Selasa, 19 Maret 2013

cerpen: Never say No

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini salah satu cerpen favoritku, yang juga gagal menang di leutikaprio. Jadi, sebagai gantinya kutayangkan di sini; daripada menjadi karya yang terkubur dan sia-sia dan berdebu di pojokan dokumenku... 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 
Never Say No

Valentine dua minggu lalu. Aku menyatakan perasaanku pada cowok yang sudah sejak lama kutaksir.
“Ada apa? Mona?” tanya cowok itu sambil memandangku.
“Thomas Reyhan… aku suka padamu… Jadi, maukah kau menjadi pacarku?”
“Eh…”
“Lalu… maukah kau menerima cokelat ini?”
Ia terdiam sebentar. Lalu, katanya, “Baiklah…”
Tetapi, tidak kusangka…
Kata suka yang tidak kudapat darinya.
Akan…
Membuatku hancur.

―Mona, Maret, 2011―
“Mona! Mona!” Elisa, ketua kelas tergopoh-gopoh menghampiriku. “Sana, cowokmu dikerjain lagi tuh!” serunya.
“Thomas!” setengah berteriak, aku memanggilnya.
Ia menoleh, menjawabku, “Ya…” dan seketika itu juga, buku yang dipegangnya jatuh berserakan. Bruk bruk bruk…
“Maaf, kau jadi membantuku…” ujarnya sambil memungut buku-bukunya.
“Tidak apa. Aku yang salah, memanggilmu tanpa pikir panjang tadi…” sahutku, membantunya merapikan buku-buku itu kembali.
Thomas Reyhan, cowokku, adalah makhluk yang tidak bisa bilang ‘tidak’ kalau dimintai tolong. “Thomas, bantu antar absen,” atau “Thomas, bantu hapus papan tulis,” atau “Thomas, gantikan aku piket ya…” adalah hal yang biasa untuknya. Dan aku… entah sejak kapan… mulai memperhatikannya.
Mungkin, sejak dua bulan yang lalu….
♥♥♥
Bulan November, musim hujan. Aku sakit demam tinggi. Hari itu, terbaring di kamarku,yang terpikir olehku adalah tentang tugas-tugasku yang menumpuk tanpa ampun.
“Besok ada tugas bahasa inggris dan belum satupun kubuat…” keluhku sambil menatap coretan di agendaku. Mungkin aku harus meminta perpanjangan waktu pada guruku, begitu pikirku.
Tetapi, esoknya, “Loh? Sudah dikumpul kok… Kamu dan Thomas satu kelompok, kan?” tanya guru itu, memandangku cermat dari balik kacamatanya.
“I-iya tapi… Baiklah, terima kasih, Bu!” seruku, antara bingung dan kaget.
“Thomas! Thomas!” sekuat tenaga kupanggil cowok itu. Seperti biasanya, ia sedang membantu seseorang. “Terima kasih!!” seruku, lalu berlari kembali ke kelasku.
♥♥♥
Sekarang… sedikit banyak, aku merasa takut. Apakah… dia sungguh-sungguh mau jadi pacarku? Atau… karena dia tidak berani bilang ‘tidak’?  Tidak. Tidak. Tidak. Aku harus percaya padanya. Ini hanya pikiran negatifku saja. Pasti bukan begitu.
“Thomas… apa kau tidak pernah merasa lelah?” tanyaku ketika membantunya menyelesaikan tugas pendataan absensi.
“Tidak juga.” Ia berhenti menulis dan menatapku. “Kenapa?”
“Soalnya wajah Thomas selalu terlihat murung, sepertinya tidak bahagia. Manusia kan juga perlu orang lain yang membantunya ketika membutuhkan, tidak selalu harus mengandalkan diri sendiri. Jadi… kalau butuh, panggil aku, ya?”
Lama ada keheningan di antara kami. Astaga. Semoga aku tidak salah bicara barusan.
“Ya…” perlahan,  cowok itu tersenyum tipis sambil memandangku. Benar-benar tersenyum!! “Aku akan mengingat itu…”

―Thomas, April, 2011―
“Thomas? Bisa bantu Ibu?” tanya Guru bahasa Indonesia kami. “Tolong kembalikan buku tugas ini ke Mona, ya… Dia sekelas denganmu, bukan?” tanya guru itu.
“Ya, Bu…”
Panggil aku, ya…
Mona. Bisa kurasakan seulas senyum terbentuk di bibirku. Kata-kata yang diucapkannya hari itu selalu membuatku ingin tersenyum.
“Ah, Thomas! Di sini kau, rupanya!” sebuah suara memanggilku. Abel. Teman satu ekskulku. “Anu… aku mau minta tolong padamu!”
“Soal apa…” tanyaku.
“Begini… kau bisa membantuku?” ia membisikkan permintaannya di dekat telingaku. “Bisa? Astaga, bukumu bisa rusak kalau kau cengkeram sekuat itu…” ia mendelik kaget menatap buku yang hampir rusak di tanganku. Kenapa aku menggenggamnya sekuat ini?
“Baiklah…” jawabku, seperti biasanya.

―Mona, April, 2011―
“Aduh… Thomas lama sekali…” pikirku sambil menatap arlojiku sekali lagi.
Cowok itu merupakan salah satu makhluk paling tepat waktu selama ini. Kenapa dengannya?  Tak lama, pintu kelas terbuka dan ia melangkah masuk. Lagi-lagi… dengan ekspresi wajah yang begitu muram.
“Mona? Mona?” ia memanggilku, entah sudah yang keberapa kalinya. “Mona?”
“Eh! Iya, iya! Maaf, aku melamun! Ada apa?”
“Begini… Abel memintamu menjadi pacarnya. Kamu bersedia?”
Ternyata benar.
“Mona?”
“Apa Abel… yang meminta tolong padamu untuk menyampaikannya?” tanyaku, merasa asing dengan suaraku sendiri.
“Benar “
“Kalau aku benar-benar jadian dengannya… Bagaimana?”
“Tidak apa-apa…”
Walau aku sudah menduganya. Sejak lama. “Kau tahu? Rasa suka itu sulit sekali disampaikan…” Tapi, kenapa rasanya sesakit ini?  “Padahal… aku sudah bilang, yang kusukai itu Thomas. Tapi…”
“Mona…” cowok itu memandangku ragu.
“Ahahaha…” sambil tertawa, kuhapus air mata yang mulai mengalir di pipiku. “Ternyata memang aku yang bodoh. Mengira Thomas sedikit menyukaiku. Ternyata kau menerimaku karena tidak bisa menolakku.”
Aku bodoh sekali. “Ternyata… selama ini… aku bertepuk sebelah tangan…” ujarku, setengah terisak. “Kalau begini, seharusnya, sejak awal kau menolakku…”
Pintu tertutup dengan suara keras di belakangku. Rasanya menyakitkan. Menyakitkan, karena selama ini dengan tololnya aku mengira ia juga menyukaiku. Menyakitkan karena selama ini kukira aku tidak bertepuk sebelah tangan. Dan menyakitkan karena ia sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaanku padanya.
“Hei, Mona!” sebuah suara menyapaku dan ternyata adalah Abel. “Sendirian? Sudah dengar belum dari Thomas?” tanyanya riang.
“Abel menyebalkan!” seruku sambil mendorongnya pergi. “Sampai kapanpun aku tidak mau jadi pacarmu!” seruku, dengan gusar meninggalkannya.
Entah mengapa aku malah menimpakan kemarahanku pada Abel. Sekarang cowok itu bakal menyesal pernah bilang suka padaku. Hahaha… konyol sekali. Tetapi, bukan tawa yang keluar dari mulutku. Melainkan isakan terputus-putus yang terasa menyakitkan.

―Thomas, April, 2011―
“Mona?” panggil guru sekali lagi. Reflek, kutatap kursinya yang berada tidak jauh dariku. Sudah seminggu berlalu dan kursinya masih saja kosong. Buku yang dititipkan guru itu padaku juga belum kuserahkan padanya.
“Bisa bantu aku, Thomas?” tanya seorang gadis.
“Maaf, aku…”
“Tolong ya… please?” ia mengedipkan sebelah matanya memandangku.
“Aku sedang ada keperluan…” tukasku, mencoba meminta pengertiannya.
Please? Penting banget nih…” ia tersenyum lagi. “Tolong ya, Thomas…”
Kalau butuh, panggil aku, ya?
“Thomas? Bisa kan?”
Bisa diam nggak?!” seruan amarah meluncur dari mulutku. “Jangan karena aku selalu bilang baiklah, kalian seperti ini! Kerjakan sendiri!!”
“Ma-maaf…” ujar gadis itu takut dan terbata-bata. Buru-buru ia pergi setelah meminta maaf padaku.
Tanganku masih terasa gemetar.
“Mengerikan…“ Suara bisik-bisik mulai terdengar di kiri-kananku. “Pasti karena tidak ada pacarnya…” ujar suara yang lain.
Benar, mungkin karena tidak ada Mona di sini.
“Serammm….” ujar yang lainnya.
Astaga, aku merindukannya…
Sejak pagi, kelas sudah berisik. Bahkan dari lorong aku bisa mendengar suara ribut mereka. Sepertinya ada sesuatu yang menghebohkan.
“Wah… pendek sekali…”
“Sekali babat ya?”
“Kau kenapa? Patah hati?”
“Hei, keren tahu!”
“Ah, dia datang! Dia datang!” begitu kakiku melangkah masuk, otomatis obrolan mereka terhenti. Semua perhatian tertuju padaku. Di sana, berdirilah Mona. Di tengah ruangan. Tatapannya lurus dan tajam ke arahku. Dan rambutnya dipotong pendek sekali.
“Psst… kemarin, cowokmu ngamuk…” bisik seorang siswi padanya. Ia menatapku lama. Kami bertatapan. Tidak ada seorang pun yang bicara.
“Aku sudah lihat, kau sudah berubah…”
“Aku… aku tidak mau kehilanganmu!” seruku. Ya, benar, aku tidak mau kehilangan gadis ini dua kali. Sekali sudah cukup. “Sejak kau mengatakan terima kasih hari itu… Aku sudah menyukaimu…” ujarku.
Ya, sejak hari itu, aku menyukainya. Hanya saja, perasaanku terkunci di hatiku. Aku menutupnya rapat-rapat. Tidak mempercayai siapapun. Semua yang ada di hadapanku hanyalah makhluk-makhluk oportunis yang suka memanfaatkan orang lain.
“Aku menyukaimu…” kami mengucapkannya berbarengan. Kali ini Mona tersenyum. Ia meletakkan jarinya di depan bibirnya, melarangku bicara.

―Mona, April, 2011―
Hari itu adalah hari yang terindah untukku. Ia memelukku di hadapan semua murid. Dan sambil tersenyum, perlahan ia berbisik di telingaku.
 “Aku menyukaimu, Mona. Hari itu, saat kau mengatakan kau menyukaiku, salah satu gembok hatiku terbuka. Dan hari ini, ketika kembali melihatmu, satu gembok lainnya hancur. Bukannya karena tidak bisa mengatakan tidak. Tapi karena aku tidak ingin mengatakan tidak….”

―Selesai―

Tidak ada komentar: