Kamis, 13 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past, side story 1

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 1
-LET IT FLOWS-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
Shendi: Han Shin Woo
Rin: Na Rin Young
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Joo Sang Won, Seoul, 2009─

“Seperti biasa, penampilannya intelek sekali…” bisik teman sekelasku. Lainnya mulai menyahut. “Ya, dan dia tetap seperti sosok yang sulit didekati...”

Aku menusukkan sedotan ke susu kotak yang baru kubeli di kantin. Para gadis akhir-akhir ini sepertinya suka berbicang. Bukan hal baru untukku. Kulanjutkan makan siangku dengan menyobek bungkusan rotiku, dan kutatap halaman dari jendela yang terletak tepat di sampingku.

“Siapa yang kau perhatikan?” tanya Seung Ho sambil duduk di depanku.

Mejanya memang berada tepat di depanku. Aku tidak membenci anak ini. Ia jenius, dan ia tidak pelit membagi contekan jawaban ulangan padaku, asalkan aku tidak menyalin semuanya persis.

“Tidak ada,” elakku. Tapi mataku masih tertuju ke sosok di halaman sekolah. Sosok yang sedari tadi digosipkan teman sekelasku.

“Na Rin Young. Tinggi rata-rata, proporsi badan pas, dengan wajah lumayan manis dan otak di atas rata-rata. Keluarganya adalah teman pemilik sekolah ini. Dan akhir semester kemarin, ujiannya menduduki peringkat pertama, mengalahkan Kak Seung Hyo. Ia cukup hebat walaupun merupakan murid pindahan di sini...” papar Yoo Seung Ho panjang lebar.

Aku mendengus dan menertawakannya. ”Aku tidak butuh informasi selengkap itu! Yang benar saja!”

”Kau jangan coba mengelak, matamu terus menatapnya dari tadi. Ada hubungan khusus dengannya?” tanyanya penuh selidik.

”Tidak ada,” elakku. ”Saat ini cuma karate dan pelajaran olahraga yang ada di otakku...” tuturku. Orang sering mengataiku lugu atau polos, tapi begitulah aku. ”Hei, lihat. Bukankah yang memanggilmu itu pacarmu?” tanyaku sambil menunjuk ke arah pintu.

”Oh, ya, kau benar...” ia tertawa kecil sebelum meninggalkan mejanya dan mengobrol dengan pacarnya di lorong.

Pacaran apa enaknya sih? Aku memandang sejoli itu dengan tatapan bingung sambil mengunyah rotiku. Lebih seru juga tanding karate!


─Na Rin Young, Seoul, 2009─

“Sang Won! Sang Won! Sang Won!!” teriakan anak-anak kelas satu emmbahana di seluruh ruang aula. Aku menutup telinga dan mengernyit kesal. Kenapa sih Pak guru Biologi tidak menyampaikan pesannya pada guru olahraga langsung? Kenapa ia harus menunjukku sebagai medium? Memangnya aku tidak sibuk?

“Awas!” teriak seseorang.

Aku menoleh dan terlambat. Bola itu melaju tepat ke arahku. “Kyaaa!!” pekikku takut. Saat kubuka mata, tidak ada satupun benjolan bengkak di kepalaku. Tetapi, di depanku, seorang anak lelaki jatuh terduduk dengan wajah kesakitan.

“Tidak apa-apa?” Tanya kami bersamaan.

”Hahaha...” ia tertawa di sela-sela kesakitannya. “Maaf, temanku salah melempar bola tadi...” dan bola matanya terlihat begitu jujur. Baru kali ini kulihat bola mata seindah itu.

”Apanya yang kena?” tanyaku sambil mengamati wajahnya. ”Terimakasih ya... Aku tidak menyangka...”

”Tidak menyangka aku akan menolong?” tanyanya polos. ”Teman menolong teman, manusia membantu sesama. Bukankah itu hal yang wajar?” tanyanya sambil tersenyum. Dan penglihatanku tidak salah. Matanya memang sangat indah.

”Kau baik sekali,” pujiku. ”Padahal aku bukan temanmu...” kuamati tangan yang dicengkramnya sedari tadi. ”Tanganmu sampai ungu begitu...”

”Habisnya, hanya tangan ini yang paling cepat sampai di depan bola itu...” ia tertawa sambil menggerutu soal tinggi badannya. ”Namamu Na Rin Yong bukan? Kau harus melindungi kepalamu. Isi otakmu lebih berharga daripada millikku..” jelasnya sambil nyengir lebar.

Aku tidak bisa menahan tawaku. ”Terimakasih... dan kuduga, namamu pasti Sang Won...”

”Hebat! Kau memang hebat! Tahu darimana?” tanyanya dengan mata berbinar riang seperti anak kecil.

”Gadis-gadis itu...” kutunjuk jari ke arah mereka. ”Ayo, kubantu memapahmu... mereka akan mengobatimu segera...” ujarku sambil mengulurkan tangan ke arahnya.

”Pria jantan tidak akan dipapah, melainkan memapah perempuan...” candanya. ”Konyol memang, tapi itu prinsipku...” dengan menahan sakit, ia berdiri dan berjalan dengan gagahnya ke bench pemain cadangan. Di sana, para gadis berebutan mengobatinya.

Joo Sang Won. Anak kelas satu yang memiliki mata yang indah dan polos. Tipe yang tidak bisa dibenci. Aku rasa ia menyenangkan.


─Joo Sang Won, Seoul, 2009─

“Sini! Biar kubantu!” teriak Rin Young sambil mengambil tumpukan buku dari tanganku. “Tanganmu belum sebmbuh, bukan?” tanyanya dengan wajah cemas.

“Sudah hampir sembuh. Memangnya aku selemah itu?” tawaku geli melihat wajah cemasnya.

Sudah beberapa hari ini hubungan kami mulai dekat. Bahkan beberapa temanku mengatakan kalau aku cukup berani karena dengan terang-terangan menunjukkan kemesraan dengan siswi teladan kelas tiga. Hahaha, bukankah teman-temanku sangat konyol?

”Apa yang kau tertawakan?” tanyanya sambil menatapku melalui sudut matanya. ”Aku harap bukan aku yang kau tertawakan...” tambahnya lagi.

”Tentu saja bukan kau, hanya beberapa teman sekelasku... Mereka menggelikan..” tawaku mulai kembali. ”Tapi, yah, terimakasih. Kau terlalu banyak membantu akhir-akhir ini...”

”Manusia membantu sesama. Dan teman membantu teman. Wajar bukan?” tanyanya sambil bergaya diplomatis, mengulangi kata-kataku.

”Ya, aku tidak keberatan...” sambil mengamatinya, aku mulai menilainya. Sebenarnya, teman-temanku semuanya salah paham padanya. Ia gadis yang baik. Dan kalau sudah mengenalnya, mereka akan menyadari keramahannya, dan sifatnya yang peka. Tipe gadis yang menyenangkan.

”Apa lagi yang kau pikirkan?” tanyanya sambil menatapku.

Uh,oh, rupanya kami sudah tiba di ruang guru. Ia sudah membantuku membawa setumpuk buku sampai di tujuanku. ”Terimakasih, akhir-akhir ini otakku rada ngaco, entah kenapa sering melamun di dekatmu...”

”Jangan konyol Sang Won...” ia tertawa dan aku terus menatap tawanya. Aku suka melihat caranya tertawa, caranya tersenyum, dan tatapan matanya. Menimbulkan perasaan yang... menyenangkan.

”Ng...” aku mulai bergumam tidak jelas saat ia membantuku mengambil pulpenku yang terjatuh.

Sejenak jemari kami bersentuhna. Rasanya ada sebuah sengatan perasaan aneh, seolah lebah menyengat dadaku. Aku tersentak memandangnya. Ia juga memandangku dengan kaget. Dan matanya yang bening terlihat begitu dipenuhi keterkejutan.

”Apa.. kau merasakan ada yang aneh di sini?” tanyaku sambil menyentuh dadaku. ”Aku merasakannya...”

”Merasakan apa?” tanyanya bingung.

”Kayaknya ada lebah yang menyengat dadaku.”

Ia tertawa terpingkal-pingkal lama sekali. Dan aku sangat menikmati tawanya. ”Kau konyol, Sang Won. Tapi sisi itu yang menarik darimu, kurasa...ya, begitulah... ada yang menyengat...” ujarnya menyetujui.

─Na Rin Young, Seoul, 2009─

“Aneh tidak kalau aku tertarik pada berondong?” tanyaku pada Seung Hyo.

Ia duduk di sebelahku. Dan ia anak pertama yang menyapaku sejak kepindahkanku kemari. Ia baik, dan berwibawa, dan bijaksana. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk bersahabat dekat.

Seung Hyo nyaris menumpahkan minumannya kala mendengar pertanyaanku. ”Aneh sekali pertanyaanmu…” ia mulai bersungut-sungut. “Siapa yang kau sukai?” tanyanya tiba-tiba. “Sang Won!?”

“Kecilkan suaramu!” perintahku. Kulirik kanan kiri dan kuembuskan nafas lega. Kayaknya memang tidak ada yang mendengar. Semua fokus pada kegiatan masing-masing.

”Tidak ada masalah. Kulihat ia juga menyukaimu. Ia sering membicarakanmu di klub...”

”Sungguh?” tanyaku, penasaran.

”Ya, dia mengatakan. Rin membantuku begini, begitu, begini, begitu...” ia tertawa sebelum melanjutkan. ”Kukira tidak ada habisnya... Tapi, kurasa satu hal yang perlu kau ketahui. Mungkin ia juga menyukaimu, tapi otaknya terlalu polos untuk itu. Saat ini ia hanya memikirkan karate dan olahraga...”

”Bisa kutebak,” sahutku. ”Selama ini kulihat banyak gadis senior mendekatinya, namun ia menganggap mereka angin lalu...”

”Berbeda denganmu,” ujar Seung Hyo. Pipiku memerah mendengarnya. ”Jadi, apa kau akan menembaknya?” tanyanya.

Aku menggeleng. ”Aku ingin membiarkan semuanya mengalir,” ujarku. ”Biarkan saja sampai ia sendiri yang menyadarinya. Aku akan menunggu. Lagipula, hidup masih panjang bukan?”

”Ya, hidup masih panjang...” ujarnya setuju.

”Dan kau juga, kudoakan kau sukses mengejar gebetanmu itu, anak kelas dua, teman Lee Yo Won bukan? Aku sedikit lupa namanya. Han Shin Woo?” tanyaku.

Ia tertawa. ”Urus saja urusanmu...” elaknya.

Sang Won seperti sudah kewajibannya, menjemputku pulang setiap harinya. Dan kali ini, kami berdua nyaris ketinggalan bis.

”Ayo, Rin Young!!” serunya sambil menarik tanganku. Aku membiarkan tanganku digandengnya, dan tersipu malu kala melihat wajahnya yang juga memerah.

Sepertinya, ini akan menjadi awal baru hubungan kami. Memang mungkin tidak jelas kemana dan bagaimana. Tapi kurasa, memang lebih bijaksana untuk menjalaninya perlahan. Kurasa, hari ini sebuah era baru untukku dan Sang Won telah tiba. Mungkin tidak langsung, tetapi pelan-pelan... dan semua akan terjadi secara alami...

-selesai-

Tidak ada komentar: