Kamis, 13 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 30

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRTIETH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Han Ga In : (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Lady Man Myeong : Im Ye jin : as Kim Nam Gil and Uhm Tae wong mother
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Aku tidak datang sendirian tentu saja. Dae Chi dan Ye Jin, beserta anak-anak klub karate menemaniku. Suasana berkabung sangat kentara. Semua yang hadir mengenakan baju berwarna gelap dan tangisan masih terdengar dari sudut ruangan, dari Mama Kak Tae Wong.

“Ngg…Kak…” aku mendengar Dae Chi maju lebih dulu dan menyapa lalu menyalai Kak Tae Wong dan Mamanya. “Aku turut berduka…”

“Terimakasih…” senyum Kak Tae Wong. Setelah melakukan hal yang sama, kukatakan pada Mama Kak Tae Wong kalau Mamaku akan datang nanti sore, dan ia mengangguk berterimakasih.

Ye Jin yang melihatku memandang sekeliling dengan bingung, lantas menyenggol bahuku. “Dia tidak ada?” tanyanya. Aku menggeleng. Apakah ia tidak diperbolehkan datang?

“Entahlah, aku mau mengambil minum dulu…” ujarku sambil bergerak ke ujung, tempat panitia membagikan minuman.

Dan disanalah dia, berdiri sendirian, tidak bergabung dengan anggota keluarga lainnya. Ia menatap ke arah peti mati itu dan sedang bicara dengan sosok yang kukenali dengan jelas. Han Ga In. mahasiswi yang sedang praktik mengajar di sekolahku, sekaligus teman SMA pria itu di Amerika.

Wanita itu terlihat mengucapkan sesuatu dan ditanggapi senyuman oleh Kim Nam Gil. Kemudian ia mengangkat tangannya, sepertinya meminta untuk dibiarkan sendiri. Ia berjalan keluar dengan menunduk.

Tepat saat kuputuskan sebaiknya aku mengikutinya atau tidak, ponselku bergetar.

“Ya?” suaraku terdengar bergetar sekalipun aku berusaha menekannya. Kenapa begini tiba-tiba ia meneleponku?

”Apa... aku bisa bertemu denganmu...? Ah, sial, tidak, lupakan saja...” ujarnya.

”Kau tunggu saja di tempatmu...” ujarku sambil menutup ponselku dan berlari mengejarnya. ”Kim Nam Gil...” bisikku sambil menarik ujung kemeja hitamnya. Ia melihatku dengan wajah tidak percaya, lalu senyum yang kurindukan itu kembali muncul.

”Aku tidak menyangka kau datang kemari juga...” ujarnya sambil mengajakku pergi ke tempat yang lebih sepi. Kami duduk di rerumputan taman belakang rumah duka itu. ia menatap rumput dan mencabiknya perlahan.

”Aku datang... bersama anak klub juga kok...”

”Tidak masalah, tidak perlu dijelaskan. Aku bisa menebaknya...” ia menolak menatapku dan lagi-lagi mencabuti rumput di depannya.

”Aku.. turut berduka cita...” ujarku, berusaha menarik perhatiannya, tapi gagal. Ia mengangguk pelan dan menarik nafas panjang.

Perlahan, ia mulai bercerita. ”Keluargaku... satu-satunya keluargaku di rumah itu... hanya Papaku...” kulihat sudut bibirnya berkedut, dadaku terasa sesak melihat kepedihan di matanya. Apakah ia menahan air matanya?

”Begitu banyak yang menolakku di rumah itu... Tetapi, Papaku... ia yang membiayai kuliahku... ia yang merayakan ulangtahunku...”

”Sudahlah...” ujarku, berusaha mengatur nafas. Bisa kulihat emosi pria ini mulai naik turun. “Kau jangan memaksakan diri...”

“Aneh bukan?” matanya berkaca-kaca saat menatapku. “Di saat seperti ini, tiba-tiba aku ingin bertemu denganmu...” senyumnya terlihat begitu sedihnya sampai dadaku terasa perih.

Tahu-tahu wajahnya terlihat terkejut melihatku. “Hei! Kau aneh sekali! Kenapa malahan kau yang menangis!!” ia tertawa lalu menghapus air mataku dengan punggung tangannya.

Aku bisa merasakan tangannya begitu hangat dan gemetar di kulitku. Perasaanku naik turun, seperti sedang naik jet coaster. ”Terimakasih, kau menangis untukku...” senyumnya, lantas ia menghempaskan diri dan berbaring di atas rerumputan. ”Aah... nyaman sekali...” candanya.

”Kau... tegar sekali, Kim Nam Gil...” ucapku sambil menatapnya. ”Atau... kau berusaha menutupi perasaanmu?”

Ia membalas tatapanku dengan bingung. ”Hei! Kau aneh sekali daritadi! Kenapa sih matamu menatapku dengan rasa simpati seperti itu! Aku tidak butuh dikasihani!!”

”Entahlah,”jawabku sambil menatapnya. Bagaimana perasaannya? Begitu cepat kehilangan sosok yang sangat dikasihinya. Tiba-tiba saja aku kembali sesunggukan di depannya. ”Maaf, aduh..” buru-buru kuhapus air mataku. aku aneh sekali... Kulanjutkan kalimatku. ”T-tapi, rasanya, begitu menyakitkan bukan? Kalau... ditinggal oleh orang..yang..kau sayangi...”

”Berhenti menangis atau aku akan memukulmu!” ancamnya. Ia mengangkat tinjunya, dan aku sudah siap memejamkan mataku, ketika tahu-tahu ia memelukku. Bisa kurasakan bahunya berguncang-guncang.

”Sialan memalukan sekali...” suaranya terdengar parau, membuat airmataku semakin deras. ”Maaf, kupinjam dulu bahum....” aku tidak bisa mendengar kalimat akhirnya karena kurasakan betapa panasnya bahuku saat ia bersender di sana.

Tubuhnya yang gagah berguncang-guncang perlahan, menumpahkan betapa besar kepedihan dalam hatinya. Aku memeluknya, dan menyenderkan kepalaku di pundaknya.

Ia tidak perlu menangis sendirian. Aku akan menemaninya. Tidak bisa kuhindari, perasaan aneh itu kembali muncul. Dan kilasan itu.. kilasan yang aneh... Dalam ruangan penuh lilin... aku berpelukan dengan seorang pria...



─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Di depanmu, ada-ada saja keanehanku... Mana ada pria jantan menangis di depan seorang gadis!” omelku sambil memandang Lee Yo Won. Gadis itu tertawa, membuat tampangnya terlihat lucu.

“Jangan tertawa dengan mata bengkak, wajahmu membuatku geli tahu!” protesku.

“Wajahmu juga sama konyolnya!!” tawanya. Aku menyambut tawanya dan memanggil seorang penjaja es krim yang kebetulan lewat. ”Aku beli chocolate juga untukmu. Tidak masalah?”

”Tentu saja tidak! Aku memang suka rasa chocolate!” ia menerima es krim dariku dengan gembira dan menjilatinya dengan nikmat. Tiba-tiba ia tertawa sendirian.

”Sedang kumat, nona?” tanyaku. Oh, kenapa aku bisa lupa? Aku kan sudah berjanji untuk menjauh darinya. Sekarang kami bahkan terlihat seperti pasangan paling aneh di dunia. Dua orang dengan mata bengkak sedang asyik menikmati es krim.

”Tidak, hanya geli saja. Kalau ada yang lewat, pasti mereka berpikir kita ini pasangan tolol yang matanya bengkak dan asyik makan eskrim.”

Tanpa sadar kugigit eskrim terlalu banyak dari perkiraan. Glek. Mengerikan. Bisa-bisanya pikiran kami sama seperti ini. Beberapa kali aku terbatuk. Kepalaku jadi sakit karena es krim itu!! Sialan, berapa kalipun menahan batuk, batuk ini masih saja tidak berhenti.

”Kenapa?” wajahnya terlihat cemas. Beberapa kali tangannya membantuku menepuk punggungku. ”Kau tersedak?”

”Tidak apa-apa, thanks...” ujarku sambil menghela nafas panjang.

Tinggal beberapa hari lagi... dan aku akan pergi dari tempat ini. Entah sementara, atau mungkin selamanya? Perdagangan senjata... rasanya resiko itu terlalu berat untukku.

Aku sudah memutuskan untuk menolaknya semalam, kalau saja tidak tersentuh melihat kesungguhan hati Baek Do Bin yang mengatakan kalau ia akan berhenti dari dunia kotor ini begitu perdagangan senjata ini selesai. Kontrak terakhir yang seluruh keuntungannya akan ia berikan pada anak buahnya sebagai akhir dari kelompok mereka. Sebuah pembubaran.

”Melamunkan apa?” tanya Yo Won sambil memandangku. Aku suka sekali melihat matanya yang begitu bening, sekalipun saat ini matanya sedang bengkak, sih...

”Hmm... hanya menduga saja...” ujarku asal. ”Kematian itu... benar-benar mengejutkan... Saat meninggal, kau akan tahu nilai seseorang berdasarkan berapa banyak yang peduli dan datang untuknya...”

”Benar, aku setuju... Lalu?”

”Aku hanya berpikir... berapa banyak yang akan datang kalau aku.... meninggal?” Begitu kuselesaikan kalimatku, buru-buru aku meralat. ”Sudahlah! Anggap saja aku bicara ngawur!”

”Memang ngawur!” seru gadis itu kesal. ”Mana boleh kau berpikir seperti itu! kau kan masih muda! Jalanmu masih jauh ke depan!!” ia mulai mengomeliku.

”Baik, baiklah.. kau seperti ibu-ibu saja...” gurauku. Tetapi, raut wajahnya masih tetap terlihat keruh.

”Oke, aku minta maaf, anggap aku tidak mengatakan demikian...” ujarku sambil mengangkat tanganku dan berdiri. ”Ayo, kita masuk ke dalam. Nanti kalau saudara kembarmu mencarimu bagaimana...”

”Kim Nam Gil...” ia menatapku dalam-dalam saat berdiri di depanku. Matanya begitu dalam menusukku sampai aku tidak bisa memalingkan wajah. ”Kau... tidak menyembunyikan apapun dariku, bukan?” tanyanya lagi.

Aku menatapnya tanpa mampu berkata apapun. Haruskah aku mengelak? Atau mengatakan yang sebenarnya?

-to be continued-

Tidak ada komentar: