Selasa, 19 Maret 2013

cerpen: Gara-gara uang



Wah.. malunya.. ini cerpen pertama yang jaduler abis.. dan sempet kukirimkan ke majalah kawanku tapi ditolak. Akhirnya, daripada mubazir, kuputuskan untuk dipos di sini. Berapa ya usiaku waktu bikin novel ini? Kelas satu SMP. Harap dimaklumi dengan tata bahasanya yang lugu dan aneh. hehe

Gara-gara Uang!
“Uang?! Nggak ada uang di rumah ini!”
Aku menghela nafas dan menutup majalah KaWanku yang sedang kubaca. Suara Ayahku memang keras, dan tambah keras lagi kalau dia sedang membentak-bentak seperti itu.
Sasaran bentakannya? Lebih baik jangan tanya. Jawabannya sudah jelas. Pasti Ayah Ibuku sedang bertengkar. Dan lagi-lagi karena satu hal, uang. Hal semacam ini sudah menjadi santapan mingguan di keluargaku, jadi rasanya hampir semuanya termasuk Ibuku sudah memaklumi kebiasaan Ayahku yang selalu marah-marah saat keluarga kami kesulitan keuangan.
Aku tidak bisa menyalahkan Ibuku. Ia sudah berusaha sekeras mungkin menghemat pengeluaran kami, dan kami selalu berusaha menghemat setiap sen pengeluaran kami.
Tangan Ibuku yang seharusnya masih halus bahkan sudah mulai berkeriput. Karena itulah, aku dan adik perempuanku selalu berusaha membantu Ibu mencuci dan mengepel untuk membantu meringankan bebannya.
Sekalipun Ayahku seringkali marah-marah, Beliau juga tidak bisa disalahkan. Semenjak terkena dampak krisis ekonomi beberapa waktu lalu, Beliau di-PHK. Sejak saat itulah kami mulai pontang-panting mencari dana untuk melanjutkan hidup. Semua perhiasan dan emas yang pernah kami miliki terpaksa untuk biaya hidup setelah Ayah di-PHK. Benar-benar ironis.
Dan siapa yang mau disalahkan? Harga-harga barang memang semakin meningkat seiring pertambahan tahun.
Ayahku kemudian bekerja sebagai pegawai pabrik dan mendapat penghasilan lumayan setiap bulannya. Kami pun bersyukur karena bisa tetap hidup normal sekalipun dengan penghasilan mepet dan cenderung kekurangan setiap bulannya.
Kutatap PR yang sudah kuselesaikan barusan. Di atasnya terdapat selembar surat pengumuman dari sekolah. Mengenai rencana camping tiga hari dua malam di sekolah yang akan diadakan dua bulan lagi. Sejak awal aku sudah tahu kalau aku tidak akan bisa ikut, terutama karena biayanya cukup berat untuk ditanggung keluargaku, yaitu ratusan ribu rupiah.
Tepat saat aku sedang meremas kertas itu, sebuah ketukan di pintu mengejutkanku.
“Nina?” tanya Ibuku. “Makan malam, Nak…”
“Oke, Bu…” ujarku sambil buru-buru melempar kertas lecek itu ke keranjang sampah.
&&&
Keesokan harinya, semuanya tidak lebih baik dari kemarin. Ketika pulang sekolah, perang yang baru sudah dimulai.
“Daripada beli sepatu baru, mendingan untuk makan!”
“Tapi sepatuku yang ini sudah jebol, Yah…”
“Minta Ibumu jahitkan!”
Ninik adikku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Untung sore harinya tukang sol sepatu lewat. Dengan merogoh kocek yang tidak terlalu mahal, Ninik bisa memperbaiki sepatunya. Besok teman-temannya tidak akan meledeknya lagi karena jempolnya yang nongol di sela-sela sepatunya yang jebol.
Fine, pikirku. Aku bersyukur pada Tuhan karena masalah adikku bisa teratasi. Dengan perasaan sedikit kecewa karena tidak bisa mengikuti acara sekolah, aku membuka majalah kesayanganku.
Untung dengan kisaran harga sekarang, aku masih mampu menyisihkan uang sakuku yang minim untuk bisa mendapat majalah KaWanku. Entah bagaimana kalau harganya meningkat. Aku tidak akan membayangkannya. Pasti hidupku akan jadi super boring.
Mataku tertumbuk pada halaman kontes cerpen. Perasaanku berdebar-debar saat membaca persyaratan pengirimannya satu demi satu. Dulu aku memang suka menulis cerita, tapi sudah lama hobi itu kutinggalkan. Apakah sekarang aku masih mampu?
Tidak ada yang tahu kalau belum mencoba. Kuraih pensil dan kertas kosong yang ada di tumpukan bukuku. Tidak ada salahnya mencoba, pikirku lagi.
Kutatap langit dan sambil mendekap majalah KaWanku di dadaku, aku berkata dalam hati kepada-Nya.
Tuhanku, kalau memang ini petunjuk-Mu, aku mohon bantu aku, Tuhan… tolong tunjukkan jalan-Mu padaku…
Aku mulai berkonsentrasi dan mencari-cari tema yang tepat di otakku. Sebaiknya tentang apa ya? Cinta? Persahabatan? Sesuatu yang horor… atau mungkin komedi?
Berbagai macam pikiran berkecamuk di otakku. Mungkin sebaiknya aku mencari ide yang simpel, seperti misalnya tentang cowok yang kutaksir saat ini. Memikirkannya membuatku merasa malu. Bagaimana kalau cowok itu ternyata juga membaca KaWanku? Bisa tamat riwayatku!
Mungkin sebaiknya ide yang lebih segar. Aku membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi seandainya aku mengikuti acara camping itu. Sepertinya cukup menarik. Namun karena belum pernah mengalaminya, aku tidak pandai untuk mereka-rekanya.
Bagaimana dengan persahabatan? Pertengkaran antar geng sekolah atau perebutan satu pria di antara dua sahabat kelihatannya sudah menjadi tema yang sangat umum. Mustahil cerpenku bisa menang hanya dengan tema sehambar itu.
Mungkin sebaiknya aku membuat ide yang lebih unik, atau malah kocak! Aku mencoba membuat kata-kata yang terdengar konyol, tapi entah kenapa saat kubaca ulang malah terkesan garing! Ah, dasar nggak punya bakat!
Bagaimana dengan horor? Sepertinya jaman sekarang orang-orang cukup tertantang dengan tema semacam itu. Oh! Tentang seorang anak perempuan yang merasa ada hantu di rumahnya. Suasananya harus dibuat menegangkan! Tapi… bagaimana cara menggambarkan suasana tegang itu?
Kuhempaskan pensilku. Saat ini kertas yang tadinya putih itu sudah dipenuhi bermacam-macam coretan mengenai ide cerita yang ingin kupakai. Tapi satu pun tidak ada yang kukuasai.
Menyerahlah, Nina! Kamu memang tidak berbakat!
Dengan kesal aku menjatuhkan diriku di kasur. Ternyata bikin cerpen itu memang tidak mudah! Seharusnya sejak awal aku menyerah saja! Besok lebih baik aku menghadap ruang kepala sekolah untuk mengatakan kalau aku tidak bisa ikut acara itu! Dengan begitu kan semuanya beres!
Lagi-lagi terdengar ketukan di pintu.
“Nina?”
Aku terkejut karena Ayah yang mengetuk pintu kamarku. Di luar masalah uang, keluarga kami memang dekat. Namun walaupun demikian, Ayah jarang sekali bicara secara pribadi seperti ini.
“Ada apa, Yah?” tanyaku ketika Ayah memasuki ruangan dan duduk di ujung tempat tidurku.
“Tadi pagi Ibumu menemukan ini ketika menyapu kamarmu,” Ayah mengulurkan selembar kertas yang kusut ke arahku. Ibuku seringkali membersihkan kamar kami setiap pagi walaupun kami selalu menyapu dan mengepelnya sendiri.
Jantungku berdebar keras saat melihat kertas yang disodorkan Ayah ke arahku. Ini surat pemberitahuan camping itu! Bagaimana bisa? Dengan kesal aku mengomeli diriku sendiri. Mungkin kemarin aku tidak benar-benar berhasil memasukkannya ke keranjang sampah.
“Ayah dan Ibu sudah bicara kemarin…” ujar Ayah sambil menatapku dalam-dalam. “Kenapa kau tidak cerita pada kami?”
Aku memalingkan wajah karena malu. “Bukannya aku tidak mau cerita, tapi…”
“Ayah tahu selama ini Ayah selalu marah-marah tiap kali kalian minta uang,” potong Ayah dengan sabar. “Tapi Ayah rasa kau mengerti alasannya…”
“Aku mengerti, Yah…” sahutku dengan suara berbisik. “Aku hanya tidak mau membebani Ayah lagi. Lagipula, keuangan kita kan memang mepet…” kurasakan suaraku bergetar dan sudut mataku memanas.
“Tapi ini kegiatan wajib, Nak…” Ayah membaca surat pemberitahuan itu sekali lagi. “Setelah mengikuti acara ini, kau disuruh membuat laporan. Dan penilaian laporan itu menyangkut nilai olahraga, sosial, dan bahasa Indonesiamu…”
“Aku bisa mengejar ketinggalan nilaiku dengan berusaha sungguh-sungguh di ujian nanti…” kuteguhkan suaraku. “Beban kita bulan ini sudah cukup berat, Yah…”
“Selama ini, Ayah sadar kalau kau lebih pendiam daripada Ninik. Kau lebih sering memendam semuanya sendirian. Dan Ayah mau kau tahu satu hal, kau bukan beban, Nak… Kau adalah bagian keluarga kita… Dan kalau memang perlu, kita bisa menggadaikan emas kita…”
“Jangan!” semburku. “Sisa satu-satunya emas yang keluarga kita miliki kan hanya cincin kawin! Aku tidak perlu pergi, Yah… benar-benar tidak perlu, kok…” kutatap wajah Ayah dengan perasaan kalut.
“Yah, kalau memang begitu keputusanmu, biar Ayah bicara sama Kepala Sekolahmu besok…”
“Aku bisa melakukannya sendiri, Yah…” tegasku.
Ayahku memandangku sejenak lalu mengangguk. “Selamat malam, Nina…” suaranya terdengar pedih dan bersalah.
Air mata haru yang kutahan sedari tadi akhirnya meluncur juga. Dengan pundak bergetar, aku berusaha menahan tangisku agar tidak bersuara.
Rasanya ingin berteriak tetapi tidak bisa. Rasanya ingin menjerit sekuat tenaga tapi pasti akan memalukan. Aku ingin menyuarakan perasaanku saat ini! Dan pandanganku tertumbuk ke arah kertas penuh coretan di meja kamarku. Dengan perasaan galau, kuraih pensil yang terasa ringan dalam genggamanku.
&&&
Tepat setelah sebulan dua hari, sebuah amplop kabar gembira tiba di kotak pos rumahku. Saking bahagianya, aku sampai menciumi amplop itu berkali-kali.
Seperti mimpi, amplop itu berisi pengumuman bahwa aku menjadi salah satu pemenang lomba cerpen KaWanku. Rasanya begitu luar biasa karena akhirnya aku bisa mengikuti acara camping itu tanpa perlu membebani keluargaku lagi.
Sungguh kuhaturkan syukur sebesar-besarnya pada Tuhan karena Ia menuntunku menuju jalan yang dimaksudkanNya.
Rasanya sudah tidak sabar lagi membeli KaWanku yang akan segera terbit. Dengan hasil karyaku di dalamnya, KaWanku itu akan kusimpan selamanya. Dan mungkin, berikutnya akan kukirimkan cerpen mengenai kegiatan camping-ku! Love you, W,  muach!!
Love,
Nina
&&&

Tidak ada komentar: