Sabtu, 13 Maret 2010

FanFic Bideok After Love 27

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY SEVENTH SCENE
SAME WITH YOU
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Apa dia baik-baik saja?” tanya Chenmyeong dengan cemas. Alcheon yang berdiri di sampingnya hanya mampu mengangguk tidak pasti. Mereka kembali mengintip dari jendela. Bidam masih belum sadar dan Deokman dengan sabar menunggu di sampingnya.

”Ada informasi terbaru Wolya-shi?” tanya Alcheon begitu Wolya berjalan menghampiri mereka. Belakangan dengan keterangan dari sejumlah saksi, Yeomjong resmi dinyatakan sebagai buronan.

”Chuncu nyaris berhasil menangkapnya beberapa jam lalu. Pria itu licin seperti belut...” geram Wolya sambil mengurut pelipisnya pelan. ”Dia harus mendapat hukumannya. Dan Alcheon? Ada baiknya kau juga menggelar jumpa pers untuk dua hal. Kondisi Bidam dan... pernikahanmu...”

”Aku tahu itu,” jawab Alcheon pelan. ”Kurasa ini bukan saat yang tepat, tapi... akan kulakukan. Bagaimana pun, tanggapan fans bisa berakibat banyak...”

”Aku akan menemanimu...” ujar Chenmyeong sambil merapatkan genggaman tangannya. Ia melihat Alcheon menunjukkan sikap menolak, namun dengan cepat mencegah pria itu memprotes. ”Berdua akan lebih baik daripada sendirian...”
----------------------------=======================------------------------------------------------
”Lihat, mereka sedang menggelar jumpa pers untuk kita semua...” ujar Deokman sambil memandang televisi. Pria di sebelahnya tetap tidak bergeming. Deokman tersenyum memaklumi. Kini sudah genap tiga hari sejak pria itu kehilangan kesadarannya.

”Kalau kau sadar nanti, aku ingin mengatakan sesuatu padamu...” bisik Deokman dengan senyuman tertahan. Ia mengangkat wajahnya dan menghapus airmatanya dalam satu gerakan cepat. ”Karena itu, kau harus segera siuman...”

”Belum ada tanda-tanda ia akan siuman?” tanya Mishil sambil meletakkan sekeranjang buah. ”Kau butuh makan, Deokman...” ujar Mishil sambil menyerahkan bungkusan bubur ke hadapan gadis itu. ’Dari kemarin kau makan sedikit sekali... Dia bisa memarahiku begitu ia sadar nanti...”

”Aku tidak apa-apa kok, Mishil-shi, terimakasih...” ujarnya sambil meletakkan bubur itu ke pangkuannya. ”Bagaimana dengan Munno-shi?”

”Masih tidak ada tanda-tanda apapun...” tukas Mishil sambil menghela nafas panjang. ”Biar bagaimana pun, yang bisa kita lakukan hanya menunggu, bukan?” tanyanya sambil berusaha tersenyum.
----------------------------------==========================----------------------------------------
Munno menggerakkan jemarinya sedikit. Ia merasakan jantungnya berdegup, merasakan aliran darah dalam tubuhnya, dan merasakan udara di depannya begitu asing. ”Dimana.. ini?” bisiknya. Ia terkejut mendengar suaranya sendiri nyaris tidak ia kenali. Mishil yang tertidur di samping tempat tidurnya tersentak dan terbangun, lalu memandang pria itu dengan tatapan tidak percaya.

”Dimana aku...?” tanya Munno sambil memegangi kepalanya. Ia melihat infus yang terpasang di tangannya, dan merasakan tubuhnya begitu lemah dan kaku. “Apakah... aku lumpuh?”

“Tidak, tentu saja tidak...” jawab Mishil sambil menatap pria itu, antara sadar dan tidak sadar, ia menjawab. ”Akan kupanggilkan dokter...”

”Dimana Bidam?” tanya Munno. ”Hari apa ini...?” tanyanya lagi. Ia memandang sekeliling dengan bingung. ”Kenapa aku di sini?”

”Sebaiknya kau tunggu di sini dengan sabar,” jawab Mishil tenang. Ia mulai menguasai keadaan dirinya. Namun senyum lega dan senang memenuhi wajahnya. ’Kau berada di rumah sakit, dan ini sudah hari Selasa, tepat 6 bulan 8 hari sejak kau pingsan. Dan Bidam? Nanti aku akan menceritakan banyak padamu. Tapi, lebih baik aku duduk manis dan menungguku memanggil dokter untuk memeriksamu...”
-------------------------------------==============================------------------------------
”Deokman? Deokman...?” Deokman merasakan rambutnya diusap pelan dan lembut. Ia mengangkat wajahnya pelan dan mengusap matanya yang masih mengantuk. Dalam sekejap rasa kantuknya hilang, digantikan luapan kebahagiaan yang teramat sangat.

”Kenapa?” tanya Deokman sambil tersenyum. Ia menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya sekaligus bimbang.

”Kenapa bagaimana ya?” tanya Bidam sambil tertawa. Namun sedetik kemudian ia memegang dadanya yang terasa nyeri. Rupanya luka jahitannya belum sembuh benar, ”Apa maksudmu kenapa?”

”Kenapa kau baru sadar sekarang?” tanya Deokman sambil memukul dada Bidam perlahan. Melihat pria itu mengernyit kesakitan, dengan terkejut ia menghentikan aksinya dan menatapnya cemas. ”Maaf, apa aku menyakitimu? Aku hanya bingung kenapa kau membuatku menunggu begitu lama...” ujar gadis itu sambil tersenyum, namun sesaat kemudian, sudut bibirnya bergerak-gerak, menahan tangis.

”Tidak apa kok, dipukul lagi juga boleh,” ujar Bidam sambil memegang tangan Deokman, meletakkannya di dadanya. Ia mengangkat tangan kirinya yang masih menggenggam Soyopdo. ”Benda ini melindungiku?” tanyanya bingung. ”Kapan ya, rasanya aku pernah melihatnya...”

”Dulu Kakekku memberikannya pada Ayahku dan dulu saat wanita itu memanahku, aku selamat karena Soyopdo itu. Kini, ia melindungimu...” Deokman tersenyum sambil menyentuh lengan kiri Bidam. ”Aku harap luka itu tidak berbekas...” ia memandang dada Bidam yang masih terbalut perban.

”Bagaimana dengan Yeomjong?” tanya Bidam sambil memandang Deokman.

”Dia sedang dikejar polisi...” tukas gadis itu kesal. ”Aku tidak berani membayangkan kemungkinan kau akan meninggalkanku lagi...” ujarnya sambil tersenyum pelan. Matanya sudah penuh oleh air mata, dan dalam satu tarikan nafas, Bidam menarik Deokman ke dalam pelukannya.

Deokman merapatkan wajahnya di dada bidang pria itu. Ia merasakan cairan hangat berjatuhan di pipinya. Betapa ia merindukan cara pria itu menatap, memeluk, dan mencintainya...

”Maaf ya, aku membuatmu menunggu...” ujar Bidam sambil menempelkan pipinya di kepala gadis itu. Dadanya terasa penuh dengan kerinduan. ”Akhirnya, setelah mencarimu sekian abad,aku bisa melihat dan memelukmu lagi...” suara pria itu terdengar dalam dan berat.

”Bidam...” Deokman menarik nafas panjang dan mengumpulkan segenap keberanian di dadanya. ”Selama ini aku membuatmu menunggu dalam ketidakpastian. Selama ini dengan egois aku membuatmu menunggu dan menanti jawabanku. Kali ini, aku ingin mengatakannya dengan tegas...”

Bidam tidak menjawab, hanya menatap semburat coklat di mata gadis yang dicintainya itu. Ia tidak bertanya, tidak bicara.

”Aku mencintaimu... sangat mencintaimu... Dari dulu sampai sekarang, hanya kau satu-satunya untukku... Baik sebagai Ratu Shilla, ataupun Deokman yang dulu dan sekarang... aku mencintaimu...”

Deokman belum selesai mengucapkan kalimatnya ketika pria itu dengan kuat menariknya kedalam pelukannya, menyentuh dan mencium bibirnya. Kali ini, ia tidak akan melepaskan cinta lagi. Apapun yang terjadi.
---------------------------==========to be continued==========-------------------------------------

Tidak ada komentar: