Kamis, 13 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 31

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRY FIRST SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Han Ga In : (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Wolya: Joo Sang Wook (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

”Kim Nam Gil...” kutatap ia dalam-dalam saat berdiri di depanku. ”Kau... tidak menyembunyikan apapun dariku, bukan?” tanyaku lagi.

Ia terdiam lama sebelum akhirnya ia tersenyum. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya kembali padaku.

Aku menatapnya dengan bingung, mengerutkan alis. Kenapa akhir-akhir ini sikapnya aneh. Bahkan bertanya kalau seandainya ia mati... ”Kau tidak sakit apapun, bukan?” tanyaku, merasa was-was.

Ia menatapku lama sampai akhirnya tawanya meledak. ”Tentu saja tidak! Kau pernah melihat pria sesehat aku?”

”Huuh... tidak lucu....” gerutuku. Padahal aku benar-benar serius mencemaskannya. ”Lalu... mengapa kau bertanya... seakan kau akan pergi?” tanyaku asal-asalan, menyarakan apa yang ada di otakku.

Ia lama tidak bereaksi, sampai akhirnya aku memandangnya. Kulihat rahangnya mengeras dan alisnya bertaut, bingung. Apakah tebakanku benar? ”Kemana?” tanyaku tanpa pikir panjang.

”Bukan apa-apa... Itu bukan urusanmu juga...” jawabnya sambil berjalan meninggalkanku begitu saja.

”Hei, Kim Nam Gil! Kenapa kau tidak mau menjawabku!!” aku berteriak memanggilnya tapi sia-sia. Kenapa? Benarkah ia akan pergi? Kemana?


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Untuk apa aku menanggapi pertanyaannya tadi? Sekarang aku menyesalinya. Selalu saja tiap kali semakin dekat dengannya, aku menyesalinya. Berada di dekatnya selalu membuatku bertindak gegabah.

Ponselku bergetar, dan aku tidak perlu melihatnya. ”Apa kau siap? Kudengar Papamu meninggal...”

“Tidak apa, aku siap...” jawabku, saat kulirik ke belakang, gadis itu masih berjalan di belakangku, memandangku dengan curiga. “Ya, besok, lebih cepat lebih baik...”



Aku tidak menyangka ia akan mengirim seseorang sebagai asistenku. Dan bisa kutebak, Baek Do Bin cukup cerdas untuk memilih orang yang memang bisa kupercaya.

“Aku tidak tahu mengapa, tapi, kurasa ini memang tugas untukku, yoo..” tawanya saat menatapku melalui kacamata hitamnya. “Eh, apa kulepas saja kacamata ini, yoo?”

“Kau lumayan keren mengenakannya Sung Pil,” jawabku sambil menarik nafas panjang dan memandang tiket di tanganku. “Adikmu tidak mengantar?” tanyaku sambil memandang sekeliling.

“Dia tidak tahu sama sekali, aku langsung menerima perintah dari tunangannya Baek Do Bin. Dan mendengar namamu, aku semakin yakin akan posisiku, yoo...”

“Ayo, tugas memanggil...” ujarku sambil berjalan cepat ke petugas yang kemudian mengecap paspor kami. Perjalanan selama 12 jam ke Rusia cukup membosankan. Sung Pil tidur separuh perjalanan, dan waktu kuhabiskan dengan membaca, berpikir, dan menulis.

“Apa yang kau tulis, yoo?” tanyanya bingung.

“Surat,” jawabku pendek.

“Surat wasiat, yoo?” tanyanya, wajahnya memucat, namun seulas senyum mewarnai bibirnya. “Boleh aku minta kertas juga? Aku mau menulisnya...”

Kami lama menggunakan waktu untuk menyusun kalimat dan menuliskannya. Kemudian, kami saling menitipkan surat. Seandainya aku yang meninggal, Sung Pil yang akan membawakan suratku, dan sebaliknya.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Sepanjang malam aku bermimpi buruk. Entah apakah kalimat cowok itu atau pikiranku yang terlalu cemas sampai mimpiku begitu mengerikan. Sebuah kegelapan, dan hanya ada kami berdua di sana. Lalu ia pergi, berlari meninggalkanku. Secepat apapun aku mengejarnya, sekuat apapun aku berteriak memanggilnya, aku tidak bisa menyusulnya. Suaraku tidak menjangkaunya.

”Jangan!!!” teriakku sambil terbangun dengan nafas terengah-engah. Keringat membasahi dahi dan tubuhku. Bahkan kepalaku terasa sakit dan pusing.

”Apanya yang jangan?” tanya Ye Jin, masih setengah mengantuk. ”Mimpi buruk, Yo Won?”

”Ya, maaf membangunkanmu...” jawabku. Oh, masih pukul tiga. Sebaiknya aku tidur lagi. Kutarik selimutku. ”Selamat tidur, Ye Jin...”

Mimpiku berlanjut. Dengan cara yang tidak menyenangkan. Siapa pria itu? Ia berlumuran darah dan mengulurkan tangan padaku. ”Jangan! jangan! jangan!” teriakku. Dan kejadian yang kubenci itu kembali terulang. Mereka menusuknya, dan ia rubuh begitu saja. aku tidak dapat melakukan apapun.

Hatiku sakit. Begitu sakitnya sampai rasanya ada yang mencabiknya keluar dari tubuhku. Rasa hangat itu begitu nyata di pipiku. Dan ternyata, ketika bangun, air mataku memang mengalir di sana.


Perasaanku benar-benar kacau pagi ini, namun kulakukan semua lebih cepat dari biasanya. Ada satu hal yang mengganggu pikiranku. Biar bagaimanapun, aku harus bertemu dengannya, dan memastikan keadaannya baik-baik saja.

”Kenapa kau buru-buru sekali, Yo Won?” tanya Ye Jin, masih memakai sepatunya ketika tanganku sudah menyambar knop pintu. ”Ada urusan penting?”

”Sangat penting!!” sahutku sambil menyambar sepedaku dan mengendarainya lebih cepat dari biasanya.


”Kak Sang Wook!!” aku berlari ke arahnya dengan tampang kacau. Tanganku terasa berkeringat karena berkali-kali gagal mengunci sepeda saking buru-burunya.

”Habis latihan pagi?” tanyaku. Mataku mengintip ke aula latihan. Tidak ada di sana. Tidak ada di tribun, di bench, di lapangan. Di mana dia?

Kak Sang Wook tertawa kecil, jelas menyadari basa-basiku. “Kalau mencari Kim Nam Gil, dia tidak ada. Sudah pernah kukatakan bukan? Dia cuti beberapa hari, dan akan kembali mengajar lagi...”

”Kenapa?” tanyaku. Kak Sang Wook menggeleng. Jadi ia tidak tahu? Siapa yang bisa mengabarkan keberadaannya padaku?

”Kau juga mencarinya?” tanya sebuah suara. Aku menoleh dan wanita itu tersenyum padaku, menanggapi kebingunganku dengan seulas senyum. ”Ng...Kak Han Ga In...” ujarku, berusaha mengembalikan suaraku yang hilang.

Ia menatap penampilanku dan melirik kelasku. Untungnya belum ada guru di sana. “Aku juga mencarinya sejak kemarin... Dan ketika kukirim sms, dia hanya bilang bisnis...” senyumnya. ”Tapi, kurasa, kau juga tidak tahu kemana dia...” gumamnya.

”Kau mengiriminya sms?” tanyaku, jelas-jelas merasa iri. Ia tidak pernah membalas smsku, tetapi membalas sms dari wanita ini. Oh, tidak, tenangkan dirimu, Lee Yo Won, bukan waktunya iri. ”Hanya itu?” tanyaku, berusaha terlihat wajar.

”Akan kukabari kalau ada kabar terbaru darinya,” jawabnya sambil berbalik dna melambai pergi. Dari sikapnya, jelas ia merasa ia yang akan mendapat kabar terbaru dari cowok itu. bukan aku. Rasanya dadaku mau pecah.


“Panggil aku saat kau membutuhkan perlindungan. Aku akan datang padamu, tidak peduli dimana pun aku berada saat itu...”

Apakah... aku boleh mempercayai janji itu? pelan, kutekan nomor telepon cowok itu, berharap bisa mendengar suaranya, memastikan keberadaannya.

”Nomor yang anda tuju...”

PIP. Kumatikan panggilan dan kuulangi.

”Nomor yang Anda tuju...”

PIP

”Pembohong...” makiku dalam hati. ”Pembohong! Pembohong! Pembohong!!” berulang kali kudengar hatiku menyuarakan jeritan yang sama.

Katamu kapanpun aku membutuhkanmu, kau akan datang....
Katamu... kau akan datang, tidak peduli dimana pun kau berada....

”Uh...” kuusap air mataku dengan punggung tanganku. Tapi tidak berhasil. Airmataku semakin deras membanjir.

“Lee Yo Won?” panggil seseorang sambil menyentuh pundakku. Ternyata Kak Tae Wong. “Loh? Kau menangis, ada apa?”

“Tidak apa-apa!” sergahku sambil menggigit bibir kuat-kuat. Kak Tae Wong menarikku ke pelukannya dan menepuk kepalaku lembut, seperti menenangkan anak kecil.

”Punya adik perempuan, rasanya pasti begini...” tawa Kak Tae Wong sambil menepuk-nepuk kepalaku lembut.

Kenapa... bahkan di saat pria lain memelukku, seluruh pikiranku malah mengingatnya? Dadaku terasa sakit sekaligus terluka. Kau kemana Kim Nam Gil? Kau kemana saat aku membutuhkanmu?!



--to be continued--

Tidak ada komentar: