Selasa, 08 Juli 2014

TRY MY LOVE 1

TRY MY LOVE 1

March 25, 2011 at 8:53pm
TRY MY LOVE
Chapter 1
Cast:
Author(Jesica) as Park Jae Shi
Dennies Oh as himself
Kim Ri Na as himself
Sheptie as LI Zhi


--Park Jae Shi, Seoul, Juni 2009—

Sejak kapan aku menyukainya? Sambil berpikir, perlahan kuhirup aroma coklat yang terasa kental dan menyenangkan. Kak Dennies masih berdiri di sudut dapur, menyendokkan cokelat dan sibuk menuang susu panas ke dalamnya.

“Hmm… baunya enak sekali…” komentarku sambil tersenyum.

“Memang enak,” sahutnya.

Sejak kapan? Kurasa sejak pertama kali melihatnya, aku sudah menyukainya. Kami sudah hidup bertetangga lebih dari sepuluh tahun, dan kurasa, tidak ada yang bisa mengalahkan rasa sukaku padanya.

“Nah, silahkan diminum tuan puteri…” ujarnya sambil menuangkan cokelat panas ke dalam cangkir kesayanganku. “Hati-hati, panas…” ia tersenyum—mengingatkanku akan kecerobohanku waktu kecil, meminumnya terburu-buru dan membakar lidahku—dan memasang ekspresinya yang sangat kusukai.

Setelah berulang kali meniupnya, kuhirup sedikit cairan cokelat itu, dan otomatis tersenyum. Ini rasa yang akan kuingat selalu. “Sangat-sangat-sangat enak!” pujiku sambil tersenyum dan mengangkat jempolku.

Kak Dennies tertawa dan mengambil tempat duduk di sebelahku. “Jadi, ehm… apa aku dapat nilai plus untuk sarapan pagi ini?” tanyanya dengan senyum menggoda. Ya Tuhan, dia tampan sekali.

“Ya, nilai sempurna!” seruku antusias, dan senyumku bertambah lebar melihat omelet yang disajikannya tampak begitu menggoda.

Kak Dennies selalu suka memasak. Baginya, memasak adalah bagian hidup. Sekalipun telah lulus kuliah arsitektur, ia merencanakan untuk mengambil kuliah jurusan kuliner. Aku seratus persen setuju, selama aku bisa mengambil bagian menjadi pencicip makanan dan terus… terus berada di sisinya.

“Jadi, Jae Shi… aku sudah memutuskan akan mengambil kuliah kuliner…”

“Aku tahu,” sahutku sambil mengunyah telur dan hamku. Yummy! “Dan terakhir kali, Kakak bilang akan meneruskan di Seoul kan?”

“Hm…” ia mengangkat bahu, membuatku merasa was-was sesaat. “Aku berubah pikiran… Aku rasa, tidak di Seoul…”

Sebagian rasa gembiraku meluap dan menghilang begitu saja. “Tidak di Seoul?” Tidak di sampingku lagi?

“Tidak,” ia menggeleng dan berkata dengan mantap, “Di Amerika… Prancis? Atau mungkin di China…”

Selera makanku menghilang seketika. “Di Negara sejauh itu?” tanyaku, kecewa.

“Ya, di sana. Aku rasa China. Ya, China. Itu yang terdekat… Aku ingat kau suka sekali masakan China. Dan ada universitas di sana yang menawarkan juga pertukaran pelajar ke Prancis. Aku rasa aku akan ke sana…” ia mengusap rambutku, dan memandangku, mencoba membujukku.

“Itu yang terdekat…” gumamku. Dari sudut mataku, bisa kulihat ia juga mengangguk. Tapi, walaupun dekat, itu juga sangat jauh. Jauh.

“Kau tidak apa-apa, kan?” ia memandang wajah muramku dan tampak cemas.

“Aku…”  Tentu saja aku harus mendukung mimpinya. Ambisinya. Cita-citanya. “Tidak mungkin aku tidak apa-apa…” keluhku. “Tapi, aku bisa apa? Kakak kan sudah memutuskan…” ujarku sambil mendesah sedih.

“Anak baik…” ia tersenyum dan mengusap kepalaku.

“Aku bukan anak kecil…” seruku sambil menampakkan wajah kesal. “Aku sudah dewasa! Sudah hampir lulus SMA!” seruku tidak mau kalah.

“Ya, ya, kau sudah dewasa… dan yang mendekatimu tidak sedikit kan?” ia mengedipkan sebelah matanya padaku, tidak menyadari hatiku sakit mendengarnya. Oh, kapan sih, dia akan menyadari perasaanku?

“Kakak… sendirian di sana… pasti kesepian deh…”

“Tidak juga…” ia tertawa kecil. “Kau tahu? Kim Ri Na akan ikut denganku. Ia ternyata juga mengambil jurusan kuliner…”

“Ri Na?” jantungku berdentum keras di tempatnya.

Ri Na, teman Kak Dennies. Ia cantik, dewasa, dan uuh… aku iri padanya. Ia tidak dianggap anak kecil oleh Kak Dennies. Setahuku gadis itu tidak bisa memasak. Dan ia juga pernah terang-terangan berkata padaku, sebaiknya aku jangan terus bermanja pada Kak Dennies karena hal itu sangat mengganggu.

Kemudian, Kak Dennies menegurnya dan berkata aku tidak mengganggunya. Malahan, menyenangkan punya adik yang manis. Uggh!! Adik yang manis?! Walaupun menyebalkan, hatiku menghangat mendengarkan pembelaannya untukku.

“Iya, kudengar orang tuanya memintanya untuk berlatih memasak. Dia kan sama sekali tidak bisa memasak. Sedangkan kau, Jae Shi… secara otodidak, kau bisa belajar sendiri. Kau lebih feminin darinya…” Kak Dennies tertawa di sela-sela kalimatnya.

“Tapi kau selalu mengatakan kalau dia cantik…”

“Namanya juga laki-laki…” ia tertawa dan menghabiskan isi di piringnya. “Nah, aku sudah. Ayo, habiskan makananmu…”

Dalam bisu, kuhabiskan isi makananku. Walaupun tidak cantik, walaupun tidak bisa berdandan… aku menyukaimu. Dan waktuku semakin habis. Tik tok tik tok… tidak bisakah selamanya kau di sampingku?


                                      ----

“Jaga dirimu baik-baik…” ujar Kak Dennies sambil mengelus kepalaku lembut. Desember tiba dengan cepat, dan itu artinya perpisahan. Ujian masuk universitas kulalui bagai mimpi. Kepalaku penuh dengan tusukan rasa sedih untuk perpisahan ini.

“Kakak juga hati-hati… dan, Kak Ri Na juga…” ujarku, berusaha tersenyum setulus mungkin dan menyingkirkan rasa iri di hatiku. Aah… aku ingin sekali bisa pergi bersamanya.

“Psst… hei, kemarilah sebentar, Jae Shi…”

Kak Dennies menarikku keluar dari rombongan. Sekilas bisa kulihat pandangan tidak senang di wajah Ri Na. Secercah rasa bahagia membuatku tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan senyuman kemenanganku.

“Ada apa, Kak?”

Kak Dennies bergerak-gerak gelisah sambil menatapku. “Kau tahu, ngg… aku ingin menanyakan satu hal. Apa kau bersedia menungguku?”

“Menunggu?” Apa ia akan pulang dalam waktu dekat? “Kenapa? Kakak tidak akan lama di sana?”

“Aku masih belum tahu. Karena itu, walaupun tidak pasti, maukah kau menungguku?”

Jantungku berdebar keras di tempatnya, karena tiba-tiba Kak Dennies menyentuh bahuku lembut. Ia melihat mataku membesar kaget dan tersenyum, lalu memindahkan tangannya ke dinding, mengurungku dengan lengannya.

“Karena aku menyukaimu, Jae Shi…” ujarnya. “Jadi, kau mau menungguku, bukan?” kalimat terakhir terdengar seperti permohonan.

Rasanya dadaku sesak karena bahagia. Sungguh? Ia menyukaiku? Kenapa baru sekarang ia mengatakannya? Ketika kami akan berpisah?

“Kenapa baru sekarang?” gumamku, dan seketika, wajahnya berubah keruh. Mendadak aku menyesal melontarkan kalimat itu.

“Aku baru menyadarinya…” jawabnya sambil menghela nafas berat. “Bukan, sebenarnya, sudah sejak lama. Hanya saja, kau sepertinya hanya menganggapku Kakak, tidak lebih. Dan aku… aku tidak cukup berani untuk menyatakannya…”

“Aku… akan menunggu, tentu saja…” jawabku, setengah berbisik dan menunduk—menyembunyikan air mataku.

“Janji?” ia mengulurkan jari kelingkingnya.

“Memangnya masih jaman…” ucapanku terhenti ketika ia menarikku untuk memelukku erat. Tubuhnya yang tinggi, membuatku setengah berjinjit untuk membalas pelukannya. Dan tatapan matanya begitu kuat, dalam, dan tegas.

“Dennies? Sudah waktunya kita berangkat…” Ri Na menghentakkan kakinya dengan gerakan tidak sabar di ujung lorong, membuat Kak Dennies menarik diri dari pelukannya.

“Aku pergi dulu…” ia tersenyum dan melambai kuat-kuat ke arahku.

Sambil berusaha menampilkan senyum terbaikku, kulambaikan tanganku perlahan. Hari ini akan menjadi akhir, sekaligus awal yang baru bagi hubungan kami. Kupikir, cinta jarak jauh hanya ada di film, novel, buku yang romantis. Namun, hari ini semuanya terjadi bagai mimpi di depanku.

Perasaanku sedikit tidak nyaman saat melihat Ri Na dengan akrabnya menyentuh bahu Kak Dennies dan mendorongnya ke ruang tunggu, meninggalkan rombongan yang mengantarnya. Namun, saat melihat senyum pria itu, hatiku melunak. Aku harus mempercayainya. Kalau tidak, hubungan ini tidak akan berhasil.





Entah kenapa, hari itu aku begitu percaya diri bisa menunggunya selama itu. Dan percaya bahwa ia tidak akan berpaling dariku. Sampai setengah tahun kemudian, hatiku nyaris hancur melihat sepucuk surat tiba dari China.

Pengirimnya Ri Na. Dan di surat itu, ia menyertakan foto dirinya bersama Kak Dennies, dnegan bangga mengatakan kalau mereka telah bertunangan dan meminta restu dariku.


Hari itu adalah hari di mana hatiku mati. Pria yang paling kupercaya menghianatiku. Kurasa, di dunia ini memang tidak ada yang namanya cinta!





--Li Zhi, Seoul, 2009--

“Hei, ayo, yang semangat dong… Natal kan hampir tiba…” kuguncang perlahan bahu sahabat pertamaku di kampus, Jae Shi. Ia masih tampak murung seperti biasanya.

“Aku sedang bersemangat, kok…” jawabnya sambil berusaha menggerakkan sudut bibir dan tersenyum. Senyum palsu seperti biasanya.

“Sampai kapan kau mau memikirkan pria itu? Kan masih ada banyak pria baik lain di dunia ini… Ayolah…” bujukku sambil mengguncangnya lagi.

“Cuma kau yang beruntung punya pacar sekeren Jiro…” keluhnya sambil menarik nafas panjang.

“Kau sangat menyukainya ya??”

“Dia… adalah teman, saudara, sekaligus idolaku selama sepuluh tahun terakhir. Kukira kami akan bertahan. Padahal, semua terasa baik-baik saja. Sampai, suatu hari ia berhenti mengirimkan email…”

Jae Shi kembali terdiam seperti biasanya. Matanya mulai berkaca-kaca, namun jelas belakangan ini ia lebih mampu mengontrol perasaannya. Minggu-minggu pertama, wajahnya tampak benar-benar muram seperti mau bunuh diri saja.

“Desember artinya libur. Dan kita bisa bersenang-senang…”

Ia tersenyum kasual, dan dengan tulus menggandeng tanganku. “Kau harus bahagia dengan Jiro. Melewatkan Natal dengan gembira…”

“Dan kau akan ikut denganku…” sebuah ide tiba-tiba terbersit di pikiranku.

“Ke mana?” tanyanya. “Setahuku, Jiro sekarang di China…”

“Benar, karena itu kita akan ke sana…”

“EHHH!?!?”

-to be continued-




Tidak ada komentar: