Kamis, 13 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past, side story 2

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 2
-CINDERELLA IMPRISON-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
tita: Park Ri chan
Bo Jong Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

“Berdansa denganku, Nona?” Tanya pria itu ramah.

“Tidak, terimakasih…” Aku tersenyum dan menolak, Entah sudah yang keberapa kalinya tawaran dari pria ini kutolak. Bahkan menoleh melihatnya sudah malas. Sebenarnya, mau berapa kali ya ia menggangguku?

“Tapi kulihat kau tidak punya pasangan…” senyumnya sambil memandangku dan memicingkan matanya.

Aku tidak menyukai senyumnya. Tiap kali senyumnya kulihat, bisa kubayangkan senyuman para politikus kotor yang biasa hidup mewah di hotel milik papaku.

“Aku sedang menunggu seseorang…” sahutku sambil menahan kesabaranku. Kenapa ia tidak berhenti menggangguku? Pria lain bahkan dengan sopan menarik diri ketika aku menolak ajakannya.

”Satu lagu tidak akan menyakitimu...” jawabnya. Lalu senyuman ramahnya sirna dan ia menarik paksa tanganku, menuju ke tengah aula, menuju lantai dansa.

”Tolong lepaskan,” ujarku sambil berusaha menarik tanganku. Astaga, walau proporsi tubuhnya pendek untuk ukuran laki-laki, cengkeramannya sangat kuat.

”Jangan ganggu pasanganku..” ujar seorang lelaki.

Suaranya tenang dan berwibawa, si pemilik suara kurasa berada tepat di belakangku. Pria pendek yang menarikku itu menghentikan langkahnya dan sebuah seruan kecil keluar dari bibirnya.

”Astaga! Baek Do Bin!!” serunya kaget. Ia lantas melepaskan cengkraman tangannya dan memandangku dan─entah siapa─pria di belakangku itu bergantian. Dengan senyuman masam ia berujar, ”Aku hanya membantunya menghilangkan rasa bosannya...”

”Tidak perlu sebenarnya...” ia tahu-tahu sudah menarik pundakku, menuntunku menjauhi pria pendek itu. ”Karena justru bantuanmu itu malah mengacaukan suasana hatinya...”

Dari suaranya, kuduga ia tersenyum. Pria pendek itu mengangkat bahunya dan berjalan pergi sambil menggerutu. Bisa kulihat raut ketidak puasan di wajahnya. Dengan segera, aku berbalik badan untuk mengucapkan terimakasih, tetapi kakiku tersandung oleh kaki orang lain yang sedang lalu lalang.

”Seperti cinderella...” gumamnya sambil memandang sepatuku yang terlepas. Belum sempat kulihat wajahnya, ia sudah berjalan mendahuluiku mengambil sepatuku, dan membantu memakaikannya. Bisa kurasakan rasa panas di seluruh wajahku saat ini.

”Cinderella yang kebetulan bertemu... dengan penjahat,” ujarnya sambil mengangkat wajah dan tersenyum. Matanya yang besar dan bibirnya yang tipis sinis membuatku terpaku. Rahangnya tegas dan sorot matanya begitu kelam, sekaligus penuh rahasia. Ia tampan, dalam penampilannya yang begitu khas.

”Ng... apa.. maksudmu dengan... penjahat?” gumamku setelah berterimakasih. Ia bangkit berdiri dan memandang mataku.

”Aku bukan pangeran. Lain kali, jatuhkan sepatumu ke orang yang tepat.. Sampai jumpa, Park Ri Chan...” ia berlalu pergi begitu saja. dan membuatku semakin bingung dan heran. Darimana ia tahu namaku?


─Baek Do Bin, Seoul, 2008─

“Kau lagi,” gumamku sambil tersenyum. Wanita itu tampak canggung di depanku. Matanya yang bulat besar terlihat kaget dan penuh rasa takut. Mungkin kata ’penjahat’ yang kemarin kuucapkan masih membekas di benaknya.

”Ku-kurasa aku salah meja..” ujarnya gugup dan melangkah pergi. Ia menatap memo yang dibawanya dan menatap nomor mejaku lalu mengernyit bingung. Lantas, ia menghampiri pelayan dan menanyakan sesuatu. Namun, melihat sikap bingungnya saat pelayan menunjuk mejaku, tawaku langsung pecah.

Padahal tidak ada yang lucu. Tidak ada yang konyol. Mungkin akulah yang konyol. Aku merasa senang menggodanya, karena ia sangat polos, dan di sanalah sisi menariknya.

”Jadi... kau, siapa sebenranya?” ia bertanya hati-hati saat melihatku memesankan makanan untuk kami berdua.

Mati-matian kutahan senyumku. Oke, Baek Do Bin, gunakan poker face mu sekarang. Sebagai mafia, tentunya tidak sulit melakukannya. Aku terbiasa mengontrol ekspresiku, perasaanku, dan emosiku sudah kubuang jauh-jauh. Namun, rasanya ada yang janggal hari ini. Dimana poker faceku itu? Rasanya perutku terus terasa geli saat melihatnya.

””Oh, bukan siapa-siapa...” jawabku, berterimakasih atas hidangan yang diberikan pelayan. ”Makanlah saja, kutraktir...”

”Aku... tidak diijinkan makan dengan pria tidak kukenal...” jawabnya sambil memandangku curiga. Lagi-lagi kukulum senyumku. Gadis pingitan macam apa ini?

”Baiklah, namaku Baek Do Bin.. Dan kau Park Ri Chan…” kuteguk segelas anggur sambil menjawabnya. Pertanyaan mengapa aku mengetahui namanya jelas terlihat di matanya. ”Dan orangtuamu dan aku, berteman baik sejak kecil, punya mabisi menikahkan kita...”

”Begitu?” ia menatapku pelan dan tersenyum. ”Dan kau menolak bukan?” tanyanya. Kali ini ia meraih gelasnya. Artinya aku bukan lagi pria tidak dikenal. Hahaha... tawaku dalam hati, tentu saja.

”Kau pintar. Bagaimana kau menebaknya?” tanyaku, berusaha menekan rasa ingin tahuku tapi gagal.

”Psikologi... dan terbiasa mengamati orang. Kau tidak tertarik padaku, dan mengatakan penjahat membuat kesan kau ingin aku menghindarimu... bukan begitu? Aku tahu kau tidak berniat. Aku juga tidak, tapi tolong kembalikan gelang kakiku...”

”Apa?” Apa telingaku tidak salah dengar? Darimana dia...

”Kau mengambilnya saat memakaikan sepatuku bukan? Aku tidk menyadarinya sampai pulang, karena gaun panjangku... Tapi, hanya kau yang...” pipinya memerah sebelum melanjutkan. ”Hanya kau yang menyentuh kakiku...” gumamnya tidak jelas.

Detik itu juga dinding emosiku menghilang. Tawaku pecah berderai, disambut rona merah wajahnya. ”Aku akan mengembalikannya,” janjiku. ”Kita bertemu lagi di sini, dan saat itu kau akan membantuku menandatanganinya. Pembatalan pertunangan kita.. semacam surat pemberontakan yang kubuat...” tapi, aku memang tidak berniat mengembalikannya.

”Kau memanfaatkan gelang kakiku untuk itu?” wajahnya terlihat terkejut dan kecewa. ”Kau pria yang aneh... rasanya kau benar tidak tertarik dengan gadis sepertiku. Kau menggunakan segalanya untuk menjauhiku...”

Kali itu, aku hanya tersenyum menanggapinya. Dia terlalu polos untuk duniaku. Rasanya itu salah satu alasan mengapa Papa mengirimnya untuk menjadi tunanganku, membantuku hidup jujur, meninggalkan kelompok mafia yang kubangun susah payah.

Sayangnya tebakan gadis psikologi ini salah. Sebenarnya, aku sangat tertarik dan terhibur dengan keberadaannya. Tapi ia tidak boleh mengetahui hal itu.

─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

”Bagaimana? Dia tampan bukan? Apa dia langsung melamarmu?” tanya Mama penuh harap. Aku menggeleng dan menghela nafas panjang. ”Apa maksudnya? Kenapa wajahmu kacau?”

”Karena dia memang tidak tertarik denganku?” tanyaku pada diri sendiri. Mama menggeleng tidak percaya. ”Padahal dulu Papanya memperlihatkan fotomu waktu kecil, dan kelihatannya responnya positif..”

”Ya ampun Ma, itu kan dulu. Sekarang sih pasti beda... Mungkin dia melihatku sebagai gadis yang membosankan?” keluhku pada diri sendiri, memandang pantulan wajahku di cermin. Padahal sebenarnya aku cukup tertarik dengannya. Dan ia juga menolongku, sekalipun ia penjahat...

”Ma,” panggilku. Mama menoleh dan tersenyum. “Kenapa ia mengatakan kalau dirinya penjahat?” tanyaku polos.

Mama mengelus rambutku lembut. ”Kau sebaiknya tahu, sayang.. Ia anak dari pemilik hotel, teman baik Papamu. Namun, tidak hanya itu, ia juga menjadi pimpinman kelompok mafia yang besar di daerah ini... Kurasa, Papanya ingin pertemuannya denganmu mengubah jalan pikirannya...”

Aku menatap Mama sambil menggeleng bingung. ”Rasanya aku tidak bisa Ma. Keberadaanku tidak diharapkan di sana. Dan wajahnya sarat emosi, aku tidak bisa menduganya...Dan ia sudah menolakku...”


”Dia belum datang?” tanyaku pada pelayan. Pelayan itu menggeleng namun menunjukkan meja yang sudah direservasinya untukku. Aku menatap meja itu dan duduk sambil meminum segelas air yang disiapkan pelayan.

”Hai cantik,” ujar seseorang di belakangku. Aku tertegun memandang pria itu. Ia memandang sekeliling dan tersenyum puas. “Priamu itu belum datang rupanya. Berarti ini giliranku bersenang-senang...”

“Lepaskan! Lepaskan!!” seruku saat tangannya menarikku. Ia tetap menarikku paksa keluar dari restoran itu dan membawaku masuk ke sebuah lorong, memaksa untuk menciumku, mati-matian aku meronta dan menjerit. Ya Tuhan, nafasnya bahkan terasa menjijikkan dan dipenuhi bau alkohol. Jangan sampai ia berhasil menciumku!!

”Brengsek kau, Yeom Jong!!” maki seorang pria, lalu sesuatu menghantam pria pendek itu sampai ia jatuh terjungkal. Tidak bisa kuhentikan jeritan spontanku, dan secepat itu pula, tangan itu menarikku dalam pelukannya. ”Sial, maaf, aku terlambat...”

Aku menangis dan menangis. Menakutkan. Menakutkan. Aku tidak menyukai dunia ini. Aku tidak suka ini. Aku tidak mau hidup seperti ini...

”Mengerikan, bukan?” tanyanya sambil menatapku. Aku mengangguk sambil menangis seunggikan. ”Karena itu, kukatakan untuk tidak berdekatan padaku... Kau hanya menambah masalahku... Dan masalahmu sendiri juga...”

Bisa kulihat sorot kepedihan dan kesepian dari matanya. Sangat ekspreif. Dengan gemetar, tanganku terulur ke wajahnya, menyentuh pipinya. Kenapa bisa ada luka di sana?

”Alasan keterlambatanku...” senyumnya simpul. ”Sedikit penghianatan anak buah. Rasanya ada sangkut pautnya dengan dia...” ia meludah pada pria pendek itu, dan menyampirkan jasnya ke tubuhku. ”Ayo, kuantar pulang...”



─Baek Do Bin, Seoul, 2008─

Karena itulah, aku tidak mau ia terlibat dalam diniaku. Hanya gadis bermental baja yang bisa tahan dalam gejolak kehidupan kotorku. Aku memang pernah berpikir untuk mengakhiri kehidupan kotorku, tetapi sepertinya bukan sekarang. Tidak dengan kekacauan seperti ini.

Gadis itu tertidur di sebelahku, kepalanya bersender di bahuku. Masih ada sisa air mata di wajahnya, dan kuusap pelan bekas itu. Perlahan ia menggumam, berulang-ulang... “Bukan kau yang salah... Bukan...kau...”

”Dasar bodoh,” keluhku, tidak jelas, menyalahkan diriku atau dirinya. Aku tidak bisa melupakan sorot mata besarnya yang dipenuhi ketakutan. Dan gemetar di bahunya, membuatku ingin memeluknya, dan menjaganya, terus. Cukup. Lebih dari ini, aku tidak bisa menjamin perasaanku sendiri.


”Kau penghianat!!” makiku sambil menyumpah serapah. Yeom Jong hanya terdiam dan membisu, lalu sejenak kemudian ia berlutut dan meminta maaf.

“Aku… hanya gelap mata... Karena tidak bisa memlikinya... aku jadi gelap mata....” ulangnya penuh penyesalan.

Aku memandangnya sebelah mata. Ia pria paling tidak bisa kupercaya di dunia ini. Coba ada Ri Chan di sini. Gadis itu bisa membantuku menilainya, membantuku melihat mana yang loyal padaku dan mana yang tidak. Sialan! Hentikan memikirkannya, Baek Do Bin!!

“Sudahlah! Kau pergi saja! aku tidak mau melihatmu sekarang!!” erangku kasar. Otakku terasa panas dan kacau. Bagaimana mungkin aku kehilamgan kendali emosiku? Kenapa? Kenapa dengan diriku?

Bahkan tanganku terasa bergetar penuh amarah saat meraih rokokku dan menyesapnya. Aku tidak bisa melihatnya sekarang. Tiap melihat Yeom Jong, aku dendam karena ia menyentuh gadis itu. Marah pada diriku karena tidak bisa melindunginya. Dan marah karena takut, suatu hari aku akan berakhir sepertinya.

”Kalsium kurasa bagus untukmu... Tidak baik merokok terlalu sering...” ujar suara itu lembut. Ia menatapku yang setengah sadar saat menatapnya dan mencabut rokok dari mulutku untuk kemudian menginjak dan mematikannya.

”Hanya saat otakku kacau, dan kendali emosiku hilang...” sergahku sambil berusaha tidak menatapnya. ”Pergilah. Aku tidak tahu darimana kau masuk, tapi ini bukan tempat yang cocok untukmu...” ujarku sambil mengibaskan tangan.

”Aku tidak akan pergi,” senyumnya tegas. Ia meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah termos. ”Sudah kubuatkan susu hangat untukmu. Kuharap kau mau meminumnya. Kurang kalsium bisa membuat manusia cepat naik darah,” jelasnya sambil memberikan termos itu.

Aku tidak bisa menahan tawaku, lagi-lagi begitu. Mana ada seorang mafia meminum susu? Memangnya aku anak kecil? “Letakkan saja. Aku akan meminumnya nanti...”

“Wajahmu babak belur lagi?” tanyanya sambil memandangku, tidak mengindahkan kalimatku yang memang bertujuan untuk mengusirnya secara halus. “Kau berkelahi?”

“Tidak,” jawabku. “Mereka yang memulai, aku hanya melayani tantangan mereka...” jawabku enteng. ”Oh, kumohon pulanglah. Di sini bukan tempat nona muda sepertimu...”

”Kalau aku meminta, apakah kau akan berhenti menjalani kehidupan mafia ini?” tanyanya langsung, menatap mataku, dan senyumannya terlihat penuh kecemasan akan penolakan.\

”Tidak sekarang,” jawabku. Aku benci bertatapan dengannya sekarang. Rasanya ia bisa melihatku seutuhnya. ”Kenapa kau tidak pergi juga sih!?” erangku, akhirnya.

”Aku akan menemanimu...” tukasnya mantap. Beberapa saat lamanya, aku hanya terdiam dan memandangnya. ”Aku akan menemanimu membereskan urusanmu, lalu kemudian... kita bisa mengakhiri ini bersama-sama... saat itu, kurasa aku siap menandatangani surat pembatalan tunangan itu...” tukasnya lagi.

”Kenapa...” suaraku hampir hilang saat mengucapkannya. ”Kenapa kau berkorban sejauh ini? Hanya untuk pria penjahat sepertiku?”

”Aku melihatmu,” ujarnya sambil menahan nafas. ”Dan kulihat kejujuran di sana. Aku tidak membenciku, aku tidak bisa menilainya dari emosimu karena kau sangat tidak eskpresif... Tapi, aku bisa merasakannya dari caramu menjagaku hari itu.., Dan siapapun kau menurut dirimu, buatku kau adalah pangeran... Dan untuk satu putri, hanya ada satu pangeran, bukan?”

Dengan jelas kulihat wajahnya bersemu merah mengatakannya. Gwwat, ini emmang gawat. Kenapa kakiku bergerak ke arahnya? Kenapa tanganku terulur menyentuh pipinya? Kenapa aku malah memeluknya? Gadis itu tidak kalah kagetnya denganku, tetapi ia tersenyum..

”Aku tahu, kau sangat tidak eskpresif...” tawanya terdengar menyenangkan. Aku memejamkan mata dan memeluknya, kurasa, ya... kehangatan ini yang kuinginkan sejak dulu.

”Tapi, aku sangat tidak ekspresif, perokok, pencemburu, dan sering berkelahi...” ujarku. Aku sendiri tidak memahami diriku. Untuk apa aku mengatakan semua itu? Bagaimana kalau ia menolakku padahal aku masih ingin memeluknya?

”Aku yang akan mencegahmu melakukannya...” senyumnya terlihat tulus di wajahnya. Dan bisa kurasakan kehangatan mengisi dadaku, ruang kosong dalam dadaku.

─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

Syukurlah, rasanya beribu beban terlepas dari pundakku setelah kukatakan apa yang kupikirkan beberapa saat ini. Pertemuan kami memang singkat, tapi bagiku itu lebih dari cukup untuk mengenal cinta.

Aku tahu, saat ia membungkuk memakaikan sepatuku. Saat ia membuat pipiku terasa panas dan jantungku berdebar cepat hari itu, aku tahu dia pangeranku. Tapi sayangnya, sang pangeran menutupi jati dirinya sendiri.

”Aku... sudah jatuh cinta padamu sejak pertama melihatmu, Ri Chan...” ujar Do Bin akhirnya. Untuk pertama kalinya, kulihat senyumnya begitu polos, dan tulus.

”Aku tidak akan mengijinkanmu menandatangani surat pembatalan itu...” suaranya terdengar berat dan tegas. ”Dan kau, akan menjadi penjara yang membelenggu semua kejahatanku. Tahan aku, saat aku akan melakukan kesalahan...”

”Baiklah,” senyumku terasa berat di dadaku. Rasanya air mataku terus menetes saat matanya menatapku dan tangannya merengkuhku. ”Tapi, penjara..? Terdengar ironis, bukan?” tanyaku sambil tertawa geli.

Ia menarik nafas dan tertawa. ”Aku akan menjadi penjaramu juga,” ia mengerling. ”Saat pria lain akan menggodamu, aku akan menahanmu di sisiku... memastikan tempatmu aman di sampingku...”

”Bagaimana penjara bisa saling memenjarakan?” tanyaku sambil tertawa sambil memandangnya bingung.

”Tidak masalah bukan, aku punya cara sendiri untuk mengatasinya...” senyumnya lepas sambil menarikku lagi ke pelukannya. ”Ayo, temani aku minum susu sekarang!!” ajaknya sambil menggandengku ke arah meja. Aku tertawa dan mengangguk. Rasanya, hidupku sebagai cinderella baru dimulai sekarang...


-selesai--

Tidak ada komentar: