Kamis, 16 Oktober 2014

BEST SHOT FROM LOVE

BEST SHOT FROM LOVE

 
BEST SHOT FROM LOVE
Cast:
Ami Rachmi as Park Min Ra
Lee Hyuk Jae / Eun Hyuk as himself
Ye Sung
Patricia Jesica as Park Jae Shi


--Park Min Ra, Seoul, 1995--

“Min Ra… ayo lihat ke sini.. Senyum.., yaa….”

Ayah memotretku terus menerus, membiarkanku bermain dengan bonekaku sementara tangannya menekan tombol kamera dan terus mengambil fotoku.

“Ayah, kenapa terus memotretku? Apakah Ayah tidak bosan?”

“Karena Ayah mencintaimu, Min Ra…” sahut Ayah sambil tetap menjepretku dengan kameranya.

“Apa hubungannya, Ayah?” tanyaku sambil memainkan bonekaku di depan kameranya.

“Suatu hari,  entah kapan… kau akan memahaminya…” jawab Ayahku sambil tersenyum.


--Park Min Ra, Seoul, 2010—

“Kau sama sekali tidak menunjukkan perkembangan, Min Ra…” ujar Kak  Ye Sung sambil mengamati hasil bidikanku. “Kalau begini, rekomendasimu untuk berkarir di dunia fotografi akan semakin sulit… Ingat, portofoliomu harus bagus supaya bisa mendapat prospek yang bagus…”

Ia merupakan ketua klub fotografi di kampusku. Penilaiannya terhadap foto hampir sama akuratnya dengan penilaian dosen pembimbing klub kami. Karena itu, kalau tidak lolos menurut Kak Ye Sung, jelas, aku sama sekali tidak bernilai di mata pembimbingku. Nyaris mustahil untuk mendapat rekomendasi.

Pelan, kuangkat wajahku untuk menatap mata Kak Ye Sung yang terlihat tegas. “Tolong berikan aku waktu. Sedikit lagi. Aku jamin aku akan berhasil kali ini…”

Kak Ye Sung mempelajari ekpresiku sebelum akhirnya ia menjawab. “Seminggu…”

“Ya,” anggukku, “Seminggu…” Ya ampun…bisa apa aku dalam seminggu?

----------------------


“Kau bilang seminggu? Itu sih namanya gila…” seru Jae Shi sambil menatapku cemas. “Kau yakin bisa berhasil menemukan objek yang tepat dalam seminggu?”

“Tidak tahu…”

“Sebaiknya kau mulai memikirkannya, Min Ra…” ujar Jae Shi dengan gugup. “Waktunya cuma seminggu…”

“Ya ampun, aku tahu itu, Jae Shi… Dan karena itu, kuharap kau jangan membuatku semakin pusing.. Kepalaku sudah sakit memikirkannya…”

Jae Shi berteman akrab denganku sejak SD. Dan sekalipun teman-temanku menganggapku aneh karena begitu serius menekuni hobi fotografiku, Jae Shi hanya tersenyum dan tetap mendukungku. Ia mengenalku, dan ayahku, karena itulah ia memahamiku.

Ayahku meninggal ketika usiaku masih kecil. Dan satu-satunya benda yang mengingatkanku akan dirinya hanyalah kamera tuanya yang usang. Begitu banyak fotoku di lemarinya, di kamarnya, dan di meja kerjanya. Akan tetapi, Ayah hanya meninggalkan beberapa lembar foto dirinya saat bersama Ibuku. Hal itu membuat keluargaku panik luar biasa karena tidak menemukan foto yang tepat untuk digunakan dalam pemakamannya.

Karena itu, aku mau melihatnya. Aku mau melihat dunia seindah apa yang ada di balik  lensa kamera Ayahku. Awalnya begitu menyenangkan, namun, belakangan hal ini semakin menghimpitku, membuatku bertanya-tanya. Mungkin aku memang tidak berbakat dalam bidang ini, berbeda dengan Ayahku yang telah banyak memenangkan penghargaan di bidang fotografi.

“Maaf kalau aku panik…” Jae Shi tersenyum dan menggenggam tanganku lembut. “Aku hanya tidak ingin bakatmu berakhir dengan sia-sia…”

“Aku pikir aku tidak memiliki bakat itu. Aku berbeda dengan Ayah…”

“Kau hanya tidak menyadarinya saja…” sahut Jae Shi sambil tertawa. “Menurutku, kau sangat berbakat. Aku tidak pernah suka difoto. Hanya kalau kau yang memotretku baru aku mau. Menurutmu kenapa?”

“Karena kau sahabatku jadi kau tidak mau mengecewakanku?”

Jae Shi meledak dalam tawa. “Bukan….. tapi, karena kau bisa membuatku terlihat lebih cantik. Itu dia. Aku selalu merasa tidak pede, karena orang-orang tidak bisa menangkap sisi terbaikku. Tetapi, kau mampu menariknya…”

Kalimat Jae Shi mengobarkan semangat baru di dadaku. “Terima kasih, kayaknya aku jadi lebih bersemangat sekarang…” sahutku sambil menenteng kameraku dan bangkit berdiri.

“Selamat berjuang, Min Ra!!!!!!!!!!!” sambil berteriak, Jae Shi melambaikan tangan dengan gembira ke arahku.

                                                       -------

“Tidak bagus…” jawab Kak Ye Sung. “Tidak terlihat perasaan dalam foto ini…” ujar Kak Ye Sung lagi. Dengan langkah lunglai, kuucapkan terima kasih sambil berjalan ke luar lapangan parkir kampus. Gagal lagi, keluhku dalam hati.

“Ayo, apa kau berani, Hyuk Jae?!” seru suara dari sisi lapangan basket. Musik-musik berirama keras diputar dan mengalun bagaikan dentaman jantung.

Ada banyak gadis berkumpul di sana, kurasa tidak masalah untuk ikut menonton. “HYuk Jae! Hyuk Jae!” Seru gadis di sebelahku.

Seorang pria maju ke tengah lapangan dengan mengenakan jaket hoddie abu-abu. Ia tampak tenang dan percaya diri. Seorang pria lainnya maju dan menari di depannya dengan gaya mencemooh. Apa ini yang dinamakan dance battle?

Cowok yang dipanggil Hyuk Jae itu diam tak bergeming sampai lawan-lawannya mencemoohnya pengecut. Dan ketika irama mendadak terhenti sejenak, ia menyunggingkan senyum dan bergerak bersama musik baru yang lebih keras dan lebih hidup.

Tangannya dan kakinya bergerak bebas, terlihat energik. Mataku terus terpaku menatap gerakan-gerakannya yang lincah, dan tanpa sadar, tanganku bergerak memijit tombol kamera dan memotretnya. Sekali, dua kali, berulang-ulang.

Bersamaan dengan itu, jeritan para penonton semakin histeris. Kameraku bergerak cepat, dan akhirnya entah berapa kali aku memotretnya, terutama ketika kakinya melayang bagaikan terbang di udara.

“Sudah jelas, Pemenangnya adalah Hyuk Jae!!!!!!!!!!” seru MC yang berdiri di sudut lapangan.

Cowok itu tertawa lepas saat dirangkul oleh teman-temannya. Kemudian, saat hendak memasukkan kameraku ke dalam tas dan beranjak pergi, cowok itu tiba-tiba menatapku sambil mengernyit bingung.

“Hei!! Kau!!” serunya.

Spontan kutolehkan kepala ke kiri dan kanan, mencari orang yang dipanggilnya. Namun, cowok itu malah menunjukku dan mengulangi panggilannya, “Kau! Kau yang kumaksud, bukan orang lain, jadi berhentilah menoleh ke mana-mana…”

“A-ada apa?” tanyaku, masih terpaku dan tiba-tiba merasa bersalah karena telah memotretnya tadi. “A-aku… salah apa?”

Pria itu tertawa dan meletakkan tangannya di bahuku. “Kau memotretku ya? Akan kaujual berapa foto itu?”

“Aku… aku tidak mau menjualnya…” sahutku bingung.

“Ohh…” ia menangguk dan tersenyum puas. “Jadi, kau memotretku karena aku tampan?” tanyanya lagi.

“Ehhh… bukan…” sahutku jujur. “Aku memotretmu karena kau terlihat keren tadi…” jawabku.

Cowok itu tertawa dan memiringkan kepala memandangku. “Kau… aneh sekali…” ia memandangku lagi sebelum akhirnya berbalik pergi. “Kau memang cewek aneh, tapi, menarik juga…” ia berhenti dalam langkah yang ketiga. “Siapa namamu?”


“A-aku… Park Min Ra…”


--Lee Hyuk Jae, Seoul, 2010—

“Sampai kapan kau mau menjalani hobi menarimu itu?” tanya Papa dari telepon. “Tahun ini kau harus sudah lulus dan meneruskan bisnis Papa…”

“Ya, aku tahu, Pa…” sahutku sambil mematikan ponselku. Menghentikanku untuk menari? Rasanya tidak mungkin. Menari adalah bagian dari diriku. Dan obsesiku. Lagipula, seorang gadis mengatakan kalau aku terlihat keren.

Tunggu, siapa namanya tadi? Min Ra… Ya, Park Min Ra… Sebelumnya, tidak ada yang begitu jujur mengatakan di hadapanku mengenai penampilanku… Walaupun menurutnya, aku tidak tampan, sialan! Padahal, wajahku demikian miripnya dengan Won Bin!!


Gadis-gadis lain biasanya langsung menempel padaku dan memujiku berlebihan. Tteapi, gadis ini berbeda. Ya, memang agak aneh, tetapi sangat menarik.

--Park Min Ra, Seoul, 2010—

“Ini bagus…” ujar Kak Ye Sung sambil menangkat beberapa foto Hyuk Jae yang kujepret kemarin sore. “Pencahayaannya kurang, tetapi nuansanya sangat kental. Cocok sekali dengan backgroundnya.”

“Aku boleh memasukkannya di portofolio-ku?”

“Boleh, ini akan lulus seleksi.. Sudah ada perbaikan kalau begitu…” ujar Kak Ye Sung dengan senyuman lega. “Ini pria yang terkenal itu kan? Tidak kusangka kau memilih dia sebagai objek fotomu…”

“Hah? Terkenal bagaimana?”

Kak Ye Sung menertawakan ketidaktahuanku. “Penari breakdancer terbaik di kampus kita. Dia kan pernah memenangkan beberapa perlombaan…”

“Ohh… aku baru tahu… Pantas saja gerakannya terlihat indah…”

“Yang berlatar senja ini paling bagus, kau juga harus memasukkannya…” ujar Kak Ye Sung lagi. “Mungkin ada baiknya kau mendekatinya, supaya kau bisa mendapatkan objek foto yang bagus…”

“Bagaimana cara mendekatinya?”


Kak Ye Sung hanya tersenyum singkat. Tanpa menjawab, ia berbalik pergi. Dan sebelum keluar, ia kembali mengingatkanku. “Berusahalah, Min Ra… Masih ada beberapa hari untuk memenuhi album portofoliomu…”

--Lee Hyuk Jae, Seoul, 2010—

“Hoiii…” gadis yang kupanggil itu kembali celingukan dan mencari pemanggilnya. “Hoi, iya, kau! Aku yang memanggilmu…” ujarku sambil berjalan menghampirinya dalam langkah-langkah panjang.

“Eh, kenapa?” tanyanya bingung.

“Tenang, kau boleh menyimpan fotoku kalau aku memang sekeren itu…” wajahnya memerah mendengar ucapanku. Lucu. “Ayo makan…”

“Eh? Apa?” tanyanya sambil melongo bingung. “Siapa?”

“Kau, makan denganku. Ayo, aku lapar…” ujarku sambil menggandeng tangannya. Min Ra tersentak kaget dan menarik tangannya bingung. Wajahnya memerah dan tampak menggemaskan. “Sudah, jangan terlalu kasual padaku…”

“Tapi.. aku tidak biasa begitu.. Maksudku, aku nggak sama dengan gadis yang kemarin itu…”

Pelan kutatap penampilan sopannya dari atas sampai ke bawah. Baiklah, gadis ini memang unik. Berbeda dari gadis lainnya, ia justru terlihat menarik dan semakin misterius.

“Oke, tidak ada gandengan tangan? Mari kita makan…” ujarku sambil tertawa dan berjalan di sampingnya. “Tapi, kalau jadi pacar, boleh gandengan kan?” tanyaku lagi, dengan senyum terbaikku.

“Eh? I-iya…” jawab cewek itu kaget. Lalu, mendengar tawaku, wajahnya langsung menunduk malu, seolah menyesali jawaban spontannya itu. Menyenangkan. Gadis ini selalu saja membuatku terhibur.



--Park Min Ra, Seoul, 2010—

“Kau selalu membawa kamera itu kemana-mana, ya?” tanya Hyuk Jae sambil memandangku. Kami berjalan menuju pelataran parkir. Setelah mentraktirku, ia mengatakan hendak mengikuti dance battle lagi sore ini, dan menuntutku untuk menontonnya.

“Ya, ini milik almarhum Ayahku…” jawabku sambil tersenyum.

Wajah Hyuk Jae sejenak berubah dan tampak menyesal karena bertanya. “Maaf, aku tidak bermaksud untuk… yah, begitu, ngg… kau jadi sedih…” Hyuk Jae menyunggingkan senyum lebarnya dan tersenyum. “Kau tidak marah kan?”

“Oh, tidak apa-apa…” sahutku.

“Jadi kau jurusan fotografi?”

“Ya,” senyumku sejenak mengembang dan kemudian menghilang. “Aku tidak berbakat seperti Ayahku…”

“Kau berbakat, tenang saja… semua orang kalau memotretku pasti disebut berbakat…”

“Oh… tapi, fotomu memang mendapat pujian.,..” tukasku tiba-tiba. “Maaf, aku memotret tanpa ijin…”

Ia memandangku bingung sebelum akhirnya tertawa lagi. “Sudah kuduga, kau memang aneh. Eh, maksudku, unik.”

“Unik bagaimana?”

“Spontanitasmu. Aku menyukainya…” senyumnya membuatku berdebar-debar.

 Ia melambai ke arah seorang pria yang datang sambil membawa sebuah tas besar. “Aku akan segera menari. Tunggu aku di sini. Ingat, kau harus menonton…”

“Oke,” sahutku sambil tersenyum.

“Dan jangan lupa foto aku…”

Pertandingan dimulai sekitar setengah jam kemudian. Seperti biasanya, ada begitu banyak penonton di tempat ini. Seorang pria setengah baya duduk di sebelahku saat pertandingan berlangsung. Tanganku masih sibuk memotret ketika tiba-tiba pria itu menggumam.

“Apa yang kau foto dari pertandingan sembarangan ini?”

Kutatap pria itu dengan bingung. “Maaf, bukannya saya lancang Om… Tapi, menurutku, sangat keren!”

“Keren?”

“Rasanya dengan melihatnya saja, saya jadi ingin ikut menari! Bukankah mereka yang bergerak di tengah lapangan itu terlihat luar biasa? Seperti berasal dari dunia lain…” senyumku sambil terus berusaha membidik gerakan-gerakan Hyuk Jae yang terlihat dramatis.

“Begitukah?” Pria itu menatap kamera di tanganku dan menggeleng, “Anak muda memang selalu penuh impian. Apa kalian sadar kalau kalian sering kali menyusahkan orang tua kalian?”

“Saya… mengejar fotografi, karena Ayah saya. Saya ingin melihat apa arti dunia yang ada di balik lensa kameranya. Saya tidak tahu kenapa Om begitu pesimis dan antipatif terhadap dunia menari. Tetapi, tidakkah Om bisa merasakan kobaran semangat mereka?”

Pria itu tersenyum sejenak sambil memandangku. “Orang tuamu pasti sangat beruntung punya putri sepertimu…”

“Terima kasih, Om…” sahutku sambil tersenyum.

Sementara mataku kembali melihat pertandingan di depan, pria tua itu menghela nafas panjang. “Biar pun demikian, sebagai orang tua, sering kali kami hanya berharap kalau anak-anak kami memiliki masa depan cerah dan sukses…”

“Itu juga sebenarnya tidak sepenuhnya salah,Om…” sahutku. Sebelum sempat menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba terdengar suara dari pengeras suara.

“PARK MIN RAAAA!!!!!!!!!!!!!”

Sebuah lampu menyorot wajahku, tepat ketika Hyuk Jae dengan bersemangat berteriak, “AKU MENYUKAIMU, JADILAH PACARKU!!!!!!” kontan, wajahku merah padam.

Hyuk Jae berjalan ke arahku sambil tersenyum. Ia tertawa melihat wajahku memerah sampai telinga. “Jadi, apa jawabannya adalah ‘ya’?”

“Eh… anu…” mendadak kalimat hilang dari lidahku.

“Hyuk Jae…” panggil pria setengah baya di sebelahku. Perlahan, ekpresi wajah Hyuk Jae menegang dan mengeras. Ia memandang kaget padaku dan kemudian kepada pria itu.

“Min Ra, kau mengenalnya? Kau mengenal Papaku?”

“Eh, baru saja kami mengobrol. “

Sebelum sempat mengatakan kalau aku baru mengetahui pria itu adalah Ayahnya, Hyuk Jae sudah memberikan tatapan marah dan sakit hati ke arahku. “Tidak kusangka kau bekerja sama dengan Papaku untuk menipuku…”



“Hasilnya semakin memuaskan,” tukas Kak Ye Sung sambil membantuku menata dan merapikan portofolioku. “Gosipnya sudah beredar…”

“Gosip apa?” tanyaku, bingung.

“Kau berpacaran dengan Hyuk Jae. Tidak kusangka kau mengikuti saranku untuk mendekatinya…”

Tiba-tiba dadaku terasa sakit dan perih. Ia marah. Ia salah paham padaku. Dan kemudian, pergi tanpa memberikanku kesempatan untuk menjelaskan. Rasanya ada yang bolong di hatiku.

Melihat wajahku yang muram, Kak Ye Sung menepuk bahuku dan mengelus kepalaku lembut. “Kenapa? Apa kalian bertengkar?”

“Dia marah padaku. Dia pasti benci padaku…”

“Kalau dia berani menyatakan perasaannya seperti itu, rasanya tidak mungkin ia membencimu. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, toh, kau sudah mendapatkan objek yang tepat untuk portofoliomu. Mungkin, kau bisa memberitahukan rahasia suksesmu padaku?”

“Eh? Rahasia sukses apa?”

“Hei…” sebuah suara dari pintu membuat kami menoleh. “Aku sudah mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban…” ujar Hyuk Jae dengan suara rendah. “Aku mau bicara dengan Min Ra…”

“Baiklah, kutinggal dulu…”

Begitu pintu tertutup, Hyuk Jae langsung menyerangku dengan sejumlah besar pertanyaan. “Kau menipuku? Kau memanfaatkanku untuk portofoliomu?”

“B-bukan…”

“Kau membiarkanku mendekatimu juga hanya untuk portofoliomu itu?” wajahnya terlihat marah dan kecewa. “Kau memanfaatkanku?!”

“Hyuk Jae, dengarkan aku. Aku tidak merencanakan ini semua. Aku… aku baru kemarin bertemu dengan Papamu… dan aku… aku juga tidak merencanakan untuk memanfaatkanmu… Aku memotretmu karena naluri yang menggerakkanku untuk melakukannya…”

“Jadi, hanya itu? Naluri?” cowok itu mendesah dan memandangku dengan tatapan kecewa. “Kukira kau memiliki perasaan yang sama denganku. Ternyata aku salah…”

Pintu terbanting tepat sebelum sebuah kalimat meluncur dari bibirku. “Maafkan aku…”


--Park Min Ra, Seoul, 2011—

Sudah lebih dari setengah semester kami tidak lagi bertemu. Hyuk Jae tidak pernah lagi muncul di battle dance, bahkan di tempatnya biasa nongkrong dengan teman-temannya. Semenjak hari itu, mataku terbiasa menyusuri lapangan parkir, hanya untuk mencari sosoknya.

“Kau merindukannya, kan?” ujar Jae Shi sambil menepuk bahuku lembut. “Seharusnya kau mengakui hal itu padanya dulu… kalau kau juga menyukainya…”

“Aku tidak tahu bagaimana perasaan suka itu…”

“Kau tidak tahu? Bagaimana mungkin? Kurasa, setiap foto dirinya bisa begitu bersinar karena kau menyukainya…”

Perlahan, sebuah kalimat Ayahku terngiang di kepalaku. Sebuah percakapan pendek yang paling berkesan di hatiku.

“Ayah, kenapa terus memotertku? Apakah Ayah tidak bosan?”
“Karena Ayah mencintaimu, Min Ra…”

Setetes cairan hangat menetes jatuh di pipiku. “Suatu hari,  entah kapan… kau akan memahaminya…” Ya, aku paham. Aku bisa menangkap sisi terbaik Jae Shi karena aku menyayanginya sebagai seorang sahabat. Dan Hyuk Jae? Karena… aku menyukainya, aku menyayanginya.

Oh… kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang aku menyadarinya?

“Aduh Min Ra… maafkan aku, lihat kau jadi menangis begini. Aaah.. Apa yang harus kulakukan?” Jae Shi mengobrak-abrik tasnya dan mencari tissu untuk diberikan kepadaku.

“Kalau kau memang begitu menyukaiku, seharusnya sejak awal kau mengatakannya, dasar bodoh!” seru seseorang sambil memelukku dari belakang. Dengan kaget, kuangkat wajahku dan menemukan sosok yang kurindukan di sana.

“Hyuk Jae…”

“Aku dimarahi Ayahku karena salah paham padamu… Dan, sebetulnya aku senang kau memanfaatkanku untuk fotomu. Tapi, aku marah padamu karena kau tidak mau mengakui perasaanmu hari itu. Aku jadi terpaksa meminta bantuan temanmu, kan…” ia mendengus kesal sambil mempererat pelukannya di bahuku.

“Eh? Bantuan temanku…?” di depanku, Jae Shi tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.

“Jadi? Apa kau masih tidak mau bilang kalau kau menyukaiku? Asal kau tahu, aku ini tampan seperti Won Bin. Banyak yang mengantri untuk pacaran denganku…”

“Aku menyukaimu,” sahutku cepat. “Walaupun kau tidak setampan Won Bin…”

“Dasar kau ini…” Hyuk Jae terkekeh sambil menarikku dalam pelukannya dan menciumku. Dari sudut mataku, kulihat Jae Shi meraih kameraku dan mengabadikan momen itu dengan gerakan yang cepat. Hemm… aku harus berterimakasih padanya, nanti…

TAMAT

Tidak ada komentar: