Minggu, 14 Februari 2010

Fanfic bideok after love 14

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FOURTEENTH SCENE
BIDAM
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bidam tersenyum kecil melihat gadis yang duduk di sebelahnya bergerak2 dengan gelisah. Terlihat jelas kalau gadis itu menghindari bertatapan mata dengannya. Tetapi anehnya, Bidam merasa semakin ingin menggodanya.

”Ada masalah apa Omma datang ke sini?” tanya Bidam berbasa-basi. ”Kuharap aku tidak membuat Omma khawatir...”

”Tentu saja aku sempat khawatir tadi,” sergah Mishil cepat. ”Tetapi melihat keadaanmu baik2 saja, perasaanku sudah lebih baik...” ia tersenyum penuh arti seraya menambahkan. ”Ada yang menemanimu di sini, perasaanku jadi lebih tenang...”

”Tentu saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Oh ya, bagaimana pendapat Omma tentang Deokman-shi?” tanya Bidam sambil tersenyum jahil.

Mishil menaikkan alisnya sedikit. Sepertinya ia bisa menangkap maksud putranya. ”Dia gadis yang cantik, dan kesan pertamaku, dia baik dan sopan...” Mishil menatap Deokman dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. ”Dia pacarmu, bukan?”

”Aku senang kalau Omma menyetujui hubungan kami!” seru Bidam sambil menepukkan kepalan tangannya ke tangan satunya dengan gembira. ”Ternyata memang Omma yang paling mengerti aku...”

”Tunggu!!” Deokman buru-buru memotong percakapan kedua orang itu. Ia memandang sopan kepada Mishil, dan memandang Bidam dengan kesal setengah malu. ”Aku kan bukan pacarmu, Bidam-shi...”

”Jangan bilang bukan, tapi bilang saja belum. Setidaknya tidak lama lagi demikian,” papar Bidam sambil tertawa renyah. Memang seru menggodanya, pikirnya. Melihat wajah Deokman demikian kacau, ia memutuskan untuk berhenti bercanda. ”Baik, baik, kita fokus ke masalah awal saja. Aku mau tanya sesuatu pada Deokman-shi...”
”Asal bukan masalah tadi...” tukas Deokman cepat. Puas rasanya bisa memberikan syarat untuk melindungi diri sendiri.

”Baik, baik, aku janji...” Tidak ditanya sekarang, tapi mungkin nanti... ”Deokman-shi, kau sepertinya tidak terkejut ketika tadi aku memanggil Mishil dengan sebutan Omma. Padahal tidak semua orang tahu hal ini, bahkan fasnku yang paling fanatik sekalipun. Ada alasan mengapa kau mengetahuinya?”

Deokman terperangah sesaat. Ia tidak mengira pikiran cowok ini sedemikian cerdasnya. Hanya dari secuil adegan saja, ia bisa menganalisa sedalam itu? Deokman berpikir sesaat. Sadar bahwa tidak ada gunanya ia menyembunyikannya, ia pun berterus terang. ”Aku tidak sengaja mendengar percakapan Wolya-shi dan Yeomjong...” ungkapnya jujur.

Bidam mengangkat alisnya sedikit, kebiasaan yang diperolehnya dari ibunya. Ia menatap Deokman dan tidak meragukan kata2nya sedikit pun. Mata gadis itu begitu jujur dan ia sangat mempercayainya. ”Aku percaya kau tidak hanya mendengar sedikit... Maukah kau menceritakan padaku hal apa saja yang kau dengar?”

Deokman mengangguk, lalu berusaha mengingat-ngingat percakapan yang tidak sengaja didengarnya tadi. ”Dia berkata akan menyebarkan kenyataan kalau Mishil-shi adalah Ibumu, dan Wolya-shi tidak emmbiarkannya, bahkan...”

”Bahkan apa?” pancing Bidam. Wajah Deokman dipenuhi keraguan. Dan Mishil menarik nafas panjang. Ia sudah tahu cepat lambat kenyataan akan terungkap. Sedikit banyak ia bisa menebak arah percakapan itu.

Deokman bertutut dengan suara pelan, tidak yakin apakah ia sebaiknya mengatakannya atau tidak. “Bahkan, Wolya-shi mengatakan ia curiga kalau ayahmu, ngg… kalau tidak salah, Munno-shi?” tanya Deokman memastikan. Bidam mengangguk, dan Deokman meneruskan ceritanya. “Wolya-shi curiga Yeomjong ada kaitannya dengan apa yang terjadi pada Munno-shi…”

Bidam tersentak kaget. Ia sama sekali tidak emnduga kalau dugaannya selama ini sangat tepat. Diliriknya ibunya yang sedari tadi hanya diam dan mendengarkan. ”Omma... seharusnya, Omma sudha mengetahui semua ini bukan? Mengapa tidak mengatakannya padaku?” protesnya. ”Mengapa?”

”Dendam tidak akan meghasilkan apapun Bidam. Biarkan Tuhan yang membalasnya...” ujar Mishil dengan suara yang terdengar bijak.

Bidam menggeleng, tidak kuat menahan kekecewaan di dadanya. ”Seharusnya, sejak awal seharusnya aku sudah tahu...” ia menggeram pada dirinya sendiri. ’Kenapa aku bisa begitu bodoh? Dan aku bahkan bekerja dan dipromosikan olehnya!”

Deokman memandang Bidam dengan sedih. Ia merasa kecewa karena tidak mampu membantu Bidam justru disaat ia sangat membutuhkannya.

”Nak, rasanya sudah saatnya Omma pulang...” Mishil mengintip melalui jendela dan mengelus bahu putranya dengan lembut. ”Kau harus baik-baik jaga dirimu. Dan jaga orang yang kau sayangi juga...”

”Aku tahu, Omma...” ujar Bidam sambil tersenyum pedih pada Ibunya. ”Aku akan merencanakan sesuatu supaya kita tidak usah bertemu dalam situasi seperti ini. Aku akan berusaha agar orang2 mau mengakui hubungan kita... Omma juga harus menjaga kesehatan baik2...”

”Tentu saja,” sahut Mishil sambil menepuk lembut pipi putranya. ”Putraku yang tampan, Omma sangat menyayangimu. Apapun yang terjadi, kau tidak boleh gegabah. Dan ingat, dendam hanya akan menghancurkan diri kita sendiri..”

Bidam mengangguk pelan dan tersenyum. ”Maaf aku tidak bisa mengantar... Terimakasih, Omma...” bisiknya saat memeluk Ibunya.

”Aku akan mengantar Mishil-shi...” Deokman dengan buru-buru menawarkan bantuan. Tetapi Mishil dengan anggun menolaknya. Jadilah Deokman berdua lagi dengan Bidam dalam ruangan itu.

”Ironis bukan?” ujar Bidam pedih. ”Untuk orang yang kusayangi, semuanya serba uslit bagiku...” keluhnya. ”Dan Deokman, aku tidak pernah bermaksud menyerah tentangmu...”

Deokman memandang pria itu dengan sedih. ”Bidam-shi, kau tahu, ini bukan saatnya bicara soal masalah kita...”

”Kalau tidak kuperjuangkan sekarang, aku tidak berani mengambil resiko kehilanganmu...”

”Tapi...” Deokman berusaha memprotes, tetapi tidak ada kalimat yang meluncur dari bibirnya. ”Kenapa begitu sulit berbantahan denganmu?”

”Karena apa yang kukatakan benar,” sahut Bidam cepat. ”Aku akan bicara dengan ChenMyeong-shi. Tetapi sebelum itu, aku ingin tahu perasaanmu padaku. Apakah kau merasakan hal yang sama denganku?” tanyanya sambil menatap Deokman dengan sepasang matanya yang teduh.

Deokman memandang Bidam dengan gugup. Ia tiak berani mengakui perasaannya, namun di satu sisi, detakan jantungnya tidak dapat berbohong. Lebih dari itu, ia merasa sudah mencintai pria itu bahkan sebelum mereka dilahirkan dan dipertemukan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------to be continued---------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar: