Sepertinya ia ingin bicara sesuatu, tapi ditahannya. “Sudahlah, aku hanya datang karena sepertinya kau terlalu lama dan yang lain mulai mencarimu. Kita kembali saja…”


―Park Yoo-chun, Februari 2011, Japanese Restaurant ―
“Sayang sekali manajernya Jae-shi tidak bisa ikut datang…” keluh Chang-min, entah yang ke berapa kalinya malam ini.

Hae-bin dan Chang-min satu SMP dan semenjak gadis itu memasuki dunia pekerjaan sebagai manajer, hubungannya dengan Chang-min menjadi lebih dekat. Kurasa ada hubungan tertentu yang mereka sembunyikan dariku. Hidungku tajam untuk hal-hal semacam ini.

Kulirik Jae-joong yang akhir-akhir ini mulai bersikap aneh. Misalnya malam ini, meletakkan beberapa daging ke mangkuk Jae-shi yang duduk di antara kami. Tadinya gadis itu duduk di sebelahku, kurasa ia mencurigai sikap dinginku tadi. Aku berpura-pura tidak tahu dan sama sekali tidak membahasnya. Sampai kulihat Jae-joong memilih duduk di sebelahnya dan bukan di sebelah Yun-ho seperti biasanya

“Aku punya cerita lucu,” bisiknya ke arah Jae-shi.

Semua mata memandangnya. “Sudahlah, jangan mulai lagi…” keluh Yun-ho sambil tertawa malu. “Kejelekan siapa yang mau ceritakan padanya?”

“Ahh… kalian juga selalu tertawa kalau mendengarnya…” bela Jae-joong. “Kebetulan, duduklah Lee-ah, Hyun-joong, aku mau cerita sesuatu yang lucu…” ajaknya pada Lee-ah dan Hyun-joong yang baru saja kembali. Ekspresi wajah mereka sulit ditebak, namun sesuatu jelas baru saja terjadi di antara mereka.

“Cerita ini kudengar dari Chang-min…” Tidak bisa kutahan senyumku saat Chang-min mulai meringis pelan. “Suatu hari, sewaktu Yunho menelepon Changmin…”
*CM: Halo…Siapa ini?
YH: Ini si ganteng Yunho.
CM: Si ganteng Yunho?
YH: Ya!!
CM: Aku tidak kenal orang seperti itu.

Semua terdiam beberapa saat lalu tertawa terbahak-bahak melihat wajah Yun-ho memerah malu. “Belum! Belum, masih ada lagi!” seru Jae-joong; dan Jae-shi ikut melihat ke arahnya dengan wajah antusias. “Sekarang ketika hari kedua kami tepat setelah konser…”

*JaeJoong: Sangat antusias.. Banyak orang datang hari ini, Guru Bahasa Inggris sekolah menengahku datang juga…
ChangMing: Benarkah? Hyung pasti antusias…Jadi, apa yang diajarkannya?
JaeJoong: Bahasa Inggris…

Wajah Chang-min memerah malu sementara yang lain menertawakannya. “Tidak adil sekali, bagaimana kalau kuceritakan juga tentangmu…” protesnya. “Dengarkan. Waktu itu kami sukses live tour pertama dan memutuskan untuk makan BBQ…”

“Astaga, jangan mulai…” komentar Jae-joong disambut tawa yang lainnya. Tapi Chang-min tidak peduli dan tetap meneruskan.
*“JunSu: Hyung, mengapa kamu tidak suka lidah babi?
JaeJoong: Pikirkan ini, lidah itu berada dalam mulut babi, bagaimana kotornya!
JunSu: Lalu apa yang kamu suka untuk makan?
JaeJoong: (tersenyum) Telur…”

Semua yang berada di ruangan tertawa keras sekali. Jae-shi menghapus air mata dari pipinya dan tertawa. “Manis sekali…” komentar tidak terduga darinya membuatku mengernyitkan dahi.

“Mungkin Yoo-chun sebenarnya lebih manis daripada Jae-joong,” tiba-tiba Yun-ho ikut meledekku. “Aku ingat satu kejadian tentangnya…”

“Astaga, kenapa sekarang aku? Seingatku aku tidak meledek siapapun…”

“Kau menertawakan kami…” sahut Jae-joong tenang. Lainnya ikut mengangguk bersama mereka. Kulihat Jae-shi sudah menatap Yun-ho, tampak tertarik.

“Suatu kali di radio show…” Yun-ho menggerakkan tangannya dengan antusias. “MC bertanya pada kami semua….”

*MC: YooChun, Aku dengar kamu memiliki kebiasaan untuk meminta hadiah dari anggota lain, bisakah kamu menjelaskannya?
JunSu: Dia selalu seperti itu.. Dia selalu mengambil yang terbaik juga!
YooChun: Oh, ketika itu dekat ulang tahunku, Aku selalu meminta hadiah dari anggota lain, tapi aku tak melakukan lebih dari itu.
JaeJoong: Yeah, dia tak ingin hadiah lebih banyak lagi.
YooChun: Sebenarnya…Sebenarnya, Aku menginginkan sebuah hari kalian semua mau memberiku hadiah dengan sendirinya.
Semua orang pingsan.

Jae-shi mengulum senyum memandangku, membuatku tidak tahan untuk membalas senyumannya. “Karena sudah dihina, aku akan membalas…” tukasku sambil menarik nafas. “Ini masih di acara radio…”

*MC: Anggota TVXQ seperti sebuah keluarga, tapi bagaimana tentang saat-saat pertama kalian bertemu? Seperti apakah itu?
YunHo: Aku adalah ketuanya, karenanya, ketika kami semua berkumpul, Aku mengharuskan semua orang mengatakan “Milik kami” sebagai ganti dari “Milikku”.
MC: Benarkah? Itu pasti menyenangkan betul?
YooChun: (Tersenyum) Yeah.. Aku ingat saat JaeJoong Hyung menggunakan kamar mandi sangat lama, YunHo hyung lalu bertanya padanya: “Apa yang kamu lakukan di sana? Kamu sangat lama!” Lalu JaeJoong Hyung berkata: “Aku mencukur jenggot kita!”
MC: …

Bahkan Hyun-joong tidak dapat menahan diri untuk tertawa terbahak-bahak sementara Jae-joong masih memamerkan wajah percaya dirinya. “Wow, menggelikan sekali…” di sela-sela tawanya, ia memegangi perutnya dan meringis. “Cerita kalian membuat perutku sakit…”

Malam itu dihabiskan dengan tawa. Kami pulang ke apartemen dengan perasaan gembira. Jae-shi pulang bersama Lee-ah―kakaknya, dan Hyun-joong. Separuh penghuni mobil sudah terjantuk-kantuk dan bahkan Chang-min sudah menguap.

Yun-hoo memasang headset di telinganya, sementara Jun-su sudah tertidur pulas dekat jendela. Biasanya aku paling cepat tidur, tapi malam ini kebalikannya. “Kau tidak mengantuk?” tanya Jae-joong tiba-tiba.

“Lumayan, mungkin pulang nanti aku ingin langsung tidur…”

“Ehm… bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?” Aku hendak bertanya gadis yang mana, namun sorot matanya mengatakan kalau aku tahu siapa yang dimaksudnya. “Awalnya aku tidak begitu menyukainya. Kulihat dia terlalu bergantung padamu…”

“Jadi? Maksudmu sekarang perasaanmu sudah berubah?” tanyaku, berusaha untuk menyembunyikan rasa ingin tahu yang menututku, namun gagal.

“Begitulah,” Jae-joong hanya tersenyum misterius padaku. “Gadis itu lumayan menarik juga…” jawabnya sambil memejamkan mata dan memasang head-setnya. “Bangunkan aku kalau sudah sampai…”

Sial, sekarang tiba-tiba mataku tidak mengantuk lagi.

To be continued


Semua cerita percakapan DBSK (adegan2 lucu di atas) credit: MilkySu Indonesia






Tidak ada komentar: