Sabtu, 13 Maret 2010

FanFic Bideok After Love 29

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY NINTH SCENE
MISERY IN MISTERY
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“”Menyerahlah! Anda sudah kami kepung!!!”

Yeomjong mengintip dari tembok dengan wajah pucat menahan rasa sakit dan takut akan kematian. Ia benci penjara. Dan ia tidak suka penjara menjadi kuburan hidup baginya. “Menyerah? Tidak akan!!” ia membebat kakiknya yang sakit bagai hampir putus. Darah berceceran di sekelilingnya.

“Sedikit lagi, begitu aku bisa menyelinap ke kapal itu… Aku akan bebas…” ia menatap kapal mewah yang berada tidak jauh darinya. Dengan gusar ia menghitung jarak kapal itu ke tempatnya bersembunyi. Cukup jauh, sekitar sembilan puluh langkah. Dan rasanya hampir mustahil tiba di kapal itu tanpa tambahan luka.

“Aku tidak akan pernah memaafkan kalian…” geramnya sambil menggertakkan gigi. “Munno, Sadaham, Mishil dan Bidam! Juga Seokpum!!” ia mengumpat dan memantapkan langkah kakinya, berusaha lari secepat kilat ke kapal yang dituju.

Malang baginya, seorang polisi menyadari aksinya dan dengan cepat melancarkan tembakan bertubi-tubi. “Argh!!!” Yeomjong berteriak saat kakinya yang satu lagi terasa luar biasa panas. Dengan terpincang-pincang ia tetap meneruskan larinya.

“Tembak dia! Ia mau kabur!!!” seru polisi lainnya. Dan tembakan susul menyusul di udara. Mengisi keheningan malam di pelabuhan itu. Satu tembakan mengenai pinggangnya, namun kebencian yang membutakan matanya membuatnya tetap bertahan.

Duar!!!! Satu tembakan lagi mengenai bahu kanannya. Yeomjong meringis dan berteriak marah. “Sekalipun harus cacat, aku tidak akan hidup di…” sebelum ia selesai mengumpat, satu tembakan lagi menembus perutnya. Sampai sini, perjuangannya untuk lari berakhir. Ia jatuh berlutut, memegangi perutnya yang bersimbah darah. Dalam sekejap, puluhan mata mengawasinya, seluruh pasukan mengepungnya. Kali ini tidak ada jalan untuk lari lagi.
-------------------------------------======================--------------------------------------------
“Apakah kami boleh masuk?” tanya Bidam seusai mengetuk pintu. Munno memanggilnya dan ia berjalan masuk bersama Deokman. Namun Deokman tidak berjalan mendekati ranjang. Ia memilih menunggu di samping pintu bersama Mishil.

“Bagaimana keadaan Appa sekarang?” tanya Bidam sambil tertawa. Ia senang melihat seulas senyum muncul di wajah Munno. Sekalipun terlihat kurus dan lemah, sebuah semangat hidup masih terlihat jelas di mata pria itu.

“Aku baik-baik saja…” jawabnya. “Rasanya sudah lama sekali tidak melihatmu…” ujarnya sambil mengulurkan tangan. Bidam menyambutnya dan tersenyum lega. “Rasanya ada banyak yang mau kau ceritakan padaku…”

“Tentu saja! Sangat banyak!!” sahut Bidam bersemangat. Deokman tersenyum melihat wajah ceria pria itu tampak begitu polos di hadapan Munno. “Pertama-tama, tentu saja, aku ingin meminta restu Appa…” Bidam lantas mengalihkan pandangan ke arah Deokman.

Deokman menggeleng menolak. Ia merasa sekarang bukan saat yang tepat untuk memberitahukan semuanya ke Munnoi. Mungkin agak terlalu tiba-tiba. Tetapi tidak demikian menurut Bidam. Ia sangat ingin dan kelewat bersemangat untuk mengumumkannya ke seluruh dunia.

“Calon istriku…” ujar Bidam, setengah memaksa. Deokman menggeleng, namun Bidam pura-pura tidak melihatnya dan semakin mengulurkan tangan sementara tangan satunya ada di genggaman Munno. “Kemarilah…” panggilnya lagi, jelas-jelas memaksa.

Deokman memamerkan senyum terpaksanya. Kenapa susah sekali menolak permintaan pria ini. “Nanti kuberikan bunga…” bujuk pria itu lagi. Dengan enggan Deokman melangkah maju dan mendekati ranjang itu. Ia terkejut melihat mata Munno yang berwarna coklat terasa begitu hangat, sekaligus familiar.

Munno memandang Bidam sebelum memandang gadis yang sedang berjalan ke arahnya. “Kau bilang calon istrimu? Secepat itu kau menentukan pilihan?” tanyanya bingung. “Begitu banyakkah hal yang sudah kulewatkan?”

“Cukup banyak appa, dan salah satunya tentang kami…” Bidam meraih tangan Deokman sebelum gadis itu mencapai tempat tidur Munno. “Dan aku rasa Appa tidak akan menolak merestui kami, bukan?” tanyanya setengah menggoda.

“Biarkan aku melihatnya dulu dong…” jawab Munno, mencoba menanggapi candaan Bidam. Namun begitu wajah Deokman terlihat di matanya, ia membisu, mendadak kehilangan kemampuannya untuk bicara.

“Appa? Kenapa bengong? Apakah dia terlalu cantik sampai Appa terdiam begitu?” tanya Bidam sambil merangkul Deokman. Deokman tersenyum ragu. Ia merasakan dorongan kuat untuk ikut memanggil pria itu Appa, entah apa alasannya.

“Sohwa…” hanya kata itu yang terucap di bibir Munno. Deokman mengangkat wajah dengan bingung, lalu menatap Mishil yang mendadak ikut terkejut saat menatapnya. “Kenapa Munno-shi memanggilku begitu? Bukankah Sohwa nama teman kalian?”

“Dia…” Mishil berjalan mendekat lalu memandang Munno dengan cermat. “Menurutmu gadis ini mirip dengannya?” tanyanya ragu. walau sedikit ragu, Mishil menyadari ada begitu banyak kemiripan dalam setiap garis wajah gadis di sampingnya.

“Apakah ia putriku?” tanya Munno setengah menggumam.

“Tentu saja bukan, iya kan Deokman?” tanya Mishil sambil tersenyum memastikan. Melihat air muka gadis itu begitu penuh dengan keraguan, sejenak ia berhenti bernafas. “Ada masalah?” tanyanya.

“Omma, sebenarnya Deokman dirawat orangtua angkatnya sejak kecil…” jelas Bidam. “Begitu Ibu kandungnya meninggal, Ayahnya pergi entah kemana…”

Munno menutup matanya dan membiarkan air matanya mengalir perlahan. “Sudah begitu lama…” kenangnya sambil tersenyum pahit. “Ternyata Sohwa meninggal ketika ia mengandung bayi?” tanyanya pada diri sendiri.

“Aku…aku tidak paham dengan situasi ini…” tukas Deokman tiba-tiba. “Apa maksud kalian? Bukankah Sohwa meninggal sebelum mencapai usia dua puluh? Dan Mishil-shi, kapan kau menikahi Sadaham-shi?”

“Saat usiaku 20, kenapa?” melihat pertanyaan di mata gadis itu, ia meneruskan. “Dan aku mengandung Bidam, saat usiaku 21…”

“Karena itulah! Ini semua tidak logis kan? Masa Munno-shi mengira aku anaknya, padahal usiaku satu tahun lebih muda daripada Bidam…”

“Satu tahun lebih muda? Berarti kemungkinan besar kau memang putriku…” gumam Munno lagi. Deokman memandang pria di hadapannya dengan bingung. Saat ia memandang Bidam dan menuntut penjelasan, pria itu mengangkat bahu bingung.

“Aku lupa mengatakan sesuatu padamu…” ujar Mishil akhirnya. “Sohwa adalah juniorku di sekolah, jadi otomatis ia lebih muda dariku. Ketika aku duduk di kelas tiga, ia masih duduk di kelas satu. Usia kami berbeda 2 tahun 2 bulan…”

Kali ini giliran Deokman dan Bidam yang tertegun bingung. Deokman merasakan genggaman Bidam begitu kuat di tangannya. Dan ketika memandang Munno, ia merasakan pria itu mengangguk pelan. Ia tidak bisa mengelak dari masa lalunya, dan kini, sebuah status baru tengah menunggunya dalam ketidakpastian.
-----------------------------============to be continued============---------------------------

Tidak ada komentar: