Selasa, 08 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past, side story 4, position:after FF 32

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 4
-PLAYBOY HANDKERCHIEF-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Karinna: Kim Rae Na
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Fatimah: Kang Sung Fat
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Im Jong : Kang Ji Hoo : (memakai nama asli di FF)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Rae Na, Seoul, 2009─

Langit begitu bersih dan cerah. Awan bergulung, tampak lembut seperti marshmallow. Sung Fat berdiri di sebelahku, mengenakan sapu tangan putih. Ia memasukkan tangannya perlahan ke guci berisi abu kakaknya, dan kemudian menyebarkannya di sungai. Air mata tidak berhenti menetes dari pipinya.

Aku tidak tahan melihatnya. Sung Fat teman baikku sejak kepindahanku ke SMP yang berbeda dengan Yo Won. Ia temanku berbagi cerita. Dan aku sangat mengenalnya. Aku mengenali perasaan cintanya pada Kakaknya. Dan ia belum sempat menyatakannya. Ia belum sempat berbagi cinta dengan Kakaknya, dan kini pria itu sudah pergi.

”Sung Fat, maaf... aku... ke sana dulu sebentar...” ujarku pelan. Ia mengangguk dan kemudian meneruskan menebar abu Kakaknya. Tempat favorit mereka. Sungai di mana ia seringkali piknik dengan Kakaknya. Rasanya begitu menyesakkan. Rasanya begitu pilu. Aku tidak bisa menahan air mataku.

”Uuuh...” di balik pohon, air mataku meluncur keluar. Air mata yang kutahan sedari tadi. Rasanya tidak adil kalau aku menangis di hadapannya. Sung Fat terlihat begitu kuat, begitu tabah. Kalau aku menangis, ia akan goyah...

”Kenapa kau di sini?” tanya seorang pria. Cepat kuhapus air mataku sebelum menoleh ke arahnya. Go Yoon Hoo. Cowok yang pernah memionjamkan sapu tangannya padaku. Sampai sekarang, aku terus saja lupa mengembalikannya.

“Tidak sedang apa-apa...” jawabku sambil tersenyum. ”Kau sendiri?”

“Aku melihat seorang gadis menangis barusan...” jawabnya. Matanya masih terus menatapku. “Kau tahu, kau tidak pintar menyembunyikan air matamu...”

“Kalau begitu, maafkan aku...” jawabku, lalu duduk di atas rerumputan. Sung Fat masih berada di sana, masih berdiri dengan begitu tegarnya. Perlahan, air mataku menetes lagi. Cinta yang tak terbalas... rasanya begitu menyakitkan. Akan kemana arah perasaannya?

”Gunakan ini...” ujar cowok itu, meminjamkan sapu tangannya.

Aku menolak dan tersenyum. ”Yang kemarin saja belum kukembalikan...” Aku tidak suka pria seperti dia. Tipikal playboy. Tipe cowok yang paling ingin kujauhi. Kurasa, lebih baik menjaga jarak dari tipe cowok seperti ini.

”Tidak usah dikembalikan. Pakai saja...” jawabnya sambil memberikan sapu tangan itu ke tanganku. ”Untuk apa menangis sendirian di sini? Di depan sana, banyak yang juga menangis...”

”Karena ia begitu tegar...” ucapanku mengalir begitu saja. ”Kalau aku... entah apa yang akan kulakukan. Orang yang begitu lama kucintai meninggalkanku, dan aku belum sempat menyampaikan perasaanku. Entah bagaimana...” ucapanku terhenti karena air mataku mengalir begitu derasnya, membuat isakanku semakin jelas. Uuh, memalukan sekali, kelihatan sesunggukan di hadapan seorang cowok playboy.

”Kau benar,” ujar cowok itu sambil memandang punggung Sung Fat. ”Tapi, lebih baik kau berada di sana, menmaninya, menangis bersama. Dengan demikian, perasaannya akan lebih baik... Ia pasti butuh teman bicara,...”

Kuresapi kalimatnya perlahan. Ia benar. Sung Fat butuh seseorang saat ini. Ia butuh bahu untuk menangis. Dan sebagai sahabatnya, aku tidak bisa membiarkannya sendirian.

“Kau benar,” senyumku pada cowok itu. ‘Terimakasih sapu tangannya, tetapi lain kali tidak usah. Aku tidak akan menyembunyikan air mataku. Kalau memang Sung Fat ingin menangis, aku akan menemaninya…”

Cowok itu tersenyum singkat padaku, lalu dengan segera beranjak pergi dan menemui teman-temannya. Kim Nam Gil ada di sana, terlihat sangat terpukul. Yo Won berdiri di sampingnya. Sosok mereka yang bergandengan tangan membuatku mengerti arti kebersamaan. Dan itulah yang diperlukan Sung Fat. Ia tidak akan tahan sendirian saat ini. Aku akan ada di sampingnya, sebagai sahabat.

─Go Yoon Hoo, Seoul, 2009─

“Kau beli saputangan baru? Lagi?” wajah heran Yong Soo segera kubalas dengan sebuah seringai panjang. ”Hilang?”

”Kali ini mungkin terakhir kalinya kubeli sapu tangan baru. Yang lama kutitipkan pada seseorang...” jawabku, masih mencari corak saputangan yang paling tepat untukku.

”Seorang gadis?” tanya Yong Soo tidak percaya. Ia mulai mendecak heran. ”Kurasa ia punya arti lebih di matamu. Ayolah, kau tidak pernah peduli pada seorang gadis seperti ini...Apakah saputangan sebelumya juga kau berikan padanya?”

“Semuanya serba kebetulan.” Jawabku acuh. “Dan kurasa dia memang membutuhkannya. Kenapa? Apakah ada yang salah?” Wajah Yong Soo berubah jahil. “Hei, kenapa wajahmu begitu? Sialan!!” pelan kusikut lengannya.

“Kau kan paling anti memberikan barangmu pada gadis. Bukankah itu aturan dalam hidupmu sebagai playboy? Jangan meninggalkan tanda mata?”

”Sialan kau! Mana mungkin aku tertarik pada gadis di bawah umur?” tukasku kesal. kuambil sehelai sapu tangan dan membayarnya di kasir. ”Kau mengenalnya. Dia itu teman Ye Jin! Namanya Kim Rae Na! Beda denganmu ya, aku bukan pria yang tertarik pada gadis ingusan...”

”Sialan! Dasar sok tua! Kita berdua kan hanya beda tiga tahun dari Ye Jin dan temannya! Jangan menghinaku dong! Terserahlah kalau tidak mau mengaku. Nanti juga kau kena batunya..” ujarnya sambil beranjak pergi dan mulai melihat dasi di salah satu counter terdekat.

─Kim Rae Na, Seoul, 2009─

”Benda apa yang kau simpan di kotak ini?” tanya Sung Fat, meneliti rak bukuku. Ia meraih kotak kaca yang kuletakkan di atas lemari dan membukanya. ”Sapu tangan?”

”Haha.. kebetulan, itu memang mau kukembalikan...” tawaku terdengar kering. ”Kupinjam dari seseorang...”

”Apakah dia seseorang yang kausukai?” tanya Sung Fat sambil menatap mataku. ”Kalau kau memang menyukainya, aku sarankan kau tidak ragu menyatakannya. Sebelum terlambat...”

”Aku tahu itu...” jawabku sambil tersenyum padanya. Tapi, dia bukan tipeku. Entah sapu tangan itu sudah diberikannya pada berapa orang gadis. Aku bisa mengenali playboy dan sudah cukup pengalamanku dengan playboy. Mereka seenaknya mempermainkan perempuan. Mereka pikir mereka begitu hebatnya...


Seoul, tiga tahun lalu...

”Putus? Apa maksudmu putus?” tanyaku sambil menatap kekasihku yang segera memulai hidupnya sebagai mahasiswa, Kang Ji Hoo. Ia tampan dan ada begitu banyak wanita yang menyukainya.

“Karena kita sudah tidak cocok bukan? Kau baru akan masuk SMA, sementara, aku sudah kuliah. Apa kata temanku kalau kita jalan berdua? Nanti aku akan diledek tertarik pada gadis ingusan...”


Hari itu, aku menamparnya dan pergi dengan hati hancur. Dua tahun pacaran dengannya dan itu tidak ada arti baginya? Ia menganggapku gadis ingusan? Dasar pria brengsek! Kukira temanku berbohong mengatakan ia playboy! Ternyata benar demikian! Untung saja aku belum mengenalkannya pada Sung Fat! Apa yang akan terjadi nantinya...

”Rae Na? Kau melamun?” tanya Sung Fat sambil menatapku cemas.”Sakit? Kau pasti lelah karena menjagaku seharian kemarin...”

”Bukan begitu kok...” jawabku sambil tertawa lega. ”Oh, ya, tadi kau bilang mau pergi? Kutemani. Mau kemana?”

”Aku akan menemui orang yang disebut Kakak dalam suratnya. Kau mau menemaniku?” tanyanya sambil menatapku lekat-lekat.

”Aku akan menemanimu! Tentu saja! Ayo!!”

─Go Yoon Hoo, Seoul, 2009─

“Wajahmu terlihat bahagia sekali…” tukasku sambil meminum cappuccino-ku. Yong Soo masih sibuk dengan ponselnya. Bisa kutebak, pasti dengan salah satu gadis penggemarnya atau kemungkinan terbesar, si gadis SMA, Lee Ye Jin.

“Kau jangan meledekku terus…” ia menarik nafas dan meminum black coffeenya. Sejenak kemudian pandangannya melewati bahuku, menatap entah apa itu di belakangku. “Hei, bukankah itu Sung Fat dan Kim Rae Na?” tanyanya padaku.

“Mana?” tanyaku. Aku menatap ke arah matanya dan membenarkan. ”Benar, itu mereka.” Dua gadis itu duduk agak jauh dari kami. Kelihatan sedang menunggu seseorang.

”Woah! Masa sih!” cetus Yong Soo kaget, sama kagetnya denganku. Kang Ji Hoo. Ternyata orang yang mereka tunggu adalah playboy terkenal di kampusku. Dunia sempit sekali. Dan apa pula hubungan mereka dengan dua gadis itu?

”Kau Kang Ji Hoo?” bisa kulihat bibir Sung Fat bergerak membentuk pertanyaan. Cowok itu mengangguk dan tersenyum lalu menyalaminya. ”Kau kenalan Kakakku?” dan pria itu mengangguk lagi.

”Kenalkan, namaku Sung Fat...” ujar Sung Fat ramah sambil mengulurkan tangannya. ”Ini temanku, Kim Rae Na...”

Mimik pria itu berubah tegang setelah bertatapan mata dengan gadis di samping Sung Fat. Rahangnya mengeras dan kaku. ”Maaf...?” ia mengulurkan tangannya, berusaha mencairkan ketegangan.

Aku bisa melihat Rae Na tersenyum kikuk dan membalas salam itu dengan tangan yang gemetar. Tampaknya, Sung Fat tidak menyadari betapa pucat wajah Rae Na. Kurasa mereka berdua saling mengenal. Berani taruhan, pasti Rae Na akan pergi sebentar lagi. Kalau tebakanku benar....

Kim Rae Na tersenyum kikuk pada keduanya dan membungkuk sopan. Lalu, sekejap saja, ia sudah pergi dengan berlari. Ada apa? Apa yang terjadi?

”Loh? Kenapa gadis itu?” tanya Yong Soo, masih tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi.

”Kau bisa di sini sebentar?” tanyaku padanya. “Ada yang harus kupastikan. Sementara itu, gantikan aku meninjau situasinya. Sebenarnya apa hubungan Sung Pil dengan Ji Hoo...”

”Baik, kejar saja gadis itu...” jawab Yong Soo sambil tersenyum canggung. ”Kurasa kau perlu membeli sapu tangan baru...” gumamnya pelan.

Aku meninju lengannya sebelum kakiku membawaku berlari mengejar gadis itu. Kim Rae Na adalah gadis paling aneh untukku. Tatapan matanya padaku selalu saja penuh permusuhan. Tapi, entah kenapa, perasaanku selalu menuntunku padanya.

”Gila! Lari kemana dia!!” mataku menyusuri deretan pertokoan di sampingku. Gadis itu tidak kutemukan dimana pun. Entah ia bersembunyi atau larinya memang secepat angin.

“Ck... kenapa juga aku harus mencarinya?” kuacak rambutku perlahan. Gadis yang selalu menatapku dengan permusuhan. Untuk apa aku merepotkan diri...

“Hei!”! suaraku keluar begitu saja, memanggilnya. Ia duduk di sana. Sendirian termenung di depan air mancur yang memang menjadi trade mark dari mall ini. Aneh, apakah ia tidak mendengarku? Perlahan, kulangkahkan kakiku mendekatinya. Ia masih memandang air mancur itu. Tidak beranjak pergi dari sana. “Kau... kenal padanya?” tanyaku.

Ia tidak menggubrisku. Masih termenung, matanya menatap air mancur itu. ”Hari itu adalah ulang tahunku...” suaranya terlalu pelan, nyaris kalah oleh derasnya suara air mancur di depannya. ”Dan ia mengatakan menyukaiku di depan air mancur ini...”

”Pria itu, maksudmu?” tanyaku. Ia masih diam dan menatap air mancur itu dengan mata berkaca-kaca.

”Kemudian... ia memutuskanku begitu saja. Hanya karena saat itu aku masih gadis ingusan...” sinar matanya begitu redup, dan bisa kutebak, air matanya meluncur begitu cepat. Ia berjongkok dan mulai menangis sambil memeluk lututnya.

”Apakah semua pria seperti itu?” tanyanya sambil terisak. “Apakah setelah mengatakan kalau kau menyukai seorang gadis... menyentuhnya, menggandengnya, menciumnya... tidak lebih dari itu...?”

Jantungku berdentam begtiu keras di tempatnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar menatap gadis di depanku sebagai seorang wanita. Untuk pertama kalinya naluriku sebagai playboy dipertanyakan.

“Begitulah pria...” jawabku, merasakan betapa keringnya tenggorokanku saat menjawabnya. “Tapi, masih ada pria lebih baik di luar sana...”

“Kau benar...” ia mengangkat wajahnya dan tersenyum. Ia berusaha keras tersenyum tetapi gagal. Air mata mengalir semakin deras di pipinya. Ia terus menangis dan menangis, gagal mengendalikan perasaannya.

Dan aku juga gagal. Aku gagal menahan perasaanku. Ketika menyadarinya, aku sudah menyesalinya. Gadis itu mendorongku jatuh, menolak pelukanku. ”Dan kau... setipe dengannya...” tudingnya tajam, lalu berlari pergi, meninggalkanku.

Tampaknya Yong Soo salah menebak kali ini. Aku tidak akan perlu membeli saputangan baru. Dan untuk pertama kalinya, seorang gadis menolakku.

─Kim Rae Na, Seoul, 2009─

”Kau mengenalnya, bukan?” desak Sung Fat. Aku hanya bisa mengangguk dan membisu saat menatapnya. ”Kenapa tidak mengatakannya?” tanyanya cemas.

”Kau terlihat bahagia bersamanya...” tukasku. Sung Fat menggeleng dan memelukku. ”Maafkan aku...” ujarku sambil membalas pelukannya.

”Orang itu adalah sepupu jauhnya Kak Sung Pil. Mereka akrab. Dan aku percaya padanya. Ia bertekad akan berubah. Ia berjanji akan ada untuk melindungiku. Tapi, aku juga percaya padamu. Mengapa kau tidak mengatakannya lebih awal? Kau tahu, mendengarkannya dari Kak Yoon Hoo membuatku sedih. Rasanya kau sama sekali tidak percaya padaku...” wajahnya berubah sedih saat mengucapkan kalimatterakhir.

”Bukan begitu!!” sergahku buru-buru. ”Aku mempercayaimu! Hanya saja... hanya... saja...” aku tidak bisa meneruskan kalimatku. Terlalu menyesakkan. Aku pernah begitu memujanya. Aku pernah begitu dalam menyukainya. Dan hatiku hancur.

”Maafkan aku.. maafkan aku...” Sung Fat memelukku dan menangis bersamaku. ”Aku akan menunggu sampai kau kuat untuk menceritakannya...” ia menepuk bahuku lembut. Aku terus menangis dan menangis. ”Aku tidak akan memaksamu....” tangis Sung Fat. ”Kalau tidak mau , tidak apa... aku tidak akan memaksamu...”


TING TONG!
Minggu pagi, seseorang berkali-kali membunyikan bel rumahku. Tidak biasanya ada tamu sepagi ini. Mama dan Papa sedang dinas keluar, jadi, siapakah tamu itu? Dengan enggan, aku beranjak dari sofa dan membuka pintu.

”Hai, ngg... pagi...” sapa cowok itu ramah. Mataku terbelalak kaget menatap dua tamuku. Go Yoon Hoo dan Kang Ji Hoo. Untuk apa dua pria ini datang? ”Tidak mempersilahkan kami masuk?” tanyanya sambil mengintip melalui celah bahuku.

”Ada apa?” tanyaku, menatap keduanya dengan tatapan sengit. ”Bicara saja di sini...” mereka adalah dua tipe yang kubenci. Mana mungkin kubiarkan mereka masuk?

”Bicaralah...” ujar Yoon Hoo sambil menyenggol Ji Hoo yang berdiri kaku di sampingnya. ”Hei, kenapa diam? Ayo, bicara!!”

Ji Hoo menatapku ragu sambil menarik nafas beberapa kali. Di sudut pipinya ada lebam, sama seperti lebam yang juga kulihat di wajah Yoo Hoo. Apa mereka berkelahi?

”Ngg... aku mau minta maaf...” ujar Ji Hoo dengan suara parau. ”Sesungguhnya, aku memang menyukaimu, Rae Na. Kau menyenangkan. Aku senang bersamamu. Tapi, tiga tahun lalu, saat orangtua Sung Pil kawin lagi. Dalam suatu kesempatan, saat berkunjung ke rumah baru Sung Pil, aku jatuh cinta pada Sung Fat. Dan kupikir, tidak adil kalau aku menjalin hubungan denganmu sementara pikiranku ada pada gadis lain. Jadi...”

”Cukup!!” Aku sendiri kaget dengan suaraku yang begitu keras. ”Cukup. Jangan lanjutkan lagi...”

Rasanya seluruh tubuhku begitu lemas saat ini. Sudut mataku panas. Aku tidak boleh menangis, tidak boleh! Kutarik nafas dalam-dalam, berusaha menemukan tekad dalam diriku.

”Tidak perlu mengungkitnya. Kita sudah selesai. Aku mau mulai sekarang kau menjaga Sung Fat dengan baik. Untukku, itu lebih dari cukup... Kalau kau berani membuatnya menangis, kau akan berhadapan denganku...”

”Ya, ya, aku tahu itu! Terimakasih!” Ji Hoo terlihat begitu gembira. Ia memelukku dan berlari pergi. Aku tahu ia akan kemana. Ia akan menemui Sung Fat. Mereka akan bahagia. Aku yakin, Sung Fat akan bahagia....

─Go Yoon Hoo, Seoul, 2009─

Entah persahabatan atau ketulusan hati, atau malah sebuah kebodohan? Mana ada orang yang begini bodohnya! Jelas ia masih menyukai cowok itu! Jelas ia masih mengharapkannya! Kenapa ia harus merelakannya dengan cowok lain? Dasar bodoh! Sekarang, ia malah menangis di depanku. Menangis tanpa kata-kata. Matanya masih menatap cowok itu pergi.

”Terimakasih, Kak...” ujarnya pelan. ”Berkatmu, aku bisa menyelesaikan kisah cintaku...”

Ia tersenyum menatapku dengan pandangan mata yang begitu tulus, tanpa rasa permusuhan sedikitpun. Baru kali ini ia memanggilku Kak... Rasanya ada hentakan rasa gembira begitu besar di dadaku. Wajahku tersenyum, antara senyuman ragu, senang, dan khawatir akan keadaannya.

”Hahaha... wajahmu aneh sekali...” tawanya lagi, sambil setengah menangis. Lalu, perlahan, sudut bibirnya bergerak. Air matanya tumpah dan ia menunduk, terus menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Kali ini, ia tidak menolak pelukanku. Bisa kurasakan detakan jantungku begitu kerasnya saat kepalanya menempel di dadaku. Beberapa waktu lalu, aku masih menganggapnya gadis ingusan. Dan sekarang, aku tahu pendapatku keliru. Ia seorang wanita. Dan jauh lebih tegar dari wanita lain yang kukenal.

“Kau hebat sekali...” bisikku di telinganya. “Kau sudah menahannya dari tadi... Kau tidak menangis di hadapannya... Kurasa kau sangat tegar...”

Bahunya berguncang di pelukanku. Ia menangis dan menangis, menumpahkan emosi yang dipendamnya. Menumpahkan rasa sakitnya. Dan aku hanya bisa memeluknya..

─Kim Rae Na, Seoul, 2009─

Pagi ini Go Yoon Hoo datang lagi. Ia masih saja menawarkan akan mengantarku ke sekolah. Podahal sudah kukatakan kalau tidak perlu.

”Sudah kukatakan, kan? Aku bisa pergi sendiri!” tukasku sambil terus berjalan. Ia berjalan di sampingku sambil menggiring motornya. ”Kau naiki saja motormu!!” seruku kesal. Tetanggaku memperhatikanku dan tersenyum. Kurasa bakal ada gosip baru dalam waktu dekat ini.

”Naiklah...” ujarnya. Dan seperti biasanya, aku kalah. Kalah oleh senyumannya. Yah, sekalipun playboy, aku tahu ia baik. Setidaknya, ia jantan. Dan ia sudah bersusah payah memaksa Ji Hoo berbicara denganku tempo hari. Ia sudah begitu berjasa bagiku.

”Jangan ngebut...” ujarku. Tetapi, ia tetap melakukannya. Dan seperti biasanya, aku harus memeluk pinggangnya karena takut. Bisa kulihat wajah jahilnya di kaca spion motornya.

”Kalau luka hatimu sudah sembuh, kuharap kau mau mempertimbangkan aku!!” teriaknya. Suaranya mengalahkan kerasnya deruman motornya.

”Apa?! Aku tidak mendengarkannya!!” teriakku membalas.

Aku bohong. Tentu saja aku bisa mendengarnya dengan jelas. Bisa kurasakan wajahku memerah sampai telinga. Panas... rasanya detakan jantungku cepat sekali nih...

”Yah... Kalau begitu akan kukatakan lain kali!!” teriaknya lagi. Ia tersenyum dan melajukan motornya.

Dalam hati, aku terus berharap, semoga ia tetap ngebut sepanjang jalanan ini. Aku ingin terus memeluknya seperti ini. Sekalipun playboy, sekalipun ia ngebut, entah kenapa ia memberikan rasa aman padaku.

Mungkin tidak sekarang. Aku belum siap membina hubungan dengannya sekarang. Tidak saat aku masih berjuang mengumpulkan serpihan hatiku. Tetapi, saat aku siap, dan kalau saat itu ia masih menungguku, kurasa aku akan membalas pelukannya dengan berani. Tunggulah aku, Go Yoon Hoo...


─Go Yoon Hoo, Seoul, 2009─

Pernyataan cintaku gagal. Ia tidak mendengarnya. Memang sebenarnya, aku sengaja mengatakannya sekarang. Saat deruman motorku kencang. Saat aku bisa meneriakkan perasaanku dengan berani tanpa mendengar penolakan darinya.

Tetapi, pelukan tangannya di pinggangku terasa begitu hangat. Hangat dan begitu nyata. Aku tahu, tangan ini yang kuharapkan ada di sampingku selamanya. Hatinya masih rapuh dan terluka, aku tahu itu. tidak peduli seminggu, sebulan, setahun atau bahkan bertahun-tahun, aku akan menunggu.

Sampai ia siap untuk membalas pelukanku. Sampai di matanya hanya ada diriku. Karena Kim Rae Na, adalah satu-satunya gadis yang membuatku merasakan perasaan semacam ini. Aku akan menunggumu. Rae Na...


-selesai-
f

Tidak ada komentar: