*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The bay bali & Get discovered!
Untukmu, Jingga
Jingga, sebuah nama yang indah,
Nama yang mengingatkanku akan senja yang keemasan,
Akan semburat cahaya di ufuk timur penanda datangnya
pagi
∞∞∞
Jingga menatap sebuah kartu undangan yang setengah terbuka di tangannya.
Mia, teman dekatnya saat SMA akan menikah. Tetapi, calon pengantin prianya
bukan dia, bukan Gilang.
Gilang bertetangga dengan Jingga sejak pertama kali mereka mengenal
kata. Tepatnya, semenjak mereka masih duduk di bangku taman kanak-kanak.
Berkejaran, berenang, dan bermain pasir di pantai Nusa Dua menjadi agenda
harian mereka.
Dua puluh tahun lalu, saat kelas satu SD, Gilang menjadi teman terdekat
untuk Jingga.
Delapan tahun sesudahnya, Jingga sadar bahwa ia menyukai Gilang. Gilang
adalah cinta pertama baginya.
Dua tahun berikutnya, Mia muncul. Seorang gadis dengan wajah ayu dan
kulit putih. Tidak butuh waktu lama bagi Mia untuk menjadi sahabat dekat
Jingga. Mereka cocok dalam banyak hal. Lalu tidak butuh waktu lama juga bagi
Gilang untuk jatuh cinta pada Mia.
Satu tahun sesudahnya, Gilang dan Mia resmi berpacaran. Jingga pun
menyingkir. Menjauh. Perlahan-lahan, ia mundur dari kehidupan Gilang. Membawa
pergi kisah cinta pertamanya yang tak tersampaikan.
Kemudian… undangan ini pun datang. Jingga membuka sampulnya sambil
mengingat-ingat. Sembilan tahun lamanya mereka tidak pernah bertemu. Terakhir
kali, ia ingat mengantarkan Gilang ke airport. Pria itu mantap untuk mencoba
mengadu nasib di Jakarta. Alasannya hanya satu, Mia. Mia lebih dulu pindah ke
Jakarta dan menjadi pramugari. Gilang tampaknya ingin berada di samping
kekasihnya.
Hadiah perpisahan mereka hanya selembar foto. Sebuah matahari terbenam
dengan indah di Pantai Nusa Dua. Di pasir pantai, seorang gadis duduk menghadap
mentari, membelakangi si pemotret. Rambutnya berkibaran indah ditiup angin.
Siluet yang tidak menampakkan wajah, hanya saja terasa begitu sendu. Begitu
kesepian, sekaligus begitu indah.
“Ini…” Jingga menatap foto di tangannya dengan dahi berkerut. “Ini tidak
mungkin aku, kan?”
“Ya, tentu saja ini kau. Cantik bukan?”
“Ya,” senyum Jingga. “Cantik… Kau memotretnya dengan indah…”
“Ini cocok untuk namamu. Sedari dulu, aku selalu merasa namamu begitu
indah. Jingga, sebuah nama yang indah. Nama yang mengingatkanku akan senja yang
keemasan, akan semburat cahaya di ufuk timur penanda datangnya pagi…”
“Terimakasih,” ujar Jingga sambil mendekap foto itu erat-erat.
“Kau juga harus mencari pria yang tepat untukmu…” gurau Gilang, tidak
menyadari mata wanita di depannya menatapnya nanar.
“Aku tahu…” Jingga tersenyum walaupun hatinya terasa seperti diperas. Kalau kukatakan pria itu adalah kau, apa
yang akan kau katakan padaku? Menyuruhku melupakanmu? Menjauh darimu?
“Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu…”
Jingga tersenyum. Setetes air mata jatuh di pipinya. “Seperti aku selalu
mendoakan kebahagiaanmu…”
Jingga menghela nafas dalam. Matanya kembali menatap sebuah foto
berbingkai kayu di atas meja kamarnya. Hadiah perpisahan dari Gilang. Lucu
sekali bagaimana pria yang selalu meledek namanya seperti anggota pensil warna
ternyata bisa mengatakan hal semanis itu.
Sekarang usia Jingga sudah dua puluh enam tahun. Seharusnya, ia sudah
cukup dewasa untuk bisa melupakan Gilang. Tetapi, ternyata Mia akan menikah.
Bukan dengan Gilang. Semudah itukah melupakan cinta? Semudah itukah berpaling
hati?
Jingga tidak mengerti, karena sampai kinipun ia masih merasakan perasaan
yang sama untuk Gilang. Nyeri. Nyeri yang sama kembali lagi setiap mengingat
nama Gilang.
Ia mengangkat pena, menuliskan satu kalimat tanya di buku hariannya. Apakah Gilang akan datang ke pernikahan Mia?
∞∞∞
“Jingga!” Mia berlari dan memeluk Jingga seerat mungkin. “Aku rindu
sekali padamu. Ya ampun, kau jadi cantik sekali…” senyumnya.
“Kau juga jadi cantik, Mia…” sahut Jingga sambil menggenggam tangan Mia
erat. “Apakah kau akan menginap di sini?”
“Benar! Tidak disangka kau bekerja sebagai resepsionis di sini! Tolong
rekomendasikan tempat makan malam yang enak ya!” Mia mengerling manja dan
tertawa cerah. Jingga menyambut tawanya. “Oh, kenalkan ini calon suamiku,
Setyo…”
Jingga tersenyum kepada pria tegap yang berdiri di samping Mia. Mereka
terlihat begitu bahagia. Jingga tak urung memikirkan Gilang. Apakah… Mia sama
sekali tidak menyesal sudah meninggalkan Gilang dan memilih pria lain?
Jingga masih memikirkan tentang masa lalu ketika sebuah suara bertanya
padanya. “Maaf, apakah saya bisa… eh… Jingga?” Pertanyaan itu beralih menjadi
keterkejutan. Jingga mengangkat wajahnya dari meja dan tersentak.
Seorang pria berdiri di depannya. Bahu tegap yang sama, rahang yang
tegas, dan tatapan mata yang tidak akan pernah Jingga lupakan. Gilang berdiri
di depannya. Gilang sahabatnya. Gilang, cinta pertamanya dan bahkan… sampai
sekarang pun, masih Gilang yang berada di hatinya.
Jingga tersenyum. Senyuman sendu yang sejenak membuat Gilang merasakan
perasaan aneh di dadanya. “Apa kabar?” sapa Jingga. “Kau jadi semakin dewasa
Gil…”
“Semakin tampan, kan?” tanya Gilang, masih dengan suara rendahnya yang
menyenangkan.
“Ya,” jawab Jingga jujur. “Sebelumnya, apa yang ingin kau tanyakan,
Gil?”
“Ah, ya… tentang Pirates Bay.
Tadinya aku berniat pergi ke sana sendiri.” Gilang mengamati Jingga sejenak.
“Kalau shift-mu sudah selesai,
bagaimana kalau menemaniku?”
Jingga tertawa, ditemani sebuah lesung pipi yang menawan. “Baiklah!
Jemput aku satu setengah jam lagi, ya!”
Jadi… Gilang sudah tidak pernah lagi berenang. Gilang hanya sedikit
bercerita bahwa ia trauma berenang karena Mia hampir tenggelam ketika berenang
bersamanya. Untung ada life guard yang
menolong mereka saat itu.
Jingga mengamati Gilang yang menepuk-nepukkan pasir dari celananya. Sejauh
ini Jingga sudah puas tertawa melihat Gilang yang kembali menjadi anak kecil,
keasikan dengan permainan treasure hunt dan
pembuatan layangan.
Semilir angin memainkan rambut Jingga. Gilang mengulurkan tangan,
menyapukan rambut yang menutupi wajah Jingga ke telinganya. Sejenak mereka
bertatapan. Gilang kemudian berdehem, beberapa kali. “Ah, aku haus…” Ia bangkit
berdiri sambil menarik Jingga bersamanya.
“Ayo, kita pesan makanan. Aku sudah dari tadi tergoda dengan Chicken sandwich mayo…”
Gilang duduk selonjor di salah satu tenda terbuka. Anak-anak kecil
berlarian gembira. Ada yang bermain pasir, ada yang menerbangkan layangan, ada
pula yang asyik berpose dalam kostum bajak lautnya. Kapal-kapalan kayu dipenuhi
dengan banyaknya turis yang berfoto bahagia dengan keluarganya.
Langit begitu biru, awan begitu putih, pasir hangat, dan matahari terasa
menyenangkan. Jingga memiringkan kepalanya, merasakan hangatnya matahari menyinari
wajahnya. Samar-samar terasa semilir angin memainkan rambutnya. Di kejauhan,
lautan terlihat berkilauan bagai berlian tertimpa cahaya mentari.
“Seperti di surga…” ujar mereka berbarengan. Gilang dan Jingga
bertatapan dan tersenyum.
“Perasaan nyaman yang membuatmu seolah melupakan semua masalah. Lalu
rasa bersalah yang muncul karena seolah kita membuang-buang waktu dengan
menikmati segalanya di sini…” ujar Jingga sambil memainkan pasir dengan
jemarinya.
“Perasaan nyaman itu muncul karena kau yang berada di sampingku…” ucap
Gilang.
Jingga merasa telinganya salah mendengar, menatap Gilang dengan tatapan
bingung. “Seandainya yang kusukai dulu bukan Mia, tetapi kau, mungkin sekarang
kita sudah menikah…” candanya. Tetapi, di telinga Jingga, semua itu terlalu menyedihkan.
“Kenapa kau menyerah?”
Gilang bangkit dari duduknya. Ia meminum watermelon jusnya dengan cepat dan meletakkannya. “Ayo, sudah
saatnya kita melihat bagaimana cara anak-anak itu bermain treasure hunt.”
Jingga mengelak dari uluran tangan Gilang. “Kau masih mencintai Mia,
bukan? Kenapa kau menyerah?” Jingga mulai menghitung mundur dalam hatinya.
Hitungan mundur menuju air matanya. Tangisan. Sebisa mungkin ia tidak ingin
menangis dan mendramatisir suasana.
“Sudahlah…” Ekspresi Gilang tampak keras. “Jangan topik yang ini…”
Jingga menatap Gilang. Hatinya
terluka melihat wajah pria itu keruh dan putus asa. Jadi, Gilang masih mencintai Mia. Gilang trauma berenang karena
Mia. Gilang datang untuk membuktikan pada Mia kalau ia bahagia tanpa Mia. Ia masih
mengutamakan kebahagiaan Mia di atas segalanya.
“Kalau masih mencintainya, jangan pernah menyerah!” sambil berteriak,
Jingga berlari ke laut dan menceburkan diri. Kemudian sosoknya menghilang.
Gilang langsung merasakan panik memenuhi dadanya. Jingga adalah perenang
terbaik dari antara mereka berdua. Jingga adalah atlet renang yang baik. Tetapi
itu dulu, sebelum Jingga kecelakaan dan bahunya retak, mengakibatkan dirinya
tidak pernah lagi berenang.
Gilang terjun ke air tepat ketika seorang kru lifeguard juga terjun ke air.
Jingga! Jingga! Hanya Jingga yang ada di otaknya. Ketika akhirnya bisa melihat
sosok Jingga dalam air, seluruh adrenalin memacu Gilang untuk bergerak lebih
cepat, menyelamatkan Jingga.
“Dasar bodoh!” Gilang beberapa kali memberikan CPR. Jingga terbatuk saat
air keluar dari mulutnya. “Dasar bodoh! Apa kau ingin mati?!”
Untuk beberapa saat lamanya dunia seolah bergerak lambat. Gilang
membiarkan Jingga bersender di dadanya, berada dalam pelukannya. Sensasi yang
entah mengapa terasa begitu tepat. Seolah gadis itu memang seharusnya berada di
sana, dalam pelukannya.
Gilang menatap Jingga dari puncak kepalanya. Saat bulu matanya yang
tebal dan basah beberapa kali mengerjap. Gadis itu diam, mengamati
kerlap-kerlip cahaya matahari yang terpantul dari riak-riak ombak. Keindahan
surga Nusa Dua yang mereka nikmati nyaris setiap harinya. Masa lalu yang terasa
begitu jauh sekaligus begitu dekat.
“Kau suka berenang kan?” ujar Jingga saat air menetes dari rambut
Gilang, mengenai pipinya. Ia tersenyum. Gilang merasakan matanya memanas.
“Ya…” bisik Gilang. Kerongkongannya perih saat suaranya sendiri bahkan
terasa asing.
Jingga mendorongnya ke batasan rasa takutnya. Membantunya menghilangkan
ketakutannya. Gilang masih bisa merasakan betapa intensnya perasaan
menyenangkan ketika air melingkupi dirinya. Betapa biru dan penuh warna
menakjubkan kehidupan di bawah laut itu. Keheningan dan kehampaan seolah
kehidupan luar sesaat tidak lagi berarti. Berkas cahaya yang menyihir mata
seakan anugerah dari surga turun berupa berkat kehidupan di dalam laut, juga gelombang
cahaya dari permukaan laut seolah permukaan dunia adalah akuarium besar dengan
kaca biru bening yang berkilauan.
Masing-masing terdiam dalam pikirannya masing-masing, sampai suara
lembut Jingga memecah keheningan di antara mereka. “Aku suka melihatmu
berenang. Aku mencintaimu, Gilang…”
“Apa…”
“Aku mencintaimu, jauh sebelum kau memilih Mia. Tetapi, kau
mencintainya, jadi aku melepaskanmu. Seharusnya tidak begitu. Kalau kau suka
berenang, kau tidak boleh membuangnya. Hal-hal yang memberikanmu kebahagiaan,
kau tidak boleh membuangnya…”
Setetes air mata mengalir dari pipi Gilang. Jingga menghapusnya lembut
dan bersender di dada Gilang yang bidang. “Aku sudah pernah kehilangan
kebahagiaanku. Aku tidak mau kau mengalami hal yang sama denganku. Kalau kau
masih mencintai Mia, kau harus mengakuinya.”
“Ya…” angguk Gilang, menyusupkan bibirnya di puncak kepala Jingga yang
basah dan beraroma laut. “Ya…” ulangnya.
Angin masih berhembus lembut di sekeliling mereka. Langit masih tetap sama
birunya dengan tadi. Hanya saja, kehangatan Jingga selaras dengan matahari.
Menembus hingga ke dalam hatinya, membuat sesaat dunianya pudar dalam cahaya.
Gilang tahu, lautan yang berkilauan tidak akan sama lagi dalam ingatannya.
“Selamat atas pernikahanmu, Mia!” Jingga menyalami Mia dan kemudian
memberikan kecupan di pipi sahabatnya. Setyo berdiri dengan dada membusung
bangga di samping pengantin cantiknya. Mereka berdua terlihat serasi dan
bahagia.
Pernikahan Mia dilaksanakan di De
Opera Beach Club ala garden party. Penerangan temaram berasal dari
lilin-lilin cantik yang menghiasi setiap meja, dipermanis oleh bunga-bunga lili
putih kesukaan Mia. Sepanjang jembatan dipasang lampion-lampion kecil yang
membuat suasana pernikahan terasa agung, nyaris magis.
Jingga melangkah menghampiri Gilang yang sedang duduk sendirian,
menyesap red wine miliknya. Pria itu masih mengguncang pelan gelas winenya, memandang Mia dengan tatapan
kesepian yang sama.
“Kau sudah mengatakannya?” tebak Jingga.
“Sudah,” jawab Gilang. “Mia hanya tersenyum. Khas Mia seperti biasanya.”
Jingga tersenyum lagi. Sosok Gilang malam ini terlihat tampan dan
dewasa. Ada kesan maskulin melihat Gilang dalam balutan jas ketimbang memakai
kostum bajak lautnya tadi siang. “Aku akan… menyusulmu ke Jakarta.”
Sejenak mata Gilang dipenuhi kilatan jenaka. “Kau tidak akan menyerah
padaku?”
“Apa kau menolakku?” Melihat Gilang hanya diam, Jingga tersenyum.
“Selama kau belum menolakku, aku tidak akan menyerah. Aku tidak boleh
menyerah,” koreksinya.
“Kau tidak perlu menyerah, Jiji…”
Lagi-lagi Gilang memanggilnya dengan nama yang disukainya semenjak
kecil. Jingga menahan nafas ketika pria itu menariknya mendekat untuk
memeluknya. “Aku selalu menyesalinya, sumpahku yang bodoh itu. Kenapa aku
bersumpah untuk menjadi sahabatmu selamanya saat aku begitu menyukaimu?
Terimalah hatiku, Jingga…”
Jingga mengeluarkan isakan kecil ketika menyurukkan kepalanya di dada
Gilang. Gilang mengecup dahinya, lalu menepuk punggungnya lembut untuk
menenangkannya. “Aku selalu milikmu, Gilang…. Selalu…”
∞∞∞
Mia sedang memperbaiki riasannya ketika mendengarkan suara ketukan di
pintu ruang riasnya. “Silahkan masuk,” ucapnya. Ia terkejut ketika Gilang
melangkah masuk dengan mantap dan menghampirinya.
“Aku ke sini untuk membuat pengakuan.” Gilang tersenyum ragu-ragu dan
menggenggam tangan Mia. “Aku pernah memanfaatkan perasaanmu, aku minta maaf….
Seharusnya aku dulu tidak pernah menerima perasaanmu hanya karena ingin membuat
Jingga cemburu.”
“Kau menyalahkan dirimu karena aku hampir mati tenggelam. Kita impas?”
Mia tertawa sambil menggenggam tangan Gilang. “Apa kau sudah memutuskan untuk
menceritakan semuanya kepada Jingga?”
“Ya,” angguk Gilang. ”Karena itu, sebelum bicara padanya, aku ingin
meminta maaf dan berterimakasih padamu. Aku juga selalu menyayangimu, Mia. Aku
akan selalu mendoakan kebahagiaanmu.”
“Seperti aku mendoakan kebahagiaanmu…” ujar Mia dengan mata
berkaca-kaca. “dengan Jingga.” Mia tersenyum dan memeluk Gilang. Gilang, cinta
pertamanya. Pria yang meminta bantuannya untuk menjadi kekasihnya demi
mengetahui perasaan gadis yang disukainya, Jingga.
Mia memandang punggung Gilang yang membelakanginya. Ia menutup bibirnya
yang bergetar dengan tangan, menyembunyikan isakan tangisnya. Selamat tinggal
Gilang, semoga bahagia.
Ketukan lagi. Mia segera menghapus airmatanya dan tersenyum melihat pria
yang masuk membawakan sebuah buket bunga lili. Senyum di matanya penuh cinta
dan kebahagiaan. “Setyo,” ucap Mia sambil menahan nafas kagum. “Bunganya indah
sekali.”
Mia menatap mata Setyo dan mendekap bunga lili kesukaannya dengan
bahagia. Aku pun akan menempuh
kebahagiaanku dengan Setyo. Jadi, Jingga dan Gilang… semoga kalian pun bahagia.
TAMAT