Jumat, 26 Maret 2010

Fanfic The Future and the Past 10

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TENTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Park Jung Chul: Kim Yong Soo: Jung Yong Soo
Moon No: Jung Ho Bin (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Selamat datang, Nam Gil,” sapa Guru Jung sambil menepuk pundakku dan menatapku dengan bangga. ”Tampaknya kau tidak pernah menyia-nyiakan waktumu di Amerika. Ikut klub di sana?” tanyanya.

“Ya,. Basket, karate dan taekwondo...” jawabku bersemangat. ”Apakah hari ini aku boleh minta latihan tanding denganmu, Guru?” tanyaku antusias.

”Anu, Pa, aku pergi makan dulu dengan Hee Wong...” ujar Yong Soo sambil tersenyum kikuk. Ia tampak berusaha menghindari amukan Papanya.

Aku tertawa kecil dalam hati. Manusia kadang memang aneh. Aku bukan anak GuruJung, tetapi diam-diam, aku mengidolakannya, berharap ia menjadi Papa sekaligus Guruku. Tetap;i, Yong Soo tampaknya tidak demikian. Daripada Taekwondo, ia jelas lebih menyukai sepakbola dan sejenisnya.

”Pergilah,” ujar Guru Jung sambil menatapnya dengan pandangan─apa boleh buat kalau memang itu maumu─ dan lagi-lagi hanya mampu menghela nafas panjang. ”Jangan lupa belikan makanan untuk Nam Gil. Kurasa ia akan kelaparan nanti. Tidak keberatan kalau latihan kita sedikit berat?”tanyanya sambil tersenyum padaku.

”Tidak masalah, Guru...” jawabku yakin seyakin-yakinnya. Kulemaskan otot tanganku dan kulakukan beberapa gerakan pemanasan. Guru menunjuk bagian-bagian tubuhku dengan tongkatnya, membantuku membetulkan posisiku yang masih salah. Lalu, tak lama kemudian, kami sudah berdiri berhadapan.

”Aku akan mengajarimu beberapa gerakan kombinasi...” ujar Guru sambil membetulkan lipatan baju di lengannya. Ia menatapku dan mulai memasang kuda-kuda.

Aku menarik nafas panjang dan menatapnya kembali. Ini adalah pertempuran. Dan tidak ada kata main-main. Dalam pertempuran aku dan ia bukanlah guru dan murid. Dengan pandangan menyeluruh kuteliti setiap sudut gerakannya, berharap menemukan celah untuk menyerangnya.

”Siap?! Mulai!!” ujarnya sambil berteriak dan bergerak maju. Aku menghindari beberapa serangan kakinya namun sebagian adalah gerakan tipuan. Tidak terburu-buru, dengan cepat kutiru gerakan itu. Guru tersenyum puas saat menghindari gerakanku ke kanan.

”Tidak buru, Nam Gil...” pujinya. ”Hanya saja gerakanmu terlalu polos, aku bisa membacanya. Cobalah sedikit menggunakan gerak tipuan...” nasihatnya. Aku menyanggupi dan sejurus kemudian, kami sudah terlibat dalam latihan tanding yang sejak lama kuimpikan.

Setengah jam kemudian, aku berbaring terlentang di aula latihan dengan nafas naik turun. Keringat membanjiri tubuhku. ”Kau sudah lumayan terlatih, dan responmu sudah semakin baik. Jangan lupa melatih otot perutmu. Sudah baik, tapi akan lebih siap untuk menerima pukulan nantinya...”

”Baik,” jawabku sambil berusaha mengatur nafasku. ”Ngg.. Guru, aku ingin tanya.,..” ujarku sambil menatap matanya yang hangat, mata yang kuinginkan untuk menjadi Papaku.

”Silahkan,” jawabnya tegas. Ia menatap mataku dalam-dalam, menunggu pertanyaanku.

”Apakah aku sudah memiliki kualifikasi sebagai pengajar taekwondo untuk tingkat SMA?” tanyaku padanya. Ia tampak terkejut lalu menatapku langsung ke mataku, seolah sedang menyelidiki alasanku. Ia tidak perlu bertanya mengapa. Pertanyaan itu tampak jelas dimatanya.

”Aku hanya ingin... mencobanya... barangkali dengan demikian aku bisa mengembangkan kemampuanku?” tanyaku tidak yakin.

Ia mengalihkan pandangan dariku dan berdiri untuk mengambil handuk, lalu melempar satu handuk padaku. Sambil menyeka keringatnya, ia mulai berkata, ”Itu bukan alasanmu yang sebenarnya, bukan?” tanyanya.

Aku terhenyak dan berusaha mengelak, tetapi matanya menatapku lagi, menuntut kejujuran. ”Aku punya alasan sendiri,” ujarku membela diri.

”Sebaiknya alasanmu murni untuk pengembangan bakatmu, Nam Gil. Kalau boleh jujur kukatakan, kau cukup jenius. Kau mampu meniru gerakan yang tidak kuajarkan padamu dalam sekali lihat. Dan kau mampu mengembangkannya dengan baik. Aku bangga padamu, sebagai muridku. Sebagai seseorang yang sungguh mencintai taekwondo dan mempelajarinya dengan motivasi murni...”

Kalimat Guru Jung dengan tajam menghujamku. Aku memandangnya tanpa mampu berkata apapun, sampai akhirnya ia melemparkan sebuah perban ke arahku. ”Seharusnya kau jangan paksakan dirimu, obati lagi lukamu,bersihkan darah di bajumu... . Dan temui aku minggu depan, saat pikiranmu sudah lebih jernih...”

Guru Jung menatapku sejenak lalu tersenyum tipis. Ia membantuku membetulkan perbanku dan kemudian pergi tanpa berkata-kata. Setiap kalimat Guru Jung terus terulang di otakku.

Aku bangga padamu, sebagai muridku. Sebagai seseorang yang sungguh mencintai taekwondo dan mempelajarinya dengan motivasi murni..

”Aku punya alasan sendiri.” ujarku berulang-ulang.

Tapi di lain pihak, aku tahu apa yang dikatakan Guru adalah benar. Tidak masalah kalau apa yang kulakukan merugikan diriku sendiri. Tapi, kalau membuat Guru Jung membenciku? Rasanya tidak mungkin aku bisa melakukannya. Akan tetapi, bagaimana dengan perasaanku? Kemana perginya perasaanku? Dengan apa kemarahan ini bisa kuungkapkan?

”Nam Gil? Sedang apa? Tidak makan?” tanya Yoong So sambil mengulurkan sebuah kantong plastik berisi mie yang baru dibelinya. ”Kau paling suka mie ayam di restoran itu, bukan?” tanyanya sambil tersenyum cerah.

”Ya, terimakasih...” ujarku sambil menerimanya. Aneh, mie yang biasanya terasa begitu lezat kini terasa hambar. Rasanya selera makanku sudah hilang, padahal perutku benar-benar lapar.

”Tidak enak?” tanya Yoong So kecewa. Aku tersenyum dan melahap mie itu dengan cepat. Ia tersenyum puas menatapku. ”Latihannya berat?” tanyanya.

”Guru Jung sangat baik, aku menikmati latihan itu...” jawabku sambil menyeruput mie di depanku.

Ada begitu banyak kalimat yang berputar di otakku. Padahal kuharap Guru Jung akan mendukungku, kuharap ia akan menyetujuiku. Kuharap ia bisa mengerti keinginanku.

”Kurasa kau sudah jadi maniak taekwondo.. makanya otakmu sedikit tidak beres. Bisa-bisanya kau menerima pengikut Yeom Jong, si Sung Pil itu sebagai teman...” ujar Yoong So sambil bergidik ngeri. Hee Wong tertawa kecil di sebelahnya, tampak asyik menikmati mie-nya.

”Dia berbeda dari kedua orang lainnya, aku tahu itu,” ujarku.

Entah kenapa ketulusan cara pria itu mengatakan kata ’teman’ membuatku tergugah. Dan sorot matanya yang lucu memang sangat menggelikan, dan sekaligus... kesepian, aku tahu itu. Orang yang kesepian akan bisa mengenali sesamanya, dan jelas, aku termasuk dalam lingkaran itu. Punya keluarga, tetapi tidak benar-benar memilikinya...

”Konyol, kau jadi lembek akhir-akhir ini...” ujar Yoong So setengah menggumam.

”Oh ya? Mungkin sifatku jadi lebih baik darimu. Tapi soal kemampuan? Bagaimana kalau kta coba tanding satu ronde?” tawarku dengan girang.

Hee Wong langsung menggeleng secepat mungkin. Ia melirik ke kiri dan ke kanan, lalu cepat-cepat mengibarkan kain putih yang pertama dilihatnya. ”Menyerah, aku tahu itu. Baiklah, anggap aku salah bicara...” ia melirik Hee Wong, meminta bantuan. Tapi Hee Wong sudah tertawa terbahak-bahak melihat kelakuannya.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008 ─

”Sponsor sudah setuju, dan kali ini, tema yang akan kita usung untuk festival olahraga ini mungkin akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya...” Seung Ho mempresentasikan proposalnya dengan yakin.

”Apakah sponsor sudah konfirmasi? Dan bagaimana dengan stand-standnya?” tanya Kak Seung Hyo memastikan.

”Eun Bin sudah menghubungi mereka dan sudah fixed... kemudian, untuk jadwal acara, Kak Tae Wong dan Yo Won sudah membantuku menyusunnya...” ia menatapku dan Kak Tae Wong dengan tatapan berterimakasih, lalu kubalas dengan senyuman seperlunya.

”Untuk dokumentasi, Kak Ye Jin sudah meminta bantuan pada teman sekelasnya. Dan ini daftar nama tema yang dipakai oleh tiap kelas. Ada yang membuka kafe dan tempat jualan mainan, sementara klub drama dan radio bergabung dalam penyiapan lagu-lagu yang akan diputar dalam festival dan suguhan drama pendek tentang parodi penyelenggaraan festival...”

Aku menatap Seung Ho dengan mengulum senyuman. Berat sekali kalau mencari masalah dengannya. Entah bagaimana cara Seung Ho meyakinkan ketua klub drama untuk mementaskan parodi mengenai kemalasan dan boikot anggota OSIS terhadap dirinya dalam bentuk segar dan lebih humoris, menyindir tapi sekaligus menghibur.

Kak Seung Hyo tersenyum masam mengingat ide parodi itu, tetapi ia setuju. Beberapa tahun terakhir, anggota OSIS memang bertingkah kekanakan. Dan ia juga tidak menyukainya. Seringkali mereka harus dipanggil berkali-kali barulah mereka ikut rapat. Dan seringkali mereka bertingkah di hadapan murid-murid baru.

”Dan kemudian, mungkin ada baiknya kita membahas mengenai keamanan di festival ini. Aku tidak bisa membujuk anggota lain untuk membantu. Barangkali ada yang bisa memberikan masukan? Masalahnya, kalau bisa mendapat bantuan orang yang bisa dipercaya, mungkin tidak akan sulit. Lagipula, kita perlu mengatur konsumsi...” ujarnya sambil melihat rencana kerjanya. Saat-saat seperti ini, peran aktif OSIS sangat menentukan.

”Mungkin kita bisa meminta bantuan anak-anak klub karate...” ujar Kak Tae Wong tiba-tiba. Sedari tadi ia diam saja, tidak disangka akhirnya sebuah ide cemerlang keluar dari bibirnya.

Seung Ho menatap Kak Tae Wong dengan mata berbinar-binar. ”Itu dia! Itu yang kubutuhkan!! Jadi, kita akan menerapkan sistem rolling , atur saja sift keja mereka sehingga mereka bisa bergantian membantu keamanan festival ini...”

”Dan untuk konsumsi,” akhirnya akupun membuka mulutku. ”Kurasa aku bisa membantu. Aku punya sepupu yang ibunya mengelola restoran korea... kurasa ia mau memberi harga murah kalau kita membeli dalam partai besar,” sahutku.

Ye Jin menatapku dengan pandangan─astaga,tidak kupercaya ternyata kau hebat juga─dan wajah yang terlihat senang. ”Aku akan menghubungi Ji Hyun. Benar kata Yo Won, untuk konsumsi kami saja yang mengurusnya...”

Seung Ho menatapku dengan mimik lucu dan menggemaskan. ”Terimakasih karena lagi-lagi aku hanya merepotkan Kak Yo Won...”

”Tidak apa-apa, yang penting acaranya sukses,” ujarku.

Untuk acara ini, kami sudah bekerja mati-matian ibarat kerja romusha. Benar-benar deh, sebenarnya aku sudah berharap bisa tidur cepat malam ini. Tapi tampaknya susah, akan kuhitung berapa jumlah mulut yang harus diberi makan nanti. Ya sudahlah, toh aku sudah terlanjur repot!

Saat kusadari semua mata memandangku, dengan terpaksa kusinggingkan senyuman sepintas. Hh... semoga saja acara ini sukses. Eh, bukan! Maksudku, acara ini harus sukses, apapun yang terjadi!!

--to be continued--

2 komentar:

For You Always mengatakan...

Hei, Sist! I really curious with your next story. wake up! im waiting for you.
Keep You're Spirit for you're readers....

Chika_erfenn mengatakan...

tahnk before, really glad to have visitors here..hehe...
can you join as my followers?