Selasa, 08 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past, side story 5

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 5
-COMEDIAN’S MAN -
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Desi : Uhm Dae Chi
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Uhm Dae Chi, Seoul, 2009─

“Ya, Ma, aku tahu...” jawabku sambil menarik nafas pelan. Kutatap layar ponselku yang kemudian berkedip dan mati. Mama melakukan panggilan internasional hanya untuk memberi tahu kalau batas waktu keberadaanku di Korea sudah habis.

Berarti sudah saatnya pulang. Pulang, dan kemudian berada sementara waktu di Amerika sampai akhirnya kuliah di Korea. Berapa lama? Sampai kapan? Dan selama itu pula... aku tidak bisa bertemu Kak Tae Wong

Tidak ada yang mengetahui hari rahasia kami waktu itu. Tidak Mama, tidak Yo Won, bahkan siapapun. Hari itu, hari kematian Papanya Kak Tae Wong, aku rasa aku benar sudah jatuh cinta padanya.


Seoul, beberapa minggu lalu...

”Hai Kak...” tidak sulit menemukan sosoknya yang tinggi tegap. Berada di samping jenazah Papanya. Berpakaian serba hitam dari atas sampai bawah. Dan sedari tadi, entah berapa kali ia membungkuk dan tersenyum sopan pada orang-orang yang datang dan pergi mengunjungi pelayatan ini.

”Hai,” sepasang matanya sama ramahnya dengan biasanya. Dadaku terasa hangat melihat ia merespon kedatanganku dengan baik.

”Senang dengan kedatanganku?” tanyaku, sengaja menggodanya. Di luar dugaan, senyumannya malah membuat desir jantungku semakin hebat. ”Kakak tidak pegal, membungkuk seharian?” tanyaku spontan. Ups, memang mulutku tidak bisa direm. ”Maaf, Kak...”

”Ya, aku senang sekali melihatmu...” sahutnya sambil menatapku dengan pandangan tulus. Ia membungkuk sedikit saat menambahkan,”Dan kau benar, memang pegal sekali rasanya....” kami tertawa bersama. Dan kemudian, ia menoleh pada wanita di sampingnya. ”Maaf, Ma, aku ke sana dulu...” ujar Kak Tae Wong pada wanita di sebelahnya. Aku mengangguk sopan dan wanita itu tersenyum sekilas ke arahku.

”Tidak apa meninggalkan Mamamu sendirian?” tanyaku hati-hati. Kami menyusuri jalan setapak ke halaman belakang. Dari jauh, kulihat Yo Won dan Kim Nam Gil bergerak ke arah kiri halaman. Dengan cepat kuputar tubuh Kak Tae Wong, sialnya, hidungku malah bertabrakan dengan bahunya.

”Wuaaa!!” teriakku saat jatuh terjerembab. ”Aduh duh...” dengan sedikit meringis kuelus pantatku. Kak Tae Wong berjongkok di sampingku, memandangiku dengan bingung. Reaksiku mungkin terlalu cepat. Mulutku bergerak begitu saja. ”Tenang.. tenang... aku tidak apa...” ujarku.

”Aduh, kau mimisan! Bagaimana ini!” tanyanya panik. Aku malah tertawa saat ia dengan panik menyuruhku menengadah sambil meletakkan sapu tangannya di hidungku. “Kau aneh, masa malah tertawa...” senyumnya semakin lebar saat melihatku nyengir.

“Habis, Kakak aneh sekali, kesannya kaya aku mau mati saja...” tawaku meledak. Sebenarnya, tawaku juga bertujuan untuk menutupi debaran yang begitu mengganggu di dadaku. Rasanya luar biasa senang melihat perhatiannya begitu besar padaku.

Pelan, ia membantuku duduk di salah satu kursi terdekat. Ia acap kali tertawa saat melihatku menceritakan pengalamanku di Amerika. “Kau anak yang menarik,” ujarnya, akhirnya. Lalu matanya lama menatapku.

“Ya, memang aku menarik!” ulangku, berusaha menghindari pandangannya. Rasanya aneh. Aneh. Aneh! Aaargh!! Aku tidak tahan dilihat dengan mata seperti itu! Will you stop, please?

“Kalau tidak ada Dae Chi di sini… mungkin aku tidak bisa tertawa seperti ini...” kalimatnya terasa menghentak begitu kuat, sekaligus begitu lembut. Dadaku terasa sesak mendengarkannya. Apakah… ia merasa senang dengan kehadiranku?

”Aku tidak mengganggu, bukan?” tanyaku. Getaran dalam suaraku terasa tidak terelakkan. Detik itu juga air mataku terasa terkumpul di sudut mataku.

Dae Chi. Namaku Uhm Dae Chi. Semua temanku senang berkumpul di sampingku, apalagi saat jam istirahat. Mereka menilaku menyegarkan dan ceria. Dan sekarang... kenapa aku malah begini konyol? Tiba-tiba jadi ultrasensitif seperti sekarang ini...

”Suasana hatiku sebenarnya kacau tadi, tapi melihat senyummu....” kalimatnya berhenti begitu matanya menatapku. ”Astaga! Apa aku salah bicara? Kenapa kau malah... menangis?” ia buru-buru merogoh saku celananya.

Di tengah air mataku yang semakin deras, aku masih sempat menertawakan kelinglungannya. Agaknya ia lega melihatku masih punya kemampuan untuk tertawa. ”Sapu tangan Kakak kan ada padaku...” ujarku sambil mengulurkan sapu tangannya yang dipenuhi darahku.

Ia lantas menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian, menarikku ke bahunya. ”Yah, aku sangat senang karena ada Dae Chi di sini. Mana mungkin kau menggangguku? Aku sangat membutuhkan energimu...” gumamnya pelan.

Dadaku terasa semakin hangat... air mataku terus saja tumpah... aku tahu... aku tahu... aku seharusnya sudah menyadarinya sejak lama... aku benar menyukai pria ini... aku ingin bersamanya...


─Kim Tae Wong, Seoul, 2009─

“Kau belum juga kencan dengan anak itu?” tanya Nam Gil sambil meminum kopinya.

Kami duduk di sudut kantin, dan mengobrol. Obrolan laki-laki, obrolak adik kakak, atau apalah itu. Hal yang semakin menjadi rutinitas kami. Dan jujur, aku sangat menikmati kebersamaanku dengan Nam Gil. Ia menyenangkan, pandai dan sangat bijaksana untuk ukuran usianya.

“Dengan siapa?” tanyaku, menurunkan gelas kopiku. Nam Gil memandangku dengan pandangan jenaka. Tampaknya ia menyadari timing tepat untuk mengajakku bicara, agar aku tidak perlu menyemburkan kopiku ke arahnya.

”Siapa lagi? Tidak perlu kusebutkan namanya, bukan? Dia anak yang ada di pesta hari itu...” kalimatnya terhenti begitu tanganku naik menutupi wajahku, dan kemudian bergerak menyisiri rambutku, menggaruk bagian yang sebenarnya tidak gatal. ”Kapan?” desaknya lagi.

”Entahlah...” pelan, kuhirup kopiku sebelum meminumnya. ”Bagaimana kalau ia menolakku?” tanyaku, merasa tidak pede.

”Dasar kau,” ia mencibir lalu meneguk kopinya. ”Kurasa tanggapannya positif.. Dan Yo Won bilang, ia akan segera pulang ke Amerika... kalau kau tidak cepat, kau akan menyesalinya...”

Dadaku berderak cepat, tapi sebisa mungkin kutekan ekspresiku. Amerika? Aku sangat tidak percaya diri menjalin hubungan jarak jauh atau semacam itu. Apa lebih baik aku pass saja? ”Bagaimana kalau di Amerika ia sudah punya pilihan lain?”

”Entahlah,” Nam Gil mengangkat bahunya sedikit. ”Aku juga tidak tahu soal itu. tapi, daripada itu, lebih baik kau pikirkan perasaanmu sendiri. Kalau kau sama sekali tidak mencoba, aku yakin kau akan menyesal. Seperti Sung Pil...”

Kalimat Nam Gil menggantung di udara. Kang Sung Pil. Pria yang dalam waktu singkat menjadi sahabatnya yang tidak terlupakan. Belakangan kuketahui kalau ia tidak sempat menyampaikan perasaannya sampai akhir hidupnya... benar-benar ironis...

”Yah, aku tahu itu,” jawabku, berusaha tidak menyinggung perasaan Nam Gil. Akhir-akhir ini, kurasakan ia semakin ekspresif dan terbuka. Beberapa kali kulihat ia menggandeng Yo Won saat pulang sekolah. Mungkin, mereka sudah mulai pacaran.

Sejujurnya, kuakui kalau Yo Won sangat menarik perhatianku. Ada sesuatu... entah apa itu, sangat mengusikku. Menarikku untuk semakin mengenalnya. Namun kedekatan kami sangat aneh. Dekat, tapi juga dingin.

Dan kepada Dae Chi... aku senang berada di dekatnya. Tapi, apakah hanya itu? berkali-kali kutanyakan pada diriku bagaimana perasaanku padanya, dan aku masih belum mampu menjawabnya, bahkan sampai detik ini... saat pandangan Nam Gil seolah hendak meneropong jauh...jauh ke dalam hatiku...

─Uhm Dae Chi, Seoul, 2009─

“Aku mau menyerah saja soal Kak Tae Wong...” ujarku, akhirnya. Yo Won menatapku dengan wajah terkejut. Kumainkan garpu di atas piring spagetthy-ku yang masih penuh. “Yah, begitulah...”

“Kenapa?” tanyanya, masih tidak percaya. Ye Jin duduk di sebelah kami. Wajahnya sama kagetnya, namun reaksinya sangat kalem, berbeda dengan Yo Won. ”Kau bilang kau mau kami tidak mengantarmu ke bandara. Kau bilang kau mau minta dia yang mengantarmu, kau bilang kau mau menyatakan padanya hari itu....”

”Iya, tapi tidak bisa...” dengan kesal kumasukkan sesuap ke mulutku. ”Ia dingin. Dan sejauh ini, kami bahkan tidak pernah bergandengan tangan...” gerutuku,. ”Masa sinyalku kurang jelas? Kami beberapa kali bertemu untuk makan bersama. Tapi, yang ia lakukan tidak lebih sekedar memandangku, tertawa bersamaku. Itu saja!”

”Dae Chi, bagaimana kalau ternyata ia tertarik padamu, namun tidak berani mengucapkannya?” Ye Jin yang dari tadi terus bungkam akhirnya membuka mulutnya juga.

”Oh? Kau yakin sekali? Cobalah jadi aku. Aku capek. Sebentar lagi aku akan ke Amerika. Dan ia sama sekali tidak bergeming. Mungkin memang sebaiknya aku pacaran dengan Billy, Ken, atau Rob!” cetusku sambil menancapkan garpuku.

”Siapa itu? mantanmu?” tanya Yo Won bingung,

”Bukan, mereka nama kuda yang dipelihara di sekolahku!” dengusku. ”Ya, jelas, mereka tipe yang mengerti sinyal wanita! Berbeda dengan orang itu! Mungkin, memang lebih enak pacaran dengan mereka!”

”Tapi, kau kan sukanya sama Kak Tae Wong, kan?” tanya Yo Won lagi. Aku merasa malas menjawabnya dan terus saja memakan spageti-ku dengan perasaan kesal.

Padahal begitu melihatnya, perasaanku begitu campur aduknya. Apakah, keberadaanku tidak lebih dari sekedar memberikan hiburan? Kalau begitu, nonton saja acara komedi seharian! Huh!


─Kim Tae Wong, Seoul, 2009─

“Siapa itu Ken, Rob dan Billy?” tanyaku dengan wajah kusut. Benar dugaanku. Ia memang memiliki pilihan lain.

”Itu nama pria yang kemungkinan menjadi penggantimu!” tawa Nam Gil terdnegar hambar di telingaku.

Saat ini kami sedang menguntit para gadsi itu. jarak kami berada tidak jauh dari mereka. Sekitar dua meja, dan duduk kami saling membelakangi. Rasanya wajar kalau ia tidak menyadari keberadaanku. Sulit sekali menguping pembicaraan para gadis itu. dan yang jelas kutangkap di telingaku hanya tiga nama itu. karena, Dae Chi begitu lantang menyebutnya.

”Dengar, tidak? Itu saatnya untuk bertindak...”ujar Nam Gil lagi, menyenggol sikuku. ”Hei! Kau dengar tidak?”

”Ya, eh, maksudku, begitulah...” sahutku, merasa kacau. Lalu, bisa kudengar tawanya beberapa kali, bagaikan gema di punggungku. Tawa yang sangat kusukai. Apakah aku salah kalau aku sangat menikmati kebersamaan kami?

”Kau tidak salah, tapi, kau kurang tegas...” ujar Nam Gil. Kuangkat kepalaku, kaget. Darimana ia tahu pikiranku?

”Pikiranmu jelas terbaca di wajahmu,” sergah Nam Gil sambil menghabiskan seluruh isi minuman di gelasnya. ”Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Sebentar lagi, Yo Won mungkin menelponku. Aku harus pergi sebelum kepergok di sini...”

”Oke,” jawabku. Aku melambai pelan ke arahnya. Dan saat tanganku kuletakkan, sikuku menyenggol dompetku dan menjatuhkannya ke lantai. Seseorang yang kebetulan lewat membantuku memungutnya. Tanganku langsung membeku melihat wajah penolongku. Ya Tuhan! Dae Chi! Habislah!

”Sedang apa kau disini?” tanyanya bingung, menatapku dengan pandangan meneliti. ”Habis bertemu seseorang?” tanyanya lagi. Aku terus memandang matanya, seperti terhipnotis. Ia memandang mejaku dan tampak terluka. ”Kau menikmatinya?”

”Hah? Apa?” tanyaku, bingung.

Wajahnya mengkeruh, lalu ia menarik nafas panjang dan berdiri. Lalu pergi. Ia pergi begitu saja, dikejar dua teman akrabnya, Yo Won dan Ye Jin. Aku tidak paham. Kenapa?


─Uhm Dae Chi, Seoul, 2009─

“Kau mungkin salah paham, Dae Chi!!” seru Yo Won gusar. Kumatikan ponselku dan kubanting. Besok, besok semuanya akan berakhir. Aku akan pulang ke Amerika, lalu berakhirlah petualangan cintaku di sini. The end. Begitu saja.

rasanya sakit. Luar biasa sakit. Padahal aku hanya melihatnya. Dan melihat dua buah gelas di atas meja. Hanya itu. bisa kubayangkan wanita secantik apa di sampingnya. Yo Won pernah cerita tentang Gurunya yang cantik, yang kelihatan tertarik pada Kim Nam Gil. Aku hanya pernah melihatnya sekali, dan kuakui, dia sangat cantik. Menarik. Anggun.

Melihat dua buah gelas di meja itu, aku tahu bagaimana masa depanku. Aku masih muda. Mungkin ia menganggapku terlalu muda. Kami tidak akan pernah pantas duduk berhadapan seperti itu. kuakui, mungkin hari ini perasaanku over sensitif, tapi, hatiku rasanya remuk redam. Apakah tadi ia menikmati kebersamaannya dengan siapalah itu, yang sepertinya seorang wanita?

Tidur! Lebih baik aku tidur sekarang! Dan kemudian, pulang ke Amerika, bertemu Billy, Ken dan Rob. Kemudian, aku akan menjadi Dae Chi yang semula. Yang ceria, yang periang. Tidak lemah, tahan banting, menyenangkan!!



”Hati-hati di Amerika, ya, Dae Chi...” ujar Kim Rae Na yang ikut mengantarku. Ia memelukku lama dan kemudian menatapku dengan kerinduan. ”Penuhi janjimu untuk kuliah di sini, oke?”

”Ya...” sahutku enggan. Kalau aku memang masih berniat pulang ke sini, pikirku kesal. Yo Won dan Ye Jin memelukku sambil mengeluarkan senyuman masam yang dipaksakan. ”Huh, masa mukamu seperti itu waktu mau mengantarku?” protesku.

Yo Won akhirnya tertawa kecil dan menepuk pipiku. ”Kau bodoh, seharusnya kau pikir panjang dulu. Yang kemarin minum dengan Kak Tae Wong adalah Nam Gil... dasar cemburuan...” olok Yo Won.

Aku menatapnya kaget. Ya ampun! Jadi, aku salah paham? Tidak, tidak! Tekadku sudah bulat. Cowok itu tidak menganggapku wanita, hanya menganggapku komedian. Huh! Mengesalkan! Tetap saja, suatu hari, aku akan melihatnya di sana, duduk dengan wanita lain yang dewasa dan cantik...

”Ya sudah! Biarin saja!” jawabku ketus. Yo Won menggumamkan kalimat seperti ’dasar keras kepala’ sambil berlalu pergi. Kutenteng koperku dan pelan, aku berjalan ke arah pintu keberangkatan.

”Dae Chi! Dia datang! Dia datang!” sorak Rae Na, Yo Won, dan Ye Jin.

Jantungku mati rasa melihat pria yang dengan wajah pucat berlari ke arahku. Kak Tae Wong?! Mau apa dia datang ke sini?! Saking gugupnya, aku malah langsung berbalik dan berlari kabur, menyeret koperku dan berlari ke arah kiri, jelas bukan ke arah pintu keberangkatan.

“Tunggu dulu!” seru Kak Tae Wong sambil menarik tanganku. Aku masih diam di tempatku, tidak berani menoleh ke belakang. ”Kau salah paham...” ujarnya, masih dengan nafas menderu. Sialan, oh, aduh, kenapa dadaku jadi sesak karena kalimat itu? Kenapa rasanya mau menangis karena melihatnya mengejarku?

”Kalau memang mau mengantar, kenapa tidak lebih cepat?” tanyaku, pura-pura ketus, berusaha menyembunyikan air mataku, sakit di dadaku, semuanya.

”Maaf, aku salah naik bis... mobilku direparasi...”

”Ah! Alasan klasik! Masa nggak bisa naik taksi!!” tidak bisa kutahan bulir-bulir air mata yang menetes turun di pipiku. Aduh, tidak bisa berbalik sekarang. Bisa-bisa ia melihat air mataku.

”Maaf, karena buru-buru, aku salah membawa dompet...” akunya, akhirnya.

”Jadi, tidak ada hadiah perpisahan?”tanyaku. Cepat kuhapus air mataku sebelum berbalik menatapnya. Ia masih sama tegapnya dengan saat pertama kali melihatnya. Dan kurasa, sejak hari itu, mungkin aku sudah jatuh cinta padanya.

”Maaf, aku lupa...” wajahnya terlihat penuh penyesalan. ”Mungkin terlambat, tapi, aku ingin mengatakan... kalau aku sangat senang dengan keberadaanmu di sampingku. Dae Chi... jadi, kalau kau pergi karena membenciku, bisakah kau membatalkannya?”

”Tidak bisa dong! Kau saja ngirit mode on ke sini!” cetusku kesal. ”Lagipula tiketnya memang sudah dipesan jauh-jauh hari. Dan memang visaku habis! Aku memang sudah harus pulang!”

”Baiklah, aku minta maaf...” ia menarik nafas panjang dan tersenyum. ”Apa itu ngirit mode on?” tanyanya lugu. Oh, God! Demi Tuhan, saat itu deraian tawa yang panjang keluar dari mulutku. Entah berapa lama aku terpingkal-pingkal di depannya. Rasanya sudah lama sekali tidak tertawa begitu keras untuk waktu panjang begini.

”Lupakan saja pertanyaanku tadi,” ujarnya gugup. Ia memalingkan wajahnya yang memerah. ”Tapi, aku... memang sangat senang bersamamu. Ini jujur, aku harap... bisa selalu bersamamu...”

”Karena aku lucu? Menarik? Seperti komedian?” pancingku, kembali dipenuhi emosi.

“Tentu saja bukan!” seru cowok itu dengan nada gusar. ”Aku menyukaimu! Tapi, aku butuh waktu untuk bisa menyadarinya!!”

“Bohong!!” reaksiku begitu gamblangnya. Mana bisa... dia mengatakannya...seperti itu? Tanpa bunga atau puisi apapun...

“Aku tidak bohong!!” balasnya sengit. Wajahnya merah sampai telinga. ”Aku mungkin memang bodoh karena tidak menyadarinya. Tapi, kumohon., percayalah...”

”PERHATIAN.... PENUMPANG PESAWAT JURUSAN AMERIKA DENGAN NOMOR PESAWAT XX-XX-XX DIHARAPKAN....”

”Aku harus pergi...” ujarku sambil menatap langit-langit. Perasaanku terasa begitu aneh. Ada lonjakan naik dan turun. Tidak jelas. Kacau. Ruwet luar biasa. ”Tapi, aku senang dengan pengakuanmu...”

”Itu saja?” tanyanya bingung. Kumiringkan kepalaku, tidak mengerti. ”Aku sudah menyatakannya. Bagaimana dengan perasaanmu? Apakah... kita sepasang kekasih? Apakah, kau akan memilihku daripada Ken, Billy dan Rob?”

Sudut bibirku bergerak menahan tawa. Saat itu, kurasakan getaran pelan dari ponsel di dalam sakuku.”Ya, Ma? Pesawat? Oh, aku belum naik... Mmmm...mungkin aku tidak akan pulang ke Amerika...Ya, akan kuceritakan nanti...”’

”Jadi?” cowok itu berdiri di depanku, mengulum senyum, dan menatapku penasaran.

”Kau tidak dengar percakapanku dengan Mamaku barusan?” tanyaku. Ia menggeleng. ”Masa kau tidak dengar?!” protesku, kesal.

”Habisnya di sini kan berisik!” ujarnya, meninggikan suara.

Lama kami bertatapan. Bertatapan seolah tidak ada lagi orang lain di samping kami. Lalu, kami sama-sama mengeluarkan senyuman perlahan. Melihatnya berjalan ke arahku dengan langkah mantap, kuhempaskan koperku begitu saja, dan berlari ke arahnya, menyongsong pelukannya.

”Susah sekali menaklukkanmu...” bisikku di telinganya. Ia tertawa dan memelukku semakin erat, sampai-sampai kakiku tidak menyentuh tanah. ”Bisa duilangi?” tanyaku penuh harap.

”Aku menyukaimu...” bisiknya di telingaku.

Aku tertawa kecil mendengarnya. Sudah berapa kali ya kubayangkan bisa mendengarkan kalimat itu dari bibirnya? Memimpikan pelukannya? ”Kurasa masih kurang keras...” ujarku kecil. Ia tertawa dan berdehem beberapa kali, lalu mengulanginya. ”Kurang,” protesku.

”Aku menyukaimu, Uhm Dae Chi!! Jadilah pacarku!!” teriakannya membahana di seluruh bandara. Beberapa orang menoleh dan menyaksikan tawa kami berderai dalam pelukan kami yang begitu erat. Lalu ia menurunkanku dari pelukannya, dan matanya menatapku dengan pandangan menggoda.

“Aku rasa kau tidak berani melakukann...” belum selesai kalimatku, ia sudah menempelkan bibirnya dan mengulum bibirku, menguncinya dalam ciuman yang bahkan tidak pernah kuimpikan.

Aku bisa merasakan panasnya pandangan orang di sekitar kami. Masa bodohlah. Ye Jin, Yo Won, dan Kim Rae Na bisa menunggu penjelasanku nanti, kan? Pelan, kuangkat tanganku ke lehernya, dan kami meneruskan ciuman kami, pertanda dimulainya cinta kami. Cinta antara pria ngirit mode on dan seorang komedian menarik. Hihihi...





”Oh, ya, aku harus mengakui sesuatu padamu...” ujarku, masih bergelayut di tangannya dengan manja.

”Apa itu?”

”Sebenarnya, Ken, Billy dan Rob adalah nama-nama hamster jantan yang kupelihara di Amerika...”

”A-apa?!” semburat merah muncul di wajah Kak Tae Wong. ”Masa aku dibandingkan dengan hamster!” gerutunya. Aku menanggapinya dengan sebuah tawa panjang. Kami akan saling menghibur, setidaknya...mulai sekarang!!


-selesai-

Tidak ada komentar: