Kamis, 13 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 27

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY SEVENTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Wolya: Joo Sang Wook (memakai nama asli di FF)
Bo Jong Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
Tita : Park Ri chan
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Kupandang pria itu dengan tatapan tajam. ”Seharusnya kau tidak perlu melakukannya. Aku bisa bertanggung jawab atas semua perbuatanku sendiri…” ujarku, mencoba bersikap tetap terkendali.

Kukatakan demikian, karena pria ini menghabiskan begitu banyak uang untuk memperbaiki sekolah West High dalam waktu semalam. Dan sesuai dugaanku, esoknya seolah tidak ada apapun yang terjadi di sekolah itu. Tidak sulit mengetahui siapa pria dermawan dan baik hati itu, seseorang yang pastinya memiliki banyak anak buah, kekuasaan, dan modal yang besar.

“Aku tidak bisa membiarkan temanku berada dalam bahaya, bukan?” tanyanya sambil menatap kekasihnya dan tersenyum ke arahku. “Kali ini, tepati janjimu… Minumlah denganku.. dan Ri Chan, tentu saja..” ujarnya sambil menarik tangan kekasihnya, menuntun wanita itu duduk di sebelahnya.

“Kurasa ada arti lain dari kata teman yang kau ucapkan itu…” tuturku sambil menerima gelas kaca yang diberikan pelayan.

“Kata-katamu tajam, seperti biasa…” ia tertawa terbahak-bahak sebelum kahirnya menjentikkan jarinya, dan para pelayan setianya menuangkan anggur merah ke dalam gelasku. “Tapi, itu yang kusuka darimu…”

“Terimakasih pujiannya…” senyumku terasa pahit di bibirku snediri. Kuamati para pelayan yang menuang anggur itu ke gelasku. Wajah mereka kaku dan tanpa eskpresi, seperti robot saja.

“Kau punya potensi, Kim Nam Gil…” ia menyebut suku kata namaku dengan tegas dan jelas, seolah setiap kata memiliki arti begitu dalam. “Dan aku menginginkan potensi itu….” Ia mengangkat gelasnya dan tertawa. “Kami akan minum bersama denganmu, jadi jangan takut diracuni…” ujarnya.

”Aku tahu kau bukan tipe pecundang seperti itu...” senyumku sambil menghirup anggur itu dan meminumnya perlahan. ”Jadi, kau ingin aku menjadi anggotamu?” tanyaku tanpa basa-basi.

”Senang mendengar pujianmu...” tawanya terdengar renyah. ”Dan ya, aku ingin kau bergabung denganku. Bukan sebagai anggota, tentu saja. kau layak mendapat posisi lebih tinggi. Kau akan menjadi saudaraku, tangan kananku, dan orang kepercayaanku...”

”Maaf?” tanyaku, memintanya mengulang penjelasannya. ”Apa maksudmu dengan saudaramu? Kau yakin menempatkan orang yang tidak bisa kau percaya ke posisi yang sejajar denganmu?”

”Oh, C’mon!!” ujarnya sambil berdiri dan menatapku. ”Kau satu-satunya orang yang cocok untuk posisi ini. Dan misimu adalah menjadi aku...”

Aku menyadari ekspresiku begitu terkejut saat mendnegar aku akan menjadi dirinya. ”Apa... yang kau inginkan dariku...?”

”Perdagangan senjata...” jawab wanita di sampingnya. ”Kau akan mewakili Do Bin dalam penyerahan senjata itu di Rusia....”

”Maksudmu?” tanyaku lagi. Jadi, karena itulah kekayaannya begitu melimpah? Pendanaan melalui jual beli senjata. Sungguh sangat riskan dan berbahaya.

”Kau bisa melakukannya, Kim Nam Gil...” baru kali ini wanita itu tersenyum simpatik ke arahku. ”Karena kau punya tatapan mata yang berbeda dari siapapun yang pernah kulihat. Kau memiliki kesetiaan, sekaligus kekuatan menghancurkan siapapun yang menghianati kesetiaanmu...”

”Aku tidak akan menyanggahnya,” sahutku sambil mengangkat bahu dan tersneyum. ”Kau punya kekasih hebat di sini...” pujikupada Baek Do Bin.

”Ri Chan lulusan psikologi... dan dia punya penilaian yang hebat terhadap seseorang. Anak seorang pemilik hotel yang sudah biasa mengamati orang, ia bisa menilaimu. Dan penilaiannya atasmu membuatku kagum. Tetapi, tidak hanya itu. Sejak awal melihatmu, kau memang pribadi menarik.”

”Baiklah, akan kulakukan. Asalkan kau bisa menjamin nyawaku... Aku tidak bisa berhutang budi pada seseorang...” ujarku sambil mencoba tersenyum.

”Kau akan dikawal penuh oleh anak buahku... dan,” ia melemparkan sebuah pistol ke arahku. ”Belajarlah caranya menembak. Untuk berjaga-jaga, kalau ada hal buruk yang mungkin terjadi...”

”Tidak akan ada hal buruk...” sergahku pelan. ”Jelaskan situasinya padaku...dan apa rencanamu. Dan kapan akan kulakukan...”

Baek Do Bin menjelaskan rincian denah Rusia yang harus kukuasai secepatnya. Dan ia memintaku datang lagi setiap hari untuk berlatih menembak. Kemudian, ia juga menjelaskan beberapa rinci jumlah kuantitas barang yang akan kuterima dan bagaimana bentuknya.

Semua itu membuat kepalaku terasa lelah dan berat. Tetapi, genggaman pistol di tanganku tetap menyadarkanku. Mungkin ini jawaban Tuhan. Mungkin ini satu-satunya cara agar aku bisa menjauh dari Lee Yo Won. Mencegahku untuk tidak terus menerus memikirkannya. Gadis itu, memang lebih baik tidak berdekatan denganku.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Sampai kapan kau mau menatap handphonemu?” Tanya Ye Jin sambil mematut-matutkan dirinya di depan cermin.

“Tidak, aku tidak menatapnya...” elakku.

”Lebih baik kau ikut denganku, Yo Won...” ujarnya sambil duduk di sampingku. ”Daripada kau berbohong padahal daritadi kau menunggu telepon dari cowok itu...”

”Mana mungkin aku mengganggu kencamu?” tanyaku sambil tertawa kecil. ”Kau kelihatan begitu cantik untuk kecewa, Ye Jin...” pujiku sambil diam-diam membenarkan ucapannya.

Sejak kemarin, aku menunggunya menjawab sms-ku. Memang sih, aku hanya mengabarinya soal sekolahku yang dalam sehari rusak dan dalam semalam kembali seperti semula, bahkan tampak seperti baru. Tetapi ia hanya diam. Dan tidak menjawab apapun. Mungkin ia benar hanya akan muncul di depanku kalau keadaanku darurat.

”Ini bukan kencan, tahu!!” serunya sengit. ”Dengar. Yang ikut adalah aku, Kim Rae Na, Dae Chi, Nam Ji Hyun, Yong Soo, Seung Hyo, Hee Wong,Tae Wong dan Yoon Hoo. Masa ini dibilang kencan?”

”Baiklah, mungkin bukan. Tapi aku tetap tidak punya mood untuk iktu. Mungkin nanti siang aku akan menyusul. Kalau moodku sudah kembali...” jawabku sekenanya. Semua orang di sana punya pasangan, kecuali aku. Mana mungkin aku ikut dan merusak suasana yang ada?

”Kalau kau memutuskan untuk menyusul, telepon aku...” ujar Ye Jin lembut, lalu melambai padaku dan pergi.

”Hhh...” kurebahkan tubuhku dan kutatap langit-langit kamar. Rasanya kamar ini jadi terlalu besar untukku sendirian. Aku kenapa ya? Hanya tidak bertemu beberapa hari dengannya, rasanya bosan sekali?

”Lebih baik jalan-jalan saja!” seruku mencoba mengembalikan semangatku. Kupakai jaketku dan kulangkahkan kakiku dengan semangatku yang terasa palsu. Tidak tahu mengapa, kakiku menuntunku bergerak ke sekolahku sendiri. Dan disanalah ia berada.

”Kim Nam Gil...” desisku sambil memandang sosok punggungnya yang membelakangiku. Sudah berapa lama ya, tidak melihatnya? Kenapa, rasanya begitu hangat saat melihatnya lagi. Ada begitu banyak hal yang mau kutanyakan padanya. Namun, bergerak menghampirinya, aku tidak sanggup.

Aku terus memandanginya bicara dengan Joo Sang Wook dan beberapa kali mereka tertawa dan bersalaman. Lalu, ia pergi. Setelah sosoknya menghilang di ujing lorong, kakiku yang lumpuh bisa kembali kugerakkan.

”Kak Sang Wook!!” teriakku sambil berlari ke arahnya. Ia memandangku degan terkejut dan tertawa.

”Pacarmu baru saja pergi! Tuh, ke sana!”

Kutenangkan nafasku dan mencoba bicara. ”Apa yang ia katakan tadi?” tanyaku dengan nafas masih memburu.

”Pelan-pelan saja bicaranya, Yo Won...” ujarnya. ”Katanya, permohonan lamaran kerjanya ke sini diterima. Ia akan mengajar basket selama beberapa minggu, lalu cuti, dan kembali tidak lama kemudian...” wajah Kak Sang Wook terlihat begitu senang dengan kenyataan Kim Nam Gil menjadi pelatihnya.

”Kenapa? Apa maksudnya ia cuti?” tanyaku penasaran.

“Entahlah, katanya ada urusan bisnis...” jawabnya sambil mengangkat bahu. “Eh? Hei, tunggu! Yo Won! Aku kan belum selesai bicara!!”

Tidak kuhiraukan kalimat Kak Sang Wook yang memanggilku. Aku terus berlari mengejarnya. Terlalu aneh. Terlalu mencurigakan. Bisnis? Bisnis apa? Jangan-jangan ada hubungannya dengan Yeom Jong?

”Kim Nam Gil!!” teriakku putus asa. Cowok itu sudah pergi, entah kemana. Dan aku kehilangan jejaknya. Dadaku terasa sakit dan menusuk. Terlalu banyak berlari, pikirku putus asa.

”Kau memanggilku?” tanya suara yang kurindukan itu. Aku berbalik dan bertatapan mata dengannya. Mata itu kali ini terasa begitu dingin dan menyakitkan. Kenapa ia memandangku seperti itu?

”Kau... belum pergi?” tanyaku dengan nafas terputus-putus. Ia berjongkok di sampingku dan tersenyum singkat.

”Kenapa kau mengira aku pergi?” tanyanya. Aku menggeleng. ”Kenapa sih, lari-lari begitu hanya untuk mengejarku?”

”Karena...” dadaku berdebar begitu keras saat mengucapkannya. ”Aku takut tidak bisa melihatmu lagi...”

Ia terpana sejenak dan memandangku lama dengan tatapan kosong. Sekejap kemudian cahaya matanya kembali. ”Aku ada di sini bukan? Dan kupastikan menjemputmu pulang pergi kalau menjadi pelatih basket di sini.. Tapi, tidak lebih dari itu..”

Kata terakhirnya seolah menusukku. ”Kenapa? Karena itu, kau tidak membalas sms-ku?” suaraku terdengar begitu bergetar. Aduh, kemana perginya si berani Yo Won? Kenapa aku jadi cengeng begini di depannya?

”Kurang lebih begitu,” jawabnya cuek. ”Ayo, kuantar pulang...” ia mengulurkan tangan untukku.

Aku menepisnya. Amarahku terasa naik ke kepala, bersamaan dengan rasa sakit di dadaku. ”Aku tidak perlu bantuanmu! Aku bisa pulang sendiri! Buktinya, aku datang ke sini tidak bersama denganmu!!”

”Ayo!!” ia tidak banyak berkata-kata dan lansgung menarikku ke dalam pelukannya. Lututku mati rasa saat ia menaikkanku di motornya.

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Tapi, aku tidak bisa menanyakannya.

Ia menurunkanku dan haya berkata sepatah kata. ”Jam setengah tujuh kujemput di depan rumahmu besok pagi...” tidak jelas saat itu aku mengangguk atau tidak. Tetapi, ketika motornya melaju pergi, pandanganku sudah memburam. Air mataku tumpah begitu saja.

”Yo Won? Kenapa? Masuklah, hari sudah malam...” Mama membuka pintu dan menarik bahuku. Detik itu juga aku menghambur ke pelukannya dan menangis sejadi-jadinya.

Aku bodoh kalau tidak merasakannya. Aku bodoh kalau tidak mengakuinya. Aku, Lee Yo Won, sudah jatuh cinta pada Kim Nam Gil. Tepat pada saat ia menghempaskanku dari awan ke bumi.

--to be continued---

Tidak ada komentar: