Minggu, 31 Maret 2013

SING OUT LOUD, LOVE 5

SING OUT LOUD, LOVE 5

by Patricia Jesica (Notes) on Thursday, September 22, 2011 at 7:31am

CHAPTER5
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Park Dae-jia (Admin Park)
Park Yoo-chun
Kim Jae-joong

―Lee Ah, Januari, 2011, Studio Foto Pak Kim―
“Baiklah, jadi kau sama sekali tidak ada pengalaman menjadi penyanyi sebelumnya?” pria itu melihatku mengangguk lalu kembali mencoret kertas di depannya.

“Apakah karena aku tidak ada pengalaman… penilaianku jadi rendah?” tanyaku, diam-diam merasa cemas. Aku tidak ingin ditolak hanya karena kurang pengalaman.

“Tidak, bukan begitu. Kau masih akan dites menyanyi jadi hasilnya belum pasti…” senyum pria itu. “Lagipula Mamamu dulu penyanyi terkenal yang kukagumi, kurasa kau akan mewarisi sebagian bakatnya…”

Sebagian bakat Ibuku… Aku tidak yakin hal itu bisa membuatku menang. Untuk menang, aku harus bisa lebih baik dari itu, bukan?

“Baiklah, data-datamu cukup sekian. Jadi, kau jangan lupa datang ya ke gedung ini nanti…” Pria itu memberikan sebuah kartu peserta bertuliskan nomor 165 ke tanganku. “Studio 2… Nanti kau akan diaudisi di sana…”

“Ya, terima kasih, Pak…” senyumku sambil memberikan salam

“Sudah dicatat kan, tanggalnya? Ingat. Sabtu nanti jam sepuluh pagi sampai selesai. Karena nomor urutmu ratusan, mungkin kau akan diuji sekitar tengah hari…”

“Baik! Terima kasih, Pak…” senyumku.

“Semoga beruntung,” ujar pria itu sebelum berlalu pergi.

―Lee Ah, Januari, 2011, Apartment―

“Wow, aku tidak percaya ini!” seru Jae-shi dengan eskpresi campur aduk. “Aku ikut senang walaupun sebenarnya aku kaget sekali!” serunya lagi.

“Doakan saja aku…” bisikku sambil menyembunyikan senyumku.

“Percaya diri saja, Kak…” Jae-shi menepuk tanganku pelan. “Kita berdua dulu pernah belajar musik sedikit dari Mama. Sampai sekarang juga kita masih sering main gitar dan piano. Suaramu bagus, aku yakin kau bisa!”

“Ahh… sekarang kau malah membuatku grogi…” tukasku. “Suaramu juga bagus. Kau kan yang sering menemaniku menyanyi dan karaoke.,..”

“Ah, tidak juga,” elak Jae-shi. Dari caranya bicara, aku tahu ini ada hubungannya dengan kisah yang belum diceritakannya padaku di pesta hari itu. Tentang rekrutmen penyanyi itu…

“Tidak ada yang mau kau ceritakan padaku?” tanyaku, memandangnya dengan mata dipicingkan.

Jae-shi bergerak mundur sedikit. “Kak, jangan memaksaku… aku kan sulit menolak…” Ia menghela nafas. “Dae-jia juga memaksaku tadi… Rasanya capek sekali…”

“Oh?” Kunaikkan alisku sedikit. “Jadi pada Dae-jia kau menceritakannya dan padaku tidak? Kau merahasiakannya dariku?”

“Aahhh…” Jae-shi mengerang putus asa. “Baiklah. Baiklah, aku kalah. Aku cerita! Biar kuceritakan padamu juga!!” serunya.

“Jangan-jangan nantinya semua orang mau dengar ceritaku…” gumamnya kesal. Aku hanya bisa menahan senyum mendengarnya.

―Jae Shi, Januari 2011, Apartment―
Kakakku menatapku dengan pandangan mata tidak percaya selama beberapa menit. “Wow,” akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Kan?” Kutundukkan kepalaku malu. “Sudah kubilang ini sangat memalukan…”

“Tidak, tidak…” Kak Lee-ah menggelengkan kepala tidak setuju.”Menurutku keren…”

“Tidak, tidak. Menurutku itu memalukan. Aku tahu kau dan Dae-jia bermaksud menghiburku supaya aku tidak malu, tapi… ini memalukan!!”

“Jae-shi?”

“Tidak, kak. Tetap saja ini memalukan. Terserah kau mau bilang apa…”

“Jae-shi?”

“Kak!”

“Ponselmu!” Kak Lee-ah menunjuk ke arah kamarku. “Kudengar ponselmu bunyi!” ulangnya.

“Ah, astaga, maaf, kukira masih masalah yang tadi?” Duh, kenapa akhir-akhir ini aku sangat memalukan??

Tentu saja Kak Lee-ah sangat sensitif dengan lagu itu. Kami sepakat memasang lagu Snow Prince sebagai ringtone. Buru-buru aku bangkit untuk mengambil ponselku. Astaga, karena terlalu sibuk dengan pemikiranku sendiri, aku sampai tidak mendengar dua miss-call yang pertama. Tapi… aku tidak mengenal nomor ini. Siapa yang meneleponku ini?

“Ya? Halo?” Kuputuskan untuk meminta maaf terlebih dulu. “Maaf, aku tidak mendengarnya barusan. Maaf, Anda ini siapa?”

“Hai, ini aku!” sapa suara di seberang. “Kurasa kau belum melupakanku, bukan?”

“Hah?” Rasanya memang pernah dengar, sih… “Maaf, sekarang aku sedang tidak terpikir siapa ini…”

“Ini aku!” ulang pria itu bersemangat. “Micky Yoo-chun…”

Ponselku hampir terlepas saking kagetnya. “Ti-tidak mungkin…” Tiap kali mendengar nama pria itu, yang terbayang cuma kejadian memalukan malam itu. “Bagaimana kau bisa mendapat nomorku? Jangan bohong, ya!”

“Astaga,” suara tawa pria itu terdengar. “Aku tidak bohong. Aku dapat nomormu dari Nona Dae-jia. Tidak sulit menghubungi keluarganya melalui manajer kami, karena malam itu kan kami dipekerjakan olehnya…”

“Astaga….” Dae-jia! Pintar sekali kau! “Baiklah, apa yang bisa kubantu?”

“Berikan aku alamat rumahmu!”

“Maaf, Untuk apa ya?”

“Besok aku akan menjemputmu! Sudah, percaya saja padaku, berikan alamatmu!”

“Maaf, tapi…” Tidak, tidak, lebih baik kuberikan. Dia bisa memperolehnya dari Dae-jia juga! Dan hal itu akan semakin parah. Bisa saja informasi yang Dae-jia berikan lebih dari yang dia minta. Kalau begitu habislah aku… “Baiklah, kuberikan!”

“Eh? Senang sekali kau bisa berubah pikiran secepat itu…” tukasnya senang. “Baiklah, aku sudah siap mencatatnya…”

Dengan kesal kuhela nafas panjang. Kalau kuberikan alamatku, aku adalah si bodoh. Tapi, bisa apa si bodoh itu dalam situasi terdesak begini? “Alamatku adalah….”


―Lee Ah, Januari, 2011, Apartemen―
“Kenapa wajahmu sekusut itu?” tanyaku begitu melihat Jae-shi keluar kamar dengan wajah tertekuk. “Siapa yang meneleponmu…”

“Yoo-chun…”

“Hah?! Jangan bilang yang meneleponmu Yoo-chun yang itu!” seruku sambil setengah memekik kaget.

“Memang Yoo-chun yang itu!” balasnya kesal. “Dae-jia seenaknya memberikan nomorku padanya. Aku bisa apa! Bisa gila!” Jae-shi menggaruk kepalanya kesal.

“Tadi kau sudah memberikan semangat padaku,” ujarku sambil tersenyum. “Nah, sekarang semuanya kukembalikan padamu… Kau juga pandai menyanyi, ingat itu…”

“Kakak…” Jae-shi memasang wajah memelas dan mulai berusaha membujukku. “Aku mohon sembunyikan aku besok… dan besoknya, dan besoknya lagi!”

“Tidak mungkin, besok dan besoknya kan aku kerja ke studio Pak Kim… Lalu besoknya lagi aku ikut audisi…”

“Habislah aku…” Jae-shi menggerutu sambil berjalan masuk ke kamarnya.


―Jae Shi, Januari 2011, Apartment―
“Apa sekarang kau ada di rumah?” Yoo-chun meneleponku pada pukul sebelas siang hari Sabtu.

“Ya, aku sedang menjaga rumah sekarang. Kakakku pergi…” jawabku seadanya.

“Kalau begitu bagus sekali. Aku sudah ada di depan apartemenmu… ayo turun!”

“Aku tidak mau!” Enak saja memerintahku sembarangan! “Aku mau tunggu kakakku pulang!” seruku. Aku harus jadi orang pertama yang tahu apakah kakakku diterima audisi itu atau tidak!

“Tidak akan lama, tenang saja. Atau kau mau aku yang naik dan membawamu pergi?”

“Apa?”

“Aku sedang naik lift sekarang…” pria itu menjelaskan sambil bersenandung kecil. “Kau tunggu saja yang tenang di kamarmu…”

Ini namanya pemaksaan! “Co-coba saja kalau berani!” tantangku. Tiba-tiba kenop pintuku berputar dan terbuka. Astaga! Aku lupa menguncinya!  Segera saja kurapatkan tubuhku ke pintu untuk mencegahnya terbuka.

“Aha, jangan takut begitu…” pria itu membuka pintu dengan mudahnya, walaupun aku ada di belakang pintu dan berusaha mendorongnya sampai tertutup. “Bahaya sekali, kau tidak mengunci pintu padahal sendirian di rumah…” komentarnya sambil geleng-geleng kepala.

“Apa? Tadinya tidak bahaya sampai kau tiba-tiba data….” Belum selesai aku bicara, cowok itu sudah menangkap pinggangku dan membuat posisiku tergantung di pundaknya. Dia membawaku seperti memanggul karung beras.

“Hentikan! Kau gila ya! Kau pikir aku barang dagangan? Seenaknya membawaku seperti ini! Turunkan!” pintaku sambil memukul-mukul punggungnya yang kini berada tepat di depan mataku.

“Wow, kenapa ringan sekali? Hm? Rasanya seperti ada yang memukul…” Ia membalik badan dan mencabut kunci yang tergantung di lubang pintu. Kemudian, setelah berjalan keluar, ia mengunci apartemen kami. “Kukembalikan, ini kuncimu!”

“Menyebalkan!” seruku. “Tunggu! Tunggu! Jangan begini! Aku bahkan tidak pakai sepatu!” protesku.

Yoo-chun berhenti sebentar untuk melihat kakiku. “Oh, ya, kau benar. Tapi, aku tidak mau ambil risiko dengan membiarkanmu lari lagi dan mengunci pintumu. Jadi, mendingan kau diam saja dan ikut aku…”

“Tidak…” Ini belum berakhir. “Aku tidak mau pergi denganmu…”

Cowok itu menggotongku masuk ke lift dan memerintahkan seseorang membuka pintu mobil. “Buka pintunya, aku sudah mendapatkannya…” Yoo-chun memaksaku duduk di kursi belakang dengan seorang pria.

“Astaga, ternyata kau memang memaksanya…” komentar pria itu tajam. Pria itu ternyata Jae-joong. Aku diapit di tengah-tengah di antara Jae-joong dan Yoo-chun. Di kursi depan, duduk Jun-su, anggota lain dari TVXQ.

“Chang-min dan Yun-ho sudah menunggu di studio. Kita tidak boleh terlambat…” Yoo-chun tersenyum penuh arti sambil mengedipkan mata padaku. “Tapi sebelumnya aku harus mengatur penampilanmu…”

Kusilangkan tanganku menutupi tubuh. “Kau mau apa! Aku bisa teriak panggil polisi!” ancamku.

Ketiga anggota TVXQ yang berada di dalam mobil tertawa terbahak-bahak melihatku. “Bawa dia ke salon langganan kita!” seru Yoo-chun pada manajernya. “Tuan Kim, presiden direktur SM Entertainment akan senang dengan gadis ini…”

“Kenapa kau yakin sekali…” senyum Jae-joong di sebelahku. Entah mengapa kurasa senyumnya terasa menusuk dan sinis.

“Kalau Yoo-chun seyakin itu, mungkin saja benar. Kita bisa lihat sendiri nanti…” sahut Jun-su dari kursi depan.

Kutundukkan kepalaku semakin dalam. Ini gawat! Ini kacau! Aku sudah terjebak! Bisa apa aku sekarang? Aargh…


-to be continued-








1 komentar:

Liana 許仙莲 mengatakan...

Jess, FFku di post ya ?? Gomawo saeng ^^ Jadi terharu hehe ^^ Always wait for your next FF..