Sabtu, 13 Maret 2010

FanFic Bideok After Love 33

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRTY THIRD SCENE
THE RELIABLE FACTS
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yeomjong merasakan keringat dinginnya mengalir. Dan mati-matian ia menahan gemeletuk di giginya. Ia terlalu takut untuk bergerak. Lambat-lambat ia merasakan ketakutan itu hampir membuat celananya basah. Memalukan. Dan menyedihkan. Ia menutup mata, menyerah, merenungi nasib, menggigit bibir, membenci dirnya sendiri, dan akhirnya menangis. Ia kalah. Kalah, dan tidak ada jalan kembali.

”Ada permohonan terakhir?” tanya seorang pasukan.

Yeomjong mengangkat wajahnya, merasakan airmata mengalir deras di pipinya. Baru kali ini ia takut akan kematian, akan hukuman yang mungkin diterimanya di langit. Selama ini ia tidak mempercayai Tuhan, dewa, neraka maupun surga. Tapi rasanya sulit untuk tidak mendoakan pengampunan bagi dirinya sendiri. Dan siapa yang akan mendoakan dirinya? Rasanya nyaris mustahil. Yeomjong merasakan bahunya bergerak-gerak saat ia menangis sesunggukan. Memalukan, tetapi biar bagaimana pun, ia akan mengatakannya.

”Aku hanya ingin... permintaan maafku kepada mereka semua disampaikan...” tukasnya. Dan kemudian ia menutup matanya pasrah. Kain penutup mata dipasangkan di wajahnya. Ia akan mati dalam kegelapan. Dan sendirian.

”Permintaan diterima,” jawab pasukan itu lagi. ”Semuanya! Bersiap dalam hitungan ketiga!!”

Yeomjong nyaris menjerit saat semua tembakan secara bertubi-tubi menyerang tubuhnya. Siapa yang bilang rasanya sama sekali tidak sakit dan dalam sekejap semuanya hilang? Ia bahkan bisa merasakan tembakan pertama di bahu kanan, bahu kiri, tulang rusuknya dan...Ketika tiga tembakan terakhir diluncurkan, semuanya mendadak menggelap, hilang, dan ia tahu, ia sudah tidak bernyawa lagi.
----------------------------------------=========================------------------------------------
”Semalam ia dihukum mati...” ujar Munno sambil meletakkan korannya. Sejenak ia kehilangan selera makannya. ”Letakkan saja di sana, suster...” ujarnya sambil emnolak sarapannya.

Mishil masuk sambil membawa sekeranjang buah-buahan. ”Kau boleh tidak memakan yang itu, tapi kau harus memakan buah ini...”

”Mishil, dia dihukum mati...” ujar Munno pelan. “Biar bagaimana pun sifatnya, aku tetap tidak bisa melupakan kenyataan bahwa ia pernah menjadi sahabat kita...” Munno menggeleng sedih. “Bagaimana perasaan Bidam ya?” tanyanya.

“Ia baik-baik saja. Hari ini ia akan mengunjungi makam Sadaham...” jawab Mishil. “Mungkin hal ini bisa memperbaiki nafsu makanmu. Kuberitahu, ya.... buah-buahan ini dibelikan oleh putrimu...”

“Ooh?” sahut Munno sambil dengan refleks menangkap buah apel yang dilempar Mishil ke arahnya. “Tiba-tiba memiliki seorang putri yang cantik, dan ia sangat menyerupai Sohwa...” gumamnya. “Aku tidak bisa bersikap sebagai ayah yang baik untuknya...”

Mishil mengambil piring dan meletakkannya di pangkuannya. “Mau kukupaskan?” tanyanya menawarkan bantuan. Munno menggeleng dan menggigit apelnya pelan. ”Pelan-pelan saja,” ujarnya sambil mulai mengupas pir. ”Waktu yang akan membantu kalian...”

”Ya, semoga saja begitu...” Munno menatap jendela perlahan. Sohwa dulu juga sering menghabiskan waktunya di rumah sakit, karena tubuhnya yang sakit-sakitan. Sungguh suatu kebetulan, gadis itu pernah tinggal di ruangan yang kini ia tempati. Munno berpikir sejenak, lalu menatap Mishil.

”Bagaimana menurutmu dengan pernikahan mereka?” tanya Mishil dan Munno berbarengan, lalu sama-sama tertawa kalut. ”Ternyata kita memikirkan hal yang serupa...” ujar Mishil sambil menata pirnya dan menyodorkannya ke Munno.

”Aku tidak tahu, hanya saja... kalau melihat watak Bidam, mau melarangnya juga tidak mungkin lagi...”

”Apa kau takut gadis itu menganggapmu Ayah mertua?” tanya Mishil sambil menaikkan alisnya.

”Bukan begitu,” sergah Munno terburu-buru. ”aku hanya takut kehilangan kesempatan menjadi seorang Ayah yang baik...”

”Biar bagaimanapun, Deokman gadis yang baik. Ia pasti bisa menerimamu apa adanya. Lagipula, waktu kau koma, ia pernah bicara denganmu, dan... rasanya ia menganggapmu penting, bukan hanya karena kau adalah Ayah angkat Bidam...” Mishil melanjutkan kalimatnya sambil berpikir sejenak. ”Menjadi Ayah mertua atau pun Ayah kandung, bukankah dua-duanya sebenarnya sama saja?”

Munno mengangguk sambil tersenyum pelan. Sedari dulu, hanya Mishil yang tidak dapat dibantahnya. Dan entah kenapa, setiap mendengar wanita itu bicara dengan bijak, perasaannya selalu menjadi lebih baik. Entah kenapa.
--------------------------------===========================----------------------------------------
”Mustahil!!!” seru Bidam sambil menatap batu nisan di hadapannya. Berulang kali ia menggosok foto yang terukir di nisan itu dengan terkejut. ”Astaga... ternyata begitu... ternyata begitu...” ia tertawa dengan ekspresi campur aduk.

”Apa yang sedang kau bicarakan sebenarnya?” tanya Deokman bingung. ”Masa kau begitu terkejut melihat foto Ayah kandungmu sendiri?”

”Aku tidak pernah melihat wajahnya sejak kecil sampai sekarang. Tetapi... ternyata, memang beliau orangnya...” gumamnya sambil memandang foto itu setengah tertawa. ”Pria yang kutemui ketika keadaanku antara hidup dan mati...ternyata Ayahku. Sadaham!!”

”Kau bertemu dengannya?” tanya Deokman tidak percaya. ”Apakah ia mengatakan sesuatu?” tanyanya lagi.

”Ia tidak mengatakan apapun. Namun, sebelum aku lebih jauh melangkah ke arah yang salah,. Ia mencegahku dan mendorongku...” Bidam tersenyum dan seketika itu juga airmatanya mengalir. ”Ternyata aku tidak salah menafsirkan kehangatan di matanya... Pantas saja... ketika bertemu dengannya...rasanya...” Bidam menyentuh dadanya. ”Pantas saja di sini... terasa sangat hangat...” ia tersenyum pedih.

”Pasti Beliau juga mengkhawatirkan keadaanmu waktu itu...” Deokman tersenyum sambil menyentuh lengan Bidam,dan menyentuh nisan itu perlahan. ”Ternyata, walaupun kita tidak bisa lagi bertemu dengan orang yang kita cintai, kematian bukan akhir segalanya... mereka tetap ada di sini...” ia menyentuh tangan Bidam yang mendekap dadanya sendiri. ”Dan mereka...senantiasa menjaga kita...”

”Ya,” angguk Bidam, lalu berjongkok dan meletakkan bunga di atas nisan itu. ”Appa...” panggilnya pelan, lalu tersenyum pahit. ”Sejak kecil, aku tidak pernah bertemu denganmu, tidak pernah bermain denganmu... tidak pernah menemuimu.. dan bahkan, baru kali ini memanggilmu dengan sebutan Appa... maafkan aku...”

Bidam sesaat meletakkan tangannya di wajah, menahan airmatanya. ”Aku... akan menjaga Omma... jadi, Appa tenang saja...” ia menghembuskan nafas eplan, lalu berkata tertahan. ”Meskipun hubungan kita tidak seakrab anak-anak lelaki lainnya, yang setiap saat bisa memeluk Appanya, bermain bola, atau dimarahi Appanya, aku tahu.. aku bangga punya Appa sepertimu.. terimakasih Appa...”

Deokman meletakkan tangannya di pundak Bidam, menguatkan hati pria itu. Bidam mengangguk lalu kembali menatap nisan di hadapannya. ”Mungkin terlalu tiba-tiba, tapi hari ini aku datang dengan wanita yang akan kunikahi, wanita yang kucintai. Dan kuharap, Appa bisa merestuiku....”
------------------------------========to be continued===========----------------------------------

Tidak ada komentar: